Wednesday, December 23, 2020

MENGGAULI ISTRI DAN TIDUR SEBELUM SUBUH

MENGGAULI ISTRI DAN TIDUR SEBELUM SUBUH

Oleh : Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
***

Kebiasaan Rasulullah ﷺ menggauli istrinya (dalam konteks ini adalah Aisyah) adalah setelah salat malam menjelang subuh. Setelah itu beliau tidur di 1/6 malam terakhir alias di waktu saḥar, kemudian saat azan Subuh bangun, lalu berwudu lalu mandi, kemudian baru pergi ke masjid.

عَنِ الأَسْوَدِ، قَالَ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّيْلِ؟ قَالَتْ: «كَانَ يَنَامُ أَوَّلَهُ وَيَقُومُ آخِرَهُ، فَيُصَلِّي، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى فِرَاشِهِ، فَإِذَا أَذَّنَ المُؤَذِّنُ وَثَبَ، فَإِنْ كَانَ بِهِ حَاجَةٌ، اغْتَسَلَ وَإِلَّا تَوَضَّأَ وَخَرَجَ» صحيح البخاري (2/ 53)
Artinya,
“Dari Al Aswad berkata Aku bertanya kepada 'Aisyah radliyallahu 'anha tentang cara Nabi ﷺ   melaksanakan salat malam. Ia menjawab: "Beliau tidur di awal malam dan bangun untuk salat di akhir malam dan salat, lalu beliau kembali ke tempat tidurnya. Bila mu'adzin sudah mengumandangkan adzan, maka beliau bangun. Bila saat itu beliau punya hajat (menggauli istrinya, maka beliau akan menggauli dan), beliau mandi. Bila tidak, maka beliau hanya berwudu' lalu keluar untuk salat."

Kata Al-Gazzāli, dengan mengutip ucapan sebagian salaf, “Tidur setelah salat malam sebelum subuh ini adalah sebab memperoleh kasyaf dan terbukanya hijab alam gaib.” Al-Gazzāli menulis,

هذه الضجعة قبل الصبح سنة منهم أبو هريرة رضي الله عنه وكان نوم هذا الوقت سبباً للمكاشفة والمشاهدة من وراء حجب الغيب وذلك لأرباب القلوب (إحياء علوم الدين (1/ 359)
Artinya,
“Tidur sebelum subuh adalah sunnah. Di antara yang melakukannya adalah Abu Hurairah. Tidur di waktu ini adalah sebab mukāsyafah dan musyāhadah dari balik hijab gaib.Yang demikian berlaku bagi orang-orang yang memiliki hati (berkualitas)”

Minimal ada tiga hak yang ditunaikan hamba saleh dengan kebiasaan ini,
Pertama, hak Allah
Kedua, hak istri
Ketiga, hak mata dan tubuh untuk beristirahat

Bagi saya, ilmu ini sungguh penting dalam hal manajemen waktu seorang hamba yang sungguh-sungguh ingin menyembah Rabbnya dengan baik.

***
8 Jumādā Al-Ūlā 1442 H

اللهم يسر لنا في التأسي بنبيك محمد ﷺ

Friday, December 18, 2020

Nabi, orang muslim, orang kafir, perang

Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah:

اقرأ بسم ربك الذي خلق

Ini adalah permulaan kenabian. Ayat itu menunjukkan adanya perintah untuk memperhatikan pribadi terlebih dahulu. Saat itu belum ada perintah untuk menyampaikan (Tabligh).

Ini disebut dengan nubuwwah.

Kemudian turun ayat:

يا أيها المدثر قم فأنذر

Ayat ini mengandung arti risalah, yang didahului dengan adanya perintah untuk memperingatkan. Dimulai untuk pribadi Rosululloh.

Ini disebut dengan risalah.

Kemudian disusul dengan perintah untuk memperingatkan (Indzar) kepada keluarga dan kerabat terdekat.

وأنذر عشيرتك الأقربين

Kemudian kepada Bani Hasyim dan Bani Muttalib. Kepada kaumnya. Kepada orang Arab sekitar Rosululloh. Kepada semua orang bangsa Arab. Kemudian memberikan peringatan kepada semua alam.

Dakwah dengan cara sembunyi-sembunyi dilakukan selama tiga tahun. Setelah turun ayat  94 surat Al-Hijr, Rosululloh berdakwah dengan terang-terangan.

