Wednesday, February 26, 2025

Mengenal Metode Istitar Untuk Memulai Ramadhan

Mengenal Metode Istitar Untuk Memulai Ramadhan

Oleh: Abdul Wahab Ahmad 

Metode penghitungan awal Ramadhan ada banyak. Selain melalui metode standar, yaitu rukyatul hilal, juga dikenal luas penggunaan hisab. Yang barangkali tidak semua orang tahu, hisab ini ada dua macam, yaitu pertama adalah hisab hakiki dengan menghitung posisi (ketinggian) hilal setiap saatnya sesuai lokasi mana pun di muka bumi. Hisab hakiki inilah yang dipakai sebagai standar hisab di seluruh dunia. 

Kedua adalah hisab urfi, yakni hisab yang hanya berdasarkan tanda-tanda tertentu, dan ini sangat banyak ragamnya. Ada yang mencocokkan dengan waktu wukuf, ada yang mencocokkan dengan tanggal sekian di bulan Muharram, ada yang mencocokkan dengan selisih sekian hari dengan Ramadhan tahun sebelumnya, ada yang mencocokkan dengan ketinggian ombak di pantai, ada yang mencocokkan dengan gelapnya malam di akhir bulan dan seterusnya. Disebut dengan istilah urfi sebab hanya berdasarkan kebiasaan (urfi), bukan berdasarkan perhitungan hakiki ketinggian bulan saat waktu maghrib. Tentu saja akurasinya belum tentu selalu akurat sebab hanya berpatokan pada kebiasaan.

Saat ini, saya ingin membahas tentang metode hisab urfi yang disebut istitar. Kemungkinan banyak dari pembaca masih asing dengan istilah metode istitar ini, namun saya tertarik untuk menjelaskannya sebab metode ini dijelaskan dalam salah satu kitab yang menjadi rujukan di kalangan Syafi'iyah, yaitu kitab Hasyiyah Bujairami Ala al-Minhaj. Apalagi penulisnya menekankan bahwa metode ini selayaknya diketahui agar tidak perlu bingung menentukan kapan Ramadhan. Berikut ini adalah teks ibarat tentang metode istitar di kitab tersebut:

قَالَ سَيِّدِي عَلِيٌّ الْمِصْرِيُّ فِي فَتَاوِيهِ: لَا يَسْتَتِرُ الْقَمَرُ أَكْثَرَ مِنْ لَيْلَتَيْنِ آخِرَ الشَّهْرِ أَبَدًا وَيَسْتَتِرُ لَيْلَتَيْنِ إنْ كَانَ كَامِلًا وَلَيْلَةً إنْ كَانَ نَاقِصًا وَالْمُرَادُ بِالِاسْتِتَارِ فِي اللَّيْلَتَيْنِ أَنْ لَا يَظْهَرَ الْقَمَرُ فِيهِمَا وَيَظْهَرُ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ وَفِي عِبَارَةِ بَعْضِهِمْ وَإِذَا اسْتَتَرَ لَيْلَتَيْنِ وَالسَّمَاءُ مُصْحِيَةً فِيهِمَا فَاللَّيْلَةُ الثَّالِثَةُ أَوَّلُ الشَّهْرِ بِلَا رَيْبٍ وَالتَّفَطُّنُ لِذَلِكَ يَنْبَغِي لِكُلِّ مُسْلِمٍ فَإِنَّ مَنْ تَفَطَّنَ لَهُ يُغْنِيه عَنْ التَّطَلُّعِ مِنْ رُؤْيَةِ هِلَالِ رَمَضَانَ وَلَمْ يَفُتْهُ صَوْمُ يَوْمٍ (حاشية البجيرمي على شرح المنهج = التجريد لنفع العبيد ٢/‏٦٧ )

"Syaikh Ali al-Mishri berkata dalam kitab Fatawi-nya: "Bulan tidak pernah tersembunyi (istitar) lebih dari dua malam terakhir setiap bulan. Ia tersembunyi selama dua malam jika bulannya lengkap 30 hari, dan satu malam jika bulannya hanya 29 hari. Maksud dari tersembunyinya bulan selama dua malam adalah bahwa bulan tidak tampak pada keduanya dan baru muncul setelah terbit fajar.

