Monday, July 19, 2021

ANAK WAJIB MENAFKAHI ORANG TUA!

ANAK WAJIB MENAFKAHI ORANG TUA!

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).

Seorang anak yang saleh, yakni yang beriman terhadap hari akhir, yang berbakti kepada orang tuanya dan takut terhadap Rabb-nya, tentu tidak hanya memikirkan nafkah untuk anak-istri. Seorang anak saleh juga akan memikirkan nafkah orang tuanya, sebab hukum anak menafkahi orang tua adalah wajib, tidak peduli apakah orang tua muslim ataukah non muslim.

Dalil yang menunjukkan wajib menafkahi orang tua adalah ayat berikut ini,

‌وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفاۖ [لقمان: 15]
Artinya,

“Pergaulilah mereka (orang tua) di dunia secara makruf.” (Q.S.Luqmān: 15)

Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan anak supaya mempergauli orang tuanya di dunia dengan makruf. Menafkahi termasuk mempergauli orang tua dengan makruf, bahkan salah satu bentuk terbaik dalam mempergauli. Sebab, sungguh pergaulan yang buruk jika anak sampai membiarkan orang tua kelaparan, lalu menjadi pengemis atau menjadi gelandangan, atau dilempar ke panti jompo.

Dalil lain yang menguatkan adalah ayat berikut ini,

‌وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًاۚ [الإسراء: 23]
Artinya,

“Berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (al-Isrā’; 23)

Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan anak supaya berbuat baik kepada orang tua. Berbuat baik kepada orang tua sifatnya wajib karena digandeng langsung dengan perintah menyembah Allah secara murni tanpa menyekutukan-Nya dengan apapun. Jadi seakan-akan perintah birrul waidain ini sama pentingnya dengan perintah mentauhidkan Allah dan tidak ada hak hamba yang diperlakukan seperti ini dalam Al-Qur’an selain hak orang tua. Jadi, ayat ini bukan hanya menegaskan wajibnya birul walidain, tetapi juga menunjukkan kedudukan birrul walidain yang menduduki posisi sangat penting sehingga seolah-olah menjadi kewajiban yang levelnya langsung di bawah kewajiban menyembah Allah dengan ikhlas. Bentuk birrul walidain terbaik adalah menjamin nafkah orang tua, karena dengan nafkah terjagalah kehidupan orang tua dan selamat dari kebinasaan.

Senada dengan ayat di atas adalah ayat berikut ini,

وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ ‌بِوَٰلِدَيۡهِ ‌حُسۡنٗاۖ [العنكبوت: 8]
Artinya,

“Aku berwasiat kepada manusia supaya mereka berbuat baik kepada kedua orang tuanya.” (al-‘Ankabūt; 8 )

Allah memberi wasiat kepada anak supaya berbuat baik kepada orang tuanya. Sesuatu jika sampai diwasiatkan, maknanya amal ini penting. Jadi, ayat ini menguatkan kewajiban berbakti kepada orang tua sekaligus menegaskan wajibnya anak menafkahi orang tuanya.

Dalil lain yang menguatkan adalah hadis berikut ini,

عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «وَلَدُ الرَّجُلِ مِنْ كَسْبِهِ مِنْ أَطْيَبِ كَسْبِهِ، ‌فَكُلُوا ‌مِنْ ‌أَمْوَالِهِمْ»
«سنن أبي داود ت محيي الدين عبد الحميد» (3/ 289

Artinya,

“Dari Aisyah dari Nabi ﷺ , bahwa beliau bersabda:”Anak seseorang adalah hasil kerjanya, dan sebaik-baik hasil kerjanya. Maka makanlah sebagian dari harta mereka!” (H.R. Abū Dāwūd)

