Monday, March 28, 2022

Berdalil Dengan Mimpi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam

Berdalil Dengan Mimpi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam

Pernah suatu kali seorang Qadhi di Tarim menetapkan awal bulan Syawal, sehingga para Sadah Bumi Auliya' itu pun berkumpul pagi harinya untuk menjalankan shalat ied. Namun sebelum shalat di mulai, ulama yang menjadi khathib pada pagi itu tidak melihat seorang tokoh kalangan Alaydrus di tempat shalat 'ied, maka khathib itu pun mendatangi rumah Habib itu langsung dan bertanya apa sebabnya beliau tidak berangkat shalat.
"Saya bermimpi bertemu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam semalam, dan saya bertanya kepada beliau "apakah malam ini sudah masuk bulan Syawal?", dan Baginda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab belum. Maka saya pun hari ini masih menjalankan puasa", jawab Habib fam Alaydrus itu.
"Kalau Anda bertemu dengan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam mimpi, saya malah bertemu dengan beliau dalam keadaan terjaga, dan beliau juga berkata kepada saya bahwa Malam ini tadi sudah masuk bulan Syawal, maka tentu hari ini pun sudah masuk Syawal.", kata khathib itu.
"Benarkah?, Bagaimana bisa?", tanya Habib Alaydrus heran.
"Anda belum mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : “Berpuasalah kalian ketika telah melihat hilal Ramadan dan berhentilah berpuasa ketika telah melihat hilal bulan Syawal..?", tanya Khathib.
"Tentu saya tahu hadits itu", jawabnya.
"Yang Anda yakini itu hanyalah mimpi, sedangkan yang saya sampaikan adalah sesuatu yang haq, sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam secara langsung, yang diriwayatkan oleh para ulama terpercaya dari para ulama terpercaya dan bersambung hingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan beliau bersabda itu dalam keadaan terjaga."

Maka tokoh Alaydrus itupun mengerti, lalu berkata;
"Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan, sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam benar, dan ucapan Anda juga benar", kemudian beliau pun makan kurma dan minum untuk menandai bahwa beliau tidak lagi berpuasa. Dan beliau berdua pun berangkat ke tempat shalat ied dan shalat bersama masyarakat.
Begitulah akhlak para Ulama, inshaf dan sangat mudah menerima kebenaran.

Dari kitab Tadzkirun Nas, hal. 250

Copas Gus Ahmad Atho

Kisah wali ghaust yang masyhur dan salah kasyaf

Kisah wali ghaust yang masyhur dan salah kasyaf
Oleh Sidi Fauzan Inzagi

Salah seorang ulama yang hampir disepakati oleh ulama zahir dan batin sebagai seorang ghaust pada zamannya adalah Maulana Khalid An-Naqsyabandy QS. Beliau hampir disepakati sebagai ghaust zaman baik oleh ulama sezamannya atau setelahnya. Didalam tareqat beliau dikenal sebagai salah satu mujadid besar tareqat naqsyabandiyah yang terkenal diseluruh dunia, bahkan menjadi salah satu furu tareqat terbesar yang terbesar diindonesia.

Di ilmu zahir beliau juga mutafanin yang menguasai hampir semua bidang ilmu agama, hampir setiap fan ilmu agama beliau mempunyai karangan, dalam ilmu kalam beliau menulis syarah aqidah adhudiyah, dalam ilmu tasawuf beliau menulis risalah khalidiyah, dalam hadis beliau menulis hasyiah ala jam'il fawaid, dalam fikih beliau menulis hasyiah atas nihayah muhtaj, dalam bahasa arab beliau menisyarag maqamat hariry, dst, beliau mutafanin dalam ilmu zahir, ulama besar yanh jadi rujukan pada masanya

Ditambah kisah kewalian beliau, dan kisah dakwah beliau yang membuat orang tidak meragukan kewalian beliau, dan beliau termasuk wali masyhur atas pengakuan para ulama zahir dan batin, sehingga tak perlu diragukan lagi maqam beliau. Dan atsar atau hasil dari dakwah beliau terlihat diseluruh dunia. Itu bukti keikhlasan beliau. Dan pada masa hidupnya pun beliau sudah masyhur.