Dalam ungkapan sebagian ulama disebutkan: Jika bulan tersembunyi (istitar) selama dua malam sementara langit cerah pada keduanya, maka malam ketiga adalah awal bulan baru tanpa diragukan.

Setap muslim sepatutnya memahami hal ini karena siapa yang memahami hal tersebut, maka ia tidak perlu lagi mencari hilal Ramadhan dan tidak akan tertinggal dari puasa sehari pun." (Bujairami ala al-Minhaj)

Berdasarkan keterangan tersebut, istitar adalah keadaan malam hari yang sepenuhnya tanpa bulan sebab bulan masih tertutup (istitar) di balik cakrawala. Dengan kata lain, istitar adalah kondisi tanpa bulan sejak maghrib hingga subuh. Apabila ada waktu setelah Magrib atau sebelum subuh di mana bulan sudah muncul, maka malam tersebut tidak dalam kondisi istitar. Jumlah malam tanpa bulan (malam istitar) maksimal hanya dua malam saja sehingga kalau sudah dua malam istitar di akhir Sya'ban, maka besoknya di malam ketiga pasti sudah masuk Ramadan.

Sepintas metode ini sederhana tetapi untuk mempraktekkannya, diperlukan pengamatan yang teliti saat langit cerah di waktu sore hingga Maghrib dan di waktu subuh hingga bulan muncul di pagi hari. Pada prakteknya ini sulit dilakukan sebab kondisi langit pada waktu tersebut seringkali tertutup awan. Jadi, agar lebih mudah maka dibutuhkan bantuan ilmu hisab hakiki untuk menentukan posisi ketinggian bulan di saat sore hari hingga Maghrib dan di waktu subuh hingga pagi.

Sekarang, mari kita praktekkan metode istitar ini pada akhir Sya'ban 1446 H tahun ini yang bertepatan dengan tahun 2025. Daerah yang dijadikan contoh adalah kota saya tercinta, yakni kota Jember. Kita mulai pengamatannya sejak hari Rabu, 26 Februari 2025 yang datanya saya ambil dari Stellarium sebagai berikut:

Rabu 26 Februari 2025:

Waktu subuh 4:13
Bulan muncul 3:37 (sebelum subuh)
Bulan tenggelam: 16:25 (sebelum Maghrib)

Ini berarti pada hari Rabu subuh, bulan muncul sebelum subuh. Dengan demikian malam Rabu belum masuk periode istitar (kosongnya malam dari kemunculan bulan). Pada sore harinya, bulan tenggelam sebelum Maghrib sehingga pada saat maghrib sudah tidak ada bulan. Selanjutnya kita lihat subuh keesokan harinya sebagai berikut:

Kamis 27 Februari 2025: 

Subuh 4:13
Bulan muncul 4:34 (setelah subuh)
Bulan tenggelam: 17:17 (sebelum Maghrib)

Di hari kamis bulan baru muncul setelah subuh sehingga sejak maghrib sebelumnya hingga subuh hari kamis sama sekali tidak ada bulan. Dengan demikian Kamis adalah hari pertama istitar. Di hari kamis ini bulan juga terbenam sebelum Maghrib sehingga malam jumat dimulai tanpa bulan. Sekarang kita lihat data hari berikutnya:

Jumat:

Subuh 4: 13
Bulan muncul 5:33 (setelah subuh)
Bulan tenggelam 18:02 (setelah maghrib)

Ini berarti sejak maghrib malam Jumat hingga subuh hari Jumat tidak ada kemunculan bulan sama sekali. Berarti Jumat adalah malam istitar kedua. Dengan demikian sudah genap istitar dua malam sehingga dipastikan besoknya, yakni hari Sabtu adalah awal Ramadhan tahun ini. 

Dari data tersebut juga terlihat bahwa sore harinya bulan baru tenggelam setelah Maghrib sehingga malam sabtu dimulai dengan keberadaan hilal. Dengan demikian, maka malam sabtu sudah bukan malam istitar lagi, tapi malam bulan baru atau malam pertama Ramadhan saat dimulainya tarawih.

Barangkali ada yang bingung mengikuti alur data di atas, saya coba sederhanakan seperti ini:

- Malam Rabu sejak maghrib hingga subuh belum istitar sebab sebelum subuh sudah terlihat bulan.

- Malam Kamis sejak maghrib hingga subuh sudah istitar sebab bulan tenggelam sebelum maghrib dan baru terbit setelah subuh. Ini adalah malam istitar pertama.

