Thursday, December 21, 2023

Kewajiban rumah tangga itu sedikit

Kewajiban rumah tangga itu sedikit

Ini adalah bentuk kemurahan syariat yang tidak memberi banyak kewajiban agar tidak banyak terjadi pelanggaran yang berujung dosa. Beda dengan adat istiadat kita, buaaaanyak banget kewajiban yang dibebankan yang kalau tidak dikerjakan seolah menjadi kesalahan besar. Kebanyakan hal dalam rumah tangga yang dianggap kewajiban sebenarnya secara fikih hanya sunnah menyenangkan pasangan saja sehingga masuk kategori sedekah dan perbuatan mulia yang akan menjadi investasi besar di akhirat nanti.

Sebelum anda berharap terlalu banyak, saya tidak akan membahas soal ini dengan lengkap, cuma mau nulis sedikit saja sebab tergelitik ketika baca komen di status istri saya yang mengupload video seorang suami yang sewot karena istrinya lebih mementingkan pergi ke kajian hingga suaminya merasa terlantar sebab tidak disediakan makanan dan ketika diingatkan malah istrinya marah. Soal kasus ini, seorang istri tidak boleh keluar rumah tanpa izin suami kecuali dalam hal si istri mencari ilmu yang fardhu ain baginya yang tidak mampu disediakan oleh suami, semisal ilmu tatacara shalat lima waktu, puasa Ramadhan, ilmu tentang haid dan sebagainya yang wajib diketahui olehnya. Tapi kalau kajiannya membahas hal fardhu kifayah dan sunah, atau ilmu tersebut bisa dijelaskan sendiri oleh suami, maka suami berhak melarang istrinya keluar untuk kajian dan si istri harus patuh.

Tapi bukan ini bahasan utama status ini tapi soal pekerjaan rumah yang ditinggal oleh si istri. To the point saja ya:

Pertanyaannya, wajibkah seorang istri menyediakan makanan dan meladeni semua kebutuhan hidup suami?

Jawabannya, para ulama berbeda pendapat. Ulama Syafi'iyah, Hanabilah dan sebagian Malikiyah berpendapat: Tidak wajib! Jadi kalau mengikuti ini, maka suami tidak berhak marah-marah kalau istrinya tidak memasak, tidak mencuci baju, menyapu rumah dan sebagainya sebab dia tidak wajib melakukannya.

Sedangkan menurut Hanafiyah, istri wajib melakukan semua khidmah tersebut sebab itu yang terjadi dalam rumah tangga Rasulullah dan aturan yang Rasulullah berlakukan pada keluarga Siti Fathimah dan Sayyidina Ali. Suami bekerja mengurusi urusan eksternal seperti mencari nafkah, ke pasar dan sebagainya, sedangkan istri mengurusi ururan internal rumah. Jadi, pendapat ini yang selama ini dipakai kebanyaka bangsa Indonesia sehingga suami kerap komplain kalau istrinya tidak mengurus rumah dengan baik. Jadi, kalau ditanya mazhab yang berlaku di Indonesia soal mengurus rumah, maka jawaban yang pas bukan mazhab Syafi'i tapi mazhab Hanafi.

Bagaimana bila konsisten mau ikut mazhab Syafi'i saja soal mengurus rumah ini? Boleh, tentu sangat boleh. Ini impian para istri yang membaca tulisan ini kayaknya. Hahaha... Kalau mengikuti pendapat Syafi'iyah, maka tugas wajib istri sangat ringan hanya urusan ranjang saja! Kata Imam al-Imrani asy-Syafi'i:

ولا يجب على الزوجة الخدمة للزوج في الخبز والطبخ والغزل وغير ذلك؛ لأن المعقود عليه هو الاستمتاع دون هذه الأشياء.

"Seorang istri tidak wajib melayani kebutuhan suami dalam hal membuat roti, memasak, menenun baju dan sebagainya sebab akad nikahnya hanya untuk bercumbu, bukan hal-hal semacam ini"

Ketika membaca teks semacam ini, banyak ibu-ibu langsung menyimpulkan bahwa berarti hal-hal semacam itu adalah kewajiban suami dong; Berarti suami yang harus memasak untuk istri, yang harus menyapu dan mengepel rumah, mencucikan baju istri dan menyetrikanya. Akhirnya muncullah meme-meme yang isinya seperti memperbudak suami. Hahaha... Eits.... Itu kesimpulan yang salah, wahai ibu-ibu.