Dengan maqam keulamaan dan kewalian yang seperti itu, ada kisah menarik tentang beliau, suatu hari beliau mendapat kasyaf(saya lupa melalui mimpi atau tersadar, perlu murajaah lagi kitabnya), dalam kasyafnya beliau melihat bahwa imam mahdi akan turun dijami umawi 3 hari lagi. Berdasarkan kasyaf beliau yang selama ini yang nyaris tidak pernah salah, beliau pun mengajak muridinnya turun gunung ke jami umawi untuk itikaf disana untuk menyiapkan penyambutan kedatangan imam mahdi

Berita ini membuat damaskus gempar, karena berita ini dari syeikh khalid langsung, seorang yang masyhur kewaliannya dan keulamaannya, bukan dari seorang mastur yang belum tentu mendapat pengakuan wali lain dan alim ulama atau wali awam yang rawan tidak mundhabit secara ilmiyah. Tapi ini beda, yang mengatakannya adalah syeikh khalid wali madhinnatul wilayah, sanadnya jelas, diakui wali masyhur bahkan hampir disepakati sebagai qutub zamannya, mundhabit secara syariah dalam amal, zauq dan aqidahnya bahkan beliau ulama besar dibanyak bidang ilmu dan ahli fatwa. Dan sanadnya jelas bahkan terang benderang

Tetapi setelah tiga hari menunggu, tak ada yang spesial, imam mahdi tidak datang, didepan umum beliau berkata, lihatlah kasyafku salah, memang tidak ada manusia yang tidak pernah salah kecuali nabi, termasuk aku dan kasyafku yang selama ini benar, ga ada yang selalu kita percaya selain nabi, maka dari itu berpeganglah pada sunnah nabi/syariat yang tidak pernah salah. Beliau mengatakan ini didepan umum sebagai pelajaran bagi beliau dan umat. Begitulah ulama dan wali, tak perlu malu mengakui kesalahan, apalagi salah kasyaf, bahkan hikmahnya kesalahan kasyaf beliau menjadi pelajaran besar bagi umat sampai ratusan setelahnya, sekarang dengan mudah kita katakan "okey ente wali, tapi syeikh khalid yang jelas wali besar, sanadnya jelas, istiqamah, diakui, dan ulama besar saja bisa salah kok kasyafnya, apalagi yang lain, jangan aneh-aneh deh"

Kisah ini juga sering dijadikan syahid dan pelajaran sebagai bukti bahwa seorang selevel syeikh khalid, semasyhur beliau, semundhabut beliau, sealim beliau, dan diakui sebagai qutub zamannya secara mutawatir, ternyata bisa salah kasyafnya, makanya kita ga boleh berpegang pada kasyaf tanpa syariat dalam beragama, apalagi mimpi, karena itu bisa salah, beda dengan syariat nabi saw, itu adalah kasyaf dari nabi yang makshum, dan tidak mungkin salah. Itulah yang jadi pegangan seorang muslim dalam beragama. Ingat dulu awal-awal suluk, mimpi ketemu ini dan itu, guruku langsung mengingatkan, "nikmati saja ahwalnya, tapi ingat jangan jadikannya pegangan, karena agama kita tidak dijalankan dengan mimpi"

Jadi, seorang ghaust yang diakui banyak orang sekalipun bisa salah kasyafnya, apalagi yang belum banyak yang mengakui, apalagi yang nampak secara zahir melanggar syariat, yang berpegang aja bisa salah. Ini alhamdulillah kasyafnya ga melanggar syariat, karena kalau melanggar syariat itu sangat jelas tertolak oleh orang sekaliber beliau, bayangkan kasyaf yang bertentangan dengan syariat? Betapa bahayanya itu, sesuai dengan syariat ada potensi salah, apalagi melanggar syariat kan? Apalagi jika itu datang dari orang yang gak ada yang diakui? darimana kita tau kalau itu jibril,khaidir, dll? Siapa tau itu permainan setan memperdaya manusia.

Kasyaf memperkuat zauq syariah, tapi bukan pegangan dalam berqgama. Kasyaf memperdalam ilmu syariat yang ada, tapi bukan menentang ilmu syariat. Wali bisa salah, nabi enggak, dan ijma juga enggak, jika ada kasyafmu yang bertentangan dengan syariat dan ijma, maka bisa dipastikan itu salah. Yang sesuai aja bisa salah, apalagi yang bertentangan. Pelajaran hidup yang sangat mahal dari para wali. Alfatihah buat beliau sayidina maulana khalid naqsyabandy qaddasallahu sirrahu

