Friday, July 26, 2019

Bacaan Shalawat Hajjiyyat Agar Dimudahkan Naik Haji

Penulis

 Annisa Nurul Hasanah

 -

26 Juli 2019

0

6892

BincangSyariah.Com – Semua orang Islam pastinya ingin menyempurnakan rukun Islam yang kelima, yakni menunaikan ibadah haji ke baitullah. Oleh sebab itu, banyak cara pun mereka lakukan, baik usaha lahir dengan menabung sebagian rezekinya maupun usaha batin dengan cara berdoa.

Syekh Ahmad Qusyairi di dalam kitab Al-Wasiilah Al-Hariyyah fi Al-Shalawat Ala Khairil Bariyyah telah menuliskan sebuah doa agar dapat menunaikan ibadah haji dalam bentuk shalawat yang disebut dengan shalawat hajjiyyah sebagaimana berikut.

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَاةً تُبَلِّغُنَا بِهَا حَجَّ بَيْتِكَ الْحَرَامِ وَزِيَارَةَ قَبْرِ نَبِيِّكَ عَلَيْهِ أَفْضْلُ الصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ فِيْ لُطْفٍ وَعَافِيَةٍ وَسَلَامَةٍ وَبُلُوْغِ الْمَرَامِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهٖ وَبَارِكْ وَسَلِّمْ.

Allahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammadin tuballighunaa bihaa hajja baitikal haraam wa ziyaarata qabri nabiyyika alaihi afdhalus shalaatu was salaamu fi luthfin wa ‘aafiyatin wa salaamatin wa bulughil maraam wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa barik wa sallim.

Ya Allah, limpahkanlah rahmat atas junjungan kami Muhammad dengan berkah shalawat yang dapat menyampaikan kami dengannya untuk berkunjung ke rumah Mu yang mulia dan mengunjungi makam nabi-Mu, atasnya shalawat dan salam yang paling utama dalam kelembutan, sehat, selamat, dan tercapai cita-citanya, serta berkahilah dan salam untuk keluarganya dan sahabat-sahabatnya.

Demikianlah shalawat hajjiyat yang diajarkan oleh imam Ahmad Qusyairi di dalam kitabnya. Shalawat tersebut dapat kita amalkan sebagai bentuk doa atau harapan kita kepada Allah swt. agar dengan izinNya melalui shalawat hajjiyat ini kita dapat menunaikan ibadah haji. Aamiin. Wa Allahu a’lam bis Shawab.

Tuesday, July 23, 2019

MESKI TERTUNDA, KEIKHLASAN IMAM HADDAD RA KINI TERBAYAR LUNAS.

MESKI TERTUNDA, KEIKHLASAN IMAM HADDAD RA KINI TERBAYAR LUNAS.

Di jalanan sepi Desa Hawi - + 400 tahun yang lalu sekelompok Musafir bertanya kepada para penduduk desa, "Dimanakah rumah Abdullah Al-Haddad?" Para penduduk desa menjawab, "Apakah yang kalian maksud Abdullah si Buta?". Sebagaimana kaum Quraisy yang hanya mengenal Nabi Muhammad sebagai si Yatim.

AL-Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad adalah seorang ulama besar dengan mata rantai keilmuan yang bersambung pada guru-guru beliau sampai Nabi Muhammad saw. Bahkan, bukan hanya sanad ilmu, sanad nasab beliau juga bersambung kepada Nabi Muhammad saw.  Di usia 4 tahun, beliau mengalami sakit yang menyebabkan kehilangan penglihatannya. Namun, Allah menggantikan untuknya mata hati yang terang benderang.

Salah satu Guru beliau adalah Al-Imam Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas (Penyusun Ratib Al-Atthos). Ketika itu, banyak santri yang berebut untuk berguru kepada Habib Umar. Namun, yang disambut oleh Al-Habib Umar adalah Habib Abdullah Al-Haddad kecil. Beliau berbeda dengan yang lain di hadapan Sang Guru. Saat yang lain sibuk mencari, ia malah dicari. Saat yang lain sibuk mencintai, ia malah telah dicintai. Sungguh kedudukan yang luar biasa.