Istri tidak wajib melakukan semua tugas itu untuk suami, bukan berarti suami lantas wajib mengerjakan itu semua untuk istri. Yang benar, secara fikih tidak ada yang wajib melakukan pekerjaan itu semua. Ya, anda tidak salah baca, tidak ada yang wajib! Jadi, kalau tidak ada yang mencuci baju, membersihkan rumah, dan sebagainya maka tidak ada yang berdosa. Cuma kotor dan tidak enak saja, tak ada urusannya dengan dosa segala. Lah wong tinggal di tempat sampah juga tidak dosa kok asalkan sama-sama mau. Sekali lagi, jangan pahami ini dengan pandangan negatif,  tapi pandanglah sisi baiknya bahwa syariat tidak akan memasukkan seseorang ke neraka sebab hal-hal semacam ini tapi bisa memasukkan seseorang ke surga bila orangnya mau menjaga kebersihan, menjaga keharmonisan dan saling membantu.

Yang wajib bagi suami adalah menyediakan makanan pokok plus lauk pauk yang pantas, rumah dan pakaian yang pantas. Detailnya terlalu panjang untuk diurai di sini. Soal makanan, yang wajib atas suami hanya memberikan mentahnya berikut menyediakan alat memasaknya. Kalau istrinya bukan tipe perempuan elit yang biasanya dilayani pembantu, maka suami tidak wajib menyediakan pembantu atau memasakkannya untuk sang isteri tapi istri itulah yang wajib memasaknya untuk dirinya sendiri (ya, hanya wajib memasak untuk dirinya sendiri, tidak wajib memasakkan untuk suami).

Kecuali kalau istrinya dari kalangan elit yang tidak biasa bekerja sendiri, maka suami wajib menyediakan pembantu untuk istrinya atau kalau ia mau maka boleh memasakkannya sendiri untuk istrinya. Tapi yang beristri tipe ini lumrahnya memang tipe lelaki yang juga dilayani pembantu sehingga bukan masalah besar.

Kalau begitu enak dong, istri tidak wajib menyediakan makanan suami atau apa pun di luar urusan ranjang? Ya tentu saja enak mengikuti pendapat Syafi'iyah ini. Tapi harus diingat bahwa suami juga enak tidak terikat apa pun pada istrinya di luar kewajiban dasar, menurut Syafi'iyah. Suami tidak harus membayar biaya pengobatan istrinya bila sakit dan tidak wajib menyediakan perawatan tubuh semisal lotion, pelembab, dan semacamnya atau parfum. Yang wajib hanya kebutuhan pokok seperti sabun mandi, deodoran, sisir dan kosmetik dasar yang lumrahnya diperlukan semisal bedak. Kalau suami menyuruh istrinya memakai perhiasan, maka itu artinya bukan memberi tapi hanya pinjam pakai (kecuali dinyatakan jelas bahwa itu adalah pemberian). Istri juga sama sekali tidak berhak untuk mengatur kehidupan suami dalam sisi apa pun, jangankan mengatur mau pulang kapan, menginap di mana atau mengatur uang suami, melarang menikah lagi juga tidak berhak.

Karena itu semua bukan kewajiban, maka adat bangsa kita yang biasanya melakukan hal-hal tersebut merupakan tindakan sunnah yang bernilai pahala besar. Tulisan ini bukan untuk membuat suasana rumah tangga pembaca menjadi kering atau hidup sendiri-sendiri tanpa peduli, tapi agar semakin banyak alasan untuk memaklumi pasangan ketika tidak melakukan hal-hal di luar kewajibannya. Dan, agar lebih banyak apresiasi pada pasangan yang dengan setulus hati sudah berbuat baik di luar tupoksinya. Si istri setiap hari memasak dan mencuci baju suaminya, si suami memberikan banyak hal pada istrinya,mengajak jalan-jalan dan membiayai perawatannya ketika sakit. Ini semua adalah amalan yang berujung surga.