فاصدع بما تؤمر وأعرض عن الجاهلين

Setelah berdakwah secara terang-terangan, maka terjadi adanya penolakan dari kaumnya.

Kemudian beliau diizinkan untuk berhijrah dan diizinkan pula untuk berperang.

Metode dakwah yang dilakukan selama sekitar tiga belas tahun di Makkah, yaitu mengajak tanpa adanya peperangan maupun jizyah (pajak atau upeti). Rosululloh diperintahkan untuk bersabar, memaafkan dan menahan diri.

Beliau diperintahkan untuk memerangi bila diperangi. Memerangi kaum yang memulai memerangi. Dan membiarkan dan meninggalkan kaum yang tidak memerangi.

أذن للذين يقاتلون بأنهم ظلموا

Kemudian beliau diperintahkan untuk memerangi semua orang musyrik sehingga tegak agama ini di bumi, seperti kejadian fathu Makkah, perang Hunain dan perang Tabuk.

Setelah adanya perintah jihad, orang-orang kafir terbagi menjadi tiga:

1. Orang-orang yang menginginkan perjanjian untuk damai dan gencatan senjata.
2. Orang-orang yang menginginkan untuk berperang.
3. Orang-orang yang berada di bawah perlindungan Islam.

Nabi Muhammad diperintahkan untuk melaksanakan janji damai dan gencatan senjata selama mereka masih memegang perjanjian.

Bila khawatir terjadinya pengkhianatan sepihak dari mereka, maka perjanjian itu pun dikembalikan kepada mereka. Akan tetapi Nabi tidak akan memerangi mereka yang merusak perjanjian gencatan senjata sebelum memberitahukan batalnya perjanjian kepada mereka.

Nabi Muhammad juga diperintahkan untuk memerangi orang-orang yang melanggar perjanjian gencatan senjata.

Setelah turunnya surat At-taubah atau Baro'ah, Nabi diperintahkan untuk:

1. Memerangi ahli kitab dengan dua pilihan, sampai mereka masuk Islam atau membayar jizyah.
2. Berjihad dan keras terhadap orang-orang kafir dan munafik. Berjihad terhadap orang-orang kafir dengan pedang dan anak panah. Berjihad terhadap orang-orang munafik dengan argumentasi yang kuat.
3. Berlepas diri dari perjanjian gencatan senjata dengan orang-orang kafir.

Dalam perjanjian gencatan itu orang-orang terbagi menjadi 3:

1. Mereka yang merusak perjanjian, maka Nabi diperintahkan untuk memerangi mereka.
2. Mereka yang mempunyai perjanjian jangka waktu tertentu, mereka tidak merusak perjanjian itu dan tidak berusaha merusak. Nabi diperintahkan untuk menunaikan perjanjian sampai habisnya jangka waktu perjanjian.
3. Mereka yang tidak memiliki perjanjian gencatan senjata dengan Nabi, akan tetapi mereka tidak memerangi Nabi. Nabi diperintahkan untuk memberikan jangka waktu empat bulan, dimulai pada tanggal 10 Dzulhijjah sampai tanggal 10 Robi'ul Awwal.

فسيحوا في الأرض أربعة أشهر

Setelah lewat masa empat bulan, maka Rosululloh diperintahkan untuk memerangi mereka.

فإذا انسلخت الأشهر الحرم فاقتلوا المشركين

Beliau memerangi orang-orang yang melanggar perjanjian, memberikan jangka waktu empat bulan bagi orang-orang yang tidak terikat perjanjian atau mempunyai perjanjian tak terbatas, dan memenuhi perjanjian sampai habisnya batas waktu perjanjian.

Pada akhirnya, orang-orang itu masuk islam. Dan Rosululloh menetapkan jizyah untuk orang-orang kafir yang berada dalam perlindungan negara Islam.

Setelah turunnya surat At-taubah, orang-orang kafir terbagi menjadi tiga kelompok:

1. Kelompok yang memusuhi dan memerangi Nabi.
2. Kelompok yang mempunyai perjanjian gencatan senjata dan damai dengan Nabi.
3. Kelompok yang berada di bawah perlindungan Islam.

