Sunday, September 12, 2021

Siroh Singkat Wali Sanga.~~ "Al Habib Luthfi bin Yahya "

~~Siroh Singkat Wali Sanga.~~
          "Al Habib Luthfi bin Yahya "

Sebenarnya Wali Sanga di Indonesia itu tidak hanya yang biasa dikatakan oleh ahli sejarah, Saya akan bercerita tentang Wali Sanga yang ini menyimpang dari para ahli sejarah. Ahli sejarah itu membuatnya berdasarkan kepentingan politik. Wali sanga itu ada lima generasi.

Generasi pertama dipimpin oleh Syaikh Jamaludin Husein atau Syeikh Jumadil Kubro yang membawahi delapan wali lainnya. Sebagian terpencar di Sumatera.

Generasi kedua dipimpin oleh Syaikh Maulana Al-Malik Ibrahim yang membawahi delapan wali lainnya diantaranya Sayyidina Imam Quthub Syarif bin Abdullah Wonobodro, Syaikh Muhammad Sunan Geseng, Sayyid Ibrahim, Sunan Gribig, Amir Rahmatillah Sunan Tembayen, Imam Ali Ahmad Hisamuddin (Cinangka, Banten lama), al-Imam Ahmad Zainul Alam.

Generasi ketiga dipimpin oleh Imam Maulana Ibrahim Asmoroqondi/ Pandito Ratu (Tuban, Gresik) yang membawahi delapan sunan, diantaranya: Sunan Ali Al-Murtadlo (Genjang), Wali Lanang (Maulana Ishaq), Imam Ahmad Rahmatillah, Sayyid Jalal Tuban, Syaikh Datuk Kahfi/ Dzatul Kahfi/ Sayyid Mahdi Cirebon, Syaikh Muhammad Yusuf Parang Tritis Jogja, Syaikh Maulana Babullah (Belabenung).

Generasi keempat dipimpin oleh Imam Ahmad Rahmatillah (Sunan Ampel) yang membawahi delapan sunan diantaranya: Sultan Abdul Fatah, Sunan Drajat, Syaikh Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syaikh Maulana Utsman Haji, Syaikh Muhammad bin Abdurrahman (Sunan Mejagung), Syaikh Maulana Ja’far Shadiq (Sunan Kudus), Sayyid Abdul Jalil (Sunan Bagus Jeporo, Bukan Syaikh Siti Jenar).

Generasi kelima dipimpin oleh Sunan Bonang yang membawahi delapan wali, diantaranya Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijogo, Sultan Trenggono, Sunan Zainal Abidin/ Qadli Demak, Sunan Muria.

Pada masa Syaikh Jamaluddin Husein perjuangan dititikberatkan pada keorganisasian, dedikasi, ekonomi. Kemudian dilanjutkan dalam dunia pendidikan dan pengkaderan pada masa Sayyid Malik Ibrahim, sehingga dapat memasuki wilayah kerajaan tanpa campur tangan politik dan (imbalan) ekonomi. Selanjutnya pada masa Syaikh Asmoroqondi, mulai dilakukan pengaturan struktur organisasi sebagai media dakwah serta memperkuat perekonomian dan spiritual. Selanjutnya pada masa Sunan Ampel dilanjutkan dengan pemetaan geografi dan antropologi, pembangunan ekonomi dan pertanian, pengelolaan tanah hadiah dari Hayam Wuruk dan Gajah Mada, sehingga bisa menghidupi dakwah dan pendidikan. Selain itu, kerapian organisasi lebih disempurnakan sehingga melahirkan ketatanegaraan/negarawan, ekonom, pertanian, yang diantaranya dipegang oleh putra beliau, Maulana Hasyim, seorang ulama, fuqoha, tasawwuf, ekonom, mampu memberdayakan ekonomi umat, sehingga fuqara, masaakin, aytam, dan para siswa terjamin hidupnya.

Sunan Bonang; merupakan seorang yang ‘allaamah, membidangi segala ilmu, guru besar dari para sultan/ratu, senopati, adipati, tumenggung, dan guru para wali dan ulama. Kedudukan beliau shulthaan al-auliyaa’ fii zamaanihi.

Imam Ja’far Shadiq; merupakan seorang muhaddits dan faqiih, mahir ilmu kelautan, ekonomi, dan pola pendidikan sehingga mampu mensejahterakan kerajaan dan lingkungan, serta seorang budayawan.

Sunan Kalijogo; merupakan seorang ‘alim yang sangat memahami budaya, sekalipun aliran-aliran dan agama lain, sehingga mampu mengendalikan segala aliran, dari situ beliau mendapat gelar Kalijogo (kalinya aliran-aliran). Disamping itu, beliau merupakan budayawan, seniman, pengarang gending dan lagu yang berbentuk puisi ataupun syair. Beliau juga seorang dalang yang mampu memadukan dari mahabharata menjadi carangan, dari carangan menjadi karangan dan karangan itu menjadi pakem para dalang. Media tersebut juga menjadi media dakwah.

Sunan Giri (Muhammad ‘Ainul Yaqin); merupakan seorang yang mahir hukum, mufti di zamannya dan fatwanya sangat ditaati, pengaruh beliau sampai pada anak cucunya, diantara keabsahan para sultan di jawa, beliaulah yang melantiknya.

Sultan Abdul Fatah; merupakan seorang ‘alim bijaksana, luas wawasannya dalam kebangsaan, seorang negarawan, seorang politisi yang sangat rapi dalam mengatur struktur pemerintahan di zamannya, pengaruh beliau sampai malaka bahkan Turki di zaman itu.

Syaikh Ali Zainal Abidin / Qadli Demak; merupakan orang yang ‘allamah, kebijakan-kebijakan beliau dalam syariat sangat dihargai pada waktu itu, beliau sangat sukses dalam menjaga pemerintahan, keamanan, dan pertahanan nasional.

Sunan Gunung Jati; merupakan orang yang sangat ‘allamah, negarawan, budayawan, ahli strategi, pengaruhnya sangat luar biasa di kalangan muslim maupun non-muslim, disegani dan dicintai umat, serta menjadi pelindung umat dan bangsa.

Sunan Muria; merupakan shulthaan al-Auliyaa’ fii zamanihi, pembesar ahli thariqah, budayawan, seniman, ekonom. Pengaruh beliau sangat luar biasa dari semua kalangan menengah, atas, dan bawah. Pertumbuhan thariqoh di zamannya mekar. Beliau pendamai dan sangat disegani dan dicintai umat.

Sunan Bagus Jeporo (Syaikh Abdul Jalil); merupakan seorang sufi yang faqih, pengendali dari bentuk gejolak yang akan membawa perpecahan, sehingga tumbuh kedamaian dan ketentraman. Syaikh Abdul Jalil ini bukan Syaikh Abdul Jalil yang Syaikh Siti Jenar.