Dalam hadis di atas, Rasulullah ﷺ mengizinkan orang tua untuk memakan harta anaknya meskipun tanpa izin anak. Ini menunjukkan dalam harta anak ada hak orang tua. Sebab, mengambil harta orang lain tanpa izin adalah pencurian dan itu perbuatan dosa. Ketika mengambil harta sampai dibolehkan, maka itu menunjukkan yang mengambil harta punya hak atas sebagian harta orang yang diambilnya. Oleh karena itu, orang yang kelaparan yang dikuatirkan mati boleh mencuri harta tetangganya yang kaya dan dia tidak dihukum karena pencurian tersebut, sebab itu memang haknya. Tetangga yang kaya dan tidak peduli perut tetangga yang miskin itulah yang berdosa, sebab wajib hukumnya orang kaya membantu tetangga yang kelaparan dan menjaganya agar tidak sampai binasa. Oleh karena orang tua boleh mengambil harta anaknya tanpa izin sekedar untuk bertahan hidup, maka hal ini menunjukkan orang tua punya hak atas sebagian harta anaknya sehingga bisa difahami menafkahi orang tua hukumnya wajib.

Kata ibnu al-Munżir, wajibnya anak menafkahi orang tua ini sudah menjadi ijmak. Al-Syirbinī menulis,

قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ نَفَقَةَ الْوَالِدَيْنِ اللَّذَيْنِ لَا كَسْبَ لَهُمَا وَلَا مَالَ وَاجِبَةٌ فِي مَالِ الْوَلَدِ، وَالْأَجْدَادُ وَالْجَدَّاتُ مُلْحَقُونَ بِهِمَا إنْ لَمْ يَدْخُلُوا فِي عُمُومِ ذَلِكَ كَمَا أُلْحِقُوا بِهِمَا فِي الْعِتْقِ وَالْمِلْكِ وَعَدَمِ الْقَوَدِ وَرَدِّ الشَّهَادَةِ وَغَيْرِهِمَا»«مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج» (5/ 183
Artinya,

“Ibnu al-Munżir berkata, ‘Para ulama telah bersepakat bahwasanya menafkahi kedua orang tua yang sudah tidak bekerja dan tidak punya harta adalah wajib dengan diambilkan dari harta anak.” (Mugnī al-Muḥtāj, juz 5 hlm 183)

Hanya saja, tidak semua orang tua wajib dinafkahi. Kondisi orang tua wajib dinafkahi adalah jika beliau sudah MEMBUTUHKAN. Jika tidak membutuhkan, maka pemberian harta kita kepada mereka sifatnya sunah, bukan wajib yang menuntut alokasi harta khusus kepada beliau. Contoh orang tua tidak butuh adalah orang tua yang kaya raya. Orang tua semacam ini tidak wajib dinafkahi. Meskipun beliau sudah tua renta, sudah tidak kuat bekerja, sudah sakit-sakitan dan semisalnya tetapi selama harta simpananya masih banyak dan bisa mencukupi kebutuhan beliau, maka status nafkah kepada orang tua dalam kondisi ini tidak wajib.

Jadi anak wajib menafkahi orang tua hanya dalam kondisi butuh saja.

Adapun hal-hal yang biasanya membuat orang tua menjadi butuh di antaranya adalah,

PERTAMA, sudah tidak kuat bekerja.

Pada saat orang tua masih muda beliau masih bisa bekerja dan memenuhi kebutuhannya sendiri, bahkan bisa memenuhi kebutuhan anak. Begitu sudah tua, maka beliau sudah tidak kuat lagi bekerja sehingga menjadi butuh. Dalam kondisi ini, wajib bagi anak menafkahi rutin orang tuanya dan memulikannya sehingga tidak perlu bekerja lagi. Termasuk dihukumi butuh adalah jika orang tua kuat bekerja tapi tidak layak dengan kemampuannya. Misalnya orang tua berusia 70 tahun, lalu beliau mendapat pekerjaan sebagai penarik sampah. Yang seperti ini meskipun lahirnya orang tua mampu bekerja, tapi pekerjaan seperti itu tidak layak bagi orang tua yang sudah lemah tubuhnya, karena pekerjaan seperti itu jelas membutuhkan tenaga besar. Dalam kondisi ini anak sudah wajib “mempensiunkan” orang tua lalu menjamin nafkahnya.