- Malam Jumat sejak maghrib hingga subuh sudah istitar sebab bulan tenggelam sebelum mangrib dan baru terbit setelah subuh. Ini adalah malam istitar kedua. 

- Karena sudah dua kali malam istitar, maka dipastikan malam Sabtu sudah awal bulan Ramadhan (shalat tarawih) tanpa perlu diamati lagi. Kalau tetap diamati, maka akan terlihat bahwa pada malam Sabtu sejak maghrib hingga subuh sudah tidak istitar lagi sebab hilal terlihat sebentar setelah maghrib.

Ketinggian hilal pada Jumat malam Sabtu, 28 Februari 2025 di kota Jember saat maghrib adalah 3 derajat. Secara teori hilal sudah memungkinkan dilihat saat itu sehingga besoknya (Sabtu tanggal 1 Maret) dimulai puasa hari pertama. Dengan ini, praktik istitar insyaallah akan menghasilkan kesimpulan yang sama dengan penetapan pemerintah, tapi kita tunggu saja kepastiannya nanti.

Inilah penerapan teori istitar yang barangkali bermanfaat untuk tambahan wawasan, terlebih bagi para ustadz yang barangkali ditanya soal ini tapi, setahu saya, kebanyakan tidak mengerti bagaimana penerapannya. Banyak yang hanya menebak-nebak istitar sebab bulan saat maghrib dan subuh memang sulit sekali diamati keberadannya karena adanya awan, apalagi di musim hujan seperti tahun ini. Untuk mempraktekan istitar secara akurat butuh data bulan saat tenggelam dan terbit keesokan harinya ditambah data waktu Maghrib dan Subuh. 

Bila tanpa bantuan hisab hakiki, maka pengamatan (rukyah) untuk menerapkan metode istitar semakin lama sebab butuh pengamatan sejak sore hingga pagi. Kalau bulan masih terlihat setelah maghrib atau sebelum subuh meskipun hanya sebentar saja, maka malam tersebut belum istitar. Di sinilah sulitnya metode ini diterapkan sebab waktu rukyahnya minimal dua kali sehari saat sore dan dini hari hingga subuh.

Namun perlu dicatat bahwa penentuan hilal ramadhan tetap berpedoman pada sabda Nabi Muhammad yang artinya: "Berpuasalah saat kalian melihat hilal. Apabila kalian terhalang awan, maka genapkan Sya'ban menjadi 30 hari". Kepada petunjuk beliaulah kita harus kembali saat terjadi perbedaan pendapat.

Selamat menyambut Ramadhan dan semoga tulisan ini bermanfaat.

Keterangan gambar: Posisi terbitnya bulan saat subuh hari Jumat tanggal 28 Februari 2025 yang bersamaan dengan terbitnya matahari (setelah subuh) yang menandakan akhir malam kedua istitar.

Monday, October 28, 2024

𝐃𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐌𝐚𝐝𝐳𝐡𝐚𝐛 𝐒𝐢𝐚𝐩𝐚𝐤𝐚𝐡 𝐏𝐚𝐫𝐚 𝐒𝐚𝐥𝐚𝐟 𝐁𝐞𝐫𝐦𝐚𝐝𝐳𝐡𝐚𝐛?

𝐃𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐌𝐚𝐝𝐳𝐡𝐚𝐛 𝐒𝐢𝐚𝐩𝐚𝐤𝐚𝐡 𝐏𝐚𝐫𝐚 𝐒𝐚𝐥𝐚𝐟 𝐁𝐞𝐫𝐦𝐚𝐝𝐳𝐡𝐚𝐛?

Aly bin Abdillah Al-Madiniy (w.234 H) dalam kitab Al-Ilal menyampaikan :

لَمْ يَكُنْ فِي أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسلم من لَهُ صُحْبَة يَذْهَبُونَ مَذْهَبَهُ وَيُفْتُونَ بِفَتْوَاهُ وَيَسْلُكُونَ طَرِيقَتَهُ إِلَّا ثَلَاثَةٌ عَبْدُ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَزَيْدِ
بْنِ ثَابِتٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ.