Hasil tidak pernah mengkhianati usaha. Beliau mendapatkan kemuliaan ini tidak dengan cuma-cuma, melainkan dengan mujahadah yang sangat berat. Diceritakan, di awal mencari ilmu, setelah shalat subuh, beliau bertadarrus Alqur'an. Kemudian, berkelilinglah ia ke masjid-masjid kota Tarim untuk melakukan shalat sunnah sampai sekitar 200 roka'at. Tak lupa, beliau juga mengisi bak-bak air di kamar mandi masjid supaya orang yang akan berwudlu tidak perlu mengambil air lagi dari sumur. Beliau bukan melakukannya sekali, tetapi setiap hari.

Sampai nenek beliau yang bernama asy-Syarifah Salma binti al-Habib Umar bin Ahmad al-Manfar Ba’alawi berkata: ‘Wahai anakku, kasihanilah dirimu". Beliau selalu menyembunyikan berbagai cobaan yang dideritanya, sampai di akhir usianya. Dalam masalah ini beliau berkata kepada seorang kawan dekatnya,:“Sesungguhnya penyakit demam di tubuhku sudah ada sejak lima belas tahun yang lalu dan hingga kini masih belum meninggalkan aku, meskipun demikian tidak seorang pun yang mengetahui penyakitku ini, sampai pun keluargaku sendiri.”

Beliau selalu berdoa kepada Allah, "Ya Allah, berilah kepadaku kedudukan Al-Habib Abdullah bin Abi Bakar Alaydrus Al-Akbar, Sampai akhirnya, Allah berikan kepadanya futuhal 'arifin (keterbukaan para arif billah. Saat sudah menjadi seorang ulama, beliau tidak memiliki banyak murid seperti yang lainnya. Beliau juga tak begitu dikenal di masanya. Tetapi, berkat keikhlasan dan kesungguhannya kepada Allah, tersebarlah nama dan ilmu beliau melalui 2 orang murid terbaiknya, Al-Habib Ahmad bin Zein (Pengarang kitab Risalatul Jami'ah, Syarah 'Ainiyyah) dan Al-Habib Muhammad bin Abdurrahman Al-Jufri.

Tidak ada Wali Allah yang meninggalkan dunia tanpa mewariskan sesuatu yang bermanfaat bagi ummat. Begitu pula Imam Abdullah bin Alwi Alhaddad yang telah meninggalkan sebuah senjata dan perisai ampuh untuk melawan gangguan jin dan manusia yang diberi nama *Ratibul Haddad, Wiridul Lathif, Hizib Nashr*.

Kini, siapa yang tak rindu bersimpuh menziarahi makamnya? Kini, siapa yang tak mengenal namanya? Kitab-kitab beliau menyebar seantero negeri menemani hari-hari para santri. Mutiara hikmah beliau menghapus kegersangan hati penduduk bumi. Silsilah kitabnya dijadikan manhaj taklim universitas seluruh negeri. Diwannya pun menjadi rujukan setiap orang yang entah tak tau kemana harus melangkah.

Thoriqah Haddadiyah dinisbatkan padanya, seorang pemimpin para wali yaitu Al-Hujjatul Islam Al-Imam Al-Mujaddid Quthbul Aqthab Wal-Irsyad, Al-Gautsil Ibad Wal-Bilad, Al-'Alim Al-'Allamah Ad-Da'i Ilallah Al-'Arifbillah Shohibud-Dark Habib Abdullah Bin Alwi Al-Haddad RA.

Imam Haddad RA menjadi pemimpin para wali (Al-Quthb Al-Aqthab Al-Gauts) lebih dari 60 Tahun. Beliau menerima libas atau pakaian kewalian dari al-’Arif Billah al-Habib Muhammad bin Alawi (Shahib Makkah). Beliau menerima libas tersebut tepat ketika al-Habib Muhammad bin Alawi wafat di kota Makkah pada tahun 1070 H. Pada waktu itu, usia Imam Haddad RA 26 Tahun. Kedudukan Wali Quthb itu beliau sandang hingga beliau wafat tahun 1132 H.

Imam Haddad berguru & memperoleh mandat (ijazah) Thariqah dari Sayyid Muhammad bin Alwi Makkah dari Imam Abdullah bin Ali dari Sayyid Abdullah al-Idrus dari Sayyid Umar bin Abdullah al-Idrus dari ayahnya Abdullah al-Idrus dari ayahnya Alwi & Alwi dari saudaranya Abu Bakar al-Idrus dari ayahnya al-Idrus al-Kabir dari Syaikh Ali dari putranya Syaikh Abi Bakar as-Sakran & juga dari pamannya yaitu Syaikh Umar al-Mukhdhar dari ayah mereka Imam Abdurrahman as-Segaf dari ayahnya Syaikh Maula ad-Dawilah dari ayahnya Syaikh Ali dan pamannya Syaikh Abdullah bin Syaikh Alawi dari ayahnya Syaikh al-Faqih al-Muqaddam dari ayahnya Syaikh Alawi bin al-Faqih dari kakeknya dan terus ke Sayyidina Ali bin Abi Thalib. (Ghayah al-Qashd wa al-Murad, juz 1, halaman: 219).