Demikianlah Siroh singkat Wali Songo yang disampaikan Habib Muhammad Luthfi Yahya di ndalem beliau pada hari jumat tanggal 13 April 2012,

Semoga kita bisa mengambil pelajaran, hikmah, dan menjadikan kisah di atas sebagai teladan untuk gerak dan perjuangan kita. Amien. Al-Fatihah.

#SLKTinfo

Monday, July 19, 2021

ANAK WAJIB MENAFKAHI ORANG TUA!

ANAK WAJIB MENAFKAHI ORANG TUA!

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).

Seorang anak yang saleh, yakni yang beriman terhadap hari akhir, yang berbakti kepada orang tuanya dan takut terhadap Rabb-nya, tentu tidak hanya memikirkan nafkah untuk anak-istri. Seorang anak saleh juga akan memikirkan nafkah orang tuanya, sebab hukum anak menafkahi orang tua adalah wajib, tidak peduli apakah orang tua muslim ataukah non muslim.

Dalil yang menunjukkan wajib menafkahi orang tua adalah ayat berikut ini,

‌وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفاۖ [لقمان: 15]
Artinya,

“Pergaulilah mereka (orang tua) di dunia secara makruf.” (Q.S.Luqmān: 15)

Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan anak supaya mempergauli orang tuanya di dunia dengan makruf. Menafkahi termasuk mempergauli orang tua dengan makruf, bahkan salah satu bentuk terbaik dalam mempergauli. Sebab, sungguh pergaulan yang buruk jika anak sampai membiarkan orang tua kelaparan, lalu menjadi pengemis atau menjadi gelandangan, atau dilempar ke panti jompo.

Dalil lain yang menguatkan adalah ayat berikut ini,

‌وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًاۚ [الإسراء: 23]
Artinya,

“Berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (al-Isrā’; 23)

Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan anak supaya berbuat baik kepada orang tua. Berbuat baik kepada orang tua sifatnya wajib karena digandeng langsung dengan perintah menyembah Allah secara murni tanpa menyekutukan-Nya dengan apapun. Jadi seakan-akan perintah birrul waidain ini sama pentingnya dengan perintah mentauhidkan Allah dan tidak ada hak hamba yang diperlakukan seperti ini dalam Al-Qur’an selain hak orang tua. Jadi, ayat ini bukan hanya menegaskan wajibnya birul walidain, tetapi juga menunjukkan kedudukan birrul walidain yang menduduki posisi sangat penting sehingga seolah-olah menjadi kewajiban yang levelnya langsung di bawah kewajiban menyembah Allah dengan ikhlas. Bentuk birrul walidain terbaik adalah menjamin nafkah orang tua, karena dengan nafkah terjagalah kehidupan orang tua dan selamat dari kebinasaan.

Senada dengan ayat di atas adalah ayat berikut ini,

وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ ‌بِوَٰلِدَيۡهِ ‌حُسۡنٗاۖ [العنكبوت: 8]
Artinya,

“Aku berwasiat kepada manusia supaya mereka berbuat baik kepada kedua orang tuanya.” (al-‘Ankabūt; 8 )

Allah memberi wasiat kepada anak supaya berbuat baik kepada orang tuanya. Sesuatu jika sampai diwasiatkan, maknanya amal ini penting. Jadi, ayat ini menguatkan kewajiban berbakti kepada orang tua sekaligus menegaskan wajibnya anak menafkahi orang tuanya.

Dalil lain yang menguatkan adalah hadis berikut ini,

عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «وَلَدُ الرَّجُلِ مِنْ كَسْبِهِ مِنْ أَطْيَبِ كَسْبِهِ، ‌فَكُلُوا ‌مِنْ ‌أَمْوَالِهِمْ»
«سنن أبي داود ت محيي الدين عبد الحميد» (3/ 289

Artinya,

“Dari Aisyah dari Nabi ﷺ , bahwa beliau bersabda:”Anak seseorang adalah hasil kerjanya, dan sebaik-baik hasil kerjanya. Maka makanlah sebagian dari harta mereka!” (H.R. Abū Dāwūd)

Dalam hadis di atas, Rasulullah ﷺ mengizinkan orang tua untuk memakan harta anaknya meskipun tanpa izin anak. Ini menunjukkan dalam harta anak ada hak orang tua. Sebab, mengambil harta orang lain tanpa izin adalah pencurian dan itu perbuatan dosa. Ketika mengambil harta sampai dibolehkan, maka itu menunjukkan yang mengambil harta punya hak atas sebagian harta orang yang diambilnya. Oleh karena itu, orang yang kelaparan yang dikuatirkan mati boleh mencuri harta tetangganya yang kaya dan dia tidak dihukum karena pencurian tersebut, sebab itu memang haknya. Tetangga yang kaya dan tidak peduli perut tetangga yang miskin itulah yang berdosa, sebab wajib hukumnya orang kaya membantu tetangga yang kelaparan dan menjaganya agar tidak sampai binasa. Oleh karena orang tua boleh mengambil harta anaknya tanpa izin sekedar untuk bertahan hidup, maka hal ini menunjukkan orang tua punya hak atas sebagian harta anaknya sehingga bisa difahami menafkahi orang tua hukumnya wajib.

Kata ibnu al-Munżir, wajibnya anak menafkahi orang tua ini sudah menjadi ijmak. Al-Syirbinī menulis,

قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ نَفَقَةَ الْوَالِدَيْنِ اللَّذَيْنِ لَا كَسْبَ لَهُمَا وَلَا مَالَ وَاجِبَةٌ فِي مَالِ الْوَلَدِ، وَالْأَجْدَادُ وَالْجَدَّاتُ مُلْحَقُونَ بِهِمَا إنْ لَمْ يَدْخُلُوا فِي عُمُومِ ذَلِكَ كَمَا أُلْحِقُوا بِهِمَا فِي الْعِتْقِ وَالْمِلْكِ وَعَدَمِ الْقَوَدِ وَرَدِّ الشَّهَادَةِ وَغَيْرِهِمَا»«مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج» (5/ 183
Artinya,

“Ibnu al-Munżir berkata, ‘Para ulama telah bersepakat bahwasanya menafkahi kedua orang tua yang sudah tidak bekerja dan tidak punya harta adalah wajib dengan diambilkan dari harta anak.” (Mugnī al-Muḥtāj, juz 5 hlm 183)

Hanya saja, tidak semua orang tua wajib dinafkahi. Kondisi orang tua wajib dinafkahi adalah jika beliau sudah MEMBUTUHKAN. Jika tidak membutuhkan, maka pemberian harta kita kepada mereka sifatnya sunah, bukan wajib yang menuntut alokasi harta khusus kepada beliau. Contoh orang tua tidak butuh adalah orang tua yang kaya raya. Orang tua semacam ini tidak wajib dinafkahi. Meskipun beliau sudah tua renta, sudah tidak kuat bekerja, sudah sakit-sakitan dan semisalnya tetapi selama harta simpananya masih banyak dan bisa mencukupi kebutuhan beliau, maka status nafkah kepada orang tua dalam kondisi ini tidak wajib.