Tidaklah diantara para sahabat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسلمyang memiliki murid-murid yang :
[1] 𝐛𝐞𝐫𝐦𝐚𝐝𝐳𝐡𝐚𝐛 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐦𝐚𝐝𝐳𝐡𝐚𝐛𝐧𝐲𝐚,
[2] dan b𝐞𝐫𝐟𝐚𝐭𝐰𝐚 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐟𝐚𝐭𝐰𝐚-𝐟𝐚𝐭𝐰𝐚𝐧𝐲𝐚,
[3] dan 𝐦𝐞𝐧𝐞𝐦𝐩𝐮𝐡 𝐦𝐞𝐭𝐨𝐝𝐞𝐧𝐲𝐚 (dalam berijtihad),
melainkan tiga sahabat, yakni:
[1] 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥𝐥𝐚𝐡 𝐛𝐢𝐧 𝐌𝐚𝐬’𝐮𝐝 (di Kufah)
[2] 𝐙𝐚𝐢𝐝 𝐛𝐢𝐧 𝐓𝐬𝐚𝐛𝐢𝐭 (di Madinah)
[3] 𝐀𝐛𝐝𝐢𝐥𝐥𝐚𝐡 𝐛𝐢𝐧 𝐀𝐛𝐛𝐚𝐬 (di Mekkah).

Kemudian beliau menyebutkan satu persatu para salaf dari kalangan tabi'in yang mengambil madzhab mereka dan berfatwa dengan fatwa mereka :

𝐌𝐚𝐝𝐳𝐡𝐚𝐛 𝐙𝐚𝐢𝐝 𝐛𝐢𝐧 𝐓𝐬𝐚𝐛𝐢𝐭 :
[1] Said bin Musayyib
[2] Urwah bin Az-Zubair
[3] Qabishah bin Dzu'aib
[4] Kharijah bin Zaid
[5] Sulaiman bin Yasar
[6] Aban bin Utsman
[7] Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah
[8] Al-Qasim bin Muhammad
[9] Salim bin Abdillah
[10] Abu Bakr bin Abdirrahman Al-Makhzumiy
[11] Thalhah bin Abdillah bin Auf
[12] Nafi' bin Jubair
Kemudian datang generasi berikutnya :
[1] Ibnu Syihab Az-Zuhriy
[2] Yahya bin Said Al-Anshoriy
[3] Abdullah bin Dzakwan
[4] Bukair bin Abdillah
[5] Abi Bakr bin Muhammad bin Hazm
Kemudian datang generasi berikutnya
[1] Malik bin Anas
[2] Katsir bin Farqad
[3] Al-Mughirah bin Abdirrahman
[4] Abdul-Aziz Al-Majisyun

𝐌𝐚𝐝𝐳𝐡𝐚𝐛 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥𝐥𝐚𝐡 𝐛𝐢𝐧 𝐌𝐚𝐬'𝐮𝐝
[1] Alqomah
[2] Al-Aswad bin Yazid
[3] Masruq bin Al-Ajda'
[4] Ubaidah As-Salmaniy
[5] Al-Harits bin Qais
[6] Amr bin Qais Asy-Syurahbil
Kemudian datang generasi setelahnya :
[1] Ibrahim An-Nakho'i
[2] Amr bin Syarahil Asy-Sya'biy
Kemudian datang generasi setelahnya :
[1] Al-A'masy
[2] Abu Ishaq As-Sabii'iy
Kemudian datang setelahnya: Sufyan Ats-Tsauriy

𝐌𝐚𝐝𝐳𝐡𝐚𝐛 𝐀𝐛𝐝𝐮𝐥𝐥𝐚𝐡 𝐛𝐢𝐧 𝐀𝐛𝐛𝐚𝐬 :
[1] Atho' bin Abi Rabah
[2] Ikrimah
[3] Thawus bin Kaisan
[4] Mujahid
[5] Abu Sya'tsa' Jabir bin Zaid
[6] Said bin Jubair
Kemudian datang generasi setelahnya :
[1] Amru bin Dinar
Kemudian datang generasi setelahnya :
[1] Ibnu Juraij
[2] Sufyan bin Uyainah.