Pada akhirnya, kelompok yang mempunyai perjanjian damai masuk ke dalamnya Islam. Berarti hanya terdapat sisa dua kelompok. Kelompok yang memusuhi dan memerangi Nabi akhirnya takut kepada Nabi.

Penduduk bumi setelah itu terbagi menjadi tiga kelompok:

1. Muslim dan beriman.
2. Kelompok yang menyerah dan tunduk kepada Nabi. Mereka aman di bawah perlindungan Islam.
3. Kelompok yang memusuhi Nabi, yang diliputi rasa takut.

Sedangkan dengan orang-orang munafik, Nabi menerima mereka secara lahir saja. Karena mereka menampakkan keimanan. Sedangkan batin mereka diserahkan kepada ALLOH.

نحكم بالظواهر ونفوض إلى الله السرائر

Nabi juga diperintahkan untuk berdakwah kepada orang-orang munafik dengan argumentasi dan ilmu. Dan juga keras terhadap kelompok ini. Nabi juga dilarang untuk mensholati jenazah dan mengiringi penguburan jenazah orang munafik. Dan diberi tahu bahwa walaupun Rosululloh memintakan ampunan untuk orang munafik, maka mereka tetap tidak diampuni.

Beginilah muamalah Rosululloh kepada orang-orang munafik. Karena menjelang meninggal, orang-orang munafik kadangkala bertaubat dengan sepenuh hati, sehingga taubat mereka pun diterima.

***
Saya bukan Gus.... Cah cilik Iyo

Friday, December 11, 2020

PERBEDAAN ANTARA RĀSYID, MUHTADI, ḌĀLL DAN GĀWĪ

PERBEDAAN ANTARA RĀSYID, MUHTADI, ḌĀLL DAN GĀWĪ

Oleh : Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
***

Orang yang benar-benar buta petunjuk secara total, tidak tahu pedoman, tidak mengerti tuntunan dan tidak paham bimbingan, maka ia dinamakan ḍāll (الضَّالُّ). Bentuk jamaknya ḍāllūn (الضَّالُّوْنَ) atau ḍāllīn (الضَّالِّيْنَ). Lafal ini biasanya diterjemahkan “orang yang tersesat”. Jadi, jika dalam Al-Qur’an atau hadis digunakan lafal ini, maka itu memaksudkan kondisi orang yang buta pengetahuan sama sekali sehingga tidak mengerti arah dan berjalan ke arah yang salah. Orang-orang Arab jahiliyyah disebut ḍāllīn karena mereka tidak kenal Allah, tidak mengetahui jalan menyucikan diri dan tidak tahu bagaimana cara menuju Allah. Dalam Surah Al-Fātiḥah, ayat terakhir juga menyebut orang-orang yang memiliki sifat ḍāllīn. Para mufassir menjelaskan contoh utama kaum yang demikian adalah Nasrani, karena mereka ingin mencintai Allah, tapi salah jalan karena tidak mengikuti Nabi Muhammad.

Adapun jika orang tahu petunjuk, tetapi sengaja tidak mengikutinya, entah karena kesombongan, kedengkian, kegengsian, semangat asabiyah dan semua kecenderungan hawa nafsu lainnya, maka sebutan makhluk seperti ini bukan ḍāll, tetapi gāwī (الغاوي). Bentuk jamaknya gāwūn (الغاوون) atau gāwīn (الغاوين). Lafal ini biasanya juga diterjemahkan “orang yang tersesat”. Iblis disebut gāwī karena dia tahu kebenaran, tapi tidak mau mengikutinya. Dia tahu petunjuk tapi tidak melaksanakannya. Dia tahu perintah tapi sengaja melanggarnya. Fir’aun juga termasuk golongan ini, sebab hati Fir’aun sebenarnya meyakini kebenaran Nabi Musa, tapi hawa nafsunya yang tidak mau kehilangan kemegahan duniawi membuatnya menolak mengikuti nabi Musa. Orang Yahudi juga masuk dalam golongan ini. Mereka tahu kebenaran Nabi Muhammad, tapi enggan mengikutinya karena dengki. Mayoritas orientalis Barat yang mengkaji Islam juga banyak yang terkena sifat ini.

Jadi, bisa disimpulkan dāll adalah ciri orang yang tidak tahu kebenaran secara total, sementara gāwī adalah orang yang sebenarnya mengakui kebenran sesuatu tapi enggan mengikutinya.