KEDUA, miskin.

Yakni orang tua punya harta atau masih bekerja, tapi penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan primernya. Dalam kondisi ini orang tua sudah termasuk kategori butuh sehingga anak wajib menafkahinya.

KETIGA, sakit.

Bisa jadi orang tua masih sehat badannya dan masih kuat tenaganya. Dalam kondisi normal, beliau bisa menghasilkan uang untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Tetapi suatu hari beliau diuji dengan sakit sehingga tidak bisa bekerja. Dalam kondisi ini status orang tua sudah bisa disebut butuh sehingga anak seketika itu juga wajib menafkahi orang tuanya sampai beliau sembuh kembali dan bisa bekerja lagi.

KEEMPAT, cacat.

Kondisi cacat dalam kitab-kitab fikih disebut dengan istilah zamānah (الزمانة). Kondisi orang tua sehat walafiat, tetapi beliau lumpuh kaki, atau lumpuh tangan atau buta sehingga tidak mungkin bekerja atau kalaupun bekerja akan menyusahkan. Dalam kondisi ini orang tua sudah layak disebut butuh sehingga wajib anak menafkahinya secara rutin.

KELIMA, gila.

Jika anak diuji dengan orang tua yang gila, maka dia wajib menjamin nafkahnya sampai wafatnya. Sebab orang gila sudah tidak ditaklif dalam kondisi butuh dan mustahil dituntut bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Hanya saja, kewajiban anak menafkahi ini diikat syarat, yakni anak dalam kondisi mampu (mūsir). Artinya, jika anak miskin dan justru kekurangan harta, maka kewajiban menafkahi orang tua menjadi gugur.

Standar mampu dihitung dari kelebihan hartanya. Jika dalam satu hari, orang sudah memenuhi kebutuhan primer dirinya dan istrinya yang mencakup sandang, pangan dan papan (termasuk biaya pembantu istri atau ummu walad jika ada), lalu hartanya masih berlebih, berarti dia dihitung mampu.

Jika penghasilannya perpekan, maka kebutuhan makan untuk diri dan tanggungannya harus dihitung dalam sepekan dan jika harta berlebih berarti dia dihitung mampu. Jika penghasilannya perbulan, maka kebutuhan makan untuk diri dan tanggungannya harus dihitung dalam sebulan dan jika harta berlebih berarti dia dihitung mampu.

BAGAIMANA JIKA ANAK LEBIH DARI SATU? SIAPA YANG WAJIB MENAFKAHI?

Jika anak hanya satu, maka hukum wajibnya anak menafkahi orang tua ini tidak menimbulkan masalah. Langsung bisa dipraktekkan. Tapi bagaimana jika anak lebih dari satu?

Jawabannya adalah semua wajib menafkahi tanpa membedakan apakah anak tersebut laki-laki ataukah perempuan. Beban nafkah dibagi rata di antara mereka, tanpa membedakan berapa besar penghasilan masing-masing anak. Selama mereka mampu, tidak peduli satunya kaya raya sementara satunya kaya biasa atau sekedar cukup lebih sedikit, maka beban nafkah itu dibagi rata di antara mereka.

Misal anak ada dua laki-laki, beban nafkah perbulan Rp 1.500.000,00. Berarti masing-masing anak wajib memberi Rp 750.000,00 perbulan.

Demikian pula jika anak berjumlah dua perempuan, beban nafkah perbulan Rp 1.500.000,00. Berarti masing-masing anak perempuan itu wajib memberi Rp 750.000,00 perbulan.

Termasuk juga jika anak terdiri dari laki-laki dan perempuan. Beban nafkah perbulan Rp 1.500.000,00. Berarti masing-masing anak wajib memberi Rp 750.000,00 perbulan.