Jadi anak wajib menafkahi orang tua hanya dalam kondisi butuh saja.

Adapun hal-hal yang biasanya membuat orang tua menjadi butuh di antaranya adalah,

PERTAMA, sudah tidak kuat bekerja.

Pada saat orang tua masih muda beliau masih bisa bekerja dan memenuhi kebutuhannya sendiri, bahkan bisa memenuhi kebutuhan anak. Begitu sudah tua, maka beliau sudah tidak kuat lagi bekerja sehingga menjadi butuh. Dalam kondisi ini, wajib bagi anak menafkahi rutin orang tuanya dan memulikannya sehingga tidak perlu bekerja lagi. Termasuk dihukumi butuh adalah jika orang tua kuat bekerja tapi tidak layak dengan kemampuannya. Misalnya orang tua berusia 70 tahun, lalu beliau mendapat pekerjaan sebagai penarik sampah. Yang seperti ini meskipun lahirnya orang tua mampu bekerja, tapi pekerjaan seperti itu tidak layak bagi orang tua yang sudah lemah tubuhnya, karena pekerjaan seperti itu jelas membutuhkan tenaga besar. Dalam kondisi ini anak sudah wajib “mempensiunkan” orang tua lalu menjamin nafkahnya.

KEDUA, miskin.

Yakni orang tua punya harta atau masih bekerja, tapi penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan primernya. Dalam kondisi ini orang tua sudah termasuk kategori butuh sehingga anak wajib menafkahinya.

KETIGA, sakit.

Bisa jadi orang tua masih sehat badannya dan masih kuat tenaganya. Dalam kondisi normal, beliau bisa menghasilkan uang untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Tetapi suatu hari beliau diuji dengan sakit sehingga tidak bisa bekerja. Dalam kondisi ini status orang tua sudah bisa disebut butuh sehingga anak seketika itu juga wajib menafkahi orang tuanya sampai beliau sembuh kembali dan bisa bekerja lagi.

KEEMPAT, cacat.

Kondisi cacat dalam kitab-kitab fikih disebut dengan istilah zamānah (الزمانة). Kondisi orang tua sehat walafiat, tetapi beliau lumpuh kaki, atau lumpuh tangan atau buta sehingga tidak mungkin bekerja atau kalaupun bekerja akan menyusahkan. Dalam kondisi ini orang tua sudah layak disebut butuh sehingga wajib anak menafkahinya secara rutin.

KELIMA, gila.

Jika anak diuji dengan orang tua yang gila, maka dia wajib menjamin nafkahnya sampai wafatnya. Sebab orang gila sudah tidak ditaklif dalam kondisi butuh dan mustahil dituntut bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Hanya saja, kewajiban anak menafkahi ini diikat syarat, yakni anak dalam kondisi mampu (mūsir). Artinya, jika anak miskin dan justru kekurangan harta, maka kewajiban menafkahi orang tua menjadi gugur.

Standar mampu dihitung dari kelebihan hartanya. Jika dalam satu hari, orang sudah memenuhi kebutuhan primer dirinya dan istrinya yang mencakup sandang, pangan dan papan (termasuk biaya pembantu istri atau ummu walad jika ada), lalu hartanya masih berlebih, berarti dia dihitung mampu.

Jika penghasilannya perpekan, maka kebutuhan makan untuk diri dan tanggungannya harus dihitung dalam sepekan dan jika harta berlebih berarti dia dihitung mampu. Jika penghasilannya perbulan, maka kebutuhan makan untuk diri dan tanggungannya harus dihitung dalam sebulan dan jika harta berlebih berarti dia dihitung mampu.

BAGAIMANA JIKA ANAK LEBIH DARI SATU? SIAPA YANG WAJIB MENAFKAHI?

Jika anak hanya satu, maka hukum wajibnya anak menafkahi orang tua ini tidak menimbulkan masalah. Langsung bisa dipraktekkan. Tapi bagaimana jika anak lebih dari satu?

Jawabannya adalah semua wajib menafkahi tanpa membedakan apakah anak tersebut laki-laki ataukah perempuan. Beban nafkah dibagi rata di antara mereka, tanpa membedakan berapa besar penghasilan masing-masing anak. Selama mereka mampu, tidak peduli satunya kaya raya sementara satunya kaya biasa atau sekedar cukup lebih sedikit, maka beban nafkah itu dibagi rata di antara mereka.

Misal anak ada dua laki-laki, beban nafkah perbulan Rp 1.500.000,00. Berarti masing-masing anak wajib memberi Rp 750.000,00 perbulan.

Demikian pula jika anak berjumlah dua perempuan, beban nafkah perbulan Rp 1.500.000,00. Berarti masing-masing anak perempuan itu wajib memberi Rp 750.000,00 perbulan.

Termasuk juga jika anak terdiri dari laki-laki dan perempuan. Beban nafkah perbulan Rp 1.500.000,00. Berarti masing-masing anak wajib memberi Rp 750.000,00 perbulan.

Demikianlah, terus dibagi rata tergantung jumlah anak. Jika anaknya 10, maka beban itu juga dibagi untuk 10 orang. Jika ada yang tidak mau, maka dia berdosa dan bisa diadukan ke pengadilan agar dipaksa untuk memberikan nafkah.

Jika di antara anak itu ada yang tidak mampu, maka kewajiban menafkahi orang tua hanya berlaku pada yang mampu sementara yang tidak mampu menjadi gugur keajibannya.

Yang paling sering terjadi adalah kasus anak wanita yang sudah menikah. Jika seorang wanita menikah, lalu dia tidak bekerja, atau tidak diizinkan bekerja oleh suaminya, sehingga tidak punya uang pribadi untuk menafkahi orang tuanya, maka gugurlah kewajiban menafkahi, sebab ketaatan kepada suami memang harus diutamakan daripada berbuat baik kepada orang tua dalam kondisi berbenturan. Meskipun suami wanita ini kaya, maka wanita ini tetap tidak wajib menafkahi orang tuanya selama dia sendiri tidak punya uang pribadi untuk dinafkahkan kepada orang tua. Wanita itu boleh meminta suaminya membantu menafkahi ortunya, tapi suaminya tidak wajib memenuhi, sebab kewajiban menafkahi menjadi beban anak, bukan menantu.

Patut dicatat, anak yang wajib menafkahi orang tua ini bukan hanya anak hakiki, tapi termasuk juga anak majasi seperti cucu, cicit dan seterusnya. Tidak peduli dari jalur putra maupun putri. Selama masih bisa disebut keturunan anak hakiki terus ke bawah maka statusnya tetap disebut anak. Jadi mulai hari ini para cucu dan para cicit wajib memperhatikan juga nafkah kakek, nenek, buyut dan canggah-canggahnya jika beliau semua masih ada. Al-Nawawī berkata,

«يلزمه نفقة الوالد وإن علا» منهاج الطالبين وعمدة المفتين في الفقه» (ص265
Artinya,

“Wajib menafkahi orang tua termasuk jalur terus ke atas.” (Minhāj al-Ṭālibīn hlm 265)

***
7 Zulhijjah 1442 H.

Versi Situs:

Thursday, July 8, 2021

RINCIAN HUKUM NAFKAH TEMPAT TINGGAL UNTUK ISTRI

RINCIAN HUKUM NAFKAH TEMPAT TINGGAL UNTUK ISTRI

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).