Suatu hari Imam Haddad RA berkata :
”Dahulu orang menuntut ilmu dari semua orang, kini semua orang menuntut ilmu dariku “.

Beliau adalah seorang Mujaddid (pembaharu) abad ke-11 dengan keilmuan setara dengan Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hambal. Salah satu dari kalam beliau adalah:

من تبع السلف اسلم، ومن تبع الخلف والله أعلم _

"Barangsiapa mengikuti ulama terdahulu, maka ia akan selamat. Dan barangsiapa mengikuti ulama masa kini, wallahu a'lam."_

📚 Dikutip dari kajian kitab Risalah Muawanah bersama Habib Mustafa Khird dan berbagai sumber.

Wallahu'alam Bis-Showab
=====================

*اَلصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَ رَحْمَةُ لٰلهِّ وَ بَرَكَاتُهُ ٬ اَلسَّلَامُ عَلَيْنَا وَ عَلٰى عِبَادِ لٰلهِّ الصَّالِحِيْنَ*

Sobahul Kheir...

Friday, July 19, 2019

Ketika Wali Allah SWT Menikah

Ketika Wali Allah SWT Menikah

Dalam Kitab Risalah Qusyairiyah, Bab Syukur diceritakan...

Ada sepasang suami istri yg sudah lama menikah tapi tidak mempunyai anak sampai beliau sepuh atau sudah tua..

Kemudian ada sebagian ulama bertanya pada Wali Allah tersebut tentang keadaannya kok bisa sampai begitu. Lalu beliau bercerita:

Dulu ketika aku masih muda, aku menyukai seorang perempuan putri pamanku (misanan), begitu juga dia suka kepadaku. Dengan rahmat Allah perempuan itu menjadi istriku.

Pada waktu malam pertama, aku berkata," Kemarilah istriku, kita beribadah dahulu sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allah karena telah menjadikan kita suami istri."

Lalu kami sholat pada malam itu, karena terlalu enak dalam sholat, kita lupa kepada pasangan kita, kita hanya ingat Allah dan kita sholat sampai subuh.

Di malam berikutnya, kejadian ini kembali terulang, dan selama 80 Tahun kejadian itu selalu terulang sampai sekarang.

Kemudian Ulama itu bertanya kepada Istrinya," Apakah memang seperti itu Wahai Fulanah?

Istrinya yang sudah tua itu menjawab," Ya, memang seperti apa yang dikatakan suamiku."

Masya Allah, itulah Hati seorang wali, Jika dia sudah beribadah maka ingatannya hanya Allah. Sampai lupa kepada pasangannya..

Mungkin karena inilah kenapa banyak temanku belum nikah, mereka terlalu khusuk dalam beribadah sampai lupa bahwa kiamat sudah dekat

Monday, July 15, 2019

"NASEHAT al-Habib Umar bin Hafidz Untuk Para Istri, Suami, Anak Laki-laki, Ibu, Anak...."

"NASEHAT al-Habib Umar bin Hafidz Untuk Para Istri, Suami, Anak Laki-laki, Ibu, Anak...."

Jadilah...

"ISTRI"
Yang tunduk patuh pada suami, yang senantiasa berseri seri saat dipandang, yang ridho terdiam saat suami marah, tidak merasa lebih apalagi meninggikan suara, tercantik di hadapan suami, terharum saat menemani suami beristirahat, tak menuntut keduniaan yang tidak mampu diberikan suaminya, yang sadar bahwa ridho-Nya ada pada ridho suaminya.

Berusaha menjadi...

"SUAMI"
Yang mengerti bahwa istrinya bukan pembantu, yang sadar tak melulu ingin dilayani, yang malu jika menyuruh ini itu karena tahu istrinya sudah repot seharian urusan anak dan rumah, yang tak berharap keadaan rumah lapang saat pulang karena sadar itulah resiko hadirnya amanah amanah yang masih kecil, yang sadar pekerjaan rumah tangga juga kewajibannya, yang rela mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena rasa sayangnya terhadap istrinya yang kelelahan.