Derita kelaparan yang dialami oleh Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari dan muridnya Ibnu Hajar Al-Haitami ketika sedang menuntut ilmu di Masjid Al-Azhar

Derita kelaparan yang dialami oleh Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari dan muridnya Ibnu Hajar Al-Haitami ketika sedang menuntut ilmu di Masjid Al-Azhar.
__

Disebutkan oleh Imam Abdul Wahab As-Sya'rani dalam at-Thabaqat al-Kubra, bahwasanya guru beliau (Syaikhul Islam) berkata:

وكنت أجوع في الجامع الأزهر كثيرا، فأخرج بالليل إلى قشر البطيخ الذي كان بجانب الميضاة وغيرها، فأغسله وأكله إلى أن قيض الله لي شخصا كان يشتغل في الطواحين فصار يتفقدني ويشتري لي ما احتاج إليه من الكتب والكسوة

"Kami sering mengalami kelaparan di Masjid Al-Azhar. Jika rasa lapar sudah tidak tertahankan lagi, kami keluar dimalam hari untuk mencari kulit semangka yang ada ditepi tempat wudhu masjid dan tempat lainnya. Hingga kulit itu kami bersihkan, dan kami makan."

Derita itu juga dialami murid-nya, Ibnu Hajar Al-Haitami. Disebutkan oleh Syekh Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi dalam Al-Fawaid Al-Madaniyyah, Hal. 31 :

قَاسَيْتُ فِي الْجَامِعِ الْأَزْهَرِ مِنَ الْجُوْعِ مَا لَا تَحْتَمِلُهُ الْقُوَى الْبَشَرِيَّةُ لَوْلَا مَعُوْنَةُ اللَّهِ تَعَالَى وَتَوْفِيقُهُ، بِحَيْثُ إِنِّي جَلَسْتُ فِيْهِ نَحْوَ أَرْبَعَ سِنِينَ مَا ذُقْتُ اللَّحْمَ إِلَّا فِي لَيْلَةٍ دُعِيْنَا لِأَكْلٍ، فَإِذَا هُوَ لَحْمٌ يُوْقَدُ عَلَيْهِ، فَانْتَظَرْنَاهُ إِلَى أَنِ أَبْهَارَ اللَّيْلُ، ثُمَّ جِيْءَ بِهِ فَإِذَا هُوَ يَابِسٌ كَمَا هُوَ نَيْءٌ، فَلَمْ أَسْتَسِغْ مِنْهُ لُقْمَةٌ.

Beliau (Ibnu Hajar) berkata :

"Aku pernah mengalami derita lapar di Masjid Jami' Al-Azhar, rasa lapar yang mungkin tidak akan mampu dirasakan oleh manusia jika tidak ada pertolongan dari Allah dan taufiq-Nya.

Aku belajar di Masjid Al-Azhar, selama 4 tahun. Di masa itu, aku tidak pernah mencicipi rasa daging kecuali disatu malam undangan.

Dimalam undangan itu, hidangan daging sudah dimasak, tapi kami menunggunya sampai larut malam. Ketika daging itu datang kepada kami, ternyata tekstur dagingnya sudah kering, seperti belum dimasak. Hingga akhirnya satu suapan pun tidak ada yang masuk kedalam perut.”

Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari adalah guru yang banyak memberikan corak berfikir Ibnu Hajar didalam fiqh. Terbukti, banyak ditemukan pendapat Syaikhul Islam yang selalu diikuti oleh Ibnu Hajar.

Dalam “Al-Fatawa Al-Hadistiyyah” Ibnu Hajar menceritakan tentang sang gurunya:

ما اجتمعت به قط إلا قال : أسأل الله أن يفقهك في الدين

“Aku tidak pernah ikut berkumpul mengaji dengan Syaikhul Islam, kecuali beliau senantiasa berkata: aku berdoa kepada Allah, semoga engkau diberikan pemahaman ilmu agama.”

Sebagian ulama, seperti Sayyid Muhyiddin Abdul Qadir Al-Aydrus menyebutkan dalam “An-Nur As-Safir An Akhbar Al-Qarn Al-‘Asyir” tentang Syaikhul Islam :

ويقرب عندي أنه المجدد على رأس القرن التاسع؛ لشهرة الانتفاع به وبتصانيفه، واحتياج غالب الناس إليها فيما يتعلق بالفقه وتحرير المذهب

“Menurut perkiraan saya, beliau adalah mujaddid di abad ke-9, karena kemanfaatan dan karya-karyanya yang begitu masyhur. Juga tentang mayoritas ulama yang membutuhkan beliau tentang fiqh dan tahrir madzhab Syafi’i.”