Demikianlah, terus dibagi rata tergantung jumlah anak. Jika anaknya 10, maka beban itu juga dibagi untuk 10 orang. Jika ada yang tidak mau, maka dia berdosa dan bisa diadukan ke pengadilan agar dipaksa untuk memberikan nafkah.

Jika di antara anak itu ada yang tidak mampu, maka kewajiban menafkahi orang tua hanya berlaku pada yang mampu sementara yang tidak mampu menjadi gugur keajibannya.

Yang paling sering terjadi adalah kasus anak wanita yang sudah menikah. Jika seorang wanita menikah, lalu dia tidak bekerja, atau tidak diizinkan bekerja oleh suaminya, sehingga tidak punya uang pribadi untuk menafkahi orang tuanya, maka gugurlah kewajiban menafkahi, sebab ketaatan kepada suami memang harus diutamakan daripada berbuat baik kepada orang tua dalam kondisi berbenturan. Meskipun suami wanita ini kaya, maka wanita ini tetap tidak wajib menafkahi orang tuanya selama dia sendiri tidak punya uang pribadi untuk dinafkahkan kepada orang tua. Wanita itu boleh meminta suaminya membantu menafkahi ortunya, tapi suaminya tidak wajib memenuhi, sebab kewajiban menafkahi menjadi beban anak, bukan menantu.

Patut dicatat, anak yang wajib menafkahi orang tua ini bukan hanya anak hakiki, tapi termasuk juga anak majasi seperti cucu, cicit dan seterusnya. Tidak peduli dari jalur putra maupun putri. Selama masih bisa disebut keturunan anak hakiki terus ke bawah maka statusnya tetap disebut anak. Jadi mulai hari ini para cucu dan para cicit wajib memperhatikan juga nafkah kakek, nenek, buyut dan canggah-canggahnya jika beliau semua masih ada. Al-Nawawī berkata,

«يلزمه نفقة الوالد وإن علا» منهاج الطالبين وعمدة المفتين في الفقه» (ص265
Artinya,

“Wajib menafkahi orang tua termasuk jalur terus ke atas.” (Minhāj al-Ṭālibīn hlm 265)

***
7 Zulhijjah 1442 H.

Versi Situs:

Thursday, July 8, 2021

RINCIAN HUKUM NAFKAH TEMPAT TINGGAL UNTUK ISTRI

RINCIAN HUKUM NAFKAH TEMPAT TINGGAL UNTUK ISTRI

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).

Allah memerintahkan suami untuk menyediakan tempat tinggal bagi istri. Allah berfirman,

{أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ } [الطلاق: 6]
Artinya,

“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.”

Konteks ayat di atas sebenarnya menyediakan tempat tinggal bagi istri dalam masa idah. Tapi justru dari situ dipahami wajibnya menyediakan tempat tinggal untuk istri yang tidak menjalani masa idah. Sebab, istri yang sudah ditalak dan menjalani masa idah saja wajib disediakan tempat tinggal, apalagi istri yang masih dimiliki sempurna, tentu lebih utama (min bāb aulā).

Oleh karena menyediakan tempat tinggal adalah kewajiban suami, berarti mendapatkan tempat tinggal adalah hak istri. Sesuatu jika dikatakan hak, berarti istri diizinkan menuntutnya sampai ke level pengadilan sekalipun. Hanya saja, jika sesuatu dikatakan hak, bukan berarti istri wajib menuntutnya. Tidak. Bahkan sunah menuntutnya saja juga tidak. Menuntut hak itu diizinkan statusnya, alias mubah. Bukan wajib dan bukan sunah.