Jadi pesannya di sini, jangan banyak menuntut, tapi banyaklah berbuat baik pada pasangan. Jangan banyak mewajibkan pasangan untuk ini dan itu lalu marah-marah ketika dia tidak menjalankannya dengan sempurna, tapi banyaklah memaklumi dan menghargai. Yang penting kan bisa masuk surga bersama, bukan ribut bersama. Yang jelas, siapa yang all-out pada pasangannya, maka pasangannya juga akan all-out padanya. Siapa yang perhitungan pada pasangannya, maka pasangannya juga akan perhitungan padanya.

Semoga bermanfaat.

Thursday, September 28, 2023

Siapa Yang Pertama Melakukan Maulid Nabi?

Siapa Yang Pertama Melakukan Maulid Nabi?

Kabarnya dari Dinasti Fatimiyah dan sudah jelas bukan Sunni? Beda. Kalau yang dari Dinasti Fatimiyah itu semua Maulid dirayakan, ada Maulid Sayidah Fatimah, Maulid Sayidina Hasan dan Sayidina Husein, Maulid Sayidina Ali dan lainnya. Sementara kita cuma Maulid Nabi saja.

Oleh karena itu para ulama ahli hadis menyebut penggagasnya adalah:

ﻭﺃﻭﻝ ﻣﻦ ﺃﺣﺪﺙ ﻓﻌﻞ ﺫﻟﻚ ﺻﺎﺣﺐ ﺇﺭﺑﻞ اﻟﻤﻠﻚ اﻟﻤﻈﻔﺮ

"Orang yang pertama kali melakukan maulid Nabi adalah penguasa Irbil, Raja Al-Mudzaffar." (Husnul Maqshid fi Amalil Maulid).

Apakah beliau Sunni? Ya jelas. Berikut penjelasan Al-Hafidz adz-Dzahabi:

ﻭﻛﺎﻥ ﻣﺘﻮاﺿﻌﺎ، ﺧﻴﺮا، ﺳﻨﻴﺎ، ﻳﺤﺐ اﻟﻔﻘﻬﺎء ﻭاﻟﻤﺤﺪﺛﻴﻦ

"Ia rendah hati, orang baik, SUNNI, mencintai ulama fikih dan hadis".

Beliau menggambarkan perayaan maulid di masa itu:

ﻭﺃﻣﺎ اﺣﺘﻔﺎﻟﻪ ﺑﺎﻟﻤﻮﻟﺪ ﻓﻴﻘﺼﺮ اﻟﺘﻌﺒﻴﺮ ﻋﻨﻪ؛ ﻛﺎﻥ اﻟﺨﻠﻖ ﻳﻘﺼﺪﻭﻧﻪ ﻣﻦ اﻟﻌﺮاﻕ ﻭاﻟﺠﺰﻳﺮﺓ ﻭﺗﻨﺼﺐ ﻗﺒﺎﺏ ﺧﺸﺐ ﻟﻪ ﻭﻷﻣﺮاﺋﻪ ﻭﺗﺰﻳﻦ

Perayaan maulid yang dilakukan oleh Raja Irbil maka tak sanggup diungkap dengan kata. Semua orang datang ke sana, dari Iraq dan Jazeera. Juga dibuatkan kubah dari kayu dan dihias, untuk beliau dan para pemimpin (Siyar Alam An-Nubala, 22/336)

Demikian pula yang disampaikan oleh Al-Hafidz Ibnu Katsir:

ﻭﻛﺎﻥ ﻳﻌﻤﻞ اﻟﻤﻮﻟﺪ اﻟﺸﺮﻳﻒ ﻓﻲ ﺭﺑﻴﻊ اﻷﻭﻝ ﻭﻳﺤﺘﻔﻞ ﺑﻪ اﺣﺘﻔﺎﻻ ﻫﺎﺋﻼ، ﻭﻛﺎﻥ ﻣﻊ ﺫﻟﻚ ﺷﻬﻤﺎ ﺷﺠﺎﻋﺎ ﻓﺎﺗﻜﺎ ﺑﻄﻼ ﻋﺎﻗﻼ ﻋﺎﻟﻤﺎ ﻋﺎﺩﻻ ﺭﺣﻤﻪ اﻟﻠﻪ ﻭﺃﻛﺮﻡ ﻣﺜﻮاﻩ

Ia melaksanakan Maulid di bulan Rabiul Awal dengan perayaan yang besar. Ia seorang yang mulia jiwanya, pemberani, penakluk, pahlawan, cerdas, berilmu dan adil. Semoga Allah memberi Rahmat untuknya dan memuliakan tempatnya (Al-Bidayah, 13/160)