Dukturah Su’ar Maher dalam “Masajidu Misra Wa Awliya’uha As-Shalihun” menceritakan tentang Kasyaf-nya Syaikhul Islam :

كنت معتكفا مرة في العشر الأخير من شهر رمضان فوق سطح الجامع الأزهر، فجاءنى رجل تاجر من الشام وقال لي : إن بصري قد كف، ودلني الناس عليك تدعو الله أن يرد على بصري، وكان لى علاوة في إجابة دعائي، فسألت الله أن يرد عليه بصره، فأجابني ولكن بعد عشرة أيام، فقلت له : الحاجة قضيت على شرط أن تسافر من هذا البلد إن أردت أن يرد الله عليك بصرك، وذلك خوفا أن يرد عليه بصره في مصر فيهتكني بين الناس، فسافر فرد عليه بصره في غزة وأرسل لى كتابا بخطه، فأرسلت أقول له: متى رجعت إلى مصر كف بصرك، فلم يزل بالقدس إلى أن مات بصيراً.

“Aku (Syaikhul Islam) pernah melakukan i’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan di atap Masjid Al-Azhar, kemudian datanglah seorang pedagang dari Syam, dia berkata : “Pandanganku hilang, dan orang-orang banyak mengarahkan-ku kepadamu, agar engkau mendo’akan-ku.” Aku berdo’a kepada Allah, namun do’a itu akan dikabulkan setelah 10 hari.

Aku berkata kepadanya: “Do’amu akan dikabulkan, tapi syaratnya, engkau harus keluar dari Mesir.” Aku merasa khawatir jika Allah menyembuhkan kebutaannya di Mesir, Allah akan memperlihatkan kejelekan ini (kasyaf) ini di hadapan manusia.

Akhirnya laki-laki pedagang itu pulang, dan penglihatannya kembali ketika sampai Gaza. Dia mengirimkan surat tentang kesembuhannya. Kemudian surat itu kuberikan tanggapan: “Jika engkau kembali lagi ke Mesir, pandanganmu akan buta kembali.” Akhirnya laki-laki itu tetap berada di Quds, Palestina, dan tidak kembali lagi sampai wafat.”

Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari termasuk ulama yang diberikan umur panjang. Sampai 100 tahun. Atas keberkahan itulah mayoritas ulama di zaman itu berguru kepada beliau. Hingga diberikan julukan, “Guru dari kakek dan cucu-nya”.

Diantara guru-guru Syaikhul Islam adalah :

1. Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 852 H)
2. Jalaluddin Al-Mahally (w. 864 H)
3. Kamaluddin bin Al-Humam (w. 861 H)
4. Shalih bin Umar Al-Bulqini (w. 848 H)
5. Syarafuddin Yahya Al-Munawi (w. 871 H)

Diantara murid-muridnya :

1. Syihabuddin Ahmad Ar-Ramli (w. 957)
2. Jalaluddin As-Suyuthi (w. 911 H)
3. Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H)
4. Al-Khatib As-Syirbini (w. 977 H)
5. Kamaluddin bin Abi Syarif (w. 906 H)
6. Abdul Wahab As-Sya’rani (w. 973 H)
7. Nashiruddin At-Thablawi (w. 966 H)
8. Ahmad Al-Burullusi “Al-Amirah” (w. 957 H)

Syekh Sa’id ‘Idhah Al-Jabiri Al-Yamani pernah menyampaikan seklumit biografi tentang Syaikhul Islam:

دُقِقْتُ بين حجرين وجلالين وكمالين

"Aku (Syaikhul Islam Zakariya) diapit oleh 2 Hajar, 2 Jalal, dan 2 Kamal:

~ Ibnu Hajar al-Asqalani sebagai guruku, dan Ibnu Hajar al-Haitami sebagai muridku.
~ Jalaluddin al-Mahalli sebagai guruku, dan Jalaluddin as-Suyuthi sebagai muridku.
~ Kamaluddin bin al-Himam sebagai guruku, dan Kamaluddin bin Abi Syarif sebagai muridku.”

Syaikhul Islam lahir pada tahun 824 H, dan wafat pada tahun 926 H. Beliau dimakamkan disebelah makam Imam Syafi’i, di sebelah kanan pintu gerbang. Ketika ziarah ke Imam Syafi’i, jangan lupa untuk ziarah juga ke Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari.