Adapun muhtadī (المهتدي), maka pengertiannya adalah orang yang mendapatkan petunjuk. Bentuk jamaknya muhtadūn (المهتدون) atau muhtadīn (المهتدين). Penekanannya semata-mata dari aspek perolehan ilmu yang menjadi tuntunan, petunjuk dan pedoman untuk melangkah. Jadi, jika dalam Al-Qur’an disebut orang-orang yang mendapatkan petunjuk, kondisi-kondisi yang membuat Allah berkenan memberi petunjuk, dan hal-hal yang membuat Allah tidak berkenan memberi petunjuk, maka maksudnya adalah kondisi seseorang mendapatkan ilmu yang bisa mengarahkannya ke jalan yang benar.

Begitu petunjuk tersebut diikuti dan dilaksanakan, maka orang tersebut disebut dengan istilah rāsyid (الراشد). Bentuk jamaknya rāsyidūn (الراشدون) atau rāsyidīn (الراشدين) Dengan kata lain, rāsyid adalah muhtadī (orang yang mendapatkan petunjuk) yang mengamalkan petunjuk tersebut.

Oleh karena itu, sekarang kita bisa mamhami lebih baik mengapa para Sahabat disebut Allah sebagai kaum rāsyidun dalam ayat ini,

﴿ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ فِيْكُمْ رَسُوْلَ اللّٰهِ ۗ لَوْ يُطِيْعُكُمْ فِيْ كَثِيْرٍ مِّنَ الْاَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ حَبَّبَ اِلَيْكُمُ الْاِيْمَانَ وَزَيَّنَهٗ فِيْ قُلُوْبِكُمْ وَكَرَّهَ اِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوْقَ وَالْعِصْيَانَ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الرّٰشِدُوْنَۙ ٧ ﴾ ( الحجرٰت/49:7)
Artinya

“Ketahuilah olehmu bahwa di tengah-tengah kamu ada Rasulullah. Kalau dia menuruti (kemauan) kamu dalam banyak hal pasti kamu akan mendapatkan kesusahan. Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang rāsyidūn” (Al-Hujurat/49:7)

Para Sahabat yang memiliki sifat menonjol cinta terhadap iman, benci kekufuran dan benci kemaksiatan disebut Allah sebagai kaum rāsyidūn karena mereka mendapatkan petunjuk, lalu melaksanakan petunjuk tersebut.

Dari sini bisa difahami juga istilah khulafā’ rāsyidīn. Khalifah Abu Bakar, Umar, Uṡmān dan ‘Alī disebut para khalifah rāsyidīn karena mereka mendapatkan petunjuk dan melaksanakan petunjuk tersebut, sehingga layak ijtihadnya diikuti pada perkara-perkara yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun hadis.

Sampai sini bisa disimpulkan juga bahwa dāll adalah lawan muhtadī, sementara gāwī adalah lawan rāsyid. Ibnu Rajab berkata,

فالراشد عرف الحقَّ واتَّبعه، والغاوي: عرفه ولم يتَّبعه، والضالُّ: لم يعرفه بالكليَّة، فكلُّ راشدٍ، فهو مهتد، وكل مهتدٍ هدايةً تامَّةً، فهو راشد؛ لأنَّ الهدايةَ إنَّما تتمُّ بمعرفة الحقِّ والعمل به أيضاً. جامع العلوم والحكم ت ماهر الفحل (2/ 781)
Artinya,

“Rāsyid adalah orang yang mengetahui kebenaran dan mengikutinya. Gāwī adalah orang yang mengetahui kebenaran tapi tidak mengikutinya. Ḍāll adalah orang yang tidak mengetahui kebenaran secara total. Jadi, setiap rāsyid adalah muhtadī dan setiap muhtadī yang mendapatkan hidayah sempurna maka dia rāsyid karena hidayah itu hanya sempurna dengan cara mengetahui kebenaran kemudian mengamalkannya juga” (Jāmi‘ Al-‘Ulūm wa Al-Ḥikam, juz 2 hlm 781)

Versi Situs: irtaqi.net/2020/12/10/perbedaan-antara-rasyid-muhtadi-ḍall-dan-gawi/

***
24 Rabi’ul Akhir 1442 H