Setelah itu amalan ini diterima luas oleh umat Islam seperti yang disampaikan oleh Al-Hafidz As-Sakhawi:

قَالَ الْحَافِظُ أَبُوْ الْخَيْرِ السَّخَاوِي - رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى - فِي فَتَاوِيْهِ: عَمَلُ الْمَوْلِدِ الشَّرِيْفِ لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِي الْقُرُوْنِ الثَّلَاثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَاَ حَدَثَ بَعْدُ، ثُمَّ لَا زَالَ أَهْلُ اْلإِسْلَامِ فِي سَائِرِ اْلأَقْطَارِ وَالْمُدُنِ الْكِبَارِ يَحْتَفِلُوْنَ فِي شَهْرِ مَوْلِدِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَمَلِ الْوَلَائِمِ الْبَدِيْعَةِ الْمُشْتَمِلَةِ عَلَى اْلأُمُوْرِ الْبَهْجَةِ الرَّفِيْعَةِ وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِي لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ وَيَزِيْدُوْنَ فِي الْمَبَرَّاتِ وَيَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ وَيَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ رَكَاتِهِ كُلَّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ.

Al-Hafidz as-Sakhawi berkata dalam Fatwanya: Amaliyah Maulid tidak diriwayatkan dari seorang ulama Salaf dalam 3 kurun yang utama. Amaliyah ini dilakukan sesudahnya, kemudian umat Islam di seluruh penjuru dan kota besar selalu merayakannya di bulan kelahiran Nabi Saw, dengan perayaan yang indah dan agung, mereka bersedekah di malam harinya, menampakkan rasa suka cita, menambah belanjanya, dan membaca kelahiran Nabi Saw. Dan tampak kepada mereka berkahnya-Nabi dengan merata (Subul al-Huda wa ar-Rasyad 1/362).

Bagaimana dengan penolakan Maulid saat ini? Saya ikut pedoman dari Nabi agar ikut mayoritas:

« إِنَّ أُمَّتِى لَنْ تَجْتَمِعَ عَلَى ضَلاَلَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمُ اخْتِلاَفًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الأَعْظَمِ ». (رواه ابن ماجه عن أنس)

Hadis: “Umatku tidak akan berkumpul di atas kesesatan. Jika kalian melihat perbedaan, maka ikutilah mayoritas umat Islam” (HR Ibnu Majah dari Anas)

Sunday, September 3, 2023

Fakta-fakta tentang al-Imam al-Ghazali yang jarang diketahui orang

Fakta-fakta tentang al-Imam al-Ghazali yang jarang diketahui orang. Kalau Gus Ulil Abshar Abdalla pasti sudah tahu:

1. ia pakar perbandingan agama. Dalam bidang ini al-Ghazali menulis kitab: al-Radd al-Jamil Li Ilahiyati Isa Bi Sharih al-Injil (Counter wacana yang baik untuk Ketuhanan Isa Perspektif Kitab Injil)

2. Dia tidak memiliki anak laki-laki tetapi nama kunyahnya adalah Abu Hamid (bapaknya Hamid). Kata Ulama kenapa mendapat panggilan ini sebab banyak mengucap hamdalah atau karena alasan tafaulan.

3. Sosok ulama multilangual (menguasai beberapa bahasa). al-Ghazali bukan hanya menguasai bahasa arab tetapi juga persia. Bukunya yang berjudul: al-Tibr al-Masbuq fi Nashihah al-Muluk yang berisi pandangan al-Ghazali tentang Politik dan Pemerintahan berbahasa Persia. Sekarang yang kita baca sudah versi terjemah dalam bahasa Arab. Konon ia juga menguasai bahasa Ibrani alasannya dalam kitab al-Radd al-Jamil, ia banyak mengadaptasi bahasa Ibrani.