Allah memerintahkan suami untuk menyediakan tempat tinggal bagi istri. Allah berfirman,

{أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ } [الطلاق: 6]
Artinya,

“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.”

Konteks ayat di atas sebenarnya menyediakan tempat tinggal bagi istri dalam masa idah. Tapi justru dari situ dipahami wajibnya menyediakan tempat tinggal untuk istri yang tidak menjalani masa idah. Sebab, istri yang sudah ditalak dan menjalani masa idah saja wajib disediakan tempat tinggal, apalagi istri yang masih dimiliki sempurna, tentu lebih utama (min bāb aulā).

Oleh karena menyediakan tempat tinggal adalah kewajiban suami, berarti mendapatkan tempat tinggal adalah hak istri. Sesuatu jika dikatakan hak, berarti istri diizinkan menuntutnya sampai ke level pengadilan sekalipun. Hanya saja, jika sesuatu dikatakan hak, bukan berarti istri wajib menuntutnya. Tidak. Bahkan sunah menuntutnya saja juga tidak. Menuntut hak itu diizinkan statusnya, alias mubah. Bukan wajib dan bukan sunah.

Malahan, sebagaimana umumnya ḥaqqun ādamī (hak manusia, bukan hak Allah), semua ḥaqqun ādamī bisa digugurkan asalkan yang punya hak sukarela menggugurkan. Lebih dari itu, hal tersebut tercatat sebagai amal saleh, bahkan amal saleh besar karena bisa memutihkan dosa wanita di hari kiamat. Sebab ada hadis yang mana Allah memuji orang yang memutihkan piutang kepada orang yang kesulitan membayar utang. Pahala saat memutihkan piutang ini sifatnya umum, mencakup piutang yang ada pada orang lain termasuk piutang yang ada pada suami. Malahan, kebaikan kepada suami layak diutamakan mengingat hak suami snagat besar yang melalui dia seorang istri banyak mendapatkan kenikmatan dari Allah.

Terkait status nafkah tempat tinggal, yang wajib bagi suami adalah menyediakan tempat tinggal untuk istri sebagai imtā‘ bukan tamlīk. Penjelasan lebih detail konsepsi nafkah imtā’ dan tamlīk silakan baca artikel saya yang berjudul “BEDANYA NAFKAH TAMLĪK DENGAN NAFKAH IMTĀ‘.”

Jadi, hak istri istri saat bertempat tinggal di lokasi yang ditunjuk suami hanyalah menikmati tempat tinggal tersebut, bukan memilikinya. Kecuali suami lugas mengatakan, “Rumah itu saya berikan kepadamu,” lalu dijawab istri, “Oke” atau “Iya” atau “Terima kasih sayang” atau kalimat-kaimat lain yang menunjukkan afirmasi. Selama tidak ada lafal hibah, maka hak istri hanyalah menikmatinya, bukan memilikinya meskipun suami berkali-kali mengatakan “rumah kita”.

Patut dicatat, rumah tempat tinggal yang disediaan suami untuk istri itu tidak harus milik suami pribadi. Rumah siapapun, boleh dijadikan nafkah tempat tinggal untuk istri selama suami mendapatkannya dengan cara yang benar. Misalnya,

• Rumah orang tua suami (setelah suami minta izin kepada orang tuanya dan diizinkan tinggal di situ)
• Rumah orang tua istri (setelah suami minta izin kepada mertuanya dan diizinkan tinggal di situ)
• Rumah dinas/rumah negara
• Rumah dermawan (misalnya ada orang kaya mengizinkan rumahnya ditinggali agar sekalian ada yang merawat, atau agar sekalian bisa dipakai untuk kegiatan pendidikan islami)
• Rumah wakaf (karena suami misalnya ditunjuk sekalian sebagai nāẓir atau termasuk orang yang berhak menempati rumah wakaf itu sesuai syarat wakif)
• Rumah yang dibangun bersama oleh pasangan suami istri
• Rumah kontrak
• Apartemen
• Kamar kos
• Dan lain-lain

Semua jenis tempat tinggal ini sah sebagai nafkah tempat tinggal sebab Allah memerintahkan memberi nafkah tempat tinggal sesuai kemampuan suami. Artinya, Allah tidak menuntut tempat tinggal itu harus dimiliki suami. Jika mampunya baru sewa, maka tidak mengapa. Jika mampunya baru pinjam juga tidak mengapa. Jika mampunya baru kamar kos juga tidak tercela. Ibnu al-Mulaqqin berkata,

« «وَلَا يُشْتَرَطُ كَوْنُهُ مِلْكَهُ، أي بل يجوز أن يكون مستعارًا أو مستأجرًا لحصول المقصود.» عجالة المحتاج إلى توجيه المنهاج» (4/ 1480)

Artinya,

“Tidak disyaratkan tempat tinggal itu dimiliki suami. Artinya, bahkan boleh jika tempat tinggal itu hasil pinjaman atau kontrakan karena target (menyediakan tempat tinggal)-nya telah terpenuhi.” (‘Ujālatu al-Muḥtāj juz 4 hlm 1480 )

Adapun kualitas tempat tinggal, maka yang penting layak huni. Kualitas tempat tinggal disesuaikan dengan kondisi istri, sebab istri tidak kuasa pindah dari tempat tinggal yang disediakan suami, jadi suami harus memperhatikan kebutuhan istri. Dalam tempat tinggal itu suami wajib menyediakan alat pembersih rumah yang menjamin istri tidak terganggu karena kotornya rumah.

Jika suami miskin, dan istri yang malah kaya sehingga yang punya rumah pribadi justru istri, bukan suami lalu istri mengizinkan suami tinggal bersamanya, maka gugurlah hak tempat tinggal dan istri tidak berhak menuntut nafkah tempat tinggal atau meminta sewa tempat tinggal pada suami. Sebab izin mutlak tanpa ada pembicaraan kompensasi dihukumi bermakna i‘ārah atau ibāḥah. Ibnu al-Mulaqqin berkata,

لو سكنت هي وهو في منزلها مدة سقط فيها حق السكنى، ولا مطالبة لها بأجرة سكنه معها إن كانت أذنت له في ذلك, لأن الإذن المطلق العرى عن ذكر عوض ينزل على الإعارة والإباحة؛ قاله ابن الصلاح.» عجالة المحتاج إلى توجيه المنهاج» (4/ 1480(

Artinya,

“Seandainya istri tinggal bersama suami di rumah istri selama beberapa waktu, maka gugurlah hak tempat tinggal untuk istri. Sang istri tidak berhak menuntut suami uang sewa tempat tinggal di rumahnya, jika istri mengizinkan suami tinggal bersamanya. Sebab izin mutlak yang tidak mengandung pembicaraan kompensasi diperlakukan seperti i’ārah (pinjam barang) dan ibāḥah (izin menikmati). Ibnu al-Ṣalāḥ memfatwkan demikian.” (‘Ujālatu al-Muḥtāj juz 4 hlm 1480 )

***
22 Żulqa‘dah 1442 H

Versi Situs:

TIDAK ADA ISTILAH NAFKAH UANG JAJAN UNTUK ISTRI

TIDAK ADA ISTILAH NAFKAH UANG JAJAN UNTUK ISTRI

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).