Usahakan menjadi...

"ANAK LELAKI"
Yang sadar bahwa ibunya yang paling berhak atas dirinya, yang mengutamakan dan memperhatikan urusan ibunya, yang lebih mencintai ibunya dibanding mencintai istri dan anak anaknya, yang sadar bahwa surganya ada pada keridhoan ibunya.

Selalu berusaha menjadi...

"ORANG TUA"
Yang sadar bahwa anak perempuannya jika menikah sudah bukan lagi miliknya lagi, yang selalu menasehati untuk mentaati suaminya selama suaminya tidak menyuruhnya kepada perkara munkar, yang sadar bahwa keridhoan Allah SWT bagi anaknya telah berpindah pada ridho suaminya.

Istiqomah menjadi...

"IBU#
Yang meskipun tahu surga berada di bawah telapak kakinya, tapi tidak pernah sekalipun menyinggung hal tersebut saat anaknya ada kelalaian terhadapnya, yang selalu sadar bahwa mungkin segala kekurangan pada anak anaknya adalah hasil didikannya yang salah selama ini, yang sadar bahwa jika dirinya salah berucap maka malaikat akan mengijabah do'anya, karena itu dia akan berhati berhati dalam menjaga lisannya dari berkata yang mengutuk anaknya.

Usaha terus agar menjadi...

"ANAK"
Yang senantiasa mendoakan kebaikan bagi orangtuanya dalam keheningan sepertiga malam terakhir, meskipun sehari hari dalam kesibukan rumah tangganya, dalam kesibukan usahanya, dalam kesibukan pekerjaannnya.

Akhirnya menjadi...

"ORANG-ORANG"
Yang saling memberikan nasehat dalam kebenaran dan kesabaran, yang saling memaklumi jika hal hal di atas lupa atau lalai dilakukan, sehingga saling memaafkan diantara kita,
maka...
Rahmat Allah SWT berada diantara kita dan Allah SWT dengan kemurahanNya memaafkan kesalahan kesalahan kita...

Wallahu A'lam Bishawab

credit: FP Nibrosuz Zaman

CARA BERWUDHU BAGI ORANG YANG TERLUKA/CEDERA

CARA BERWUDHU BAGI ORANG YANG TERLUKA/CEDERA

Oleh; Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
***

Jika seseorang terluka atau dijahit atau dioperasi sehingga terpaksa harus diperban/diplester atau mengalami patah tulang sehingga terpaksa harus digips, sementara lokasi luka atau patah tulang itu terletak di anggota tubuh yang wajib dibasuh atau diusap saat berwudhu misalnya di wajah, tangan, kepala atau kaki, maka tatacara berwudhunya saat membasuh anggota-anggota tubuh yang terluka itu harus melakukan tiga hal.

Pertama: Basuhlah area yang sehat (yang tidak terluka atau tidak mengalami patah tulang)
Kedua: Usaplah perban/plester/gips itu dengan air
Ketiga: Bertayamumlah sebagai pengganti area yang tidak bisa dibasuh/diusap air itu.

Dalil yang menjadi dasar ketentuan ini adalah hadis yang dihasankan oleh Al-Albani berikut ini,

عَنْ جَابِرٍ قَالَ خَرَجْنَا فِى سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلاً مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِى رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ هَلْ تَجِدُونَ لِى رُخْصَةً فِى التَّيَمُّمِ فَقَالُوا مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ « قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللَّهُ أَلاَّ سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِىِّ السُّؤَالُ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِرَ ». أَوْ « يَعْصِبَ ». شَكَّ مُوسَى « عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ ».( سنن أبى داود – م (1/ 132)
Artinya,
“Dari Jabir dia berkata; Kami pernah keluar dalam sebuah perjalanan, lalu salah seorang di antara kami terkena batu pada kepalanya yang membuatnya terluka serius. Kemudian dia bermimpi basah, maka dia bertanya kepada para sahabatnya; Apakah ada keringanan untukku agar saya bertayammum saja? Mereka menjawab; Kami tidak mendapatkan keringanan untukmu sementara kamu mampu untuk menggunakan air, maka orang tersebut mandi dan langsung meninggal. Ketika kami sampai kepada Nabi ﷺ , beliau diberitahu tentang kejadian tersebut, maka beliau bersabda: “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka! Tidakkah mereka bertanya apabila mereka tidak mengetahui, karena obat dari kebodohan adalah bertanya! Sesungguhnya cukuplah baginya untuk bertayamum dan mengikatkan kain pada lukanya -atau- membalutkan kain pada lukanya- Musa ragu- kemudian mengusapnya saja dan membasuh seluruh tubuhnya yang lain.” (H.R. Abu Dawud)