Malahan, sebagaimana umumnya ḥaqqun ādamī (hak manusia, bukan hak Allah), semua ḥaqqun ādamī bisa digugurkan asalkan yang punya hak sukarela menggugurkan. Lebih dari itu, hal tersebut tercatat sebagai amal saleh, bahkan amal saleh besar karena bisa memutihkan dosa wanita di hari kiamat. Sebab ada hadis yang mana Allah memuji orang yang memutihkan piutang kepada orang yang kesulitan membayar utang. Pahala saat memutihkan piutang ini sifatnya umum, mencakup piutang yang ada pada orang lain termasuk piutang yang ada pada suami. Malahan, kebaikan kepada suami layak diutamakan mengingat hak suami snagat besar yang melalui dia seorang istri banyak mendapatkan kenikmatan dari Allah.

Terkait status nafkah tempat tinggal, yang wajib bagi suami adalah menyediakan tempat tinggal untuk istri sebagai imtā‘ bukan tamlīk. Penjelasan lebih detail konsepsi nafkah imtā’ dan tamlīk silakan baca artikel saya yang berjudul “BEDANYA NAFKAH TAMLĪK DENGAN NAFKAH IMTĀ‘.”

Jadi, hak istri istri saat bertempat tinggal di lokasi yang ditunjuk suami hanyalah menikmati tempat tinggal tersebut, bukan memilikinya. Kecuali suami lugas mengatakan, “Rumah itu saya berikan kepadamu,” lalu dijawab istri, “Oke” atau “Iya” atau “Terima kasih sayang” atau kalimat-kaimat lain yang menunjukkan afirmasi. Selama tidak ada lafal hibah, maka hak istri hanyalah menikmatinya, bukan memilikinya meskipun suami berkali-kali mengatakan “rumah kita”.

Patut dicatat, rumah tempat tinggal yang disediaan suami untuk istri itu tidak harus milik suami pribadi. Rumah siapapun, boleh dijadikan nafkah tempat tinggal untuk istri selama suami mendapatkannya dengan cara yang benar. Misalnya,

• Rumah orang tua suami (setelah suami minta izin kepada orang tuanya dan diizinkan tinggal di situ)
• Rumah orang tua istri (setelah suami minta izin kepada mertuanya dan diizinkan tinggal di situ)
• Rumah dinas/rumah negara
• Rumah dermawan (misalnya ada orang kaya mengizinkan rumahnya ditinggali agar sekalian ada yang merawat, atau agar sekalian bisa dipakai untuk kegiatan pendidikan islami)
• Rumah wakaf (karena suami misalnya ditunjuk sekalian sebagai nāẓir atau termasuk orang yang berhak menempati rumah wakaf itu sesuai syarat wakif)
• Rumah yang dibangun bersama oleh pasangan suami istri
• Rumah kontrak
• Apartemen
• Kamar kos
• Dan lain-lain

Semua jenis tempat tinggal ini sah sebagai nafkah tempat tinggal sebab Allah memerintahkan memberi nafkah tempat tinggal sesuai kemampuan suami. Artinya, Allah tidak menuntut tempat tinggal itu harus dimiliki suami. Jika mampunya baru sewa, maka tidak mengapa. Jika mampunya baru pinjam juga tidak mengapa. Jika mampunya baru kamar kos juga tidak tercela. Ibnu al-Mulaqqin berkata,

« «وَلَا يُشْتَرَطُ كَوْنُهُ مِلْكَهُ، أي بل يجوز أن يكون مستعارًا أو مستأجرًا لحصول المقصود.» عجالة المحتاج إلى توجيه المنهاج» (4/ 1480)

Artinya,

“Tidak disyaratkan tempat tinggal itu dimiliki suami. Artinya, bahkan boleh jika tempat tinggal itu hasil pinjaman atau kontrakan karena target (menyediakan tempat tinggal)-nya telah terpenuhi.” (‘Ujālatu al-Muḥtāj juz 4 hlm 1480 )

Adapun kualitas tempat tinggal, maka yang penting layak huni. Kualitas tempat tinggal disesuaikan dengan kondisi istri, sebab istri tidak kuasa pindah dari tempat tinggal yang disediakan suami, jadi suami harus memperhatikan kebutuhan istri. Dalam tempat tinggal itu suami wajib menyediakan alat pembersih rumah yang menjamin istri tidak terganggu karena kotornya rumah.