Tuesday, March 22, 2022

HARAM MENYEBARKAN PEMIKIRAN AL-HALLĀJ DAN IBNU ‘ARABĪ (bagian 1)

HARAM MENYEBARKAN PEMIKIRAN AL-HALLĀJ DAN IBNU ‘ARABĪ (bagian 1)

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)

Al-Ḥallāj (الحَلاَّجُ) adalah sufi kontroversial yang hidup sebelum masa al-Gazzālī. Ibnu ‘Arabī (ابْنُ عَرَبِيٍّ) juga sufi kontroversial, tapi hidupnya setelah masa Al-Gazzālī. Tasawuf Ibnu ‘Arabī melanjutkan pemikiran al-Ḥallāj dan mengokohkannya dengan filsafat. Hanya saja akhir hayat keduanya berbeda.   Al-Ḥallāj meninggal dengan cara dihukum bunuh dan disalib sementara Ibnu ‘Arabī wafat biasa.

Ada tiga pemikiran yang dinisbahkan kepada al-Ḥallāj yang membuatnya divonis kafir zindiq oleh sejumlah ulama di zamannya yaitu,

• Al-ḥulūl (الحلول), yakni konsep penjelmaan Tuhan (lāhūt) pada  manusia (nāsūt) laksana bersatunya api dengan besi saat panas-panasnya atau seperti bercampurnya khamr dengan air yang jernih

• Al-ḥaqīqah al-muḥammadiyyah (الحقيقة المحمدية) yakni keyakinan bahwa nur muhammad adalah asal-usul segala kejadian

• Waḥdatul adyān (وحدة الأديان) yakni konsepsi kesatuan agama, bahwa semua agama hanya beda kulit tapi maksudnya sama

Di antara contoh ekspresi paham ḥulūl adalah ucapan al-Ḥallāj yang berbunyi “ana al-ḥaqq” (aku adalah Allah/al-ḥaqq ) juga kalimat “wamā fil jubbah illā Allah” (tidak ada di dalam jubah (ku ini) kecuali Allah).

Dua tokoh ini dikatakan kontroversial karena ada ulama yang membelanya bahkan mensifatinya sebagai wali Allah dan ada pula yang mengkritiknya sampai level mengkafirkan dan menzindiq-kan.

Di antara argumentasi terpenting untuk membela al-Ḥallāj adalah penjelasan yang kira-kira maknanya sebagai berikut,

“Secara substantif, ajaran al-Ḥallāj itu tidak masalah. Dia telah mencapai ma’rifatullah level tinggi yang membuatnya sampai tidak sanggup mengungkapkan pengalaman batinnya dengan kata-kata yang tepat sehingga lahirnya seperti mengucapkan kata-kata kufur”. 

Al-Gazzāli bisa jadi termasuk yang berhusnuzan dengan al-Ḥallāj dan menggolongkan kata-kata kontroversial yang keluar dari lisannya sebagai syaṭahāt (شطحات), yakni kata-kata kerinduan dan cinta terhadap Allah yang demikian mabuknya sampai-sampai seperti melantur dan seperti tidak sadar hingga mengklaim melihat Allah, berbincang-bincang denganNya dan bahkan bersatu dengan Allah! Kata-kata seperti ini diharapkan untuk dimaafkan karena kondisinya seperti orang hilang akal yang membuat taklif terangkat.

Adapun untuk Ibnu ‘Arabī, di antara argumentasi terpenting untuk membelanya  adalah penjelasan yang kira-kira maknanya sebagai berikut,

“Sufi itu punya istilah khusus dalam lingkungannya. Jika dipahami secara lahir pasti dihukumi kufur. Padahal maksudnya bukan seperti makna lahir. Oleh karena itu, jika ada kalimat-kalimat Ibnu ‘Arabī dalam kitab-kitabnya yang lahirnya bertentangan dengan syariah atau seperti kata-kata kufur, maka harus ditakwil dan dipahami sebagai istilah khusus agar tidak salah faham”

Ada pula yang membela Ibnu ‘Arabi dengan argumentasi  yang maknanya kira-kira begini,

“Hal-hal yang bertentangan dengan syariah pada karya-karya Ibnu ‘Arabī  itu bukan tulisan beliau, tetapi kerjaan orang Yahudi yang ingin merusak reputasi beliau. Seperti kasus al-Sya’rānī. Ada sebagian pendengki yang memasukkan tulisan kekufuran dalam kitab al-Sya’rānī,  lalu al-Sya’rānī disidang ulama gara-gara itu. Setelah al-Sya’rānī menunjukkan naskah asli kitab beliau,  tahulah semuanya  bahwa tulisan kufur itu bukan tulisan beliau”