Dalam hadis di atas, diceritakan seorang lelaki yang mengalami luka pada kepalanya karena terhantam sebuah batu. Kemudian lelaki ini mimpi basah. Lalu dia mandi besar dengan air seperti biasa karena tidak mendapatkan fatwa yang meringankannya. Ternyata dia wafat karena mandi tersebut. Begitu kisah ini dilaporkan kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau marah besar dan mencela orang yang memberi fatwa tanpa ilmu. Setelah itu beliau mengajari, bahwa semestinya dia cukup bertayamum, lalu membalut lukanya untuk diusap dengan air, dan membasuh anggota tubuhnya yang lain.

Jadi lafaz yang berbunyi,
وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ
Artinya,
“…dan membasuh seluruh tubuhnya yang lain…”

Adalah dalil instruksi pertama yang berbunyi, “Basuhlah area yang sehat (yang tidak terluka atau tidak mengalami patah tulang)”

Lafaz yang berbunyi,

وَيَعْصِرَ ». أَوْ « يَعْصِبَ ». شَكَّ مُوسَى « عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا

Artinya,
”…dan mengikatkan kain pada lukanya -atau- membalutkan kain pada lukanya- Musa ragu- kemudian mengusapnya saja…”

Adalah dalil instruksi kedua yang berbunyi, “Usaplah perban/plester/gips itu dengan air”

lafaz yang berbunyi,

إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ
Artinya,
“…Sesungguhnya cukuplah baginya untuk bertayamum…”

Adalah dalil instruksi ketiga yang berbunyi, “Bertayamumlah sebagai pengganti area yang tidak bisa dibasuh/diusap air itu”

Riwayat ini dikuatkan atsar dari Ibnu Umar yang pernah berwudhu dengan cara mengusap perban luka pada tangannya dan membasuh anggota tubuh yang tidak diperban. Al-Baihaqi meriwayatkan,

عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّهُ تَوَضَّأَ وَكَفُّهُ مَعْصُوبَةٌ فَمَسَحَ عَلَيْهَا وَعَلَى الْعِصَابِ ، وَغَسَلَ سِوَى ذَلِكَ. هُوَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ صَحِيحٌ. (السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي (1/ 228))

Artinya,

“Dari Ibnu Umar bahwasanya beliau berwudhu sementara tangannya dibalut perban. Maka beliau mengusapnya dengan air dan mengusap perbannya dan membasuh selain itu” (Al-Baihaqi berkata) “riwayat dari Ibnu Umar ini adalah Shahih”

Terkait cara membasuh area yang tidak terluka/mengalami patah tulang, jika bisa dilakukan dengan cara normal maka silakan dilakukan dengan cara normal. Jika hal tersebut sulit dilakukan, maka boleh membasuh dengan memakai kain. Caranya, ambil kain, celupkan pada air yang digunakan untuk bersuci, letakkan pada area yang hendak dibasuh, lalu peraslah sampai air tersebut berjatuhan. Jika sudah melakukan demikian, maka terealisasilah sifat “ghoslun” (membasuh). Tidak cukup hanya menyeka saja, karena menyeka dengan kain basah dalam bahasa Arab disebut “mashun” (mengusap) bukan “ghoslun”( membasuh). Bedanya, untuk membasuh harus terealisasi sifat “jaroyanul ma’” (mengalirnya air).

Terkait mengusap area yang telah diperban/diplester/digips dengan air, maka waktu pelaksanaannya adalah mengikuti waktu pembasuhan anggota tubuh yang diperban/diplester/digips. Jika perban/plester/gips itu berada di lengan umpamanya, berarti mengusap perban/plester/gips tersebut adalah setelah membasuh area tangan yang tidak diperban/diplester/digips. Jika perban/plester/gips itu berada di punggung kaki umpamanya, berarti mengusap perban/plester/gips tersebut adalah setelah membasuh area kaki yang tidak diperban/diplester/digips. Disyaratkan saat mengusap itu terealisasi sifat “isti’ab” (full covering). Jadi, seluruh perban/plester/gips harus terkena usapan, tidak seperti mengusap kepala yang sudah sah seandainya hanya sebagian saja. Kebolehan mengusap ini berlaku sampai luka menjadi sembuh, selama apapun. Tidak dibedakan apakah dalam kondisi safar ataukah mukim. Jadi tidak ada batasan waktu maksimal misalnya sehari semalam atau tiga hari tiga malam sebagaimana syariat dalam mengusap dua sepatu.