4. Pernah dipuji gurunya. saat al-Ghazali merilis kitab al-Mankhul min Ta'liqah al-Ilm al-Ushul ia dipuji guru besarnya, al-Haramain. Bahkan sang guru berkata: "Kitabmu ini menenggelamkan namaku. Tidakkah kau sabar sebentar. Kepopularan Kitabmu menenggelamkan kitabku"

5. al-Ghazali lahir dari keluarga orang biasa. Ayahnya hanya seorang pedagang di pasar tetapi ia mencintai para alim ulama dan sering hadir di majelis debat atau bahtsul masail ulama untuk menyaksikan para alim berdiskusi sembari dalam hati kecilnya terus menangis agar ia dikaruniai seorang anak seperti mereka. Benar saja, lahir al-Ghazali yang namanya terus dibicarakan hingga hari ini.

Kisah di atas diadaptasi dari buku: Suluk Teladan: Keulamaan, Kearifan dan Keteladanan Ulama Ushul FIqh. Pesan buku tersebut dengan bonus tanda tangan penulisnya di sini: https://shp.ee/qkch75k. Tabik.

Ahmad Husain Fahasbu

Thursday, August 31, 2023

USHUL FIQH : MENGENAL QOUL IMAM SYAFI'I DAN BEBERAPA ISTILAH QOUL DALAM MADZHAB SYAFI'I

USHUL FIQH : MENGENAL QOUL IMAM SYAFI'I DAN BEBERAPA ISTILAH QOUL DALAM MADZHAB SYAFI'I
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Imam Syafi'i Rahimahullahu Ta'ala Ketika mencetuskan suatu hukum fiqih dikenal dua Qoul yaitu Qoul Qodim dan Qoul Jadid. Qoul Qodim yaitu: Qoul Imam Syafi’I yang berdasarkan kajiannya dari sumber Alqur’an, Hadits Nabi, atau nash-nash yang lain, yang pernah dikeluarkan sewaktu beliau menetap di Baghdad pada zaman pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid. Adapun Qoul Jadid yaitu: fatwa atau pendapat Imam Syafi’i setelah kepindahannya ke Mesir setelah dikaji semula semua qaul-qaul beliau yang lama sewaktu di Baghdad (qaul qodim). Dalam penetapan Ashhab Syafi’I, ulama Syafi’iyyah, bahwa qaul jadid (perkataan yang baru) itulah yang lebih kuat untuk diikuti dalam fatwa hukum-hukum agama. Adapun di antara para fuqoha’ yang masyhur meriwayatkan perkataan ini aadalah al-Muzani, Buwaithy, Rabi’ al-Muradi, dan rabi’ al-Jizi.

Dua Qoul itu sering terjadi pertentangan, namun pendapat yang dipilih kebanyakan Ulama Syafi'iyah adalah Qoul Jadid, bahkan Qoul Jadid itulah yang diamalkan dalam hukum dan yang shahih dalam Madzhab Syafi'i, sebab Qoul Qodim tersebut sudah Imam Syafi'i hapus meskipun sebagian pengikutnya meriwayatkan Qoul Qodim tersebut. Oleh sebab itu, ketika terjadi pertentangan antara Qoul Qodim dan Qoul Jadid imam Syafi'i maka yang diamalkan adalah Qoul Jadid, namun demikian, segolongan Ulama Syafi'iyah mengecualikan beberapa masalah bahwa Qoul Qodim layak dipakai sebagaimana Qoul Jadid, Ulama Syafi'iyah seperti Imam Nawawi, Syeikh Bujairimi menyatakan Qoul Qodim yang dikecualikan itu sekitar 20+ masalah, adapun Qoul Qodim yang masuk Qoul Jadid yakni bisa diamalkan itu diantaranya:
1. Tidak wajib menjauh dari najis pada air yang tidak mengalir atau Tidak wajib menjauhi dari najis di dalam air yang telah mencapai dua  qullah (174,580 liter/ kubus ukuran + 55,9 cm).
2. Sunnah mengucapkan taswib (Assholatu khoirum minannaum) pada adzan, baik adzan pertama atau kedua.
3. Wudlu tidak batal dengan menyentuh mahrom.
4. Air mengalir yang terkena najis, tetap suci apabila tidak berubah.
5. Sunnah melaksanakan sholat isya awal waktu.
6. Sunnah melaksanakan sholat isya awal waktu.
7. Waktu sholat maghrib tidak habis dengan sholat 5 rokaat (Berakhirnya waktu Maghrib sampai hilangnya mega yang berwarna merah).
8. Makmum tidak disunnahkan baca surat pada rokaat ke 3 dan 4 (ini  khusus untuk orang yang pertama melakukan sholat dengan cara sendirian,  kemudian dia niat berjamaah karena ada sholat jamaah).
9. Makruh memotong kuku mayit.
10. Tidak memandang nishob dalam harta karun.
11.Syarat takhallul pada haji dengan udzur sakit.
12.Haram memakan kulit bangkai yang telah di samak.
13.Sayid wajib dihad (hukuman), karena menyetubuhi mahrom yang menjadi budak.
14.Diperbolehkannya persaksian anak atas orangtua.
15.Sunat bagi ma`mum mengeraskan bacaan Amin dalam shalat Jahriyyah (shalat yang disunatkan mengeraskan bacaan).
16.Sunat membuat tanda batas dalam shalat ketika tidak ada pembatas di depannya.
17.Diperbolehkan bagi orang yang melakukan shalat tidak berjamaah, untuk niat ma`mum di tengah- tengah pelaksaan shalatnya.
18.Ahli waris boleh mengqodlo`i puasa keluarganya yang meninggal dunia.
19.Boleh memaksa syarik (orang yang mempunyai hak bersama) untuk membangun dan merehab barang yang rusak.
20.Mahar (mas kawin) yang belum diserahkan kepada istri ketika rusak harus  diganti dengan Dlomanul Yad (ganti yang ditetapkan syara) artinya  kalau barang tersebut termasuk mitsli (bisa ditimbang atau ditakar)  wajib diganti dengan barang sejenis, kalau mutaqawwam (selain mitsli)  wajib diganti dengan harga standar.