Jika suami miskin, dan istri yang malah kaya sehingga yang punya rumah pribadi justru istri, bukan suami lalu istri mengizinkan suami tinggal bersamanya, maka gugurlah hak tempat tinggal dan istri tidak berhak menuntut nafkah tempat tinggal atau meminta sewa tempat tinggal pada suami. Sebab izin mutlak tanpa ada pembicaraan kompensasi dihukumi bermakna i‘ārah atau ibāḥah. Ibnu al-Mulaqqin berkata,

لو سكنت هي وهو في منزلها مدة سقط فيها حق السكنى، ولا مطالبة لها بأجرة سكنه معها إن كانت أذنت له في ذلك, لأن الإذن المطلق العرى عن ذكر عوض ينزل على الإعارة والإباحة؛ قاله ابن الصلاح.» عجالة المحتاج إلى توجيه المنهاج» (4/ 1480(

Artinya,

“Seandainya istri tinggal bersama suami di rumah istri selama beberapa waktu, maka gugurlah hak tempat tinggal untuk istri. Sang istri tidak berhak menuntut suami uang sewa tempat tinggal di rumahnya, jika istri mengizinkan suami tinggal bersamanya. Sebab izin mutlak yang tidak mengandung pembicaraan kompensasi diperlakukan seperti i’ārah (pinjam barang) dan ibāḥah (izin menikmati). Ibnu al-Ṣalāḥ memfatwkan demikian.” (‘Ujālatu al-Muḥtāj juz 4 hlm 1480 )

***
22 Żulqa‘dah 1442 H

Versi Situs:

TIDAK ADA ISTILAH NAFKAH UANG JAJAN UNTUK ISTRI

TIDAK ADA ISTILAH NAFKAH UANG JAJAN UNTUK ISTRI

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).

Tidak ada istilah uang jajan atau uang shopping dalam fikih rumah tangga islam, dalam arti uang ekstra yang diberikan suami kepada istri yang bebas digunakannya untuk hal mubah apapun dalam rangka menyenangkan dan memanjakan dirinya.

Tidak ada kata dalam Al-Qur’an maupun hadis yang bisa diterjemahkan atau ditafsirkan sebagai uang jajan yang wajib disediakan suami untuk istri.

Tidak ada juga ungkapan fukaha dalam kitab-kitab fikih yang bisa diterjemahkan atau ditafsirkan uang jajan yang wajib disediakan suami untuk istri.

Nafkah wajib yang harus disediakan suami untuk istri adalah nafkah yang ditetapkan Allah dan Rasulnya. Itu saja. Tidak boleh dikarang-karang sendiri sesuka hati. Apalagi demi sekedar mendapatkan tepuk tangan para wanita.

Berdasarkan dalil, nafkah wajib itu terbatas hanya 3 hal saja yakni maṭ’am (makanan), malbas (pakaian) dan maskan (tempat tinggal). Allah berfirman,

{وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ} [البقرة: 233]
Artinya,

“Kewajiban ayah (suami) adalah menanggung nafkah (makanan) dan pakaian mereka–ibu-(istri) dengan cara yang patut.”

{أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ } [الطلاق: 6]
Artinya,

“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.”

Kalaupun fukaha mewajibkan suami menyediakan pembantu untuk istri, maka itu adalah kondisi khusus untuk wanita khusus. Bukan seluruh wanita dan bukan untuk seluruh rumah tangga. Agar tidak salah paham soal fikih pembantu, silakan dibaca catatan saya yang berjudul “HUKUM SUAMI MENYEDIAKAN PEMBANTU UNTUK ISTRI“.