Terkait instruksi ketiga, yakni bertayamum maka yang harus difahami, posisi tayamum adalah pengganti bagian tubuh yang tidak dibasuh. Oleh karena itu, waktu pelaksanaan tayamum harus mengikuti waktu pembasuhan anggota tubuh saat berwudhu. Contoh: gips/perban/plesternya di wajah. Berarti silakan membasuh wajah yang tidak ditutup gips/perban/plester dulu, lalu usaplah gips/perban/plester itu dengan air, lalu bertayamumlah (untuk mengganti pembasuhan kulit yang ditutup gips/perban/plester). Setelah itu baru membasuh tangan, mengusap kepala dan seterusnya. Jika gips/perban/plesternya di tangan, berarti harus membasuh muka dulu, lalu membasuh tangan yang tidak ditutup gips/perban/plester, lalu usaplah gips/perban/plester itu dengan air, baru kemudian bertayamum, setelah itu mengusap kepala dan seterusnya. Intinya tetap harus sesuai urutan wudhu (tartib) dan tayamum dijadikan pelengkap saat membasuh anggota tubuh yang wajib dibasuh. Terkait urutan antara tayamum dengan membasuh pada saat membasuh satu anggota tubuh (misalnya perban ada di tangan) maka bebas, bisa tayamum dulu baru membasuh tangan yang tidak diperban atau dibalik, membasuh tangan yang tidak diperban dulu baru tayamum. Jika gips/perban/plester lebih dari satu maka tayamumnya juga harus berkali-kali sesuai jumlah area luka/sakit. Hanya saja, jika lokasi gips/perban/plester itu pada kedua anggota tubuh yang berpasangan (yakni tangan dan kaki), maka boleh hanya satu kali tayamum, tetapi afdolnya tetap bertayamum dengan menghitung satu tangan/ kaki seperti satu anggota tubuh.

Inilah ringkasan tatacara berwudhu bagi orang yang terluka atau patah tulang sehingga terpaksa anggota wudhunya sebagian harus diperban/diplester/digips.

Hanya saja patut diperhatikan, tiga instruksi di atas baru sah jika memenuhi dua syarat,

Pertama; Gips/perban/plester hanya menutupi bagian yang cedera saja. Tidak boleh menutupi bagian yang sehat/tidak cedera. Boleh menutupi bagian yang sehat asalkan hanya sekedar untuk tempat “cantolan” gips/ perban/plester supaya tidak lepas.

Kedua; Gips/perban/plester dipasang dalam keadaan suci. Maksudnya, sebelum gips dipasang maka orang harus dalam kondisi bersuci dulu. Jika dia berhadas kecil maka harus berwudhu dulu, jika dia berhadas besar maka harus mandi besar dulu. Jika dipasang dalam keadaan tidak suci, padahal mampu melakukannya maka ia berdosa dan saat sudah sehat wajib mengulangi salatnya. Ikhtiyar An-Nawawi, Al-Muzani dan sejumlah ulama lainnya berpendapat tidak perlu mengulang salat meskipun Gips/perban/plester dipasang dalam keadaan tidak suci.

Jika luka/patah tulangnya tidak membutuhkan perban/plester/gips tetapi tetap kuatir akan memperburuk kesehatan jika terkena air, maka cukup dilakukan dua hal saat berwudhu, yakni membasuh area yang tidak luka/sakit dan bertayamum sebagai pengganti pembasuhan luka/area yang sakit itu. Dalam kondisi ini tidak wajib luka itu ditutup agar bisa diusap dengan air.

Jika luka/patah tulangnya tidak membutuhkan perban/plester/gips dan tidak kuatir kesehatan bertambah buruk jika terkena air, maka silakan berwudhu seperti wudhu orang yang sehat walafiat.