(bersambung)

HARAM MENYEBARKAN PEMIKIRAN AL-HALLĀJ DAN IBNU ‘ARABĪ (bagian 2)

HARAM MENYEBARKAN PEMIKIRAN AL-HALLĀJ DAN IBNU ‘ARABĪ (bagian 2)

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)

Patut dicatat, sejak dulu para ulama berbeda pendapat menyikapi dua sosok sufi ini. Sebagian mengkritik habis-habisan, sebagian lagi membela habis-habisan. Ada pula yang memilih netral agar lebih selamat. Mereka yang mengkafirkan kedua tokoh ini bukan ulama kaleng-kaleng. Tapi mereka yang membela keduanya juga bukan ulama kecil-kecil. Termasuk yang memilih untuk netral juga dikenal sebagai ulama besar.

Tetapi, di manapun posisi kita, entah sepakat dengan ulama yang mengkafirkan al-Ḥallāj dan Ibnu ‘Arabī, membela mereka  maupun bertawaqquf terhadap mereka, maka menyebarkan pemikiran keduanya tetap haram.

Jika kita bertaklid kepada ulama yang mengkafirkan al-Ḥallāj dan Ibnu ‘Arabī, maka sudah jelas keharaman menyebarkan pemikiran keduanya adalah karena itu dakwah pada kekufuran sementara kekufuran pasti mengantarkan ke neraka. Patut dicatat, yang mengkritik tajam sampai menisbahkan kekufuran kepada keduanya bukanlah ulama sembarangan. Yang mengkritik Ibnu ‘Arabi misalnya adalah al-‘Irāqī, Taqiyyuddīn al-Subkī,   Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī dan lain-lain.

Jika pun kita bertaklid kepada ulama yang membela al-Ḥallāj dan Ibnu ‘Arabī, maka menyebarkan pemikiran keduanya tetap haram berdasarkan sejumlah argumentasi.

PERTAMA, haram hukumnya menyampaikan sesuatu yang tidak sanggup dijangkau akal pendengar yang bisa membuat Allah dan Rasul-Nya didustakan. Al-Bukhārī meriwayatkan,

وَقَالَ عَلِيٌّ: «حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ، أَتُحِبُّونَ أَنْ ‌يُكَذَّبَ ‌اللهُ ‌وَرَسُولُهُ؟». [«صحيح البخاري» (1/ 37 ط السلطانية)]

Artinya,

“Ali berkata, ‘Berbicaralah dengan orang dengan tema yang dijangkau/difahami oleh mereka. Apa kalian senang Allah dan RasulNya didustakan?”

Pihak yang membela al-Ḥallāj dan Ibnu ‘Arabī sepakat bahwa pemikiran keduanya jika disampaikan kepada awam akan membuat fitnah, karena dianggap tidak bisa difahami oleh akal orang-orang biasa. Jika benar demikian, maka jelas haram menyampaikan hal tersebut ke publik karena menjadi wasilah nyata  fitnah dalam din. Ini juga realisasi qā‘idah syar‘iyyah, “Al-Wasīlatu ilāl ḥarām muḥarramah”. Al-Gazzālī berkata,

«فإن ‌كان ‌يفهمه ‌القائل دون المستمع فلا يحل ذكره». [«إحياء علوم الدين» (1/ 36)]

Artinya,

“Jika orang yang memiliki gagasan memahaminya, tapi pendengar tidak paham, maka tidak halal mempublikasikannya”

KEDUA, menyampaikan sesuatu yang tidak difahami terkait din adalah haram.

Jika menyampaikan sesuatu yang dipahami saja bisa haram, yakni dalam kondisi penutur lemah memilih diksi sehingga pendengarnya bisa terfitnah, maka tentu lebih haram lagi menyampaikan sesuatu yang tidak difahami dengan baik berdasarkan kaidah min bābi aulā. Orang yang husnuzan kepada al-Ḥallāj dan Ibnu ‘Arabī, lalu mempelajari pemikiran keduanya, tapi sebenarnya juga tidak mengerti betul hakikat paham mereka, dan dia juga tidak tahu apakah paham mereka melanggar syariat ataukah tidak, maka haram baginya menyampaikan pemikiran tersebut ke publik. Bagaimana mungkin orang yang tidak paham betul sebuah pemikiran lalu berani menyampaikannya ke publik? Perumpamaan orang-orang seperti ini laksana orang yang masak tapi belum matang, lalu dihidangkan ke masyarakat. Apa jadinya? Orang jadi sakit perut! Al-Gazzālī berkata,