Jadi nafkah wajib itu ya hanya pada tiga hal tadi: sandang, pangan dan papan. Tidak ada embel-embel lainnya. Semua pembahasan rincian yang disebut para fukaha dalam kitab-kitab fikih adalah cabang dari 3 nafkah wajib itu. Tidak ada istilahnya uang jajan atau uang khusus shopping. Pendalaman dalil 3 nafkah wajib itu silakan dibaca sejumlah catatan saya dengan judul “Batasan Nafkah Istri”, “Bedanya Nafkah Tamlīk dengan Nafkah Imtā‘“, “Rincian Hukum Nafkah Makanan untuk Istri”, “Rincian Hukum Nafkah Pakaian untuk Istri”, dan “Rincian Hukum Nafkah Tempat Tinggal untuk Istri”.

Jangankan uang jajan atau uang shopping, uang kosmetik untuk kecantikan saja dalam mazhab al-Syāfi‘ī bukan kewajiban suami. Padahal dari sisi kebutuhan seharusnya uang kosmetik lebih menjaga keutuhan rumah tangga karena membantu suami menundukkan pandangan daripada uang jajan istri.

Jangankan uang jajan atau uang shopping hepi-hepi, uang biaya pengobatan saja dalam mazhab al-Syāfi‘ī juga bukan kewajiban suami menyediakannya! Padahal pengobatan itu jika parah resikonya nyawa! Bagaimana mungkin biaya pengobatan tidak wajib bagi suami lalu uang jajan untuk bersenag-senang atau uang shopping untuk hepi-hepi malah wajib?!

Gagasan wajib uang jajan untuk istri adalah gagasan kejahilan, gagasan tanpa dasar, gagasan tidak berdalil dan bahkan membuat hal-hal baru dalam agama!

Gagasan ini membuat besar kepala wanita, membodohi para awam dan membuat mereka tidak bersyukur dengan suaminya.

Gagasan ini berpotensi membuat para wanita menjadi makhluk yang gemar menuntut, bertengkar dengan suaminya dan bahkan bisa membuat mereka bercerai. Jika sampai rumah tangga berpisah gara-gara gagasan batil ini, maka pembuat gagasan ini mendapatkan dosa jariyah selama gagasan tersebut masih dipraktekkan oleh orang-orang awam.

Gagasan ini hanya membuat para wanita bertepuk tangan, tapi sama sekali tidak dimaksudkan untuk membuat Allah rida.

Jadi pelajaran juga bagi para istri.

Jika ada ajaran ilmu agama, jangan hanya melihat efeknya yang menyenangkan hati semata.

Pastikan sumbernya benar, difatwakan ulama kredibel atau dinukil oleh ustaz kredibel yang menukil ulama kredibel. Cari dan lacak dengan semangat ketakwaan. Tunda kebahagaiaan dan merasa di atas angin sebelum sebuah ilmu itu jelas-jelas bersumber dari din.

Semua tulisan, poster, atau meme tanpa sumber yang tidak bisa diverifikasi kebenarannya segera saja anggap sebagai sampah, seindah apapun kata-katanya.

Agama itu berusaha melaksanakan kehendak Allah.

Jadi tidak bisa sembarangan meyakini sesuatu sebagai kehendak Allah.

Orang yang mengklaim bahwa sesuatu itu kehendak Allah, harus punya bukti dan punya sandaran bahwa itu memang kehendak Allah atau minimal diduga kuat sebagai kehendak Allah

Sandaran itu namanya dalil. Bisa Al-Qur’an atau sunah, atau ijmak atau qiyas atau sumber lain yang dijelaskan ulama. Itupun harus dijelaskan pihak otoritatif, yakni ulama kredibel. Tidak bisa sembarangan orang mentafsirkan dalil hanya berbekal terjemahan lalu dinalar-nalar sendiri. Yang seperti itu dekat ke hawa nafsu daripada ketakwaan.