Tidak ada istilah uang jajan atau uang shopping dalam fikih rumah tangga islam, dalam arti uang ekstra yang diberikan suami kepada istri yang bebas digunakannya untuk hal mubah apapun dalam rangka menyenangkan dan memanjakan dirinya.

Tidak ada kata dalam Al-Qur’an maupun hadis yang bisa diterjemahkan atau ditafsirkan sebagai uang jajan yang wajib disediakan suami untuk istri.

Tidak ada juga ungkapan fukaha dalam kitab-kitab fikih yang bisa diterjemahkan atau ditafsirkan uang jajan yang wajib disediakan suami untuk istri.

Nafkah wajib yang harus disediakan suami untuk istri adalah nafkah yang ditetapkan Allah dan Rasulnya. Itu saja. Tidak boleh dikarang-karang sendiri sesuka hati. Apalagi demi sekedar mendapatkan tepuk tangan para wanita.

Berdasarkan dalil, nafkah wajib itu terbatas hanya 3 hal saja yakni maṭ’am (makanan), malbas (pakaian) dan maskan (tempat tinggal). Allah berfirman,

{وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ} [البقرة: 233]
Artinya,

“Kewajiban ayah (suami) adalah menanggung nafkah (makanan) dan pakaian mereka–ibu-(istri) dengan cara yang patut.”

{أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ } [الطلاق: 6]
Artinya,

“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.”

Kalaupun fukaha mewajibkan suami menyediakan pembantu untuk istri, maka itu adalah kondisi khusus untuk wanita khusus. Bukan seluruh wanita dan bukan untuk seluruh rumah tangga. Agar tidak salah paham soal fikih pembantu, silakan dibaca catatan saya yang berjudul “HUKUM SUAMI MENYEDIAKAN PEMBANTU UNTUK ISTRI“.

Jadi nafkah wajib itu ya hanya pada tiga hal tadi: sandang, pangan dan papan. Tidak ada embel-embel lainnya. Semua pembahasan rincian yang disebut para fukaha dalam kitab-kitab fikih adalah cabang dari 3 nafkah wajib itu. Tidak ada istilahnya uang jajan atau uang khusus shopping. Pendalaman dalil 3 nafkah wajib itu silakan dibaca sejumlah catatan saya dengan judul “Batasan Nafkah Istri”, “Bedanya Nafkah Tamlīk dengan Nafkah Imtā‘“, “Rincian Hukum Nafkah Makanan untuk Istri”, “Rincian Hukum Nafkah Pakaian untuk Istri”, dan “Rincian Hukum Nafkah Tempat Tinggal untuk Istri”.

Jangankan uang jajan atau uang shopping, uang kosmetik untuk kecantikan saja dalam mazhab al-Syāfi‘ī bukan kewajiban suami. Padahal dari sisi kebutuhan seharusnya uang kosmetik lebih menjaga keutuhan rumah tangga karena membantu suami menundukkan pandangan daripada uang jajan istri.

Jangankan uang jajan atau uang shopping hepi-hepi, uang biaya pengobatan saja dalam mazhab al-Syāfi‘ī juga bukan kewajiban suami menyediakannya! Padahal pengobatan itu jika parah resikonya nyawa! Bagaimana mungkin biaya pengobatan tidak wajib bagi suami lalu uang jajan untuk bersenag-senang atau uang shopping untuk hepi-hepi malah wajib?!

Gagasan wajib uang jajan untuk istri adalah gagasan kejahilan, gagasan tanpa dasar, gagasan tidak berdalil dan bahkan membuat hal-hal baru dalam agama!

Gagasan ini membuat besar kepala wanita, membodohi para awam dan membuat mereka tidak bersyukur dengan suaminya.

Gagasan ini berpotensi membuat para wanita menjadi makhluk yang gemar menuntut, bertengkar dengan suaminya dan bahkan bisa membuat mereka bercerai. Jika sampai rumah tangga berpisah gara-gara gagasan batil ini, maka pembuat gagasan ini mendapatkan dosa jariyah selama gagasan tersebut masih dipraktekkan oleh orang-orang awam.

Gagasan ini hanya membuat para wanita bertepuk tangan, tapi sama sekali tidak dimaksudkan untuk membuat Allah rida.

Jadi pelajaran juga bagi para istri.

Jika ada ajaran ilmu agama, jangan hanya melihat efeknya yang menyenangkan hati semata.

Pastikan sumbernya benar, difatwakan ulama kredibel atau dinukil oleh ustaz kredibel yang menukil ulama kredibel. Cari dan lacak dengan semangat ketakwaan. Tunda kebahagaiaan dan merasa di atas angin sebelum sebuah ilmu itu jelas-jelas bersumber dari din.

Semua tulisan, poster, atau meme tanpa sumber yang tidak bisa diverifikasi kebenarannya segera saja anggap sebagai sampah, seindah apapun kata-katanya.

Agama itu berusaha melaksanakan kehendak Allah.

Jadi tidak bisa sembarangan meyakini sesuatu sebagai kehendak Allah.

Orang yang mengklaim bahwa sesuatu itu kehendak Allah, harus punya bukti dan punya sandaran bahwa itu memang kehendak Allah atau minimal diduga kuat sebagai kehendak Allah

Sandaran itu namanya dalil. Bisa Al-Qur’an atau sunah, atau ijmak atau qiyas atau sumber lain yang dijelaskan ulama. Itupun harus dijelaskan pihak otoritatif, yakni ulama kredibel. Tidak bisa sembarangan orang mentafsirkan dalil hanya berbekal terjemahan lalu dinalar-nalar sendiri. Yang seperti itu dekat ke hawa nafsu daripada ketakwaan.

Ini tulisan saya yang agak tajam terkait topik ini karena mengingat gagasan batil uang jajan itu sempat viral dan mempengaruhi sebagian muslimah.

***
27 Żulqa‘dah 1442 H

Versi situs:

NAFKAH MAKANAN APAKAH HARUS SIAP SANTAP?

NAFKAH MAKANAN APAKAH HARUS SIAP SANTAP?

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).