Itulah Qoul Qodim yang menurut sebagian Ulama bisa diamalkan, selain yang demikian itu dimenangkan Qoul Jadid. Namun, Imam Nawawi sendiri menyatakan bahwa Qoul Qodim bukanlah termasuk Madzhab Syafi'i.

Oleh karena itu, ketika terjadi perselisihan antara dua Qoul imam Syafi'i itu maka yang diamalkan adalah Qoul Jadid, inilah pendapat yang shahih dalam Madzhab Syafi'i dan diputuskan kebanyakan Ulama Syafi'iyah, meski sebagian Ulama mengecualikan 20 masalah yang sudah disebutkan maka sebagian Ulama memilih mengamalkan masalah tersebut.

NB:
Imam Nawawi menyebutkan bahwa Qoul Qodim bukan Madzhab Syafi'i itu kalau Qoul Qodim menyalahi Qoul Jadid, inilah pendapat yang benar, sedangkan Qoul Qodim yang tidak menyalahi Qoul Jadid termasuk Madzhab Syafi'i yang layak diamalkan.
======

Sedikit saya uraikan mengenai Qoul-Qoul Dalam Madzhab Syafi'i yang banyak dinuqil dari kitab-kitab klasik Syafi'iyah sebagai bahan pengetahuan:
Dalam Madzhab Syafi'i ada beberapa istilah sebagai berikut:
1. Azhar (الأظهر)
Azhar ialah pendapat Imam Syafi’i apabila terdapat perbedaan antara dua pendapat yang sama-sama kuat, maka yang lebih kuat dinamakan azhhar.
2. Masyhur (المشهور)
Qoul Masyhur ialah pendapat Imam Syafi'i yang kurang kuat, lawannya adalah Qoul dho'if (lemah). Qoul azhar dan Masyhur merupakan pendapat Imam Syafi'i.
3. Ashoh (الأصح)
Qoul Ashoh ialah dua pendapat atau lebih yang dikeluarkan pengikutnya dari ucapan Imam Syafi'i dari segi ushul atau istinbath dari qoidah². Yang lebih kuat dari dua Qoul tersebar dinamakan ashoh. Lawannya adalah Qoul shahih.
4. Shahih (صحيح)
Qoul shahih ialah dua pendapat atau lebih yang berkisar dari pengikut Imam Syafi'i dan Qoul shahih kurang kuat namun lebih benar dari pendapat lainnya. Setiap Qoul ashoh dan shahih adalah pendapat pengikut Syafi'i.
5. Madzhab (المذهب)
Madzhab ialah pendapat yang rojih (paling kuat/unggul) dalam hikayah Madzhab, sebab perbedaan pendapat pengikut Imam Syafi'i dalam menghikayahkan madzhabnya, mereka menyebutkan dua jalur atau lebih maka yang rojih dari hikayah tersebut itulah dinamakan Madzhab.
6. Nas (النص)
Nas ialah pendapat Imam Syafi'i yang tersurat atau pernah beliau utarakan atau bisa juga diartikan pendapat beliau sendiri untuk menempatkan pendapat beliau pada internal tertinggi dalam Madzhab. Lawannya Qoul dho'if atau Mukhorrij.
7. Qoul Jadid  (قول الجديد)
Qoul Jadod ialah fatwa atau pendapat Imam Syafi’i setelah kepindahannya ke Mesir setelah dikaji semula semua qaul-qaul beliau yang lama sewaktu di Baghdad (qaul qodim). Dalam penetapan Ashhab Syafi’I, ulama Syafi’iyyah, bahwa qaul jadid (perkataan yang baru) itulah yang lebih kuat untuk diikuti dalam fatwa hukum-hukum agama. Adapun di antara para fuqoha’ yang masyhur meriwayatkan perkataan ini aadalah al-Muzani, Buwaithy, Rabi’ al-Muradi, dan rabi’ al-Jizi.
8. Qoul Qodim (قول القديم)
Qoul Qodim ialah : Imam Syafi’I yang berdasarkan kajiannya dari sumber Alqur’an, Hadits Nabi, atau nash-nash yang lain, yang pernah dikeluarkan sewaktu beliau menetap di Baghdad pada zaman pemer...intahan Khalifah Harun Ar-Rasyid.
9. Qila (قيل)
Qila adalah pendapat lemah kebalikannya (lawannya) Qoul shahih atau ashoh.