Wallahua’lam

Versi Situs: http://irtaqi.net/2019/07/15/cara-berwudhu-bagi-orang-yang-terlukacedera/

***
12 Dzul Qo’dah 1440 H

Wednesday, July 10, 2019

Gus Baha' Ditegur Abdullah bin Mas'ud

Gus Baha' Ditegur Abdullah bin Mas'ud

Suatu ketika saat penyusunan Mushaf Universitas Islam Indonesia, saat itu KH. Ahmad Baha'uddin Nur Salim atau yang masyhur dikenal sebagai Gus Baha' ini masuk dalam tim penyusun sebagai Anggota Tim Lajnah Mushaf UII. Tim tersebut terdiri dari pakar tafsir dari Profesor, Doktor, dan ahli-ahli Al-Qur'an dari penjuru tanah air seperti Prof. Quraish Shihab, Prof. Zaini Dahlan, Prof Shohib, dan lain-lain.

Mungkin hanya Gus Baha' lah pakar tafsir yang tak menyandang titel akademik karena beliau tercatat hanya menyantri di Pesantren Al-Anwar, Karangmangu, Sarang, Rembang asuhan KH. Maimun Zubair, selain kepada mengaji kepada ayahandanya KH. Nur Salim al-Hafidz, murid KH. Arwani Amin Kudus dan KH. Abdullah Salam, Kajen, Pati.

Namun entah mengapa saat penyusunan Mushaf tersebut Gus Baha' lupa mencantumkan nama sahabat Abdullah bin Mas'ud dalam daftar nama sahabat yang meriwayatkan qiro'at. Dalam mushaf tersebut memang dijelaskan secara ringkas tentang sejarah penurunan, periwayatan, pembukuan dan Ulumul Qur'an lainnya.

Dalam Buku Guru Orang-Orang Pesantren Terbitan Pondok Pesantren Sidogiri disebutkan, bahwa Sahabat Ibnu Mas'ud ini tergolong salah satu sahabat yang pertama kali masuk islam (as-Sabiqunal Awwalun) bersama Abu Bakar bin Abi Quhafah, Khodijah binti Khuwailid, Ali bin Abi Thalib dan lain-lain. Beliau dikenal dengan julukan Sahibu Sawadi Rasulillah (yang mengetahui rahasia Rasulullah) karena kedekatannya dengan Rasulullah SAW.

Rasululah SAW sendiri juga pernah bersabda tentang sahabat yang berpostur tubuhnya pendek dan kurus dengan warna kulit sawo matang ini "Barangsiapa ingin membaca Al-Qur'an seperti ketika diturunkan, maka bacalah.sebagaimana bacaan Ibnu Ummi 'Abd (Ibnu Mas'ud). Rasulullah SAW kembali bersabda"Belajarlah baca Al-Qur'an dari empat orang: Ibnu Mas'ud, Muaz bin Jabal, Ubay bin Ka'ab dan Salim Maula Abi Huzaifah".

Sampai pada malam harinya, Gus Baha' pun bermimpi bertemu dengan Abdullah bin Mas'ud. Dalam mimpi tersebut Ibnu Mas'ud menegur Gus Baha' yang tak menuliskan namanya dalam daftar sahabat yang meriwayatkan Al-Qur'an.

Maka saat bangun, Gus Baha' pun segera menuliskan sahabat yang masyhur sebagai ahli qur'an ini dalam Mushaf kampus islam legendaris yang pertama diterbitkan pada tahun 1997 ini.

Begitulah sosok Gus Baha', pria kelahiran Narukan, Kragan, Rembang, Jawa Tengah yang selalu berpenampilan sederhana, namun memiliki keilmuan yang amat mendalam. Ulama yang nasabnya bersambung sampai Mbah Abdurrahman Basyaiban atau Mbah Sambu yang dimakamkan di area Masjid Lasem, Rembang ini juga telah mengkhatamkan hafalan Shohih Muslim lengkap dengan matan, rawi, dan sanadnya saat masih menyantri di Sarang.

Kitab Fikih seperti Fathul Mu'in, Nahwu seperti Imrithi, Alfiyah bin Malik pun juga telah dihafal luar kepala. Sampai-sampai Mbah Moen pun berkata "Santri tenan iku yo koyo baha' iku" (Santri yang sebenarnya itu ya seperti Baha').