Rasulullah ﷺ memerintahkan para suami agar memberi nafkah makanan kepada istrinya, dan nafkah makanan ini hukumnya wajib diberikan. Rasulullah ﷺ bersabda,

وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ (صحيح مسلم (6/ 245)
Artinya,

“Mereka (istri-istri kalian) punya hak atas kalian. Yaitu nafkah makanan dan pakaian secara layak.” (H.R.Muslim)

Makanan yang diperintahkan Rasulullah ﷺ supaya diberikan kepada istri ini tidak disyaratkan harus siap saji agar bisa dikatakan suami telah menunaikan kewajiban. Sebab perintah Rasulullah ﷺ sifatnya mutlak, yakni menjamin nafkah makanan saja, tidak mengharuskan makanan tersebut sudah harus siap santap untuk istri. Dengan demikian, makanan yang disediakan untuk istri boleh siap santap dan boleh juga masih mentah.

Jika makanan itu diberikan suami dalam keadaan masih mentah, maka kebaikan dan akhlak mulia istri jika memasak sendiri.

Jika istri tidak bersedia memasak sendiri dan suami mengikuti mazhab al-Syāfi‘ī maka suaminya yang memasakkan atau memerintahkan pembantu yang dimilikinya atau digajinya untuk memasakkan.

Jika suami memilih pendapat Hanafi, Abū Tsaur, al-Ṭabarī, dan ulama semisal mereka yang memfatwakan bahwa istri wajib melayani suami dalam segala urusan rumah termasuk memasak, berarti istrilah yang wajib memasak sendiri makanan tersebut untuk dirinya sekaligus melayani suaminya. Dalam kondisi ini istri tidak bisa menolak memasak dan bahkan berdosa hukumnya jika menolak memasak.

Malahan, boleh juga nafkah makanan itu diberikan dalam bentuk uang, sebab dengan uang wanita juga bisa membeli bahan mentah makanan untuk dimasak atau membeli makanan siap santap. Artinya, nafkah makanan berupa uang pun tetap merealisasikan perintah memberi makanan kepada istri.

Lebih dari itu, nafkah makanan dirupakan pakaian pun juga boleh, karena nafkah makanan termasuk nafkah tamlīk, jadi istri bebas menggunakannya untuk apapun. Misalnya, istri sudah punya stok makanan sebulan dari rezeki lain yang diberikan Allah kepadanya, tapi istri belum mendapatkan nafkah makan dari suami. Di sisi lain, istri merasa pakaiannya sudah layak ganti. Kemudian istri minta kepada suami agar jatah nafkah makanan miliknya dibelikan pakaian baru saja untuknya. Yang seperti ini boleh dan sudah menggugurkan kewajiban suami memberi nafkah makanan. Al-Nawawī berkata,

لَوْ تَرَاضَيَا بِاعْتِيَاضِهَا عَنِ النَّفَقَةِ دَرَاهِمَ أَوْ دَنَانِيرَ أَوْ ثِيَابًا وَنَحْوَهَا، جَازَ عَلَى الْأَصَحِّ (روضة الطالبين وعمدة المفتين (9/ 54)
Artinya,

“Seandainya pasangan suami istri itu saling rida menggantikan nafkah (makanan) itu dengan dirham dan dinar (uang) atau baju atau semisal itu, maka yang demikian itu boleh berdasarkan pendapat yang terkuat dalam mazhab al-Syāfi‘ī.“ (Rauḍatu al-ṭālibīn, juz 9 hlm 54)

***

28 Żulqa‘dah 1442 H

Versi situs:

Saturday, May 1, 2021

Abu Hanifah Terhadap Hammad

Abu Hanifah Terhadap Hammad

Abu Hanifah, Nu’man bin Tsabit, mempunyai 4000 syaikh. Dari sekian banyak gurunya, ada satu guru yang ia anggap gurunya yang paling agung (Assyaikh al-Akbar): ia adalah Hammad bin Abi Sulaiman, seorang fakih Kufah dari kelompok tabi’in. Al-Khatib al-Baghdadi meriwayatkan, Abu Hanifah sangat membanggakan jalur keilmuan lewat Hammad. Saat ditanya, "dari mana kau ambil ilmumu?". Abu Hanifah menjawab, "dari Hammad, dari Ibrahim, sampai ke Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud dan Abdullah bin Abbas."

Abu Hanifah membersamai Hammad 18 tahun lamanya—atau mungkin lebih. Abu Hanifah berguru pada Hammad bukan saat beliau baru belajar. Ia berguru saat berumur 22 tahun, tahun dimana Abu Hanifah sudah kesohor sebagai “Syekh” dan ahli debat dalam ilmu kalam. Ini adalah pengakuan Abu Hanifah sendiri sebagaimana disebutkan Al Dzahabi. Ia masuk Bahsrah 27 kali khusus mendebat sekte sekte sesat ketika itu. Saat ia bertemu Hammad inilah, fase perpindahannya dari seorang teolog ke ahli fikih.

Bersama Hammad, Abu Hanifah menceritakan pengalaman yang akan dialami oleh semua murid pada gurunya: yakni perasaan yang muncul pada diri seorang murid, bahwa ilmunya telah setara dengan ilmu sang guru, atau bahkan telah melebihi kemampuan gurunya.

Habib Ali al-Jufri pernah menyampaikan ungkapan senada: seorang murid pandai--siapapun itu--pasti akan sampai pada satu titik dimana ia merasa kemampuannya telah setara gurunya, atau bahkan telah melebihi ilmu gurunya. Menurutnya, semakin lama kita membersamai seorang syekh, maka akan sering muncul pula perasaan dirimu telah melebihi syekh tersebut.

Perasaan ini pula yang dialami oleh Abu Hanifah.

Sepuluh tahun bersama Hammad, perasaan Abu Hanifah dihinggapi "pangkat keulamaan." Ia merasa sudah menguasai ilmu Hammad bahkan telah sampai di level meluruskan pendapat murid murid Hammad yang lebih senior. Akhirnya ia berkeinginan membuat majlis fikih sendiri di luar majlis Hammad.

Abu Hanifah mengatakan, "aku berkeinginan tak lagi ikut halaqah Hammad. Suatu sore, aku bertolak ke Masjid untuk melaksanakan niatku. Tapi saat melihatnya sedang mengajar, aku urungkan niatku itu."

Tiba tiba malamnya datang berita kematian  kerabat Hammad di Bahsrah: ia meninggalkan harta sementara tak ada ahli waris. Hammadpun bertolak ke Bashrah dan meminta Abu Hanifah menggantikannya.

"Saat menggantikannya mengajar, aku ditanya 60 pertanyaan yang belum pernah aku dengar dari Hammad. Aku menjawab dan aku tulis jawabannya. Hammad pergi selama dua bulan, dan ia kembali ke Kufah."

Abu Hanifah kemudian memperlihatkan jawabannya, namun Hammad hanya menyetujui 40 jawaban, dan menyalahkan 20 jawaban lainnya.

Keduanya terlibat dalam perdebatan panjang mengenai jawaban 20 permasalahan yang tak disetujui itu, sampai akhirnya Abu Hanifah tak berkutik dengan argumen argumen Hammad.