Semoga bermanfaat!

Wallahu A'lamu Bis Showaab
Ibarot:

المجموع شرح المهذب ج ١ ص ٦٦-٦٨
فصل كُلُّ مَسْأَلَةٍ فِيهَا قَوْلَانِ لِلشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ قَدِيمٌ وَجَدِيدٌ فَالْجَدِيدُ هُوَ الصَّحِيحُ وَعَلَيْهِ الْعَمَلُ لِأَنَّ الْقَدِيمَ مَرْجُوعٌ عَنْهُ وَاسْتَثْنَى جَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا نَحْوَ عِشْرِينَ مَسْأَلَةً أَوْ أَكْثَرَ وَقَالُوا يُفْتَى فِيهَا بِالْقَدِيمِ وَقَدْ يَخْتَلِفُونَ فِي كَثِيرٍ مِنْهَا قَالَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ فِي النِّهَايَةِ فِي بَابِ الْمِيَاهِ وَفِي بَابِ الْأَذَانِ قَالَ الْأَئِمَّةُ كُلُّ قَوْلَيْنِ قَدِيمٌ وَجَدِيدٌ فَالْجَدِيدُ أَصَحُّ إلَّا في ثلاث مسائل التَّثْوِيبِ فِي أَذَانِ الصُّبْحِ الْقَدِيمُ اسْتِحْبَابُهُ: وَمَسْأَلَةُ التَّبَاعُدِ عَنْ النَّجَاسَةِ فِي الْمَاءِ الْكَثِيرِ الْقَدِيمُ أَنَّهُ لَا يُشْتَرَطُ وَلَمْ يَذْكُرْ الثَّالِثَةَ هُنَا: وَذَكَرَ فِي مُخْتَصَرِ النِّهَايَةِ أَنَّ الثَّالِثَةَ تَأْتِي فِي زَكَاةِ التِّجَارَةِ: وَذَكَرَ فِي النِّهَايَةِ عِنْدَ ذِكْرِهِ قِرَاءَةِ السُّورَةِ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الْأَخِيرَتَيْنِ أَنَّ الْقَدِيمَ أَنَّهُ لَا يُسْتَحَبُّ قَالَ وَعَلَيْهِ الْعَمَلُ: وَذَكَرَ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ مِنْ أَصْحَابِنَا أَنَّ الْمَسَائِلَ الَّتِي يُفْتَى بِهَا عَلَى الْقَدِيمِ أَرْبَعَ عَشْرَةَ فَذَكَرَ الثَّلَاثَ الْمَذْكُورَاتِ: وَمَسْأَلَةَ الِاسْتِنْجَاءِ بِالْحَجَرِ فِيمَا جَاوَزَ الْمَخْرَجَ وَالْقَدِيمُ جَوَازُهُ: وَمَسْأَلَةَ لَمْسِ الْمَحَارِمِ وَالْقَدِيمُ لَا يَنْقُضُ: وَمَسْأَلَةَ الْمَاءِ الْجَارِي الْقَدِيمُ لَا يَنْجُسُ إلَّا بِالتَّغَيُّرِ: وَمَسْأَلَةَ تَعْجِيلِ الْعِشَاءِ الْقَدِيمُ أَنَّهُ أَفْضَلُ: وَمَسْأَلَةَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ وَالْقَدِيمُ امْتِدَادُهُ إلَى غُرُوبِ الشَّفَقِ: وَمَسْأَلَةَ الْمُنْفَرِدِ إذَا نَوَى الِاقْتِدَاءَ فِي أَثْنَاءِ الصَّلَاةِ الْقَدِيمُ جَوَازُهُ: وَمَسْأَلَةَ أَكْلِ جِلْدِ الْمَيْتَةِ الْمَدْبُوغِ الْقَدِيمُ تَحْرِيمُهُ: ومسألة وطئ المحرم يملك الْيَمِينِ الْقَدِيمُ أَنَّهُ يُوجِبُ الْحَدَّ: وَمَسْأَلَةَ تَقْلِيمِ أَظْفَارِ الْمَيِّتِ الْقَدِيمُ كَرَاهَتُهُ: وَمَسْأَلَةَ شَرْطِ التَّحَلُّلِ مِنْ الْإِحْرَامِ بِمَرَضٍ وَنَحْوِهِ الْقَدِيمُ جَوَازُهُ: وَمَسْأَلَةَ اعْتِبَارِ النِّصَابِ فِي