«وهذا فيما يفهمه صاحبه ولا يبلغه عقل المستمع فكيف فيما لا يفهمه قائله». [«إحياء علوم الدين» (1/ 36)]

Artinya,

“Ini adalah hukum bagi orang yang memahami pikirannya sendiri tapi pendengarnya tidak sanggup mencernanya. Lalu, bagaimana dengan orang yang dia sendiri tidak memahami pikirannya?”

KETIGA, konsep syaṭāḥāt sudah terbukti mengantarkan para awam meninggalkan kewajibannya.

Pihak yang membela al-Ḥallāj dan Ibnu ‘Arabī telah sepakat bahwa ada ucapan-ucapan keduanya yang lahirnya melanggar syariat dan tergolong kekufuran. Tetapi dengan husnuzan, ucapan-ucapan kufur tersebut ditakwil sebagai bentuk syaṭahāt (semacam kalimat mabuk cinta karena Allah) atau istilah khusus sufi. Kalaupun benar husnuzan ini, maka bahayanya jelas nyata bagi orang awam. Kata al-Gazzālī, di zamannya saja sudah ada orang awam yang mencoba-coba masuk di dunia seperti itu, lalu meniru-niru ucapan yang dianggap syaṭaḥāt itu, sampai akhirnya meninggalkan kerjanya tidak mau bertani lagi!

Jadi, jangan heran jika ada orang awam yang masuk dalam paham seperti ini lalu melupakan anak istri dan meninggalkan semua tanggungjawabnya dengan alasan sudah asyik “berduaan” dengan Allah!

Berdasarkan kaidah fikih al-wasīlah ilā al-ḥarām muḥarramah (wasilah yang  mengantarkan pada keharaman hukumnya haram), maka menyebarkan pemikiran al-Ḥallāj dan Ibnu ‘Arabī  juga menjadi haram karena mengantarkan pada keharaman. al-Gazzālī berkata,

«وهذا فن من الكلام عظيم ضرره في العوام حتى ترك جماعة من أهل الفلاحة فلاحتهم». [«إحياء علوم الدين» (1/ 36)]
Artinya,
“Ini adalah  jenis ucapan yang dampak buruknya sungguh besar di kalangan awam, sampai-sampai ada sejumlah petani yang meninggalkan profesi taninya”

KEEMPAT, dampak fitnah ucapan-ucapan yang ditakwil sebagai syaṭaḥāt di kalangan awam sangat besar sehingga pengucap syaṭāhāt kufur tersebut layak dihukum bunuh.

Kata al-Gazzālī, orang yang mengucapkan kata-kata kufur meskipun mungkin dihusnuzani sebagai syaṭaḥāt, maka layak dihukum bunuh untuk menjaga agama Allah. Tentu saja tidak boleh ada toleransi sama sekali dalam kata-kata kufur terkait Allah. Jika simbol-simbol negara saja bisa diancam penjara jika dihina, maka mengucapkan kata-kata kufur terkait Allah lebih layak untuk ditertibkan, karena dinullah lebih agung daripada negara. Al-Gazzālī berkata,

«فهذا ومثله مما قد استطار في البلاد شرره وعظم في العوام ضرره حتى من نطق بشيء منه فقتله أفضل في دين الله من إحياء عشرة». [«إحياء علوم الدين» (1/ 36)]

Artinya,
“Yang seperti ini dan semisalnya termasuk perkara yang bunga apinya telah menyebar di berbagai negeri dan dampak buruknya telah membesar di kalangan para awam.  Orang yang mengucapkan  kalimat seperti itu, membunuhnya lebih afdal untuk menjaga dinullah daripada menghidupi 10 nyawa”

Secara implisit dengan pernyataan ini, al-Gazzālī menyetujui hukuman bunuh untuk al-Ḥallāj, walaupun bisa jadi  secara substantif beliau berhusnuzan terhadap al-Ḥallāj.

Jika sebuah pemikiran telah terbukti pernah membuat fitnah besar di dunia Islam sampai pengucapnya layak dihukum bunuh tanpa peduli lagi substansinya benar atau salah, maka menyebarkan pemikiran jenis ini jelas haram.