Abu Hanifah kemudian mengatakan, "selepas itu, aku berjanji tidak akan berhenti mengikuti majlis Hammad sampai ia meninggal."

Wahbi Sulaiman dalam Imam al-Aimmah al-Fuqaha mengatakan, terhadap Hammad inilah, Abu Hanifah total berkhidmah. Ia menunggu di pintu rumah Hammad bahkan saat Hammad hendak shalat dan keluar untuk kebutuhan tertentu. Abu Hanifah yang menyiapkan dan menghandle segala keperluannya.

Rasa takdzim Abu Hanifah terhadap Hammad sampai pada batas saat duduk di rumah sendiri, ia tidak akan menghadapkan kakinya ke arah rumah Hammad.

Hammad meninggal, murid muridnya mendatangi Abu Hanifah untuk menggantikan Hammad. Dari sinilah permulaan fikih Madzhab Hanafi dimulai.

Jika Abu Hanifah membuat majlis fikih saat Hammad hidup, mungkin tak akan terdengar ada fikih Hanafi sekarang.

> Foto hanya pemanis 😁

Monday, March 29, 2021

APA MAKNA JAUF  DALAM PEMBAHASAN FIKIH PUASA?

APA MAKNA JAUF  DALAM PEMBAHASAN FIKIH PUASA?

Oleh : Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
***

Contoh penggunaan lafal jauf (الجوف) dalam pembahasan fikih puasa adalah kaidah yang disebutkan oleh al-Nawawī dalam kitab Rauḍatu al-Ṭālibīn berikut ini,

مِنَ الْمُفْطِرَاتِ دُخُولُ شَيْءٍ فِي جَوْفِهِ (روضة الطالبين وعمدة المفتين (2/ 356)

Artinya,

“Di antara hal-hal yang membatalkan puasa adalah masuknya sesuatu ke dalam jauf-nya”

Dalam kaidah di atas ditegaskan bahwa benda apapun (syai’un) yang masuk ke dalam jauf, maka membatalkan puasa.

Syai’un (sesuatu) yang dimaksud dalam pernyataan di atas bersifat umum, tidak membedakan apakah yang bisa dimakan seperti nasi dan obat ataukah yang tidak bisa dimakan seperti kerikil dan  pisau. Jadi nasi, obat, kerikil, ataupun pisau jika masuk ke dalam jauf, maka batallah puasanya.  Lafal syai’un yang dipakai oleh al-Nawawī di sini oleh ulama-ulama Al-Syāfi‘iyyah yang lain diungkapkan dengan lafal ‘ain (العين)/benda konkrit. Dengan demikian sesuatu yang tidak termasuk ‘ain, seperti angin/bau atau rasa jika masuk ke dalam jauf, maka puasanya tidak batal.

Dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu yang masuk ke dalam jauf itu membatalkan puasa adalah aṡar Ibnu Abbās berikut ini,

وإِنَّما الفِطرُ ممّا دَخَلَ ولَيسَ ممّا خَرَجَ (السنن الكبرى للبيهقي ت التركي (9/ 5)

Artinya,

“Batalnya puasa itu hanyalah karena sesuatu yang masuk, bukan karena sesuatu yang keluar”

Dalam aṡar di atas cukup jelas dikatakan bahwa benda asing yang masuk bisa membatalkan puasa, sementara yang keluar dari tubuh (misalnya darah melalui pembekaman) itu tidak membatalkan puasa.

Hadis Laqīṭ bin Ṣabirah menguatkan ketentuan ini. Abū Dāwūd meriwayatkan,

عَنْ أَبِيهِ لَقِيطِ بْنِ صَبْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «بَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ، إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا» سنن أبي داود (2/ 308)

Artinya,

“Dari Laqīṭ bin Ṣabirah beliau berkata, Rasulullah ﷺ   bersabda, ‘Bersungguh-sungguhlah saat ber-istinsyāq kecuali jika engkau berpuasa”

Dalam hadis di atas Rasulullah ﷺ memerintahkan agar bersungguh-sungguh (mubālagah) saat beristinsyāq (menghirup air melalui hidung). Tetapi Rasulullah ﷺ melarang mubālagah saat beristinsyāq dalam keadaan berpuasa. Hal ini memberi isyarat bahwa mubālagah  saat beristinsyāq dalam keadaan berpuasa berpotensi membatalkan puasa karena masuknya air ke dalam tubuh.

BATASAN JAUF

Pertanyaannya, “Apa sebenarnya pengertian jauf itu?”

Jawaban pertanyaan ini adalah sebagai berikut.

Jauf itu bermakna RONGGA TUBUH (body cavity). Sebab, secara bahasa jauf itu bermakna khalā’ (rongga). Al-Fayyūmī berkata,

الْجَوْفُ الْخَلَاءُ (المصباح المنير في غريب الشرح الكبير (1/ 115)

Artinya,

“Jauf bermakna rongga”

Secara medis, rongga tubuh manusia terbagi menjadi dua kelompok besar yakni ventral cavity (rongga perut) dan dorsal cavity (rongga punggung). Lebih spesifik lagi rongga dalam tubuh manusia ada beberapa macam yaitu cranial cavity (rongga tengkorak), spinal cavity (rongga tulang belakang), thoracic cavity (rongga dada), abdominal cavity (rongga abdomen), dan pelvic cavity (rongga panggul).

Inilah pendapat mu‘tamad mazhab al-Syāfi‘ī terkait definisi jauf.

Sebenarnya di kalangan internal Al-Syāfi‘iyyah sendiri ada pendapat lain. Yakni membatasi definisi jauf pada organ tubuh  yang memiliki kemampuan mengubah zat yang masuk (baik makanan maupun obat) menjadi zat lain (fīhi quwwatun tuḥīlu al-wāṣil ilaihi min giżā’in au dawā’). Ini juga menjadi pendapat Ibnu al-Aṡīr dalam al-Nihāyah fī Garībi al-Ḥadīṡ wa al-Aṡar. Contoh organ seperti ini adalah bagian dalam otak (bāṭinu al-dimāg), perut (al-baṭn), usus (al-am‘ā’), dan kandung kencing (al-maṡānah). Tetapi pendapat mu‘tamad mazhab al-Syāfi‘ī tidak membedakan antara organ tubuh yang punya kemampuan mengubah zat yang masuk menjadi unsur lain maupun tidak.  Jadi, definisi jauf dalam pendapat mu‘tamad itu lebih luas. Keluasan definisi jauf ini akhirnya membuat mazhab al-Syāfi‘ī menjadi mazhab yang paling berhati-hati dalam urusan perkara yang membatalkan puasa.

Dalam kitab-kitab fikih mazhab al-Syāfi‘ī diberikan beberapa contoh kasus untuk memperjelas dan memberi batasan organ tubuh mana yang termasuk jauf dan mana yang tidak termasuk jauf.