Pengakuan kealimannya dalam bidang tafsir dan fiqh pun juga keluar dari pakar tafsir ternama penulis Tafsir Al-Misbah. Prof. Dr. Habib Quraish Shihab. Dimana pendiri Pusat Studi Al-Qur'an dan Mantan Menteri Agama ini mengatakan demikan "Sulit ditemukan orang yang sangat memahami dan hafal detail-detail Al-Qur'an hinga detail-detail fiqh yang tersirat dalam ayat-ayat Al-Qur'an seperti Pak Baha'"

Sungguh betapa luas samudera keilmuan ulama' nusantara. Meskipun banyak diantara mereka yang tak sempat mengeyam pendidikan di Arab  seperti KH. Ihsan Jampes (Penulis Sirojut Tholib syarh Minhajul Abidin karya Imam Ghozali), KH. Arwani Amin (Penulis Faidhul Barakat fi Qira'at Sab'ah) atau Gus Baha' di era milenial ini, namun keilmuannya diakui oleh dunia. Semoga kedepan akan muncul generasi ulama-ulama berkaliber Internasional yang lahir dari bumi Nusantara.

Sleman, 10 Juli 2019

Copas fb kang
Muhammad Abid Muaffan
Santri Backpacker Nusantara

Disarikan dari Gus Qowim, Dosen Institut Ilmu Al-Qur'an An-Nur, Jogjakarta saat silaturrahmi ke kediaman Gus Baha'.

Tuesday, July 9, 2019

WIRID KH. ARWANI AMIN KUDUS AGAR PUNYA ANAK-ANAK SHALIH-SHOLIHAH

WIRID KH. ARWANI AMIN KUDUS AGAR PUNYA ANAK-ANAK SHALIH-SHOLIHAH

Kiai Arwani merupakan ulama masyhur di Indonesia, terlebih di Pulau Jawa. Murid dari Kiai Muhammad Munawir, Krapyak, Yogyakarta ini juga dikenal sebagai kiai ngabéhi yang berasal dari bahasa Jawa kabeh. Kabeh artinya semua. Jadi ngabéhi mempunyai arti menyeluruh/menguasai. Maksudnya keilmuan Kiai Arwani adalah menyeluruh, menguasai berbagai macam bidang keilmuan.

Tidak hanya alim di bidang qira'ah sab'ah, yang terkenal atas terbitan karyanya kitab Faidlul Barakât fî Sab'il Qirâ'at yang aplikatif dan mudah dicerna untuk orang yang belajar mendalami Al-Qur'an melalui tujuh imam qira'at, Kiai Arwani juga cakap di bidang keilmuan-keilmuan lain seperti nahwu, sharaf, balaghah, fiqih, ilmu falak, dan lain sebagainya.

Selain berbalut kepribadian akhlak luhur serta keluasan ilmu yang dia miliki, pendiri Pesantren Yanbu'ul Qur'an ini juga diberi anugrah oleh Allah subhanahu wa ta'ala berupa keluarga bahagia, semuanya ahli Qur'an.

Tercatat, Kiai Arwani bésanan kepada dua ulama alim, ahli Qur'an, KH. Abdullah Salam, Kajen, Pati dan KH Sya'roni Ahmadi, Kudus yang masing-masing putri yang dipersunting hafal Al-Qur'an serta berkepribadian baik.

Kedua putra Kiai Arwani sendiri, yakni KH Ulin Nuha dan KH Ulil Albab selain alim juga ahli Qur'an. Mereka hafal Al-Qur'an hingga masing-masing tuntas mengaji secara tatap muka (musyafahah) dengan tujuh macam bacaan imam (Qira'at Sab'ah) kepada ayahandanya sendiri.

Merasa penasaran atas apa amalan yang dilakukan oleh Kiai Arwani Amin sehingga mempunyai putra-putra yang taat sejak kecil, tidak bertindak macam-macam, dan alim di bidang agama tersebut, suatu ketika KH Ma'ruf Irsyad asal Kudus mencoba bertanya kepada Kiai Arwani.

"Mohon maaf, Mbah. Ada amalan apa yang panjengan lakukan sehingga anda diberikan Allah putra-putra yang nurut, ahli Qur'an, baik akhlaknya," begitu kira-kira kata Kiai Ma'ruf saat bertanya.

Kemudian Kiai Arwani menjawab bahwa membaca:

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Rabbanâ hab lanâ min azwâjinâ wa dzurriyâtinâ qurrata a'yunin waj'alnâ lilmuttaqîna imâmâ.

Artinya: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami, istri-istri kami, dan keturunan-keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS  al-Furqan: 74)

Kata Kiai Arwani Amin, ayat tersebut dibaca tiga kali setiap usai shalat.

Catatan:
(Kisah di atas disarikan dari keterangan KH M. Shofi Al Mubarok Baedlowie, Pengasuh Pesantren Sirojuth Tholibin, Brabo, Grobogan, Jawa Tengah)