Karena beliau adalah maha guru dari ulama mutaakhirin yang memperjuangkan dan mempertahankan eksistensi madzhab Syafi’i. Beliau dan murid-muridnya, seperti: Ibnu Hajar, Syihab Ar-Ramli, Al-Khatib As-Syirbini, Syams Ar-Ramli disebut sebagai “النُّظَّار في الترجيح" yang mana semua pendapat mereka dianggap mu’tamad dalam madzhab Syafi’i.

رحمه الله تعالى ونفعنا بعلومه وبعلوم سائر مشايخه وتلامذته ومن انتسب إليهم أجمعين، آمين.

Allahu a,lam

Friday, October 4, 2024

Metode Sanad dan Materialisme dunia Barat

Metode Sanad dan Materialisme dunia Barat

Metode isnad/ sanad (baik hadis maupun ilmu lain) adalah fenomena yang bisa dikatakan hanya terjadi dalam khazanah Islam. Tidak ada peradaban lain yang memiliki khazanah metode isnad selain peradaban Islam. Masalahnya, yang sekarang menjadi trend center keilmuan bukanlah dunia Islam, melainkan dunia Barat yang berfokus pada panca indra dan logika. Materialisme. Maka jangan heran jika metode isnad ini hanya disebut sebagai dongeng belaka dan diklaim sebagai metode tidak ilmiah. Karena Barat memang tidak punya sejarah “mengambil ilmu dari sumber terpercaya”. Hampir tidak pernah terdengar ada yang merunut sanad seorang professor hingga ke Issac Newton atau bahkan ke Einsten yang masih relative baru.

Barat memang sedang menjadi trend center dunia. Maka jangan heran jika melihat mereka yang “ter-Baratkan” mereka akan menganggap ilmu sanad itu terbelakang dan tidak ilmiah. Mirip seperti orang Jawa yang heran melihat orang Papua kenyang makan sagu, atau orang Indonesia yang bilang bahwa suku pedalaman itu “buta huruf” padahal mereka sangat pandai membaca bahasa alam. Mentalnya sama. Karena mereka yang jadi trend center, punya power, media, uang, dan pengaruh, maka merekalah yang menentukan “apa itu ilmiah”. Dalam analogi ini, maka jangan heran jika sebagian dari kita justru seperti orang Papua yang keheranan “kenapa masyarakat Papua masih makan sagu dan bukan beras?”.

Disinilah studi agama yang berkaitan dengan objek dan bisa dinilai dengan indra dan logika menjadi berkembang pesat. Contohnya adalah studi filologi (baik yang berasal dari manuskrip atau studi artefak). Sedangkan studi berbasis sanad, bisa dikatakan belum menjadi trend-center. Tentunya kajian filologi adalah ilmu yang keren, tapi jika kebenaran sebuah kejadian hanya disandarkan dari sebuah teks manuskrip atau artefak, hal ini akan berbahaya bagi Islam itu sendiri. Kenapa? Karena misalpun studi filologi dapat mengkaji dan membuktikan bahwa suatu manuskrip hadis berasal dari zaman sahabat (misalnya), lalu bagaimana menentukan bahwa isi hadis tersebut adalah hadis yang asli dan bukan hadis buatan pemalsu hadis yang canggih? Bagaimanapun, manuskrip itu benda mati. Disinilah ilmu sanad sangat berperan sebagai pemberi stempel keaslian dan kebeneran teks tersebut. Masalahnya, ilmu sanad yang bergantung pada pribadi seseorang, dinilai sudah tidak objektif, karena sudah terpengaru subjektifitas ulama tersebut. Academia dengan paradigma materialistik lebih percaya kepada manuskrip (yang merupakan barang mati) daripada kepada manusia yang bahkan terkenal pandai dan tidak pernah berdusta sekalipun. Disitulah muncul tokoh seperti Guru Gembul, yang gagal melihat keilmiahan Studi Aqidah (dan mungkin seluruh studi dalam Islam). Dan model gugat menggugat keilmiahan hadis hingga al-Quran dengan mempertanyakan kebsahan metode sanad ini sudah lumrah. Muslim yang menyerah pada standar keilmiahan Barat, maka ya akan mengatakan bahwa Al-Quran dan Hadis itu tidak ilmiah dan hanya sekedar “faith” tanpa bukti.