• Kemaluan (al-farj) dan perut (al-baṭn)  termasuk jauf berdasarkan hadis bahwa yang paling banyak membuat orang mausk neraka adalah dua organ berrongga (ajwafāni) yakni perut dan kemaluan
• Saluran kencing (iḥlīl) termasuk jauf
• Bagian dalam tengkorak kepala (bāṭinu al-dimāg) termasuk jauf
• Usus (al-am‘ā’) termasuk jauf
• Kandung kemih (al-maṡānah) termasuk jauf
• Bagian dalam hidung yang melebihi khaisyūm (pangkal hidung) termasuk jauf
• Bagian dalam telinga termasuk jauf karena meskipun tidak ada saluran ke otak, tetapi ada saluran ke bagian dalam tengkorak.
• Kerongkongan (halq) termasuk jauf. Batasan paling luarnya adalah area yang terpakai saat melafalkan huruf ḥā’ (الحاء) atau khā’ (خ)
.
Otot tidak termasuk jauf.
Sumsum tidak termasuk jauf.
Mata bukan jauf karena tidak ada manfaż dari mata ke kerongkongan

PENERAPAN DALAM FIKIH PUASA

Oleh karena kaidahnya berbunyi, “Segala sesuatu yang masuk ke dalalam jauf mambatalkan puasa” maka kita bisa mempraktekkannya pada sejumlah contoh kasus berikut ini,
• Ada ingus yang keluar sampai ke mengalir ke bibir, kemudian dijilat dan terasa sampai area yang dipakai  melafalkan khā’, maka batallah puasanya karena ingus dimasukkan ke dalam jauf.
• Vaksinasi polio jenis OPV membatalkan puasa dalam mazhab al-Syāfi‘ī, karena vaksinasi ini dilakukan dengan cara meneteskan vaksin ke dalam mulut dan harus ditelan. Jadi, ada benda asing yang masuk ke dalam jauf melalui mulut.
• Di perut ada luka, lalu diberi obat lalu obat tersebut masuk ke abdominal cavity, maka batallah puasanya
• Di kepala ada luka lalu diberi obat, kemudian masuk ke cranial cavity, maka batal puasanya
• Menusuk tubuh sendiri dengan pisau hingga tembus ke  kandung kemih, maka batallah puasanya.

Tetapi,
• Jika obat dimasukkan ke dalam daging betis, maka tidak batal puasa karena daging betis bukan jauf
• Vaksinasi untuk covid-19 tidak membatalkan puasa karena teknik vaksinasinya memakai suntikan pada lengan yang termasuk jenis injeksi intramuscular, sehingga vaksin dimasukkan pada otot, bukan jauf.

Hanya saja, batalnya puasa karena benda asing yang masuk ke dalam jauf ini  diikat 3 syarat,

Pertama: Benda asing tersebut dimasukkan dengan sengaja

Kedua: Masuknya benda asing tersebut melalui saluran/”jendela” terbuka (manfaż maftūḥ) baik alami (seperti mulut, hidung, telinga,  kubul, dubur ) maupun rekayasa (seperti luka). Pori-pori kulit tidak masuk definisi manfaż maftūḥ.

Ketiga: Saat memasukkan benda asing tersebut dalam kondisi ingat sedang berpuasa

Wallahua'lam

اللهم ارزقنا التقوى بالصيام

***
10 Sya’ban 1442 H

Versi situs:

Tuesday, March 2, 2021

KH. Arwani Amin Kudus yang Jago Kitab

KH. Arwani Amin Kudus yang Jago Kitab

Selama ini jika mendengar nama KH. Arwani Amin Kudus, yang terlintas adalah ulama ahli Qiraat. Atau jika pendengarnya orang-orang sepuh, maka yg terfikir beliau mursyid thariqoh. Jarang sekali yang menilik sisi kealiman KH. Arwani Kudus dalam bidang kitab kuning.

Nah, catatan KH. Abu Chaer bin Abdul Mannan Kaliwungu Kendal ini memberikan sedikit gambaran ttg itu.

KH. Abu Chaer adalah ulama besar asal Kaliwungu Kendal. Masa mudanya beliau habiskan untuk nyantri ke berbagai daerah di Jawa. Mulai dari Kaliwungu daerah asal beliau sendiri, Tebuireng Jombang, hingga Tremas Pacitan. Guru-guru dan kitab-kitab yang beliau pelajari beliau rekam dalam sebuah kitab Minhah Al-Hannan fi Tarjamah Ibn Abdil Mannan (kitab ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Gus Syafiq Cokrow Zastrow Prawirow mohon fotokan cover kitabnya).

Dalam kitab ini, KH. Abu Chaer menjelaskan bahwa pertama kali mondok di Tebuireng Jombang adalah pada bulan Syawal 1345 H. Beliau diterima di kelas V Madrasah Salafiyyah Tebuireng. Saat itu salah satu guru yang mengajar beliau adalah KH. Arwani Amin Kudus.

KH. Abu Chaer mencatat:
الشيخ القارئ أرواني القدسي، يدرسنا متن ألفية ابن مالك، وزبد ابن رسلان، ومتن الكافي في العروض والقوافي لأحمد بن شعيب القنائي، وشيئا من عدة الفارض للشيخ سعيد بن سعد بن نبهان، وشيئا من الجغرافية الحديثة لأحمد محافظ

"(Di antara guru yang mengajar kala itu adalah) KH. Arwani Amin Kudus Al-Qari'. Beliau mengajari saya:
1. Matan Alfiyyah karya Imam Ibni Malik (fan Nahwu dan Shorof).
2. Nadham Zubad karya Imam Ibnu Rulsan (fan Fiqh madzhab Syafi'i).
3. Matan Al Kafi karya Syaikh Ahmad bin Syu'aib Al-Qanna'i (fan Arudl dan Qawafi).
4. Sebagian kitab 'Iddatul Faridl karya Syaikh Said bin Sa'd bin Nabhan (fan Ilmu Waris Islam).
5. Sebagian kitab Al-Jughrafiyyah Al-Haditsah karya Ahmad Muhfidh (fan Geografi Modern)."

Jika lihat kitab-kitab yang KH. Arwani Amin ajarkan saat masih di Tebuireng, kita dapat menyimpulkan bahwa beliau adalah Allamah yang Mutafannin. Tidak hanya pakar dalam ilmu qiraat dan thariqah saja, melainkan juga Nahwu & Shorof, Fiqh, Arudl, Faraidl, dan bahkan mengajarkan Ilmu Geografi Modern juga.

Tambahan informasi dari Yai Aslim Akmal , bahwa KH. Arwani Amin meneruskan wadhifah mengajar kitab Shohih Al-Bukhari dan Tafsir Al-Jalalain di Masjid Menara Kudus pasca kewafatan KHR. Asnawi Kudus pada tahun 1959 M. Wadhifah itu beliau jalankan hingga sebelum sakit berat yg beliau alami.

Semoga Allah menciptakan Mbah Arwani - Mbah Arwani baru dari anak cucu kita. Aamiin.