Ini tulisan saya yang agak tajam terkait topik ini karena mengingat gagasan batil uang jajan itu sempat viral dan mempengaruhi sebagian muslimah.

***
27 Żulqa‘dah 1442 H

Versi situs:

NAFKAH MAKANAN APAKAH HARUS SIAP SANTAP?

NAFKAH MAKANAN APAKAH HARUS SIAP SANTAP?

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).

Rasulullah ﷺ memerintahkan para suami agar memberi nafkah makanan kepada istrinya, dan nafkah makanan ini hukumnya wajib diberikan. Rasulullah ﷺ bersabda,

وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ (صحيح مسلم (6/ 245)
Artinya,

“Mereka (istri-istri kalian) punya hak atas kalian. Yaitu nafkah makanan dan pakaian secara layak.” (H.R.Muslim)

Makanan yang diperintahkan Rasulullah ﷺ supaya diberikan kepada istri ini tidak disyaratkan harus siap saji agar bisa dikatakan suami telah menunaikan kewajiban. Sebab perintah Rasulullah ﷺ sifatnya mutlak, yakni menjamin nafkah makanan saja, tidak mengharuskan makanan tersebut sudah harus siap santap untuk istri. Dengan demikian, makanan yang disediakan untuk istri boleh siap santap dan boleh juga masih mentah.

Jika makanan itu diberikan suami dalam keadaan masih mentah, maka kebaikan dan akhlak mulia istri jika memasak sendiri.

Jika istri tidak bersedia memasak sendiri dan suami mengikuti mazhab al-Syāfi‘ī maka suaminya yang memasakkan atau memerintahkan pembantu yang dimilikinya atau digajinya untuk memasakkan.

Jika suami memilih pendapat Hanafi, Abū Tsaur, al-Ṭabarī, dan ulama semisal mereka yang memfatwakan bahwa istri wajib melayani suami dalam segala urusan rumah termasuk memasak, berarti istrilah yang wajib memasak sendiri makanan tersebut untuk dirinya sekaligus melayani suaminya. Dalam kondisi ini istri tidak bisa menolak memasak dan bahkan berdosa hukumnya jika menolak memasak.

Malahan, boleh juga nafkah makanan itu diberikan dalam bentuk uang, sebab dengan uang wanita juga bisa membeli bahan mentah makanan untuk dimasak atau membeli makanan siap santap. Artinya, nafkah makanan berupa uang pun tetap merealisasikan perintah memberi makanan kepada istri.

Lebih dari itu, nafkah makanan dirupakan pakaian pun juga boleh, karena nafkah makanan termasuk nafkah tamlīk, jadi istri bebas menggunakannya untuk apapun. Misalnya, istri sudah punya stok makanan sebulan dari rezeki lain yang diberikan Allah kepadanya, tapi istri belum mendapatkan nafkah makan dari suami. Di sisi lain, istri merasa pakaiannya sudah layak ganti. Kemudian istri minta kepada suami agar jatah nafkah makanan miliknya dibelikan pakaian baru saja untuknya. Yang seperti ini boleh dan sudah menggugurkan kewajiban suami memberi nafkah makanan. Al-Nawawī berkata,

لَوْ تَرَاضَيَا بِاعْتِيَاضِهَا عَنِ النَّفَقَةِ دَرَاهِمَ أَوْ دَنَانِيرَ أَوْ ثِيَابًا وَنَحْوَهَا، جَازَ عَلَى الْأَصَحِّ (روضة الطالبين وعمدة المفتين (9/ 54)
Artinya,

“Seandainya pasangan suami istri itu saling rida menggantikan nafkah (makanan) itu dengan dirham dan dinar (uang) atau baju atau semisal itu, maka yang demikian itu boleh berdasarkan pendapat yang terkuat dalam mazhab al-Syāfi‘ī.“ (Rauḍatu al-ṭālibīn, juz 9 hlm 54)

***

28 Żulqa‘dah 1442 H

Versi situs: