Saturday, March 21, 2020

Sampaikanlah Kebenaran Meskipun Lucu: Humor Kiai Mahrus Aly hingga Gus Dur

SEPERTI Pandir yang kebangetan dungu, atau Bolot yang kelewatan tuli, dan Abu Nawas yang suka ceplas-ceplos, figur Gus Dur juga berpeluang hidup dalam imajinasi masyarakat Indonesia sebagai pengejawantahan hidup beragama secara santuy.

Sebagai seorang kiai kelas wahid–sesuai nama yang ia sandang, Gus Dur sungguh benar mempraktikkan beberapa ayat Alquran yang senada. Salah satu redaksinya berpesan demikian:

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۖ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini kecuali main-main dan senda gurau belaka. Sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahami? QS Binatang Ternak [6]: 32.

Mudah sekali menemukan kelucuan yang terkadang paradoks dalam laku lampah kehidupan Gus Dur. Kalangan Nahdliyin bisa urunan cerita terkait itu, bila sedang berkumpul dalam suasana apa saja. Kendati cerita yang sama berulang kali dituturkan, tetap saja mengundang gelak tawa para pendengarnya.

Sebagai itikad sederhana, saya juga hendak ikut menabung cerita humor yang bersinggungan dengan cucu Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari ini. 

Usai dilengserkan dari jabatan Presiden RI dalam sidang MPR RI pada Juli 2001, Gus Dur sama sekali tak bersedih, apalagi meratapi hilangnya jabatan itu. Ia masih tetap apa adanya, tetap sabar dan tidak kehilangan selera humornya dengan melempar ragam cerita lucu. 

Sehari setelah Gus Dur lengser, para kiai khos NU dari pelbagai daerah dan pengurus DPP PKB menemuinya di Istana Negara. Ada Rais Syuriah PBNU KH Muchit Muzadi, Mustasyar PBNU KH Ahmad Idris Marzuki, KH Cholil Bisri, dan ketua FKB MPR KH Yusuf Muhammad. Dalam pertemuan itu para kiai maupun Gus Dur sama menghindari percakapan beraroma politik. Gus Dur malah lebih banyak bercerita lucu sehingga membuat semua hadirin tertawa lepas. Begini kisahnya.

“Dulu ada seorang kiai di Denanyar, Jombang, yang pandai mengobati orang sakit. Namun cara dan doa yang digunakan cukup unik. Suatu kali, kiai itu mengobati orang sakit gigi. Ia mengambil paku, lantas dimasukkan ke dalam mulut pasien, persis di tempat gigi yang sakit. Sang kiiai lantas membaca surat an-Nas. Ketika sampai pada ayat terakhir, bunyinya bukan minal jinnati wan naas, namun minal jinnati waras (sehat) “

Demi mendengar kisah itu, jangankan para kiai khos yang terpingkal-pingkal, pasien yang sedang sakit gigi itu pun seketika sembuh. Mulutnya tak sempat terkatup karena keburu tertawa terbahak-bahak. Ia mendadak lupa kalau sedang berhadapan dengan seorang kiai.

Ada lagi riwayat lain yang akan saya nukil. Kali ini berhubungan dengan Kiai Mahrus Aly, yang pernah tenggelam di Bengawan Solo, Tuban, bersama mobil yang ia tumpangi. Peristiwa fatal ini karuan bikin geger para penderek, termasuk bupati Gresik–dan tentu tim SAR yang sedang bertugas.

Singkat cerita, mobil nahas itu pun berhasil ditemukan. Lantas ditarik ke permukaan bengawan. Namun yang bikin gemas adalah, seluruh penumpang dalam mobil tersebut ternyata selamat. Sedikit pun tak ada air yang masuk ke dalam mobil Mbah Mahrus. Semua segar bugar. 

Kiai Mahrus lalu membuka kaca mobil. Menghembuskan asap kretek yang dihisapnya. “Ternyata merokok menghidupkanmu, tidak membunuhmu,” canda KH Chalwani Berjan, shohibul hikayat.

Peristiwa tersebut kemudian dimuat Jawa Pos dan Surabaya Pos dengan judul: “Ada Kyai Anti Air.”

Dua kisah yang menabrak logika umum itu, bisa kita jadikan bahan perenungan. Hidup itu, jangan terlampau tegang. Santuy aja. Apa pun soal yang dihadapi dengan tenang, niscaya menimbulkan keajaiban. Entah itu dalam pikiran, perasaan, atau tindak-tanduk kita di kehidupan. Semua kan indah pada waktunya. 

Seribu empat ratus tahun silam, Rasulullah Muhammad saw pernah mengisengi istrinya. Sepekan sebelum beliau wafat. Saat itu Rasulullah saw baru saja kembali dari sowan maqam para sahabat di Baqi.’ Lalu Jibril as menemui Beliau dan mengajukan dua pilihan: apakah Rasulullah saw menginginkan dunia dan segala isi kandungannya, atau bertemu Allah? Rasulullah saw pun memilih yang kedua.

Setiba di rumah, Aisyah ra menyambut Rasulullah saw seraya berkata: “Wahai Rasul, kepalaku pusing.” Rasulullah pun tersenyum sambil menjawab, “Demi Allah, wahai istriku, kepalaku juga pusing sekali.” Lalu Rasulullah bertanya kepada Aisyah sembari bersenda gurau, “Apa yang menjadi beban pikiranmu, bila engkau meninggal duluan sebelum daku?”

Aisyah pun menjawab dengan senda mesra, “Demi Allah, jika demikian wahai Rasulullah, engkau tinggal kembali ke para istrimu yang lain.” Rasulullah tersenyum mendengar jawaban Aisyah, dan pada malam itu beliau tidur dalam keadaan sakit. Inilah permulaan segala duka lara umat yang akan ditinggalkannya.

Kita kembali ke pokok bahasan. Siapa pun manusia yang berhasil menertawakan kesedihannya, niscaya ia telah berhasil menemukan kelucuan hidupnya sendiri. Rasulullah saw saja, masih bercanda ria bahkan jelang wafatnya. Tak cukupkah itu sebagai teladan? 

Nah, sebelum kita berpisah. Saya kira Anda harus tahu sepenggal kisah tentang kiai dari wilayah Gondrong, Tangerang, berikut ini. Suatu kali, ia ingin membebastugaskan para pendereknya, dan berjalan sendirian mengunjungi teman sepondokan dulu, yang mukim di daerah Pakuhaji. 

Usai temu kangen beranjangsana, ia pun bergegas kembali ke pondokan. Manakala melihat seorang pengojek motor berkepala plontos, kiai kita ini pun langsung duduk di jok belakang. Motor pun sontak bergerak. Tak lama, si pengojek bertanya sopan pada kiai.

“Oh iya. Bapak kiai mau ke mana dah?”

Pertanyaan itu malah dibalas tanya oleh sang kiai.

“Kalau sampai Gondrong berapa, Bang?”

Demi mendengar itu, laju sepeda motor pun berhenti. Abang ojek langsung membanting helm. Lalu menyilakan penumpangnya yang lugu, mencari angkutan lain. 

Monday, March 9, 2020

Kisah KH. Abdul Karim Ditempatkan Di Desa Lirboyo

Cerita ini dituturkan oleh KH. M. Abd. Aziz Manshur dalam peringatan satu abad Ponpes Lirboyo.

Satu abad yang lalu, tanah Lirboyo masih merupakan tanah rimbun, bersemak dan belum berpenghuni. Disitulah hadhratal mukarrom KH. Abdul karim ditempatkan oleh mertuanya, KH. Sholeh Banjarmelati sebagai orang yang kelak akan mendidik dan mengajar sebuah pesantren besar dengan nama Pondok Pesantren Lirboyo.

Berawal dari Tebuireng, ketika itu Kyai Manab (Nama KH. Abdul Karim sebelum beliau berangkat haji) masih berada di pondoknya Hadratussyaikh KH. Hasyim As’yari. Beliau ditawari oleh KH. Hasyim As’yari ketika KH. Sholeh Banjarmelati datang berkunjung ke Tebuireng untuk mencarikan jodoh putrinya, Kyai Manab dipanggil oleh Kyai Hasyim, “Celukno kyai Manab” (Panggilkan Kyai Manab). Beliau ditawari oleh Kyai Hasyim, “Kyai Manab niki onten tiang golek mantu. Sampeyan ajenge kulo jodoake,” (Kyai Manab, ini ada orang cari menantu. Anda akan saya jodohkan) “Nggih”. Beliau hanya menjawab dengan sepatah kata saja yang membuktikan amat patuhnya beliau.

Singkat cerita, setelah beliau Kyai Manab diambil menantu oleh KH. Sholeh selama satu tahun dan telah memiliki seorang putri, Nyai Hannah (Ibunda dari KH. Ibrahim A. Hafidz), Ketika itu pula, beliau sudah memiliki dua orang santri yang ikut mengaji di Banjarmelati, KH. Sholeh berencana menempatkan Kyai Manab di tempat lain. Persisnya di Lirboyo.

Pada mulanya, KH. Abdul Karim hanya dibuatkan sebuah “gubuk” di Lirboyo. Empat pilarnya hanya diambilkan dari batang pohon lamtoro. Dinding dan atapnyapun amat sederhana, hanya terbuat dari daun kelapa. Itupun hanya sampai setengah badan. Kemudian setelah “gubuk” tersebut berdiri sekitar satu minggu, tiba-tiba pada suatu pagi KH. Sholeh dawuh kepada Kyai Manab, “Kyai Manab, monggo nderek kulo” (Kyai Manab, ayo ikut saya.)

Kyai Manab hanya menjawab dengan sepatah kata, “Nggeh” (Ya)

KH. Sholeh mengajak serta dua santri Kyai Manab untuk turut serta menemani Kyai Manab untuk bermukim di Lirboyo. Kedua santri tersebut disuruh membawakan perbekalan Kyai Manab yang hanya berupa seekor ayam jago, tikar, dan beras satu ceting. Hanya itu kira-kira yang turut dibawa.

Menaiki sebuah dokar, perjalanan dari Banjarmelati menuju Lirboyo ditempuh. Sesampainya di Lirboyo, rombongan diajak masuk ke sebuah kebun. Kira-kira sekarang tempat itu adalah ndalem Ibu Nyai Hj. Qomariyyah.

Kyai Manab kemudian diajak masuk “gubuk” tadi oleh KH. Sholeh. KH. Sholeh menyuruh santri yang ikut untuk menata perbekalan Kyai Manab yang dibawakan.

Kene santri, klosone beberen. Pitike cencangen neng cagak kono. Berase dekek kene.” (Sini! Gelar tikarnya, ikat ayamnya di pilar sebelah sana, berasnya diletakkan disebelah sini.)

Setelah beberapa saat berbincang-bincang, KH. Sholeh dawuh  “Kyai Manab, ting mriki panggenan sampeyan.” (Kyai Manab, disinilah tempatmu.) Kyai Manab lagi-lagi hanya menjawab, “Nggeh

KH. Sholehpun kemudian pergi. Sebelum pergi, beliau berpesan kepada kedua santri Kyai Manab, “Wes ngko kyaimu nek butuh dhahar, iki berase masakne. Dene nek butuh bumbu-bumbu kono nggoleko ning kebon. Ngko nek kapan butuh, yo tukuo ‘nyo’ tak tak tinggali duit.” (Sudah. Nanti kalau kyaimu butuh makan, beras ini masaklah. Kalau memang membutuhkan, belilah. Ini saya tinggali uang.)

Kira-kira satu minggu kemudian, KH. Sholeh datang menengok dan mengunjungi Kyai Manab. Beliau amat terkejut, ternyata setelah satu minggu beras satu ceting yang beliau tinggalkan untuk Kyai Manab masih utuh tak berkurang sedikitpun. Santri yang menemani Kyai Manab tadipun dimarahi oleh KH. Sholeh,

Lho, pie to gak mbok liwetno, gak mbok masakno!” (Lho! Bagaimana ini? Kok tidak kamu nanakkan nasi? Tidak kamu masakkan?)

Santri tersebutpun tidak dapat menjawab apapun. “Kyai mboten ngantos dawuh kapurih masak aken.” (Kyai Manab tidak pernah memrintahkan kami untuk memasakkan beliau.) katanya.

Lha opo sing mbok pangan?” (Lantas apa yang dimakan Kyai Manab?) Tanya KH. Sholeh kemudian.

Namung dhahar godhong-godhongan meniko.” (Hanya makan dedaunan yang tumbuh) jawab santri tersebut.

 

Dari situlah awal mula Pondok Pesantren Lirboyo berdiri. Dengan muassisnya yang benar-benar tawakkal kepada Allah SWT.

KH. M. Abdul Aziz Manshur pernah menuturkan, “Jadi, berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo bukan didukung dengan harta yang banyak. Bukan! Bukan didukung dengan tahta yang tinggi. Bukan! Tapi hanya didukung dengan tawakkal ‘alallâh. Yakin. Mbah Kyai Abdul Karim ditempatkan digubuk yang hanya begitu saja, beliau selalu sumendhe. Pasrah kepada Allah SWT.” []