KELIMA, Ibnu ‘Arabī sendiri konon melarang orang membaca buku-bukunya. Di antara kalimat yang dinisbahkan kepada Ibnu ‘Arabī berbunyi,

نحن قوم يحرم النظر في كتبنا

Artinya,

“Kami adalah kaum yang (hukumnya) haram mengkaji buku-buku kami”

Jika benar Ibnu ‘Arabī mengatakan kalimat ini, berarti pahamnya itu din pribadi. Bukan din yang untuk disebarkan kepada khalayak. Tanggung jawabnnya dihadapan Allah hanya untuk beliau pribadi, bukan untuk disebar-sebar dan dipropagandakan untuk masyarakat umum. Artinya perlakukan paham Ibnu ‘Arabī itu sebagai din, bukan millah. Ilmu yang diajarkan Allah kepada nabi Khidir adalah din, tapi ajaran nabi Musa adalah millah.

Al-Suyūṭī meskipun membela Ibnu ‘Arabī bahkan meyakininya sebagai wali, beliau tegas mengharamkan untuk membaca kitab-kitabnya. Al-Suyūṭī berkata,

والقول الفصل عندي في ابن عربي طريقة لا يرضاها فرقة أهل العصر ممن يعتقده ولا ممن ينكر عليه، وهي اعتقاد ولايته، ويحرم النظر في كتبه

Artinya,

“Pendapat final saya terkait Ibnu ‘Arabī adalah mengambil jalan yang tidak disenangi kelompok yang mempercayai beliau di zaman sekarang dan tidak juga disenangi mereka yang mengkritik beliau, yakni: Meyakini kewaliannya, tapi HARAM mengkaji kitab-kitabnya”  (Tanbīhu al-Gabī bi Tabri’ati Ibni ‘Arabī, hlm 4)

Senada dengan itu, Ibnu ‘Ḥajar al-Haitamī, walaupun beliau termasuk pecinta Ibnu ‘Arabī dan meyakini kewaliannya, tapi beliau mewanti-wanti agar orang  benar-benar berpaling dari kitab-kitab Ibnu ‘Arabī semampunya. Karena beliau melihat sendiri orang jatuh kepada kemusyrikan setelah mengkaji kitab-kitab Ibnu ‘Arabī itu.

Syarat yang disebut al-Haitamī agar orang tidak tersesat saat menelaah karya-karya Ibnu ‘Arabī juga menunjukkan itu hampir mustahil terwujud di zaman ini, karena beliau mensyaratkan harus sudah menguasai Al-Qur’an, Sunah, mengkaji hakikat semua pengetahuan dan mengkaji semua pengetahuan hakikat. Ini level mujtahid mutlak atau yang mendekatinya dan masih harus ditambah lagi dengan menguasai semua khazanah ilmu aqli seperti ilmu kalam dan filsafat. Profesornya profesor syariah di zaman sekarang dengan paper 1000 terindeks scopus sekalipun saya pribadi tidak percaya bisa memenuhi syarat itu. Jika faktanya mustahil mewujudkan  syarat-syarat yang ditetapkan al-Haitamī atau minimal super sulit, lalu diduga ada manfaat mengkajinya, maka mengkaji apalagi menyebarkan pemikiran Ibnu ‘Arabi (termasuk al-Ḥallāj) tetap haram berdasarkan kaidah fikih “Dar-ul mafāsid muqaddamun ‘alā jalbil maṣaliḥ”

Dengan demikian, haram hukumnya mempropagandakan pemikiran al-Ḥallāj dan Ibnu ‘Arabī apalagi menyebarkannya kepada masyarakat umum.  Termasuk tasawuf yang merupakan pengembangan dan anak turun dari pemikiran keduanya seperti tasawuf Ibnu al-Fāriḍ (ابن الفارض), Ibnu Sab‘īn (ابن سبعين), Jalāluddin al-Rūmī (جلال الدين الرومي), Hamzah Fanṣurī, Syamsuddīn al-Sumatranī, Siti Jenar dan semisalnya. Termasuk semua paham sinkretis lokal di negeri kita yang terpengaruh paham Ibnu Arabī seperti gagasan dalam Serat Wirid  Hidayat Jati karangan Ranggawarsita, paham perkumpulan WARGO UTOMO, paham perkumpulan PANGESTU, paham perkumpulan SUMARAH dan semisalnya.

(bersambung)