الزَّكَاةِ الْقَدِيمُ لَا يُعْتَبَرُ: وَهَذِهِ الْمَسَائِلُ الَّتِي ذَكَرَهَا هَذَا الْقَائِلُ لَيْسَتْ مُتَّفَقًا عَلَيْهَا بَلْ خَالَفَ جَمَاعَاتٌ مِنْ الْأَصْحَابِ فِي بَعْضِهَا أَوْ أَكْثَرِهَا وَرَجَّحُوا الْجَدِيدَ: وَنَقَلَ جَمَاعَاتٌ فِي كَثِيرٍ مِنْهَا قَوْلًا آخَرَ فِي الْجَدِيدِ يُوَافِقُ الْقَدِيمَ فَيَكُونُ الْعَمَلُ عَلَى هَذَا الْجَدِيدِ لَا الْقَدِيمِ: وَأَمَّا حَصْرُهُ الْمَسَائِلَ الَّتِي يُفْتَى فِيهَا عَلَى الْقَدِيمِ فِي هَذِهِ فَضَعِيفٌ أَيْضًا فَإِنَّ لَنَا مَسَائِلَ أُخَرَ صَحَّحَ الْأَصْحَابُ أَوْ أَكْثَرُهُمْ أَوْ كَثِيرٌ مِنْهُمْ فِيهَا الْقَدِيمَ: مِنْهَا الْجَهْرُ بِالتَّأْمِينِ لِلْمَأْمُومِ فِي صَلَاةٍ جَهْرِيَّةٍ الْقَدِيمُ اسْتِحْبَابُهُ وَهُوَ الصَّحِيحُ عِنْدَ الْأَصْحَابِ وَإِنْ كَانَ الْقَاضِي حُسَيْنٌ قَدْ خَالَفَ الْجُمْهُورَ فَقَالَ فِي تَعْلِيقِهِ الْقَدِيمُ أَنَّهُ لَا يَجْهَرُ: وَمِنْهَا مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَوْمٌ الْقَدِيمُ يَصُومُ عَنْهُ وَلِيُّهُ وَهُوَ الصَّحِيحُ عِنْدَ الْمُحَقِّقِينَ لِلْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ فِيهِ: وَمِنْهَا اسْتِحْبَابُ الْخَطِّ بَيْنَ يَدَيْ الْمُصَلِّي إذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ عَصًا وَنَحْوُهَا الْقَدِيمُ اسْتِحْبَابُهُ وَهُوَ الصَّحِيحُ عِنْدَ الْمُصَنِّفِ وَجَمَاعَاتٍ: وَمِنْهَا إذَا امْتَنَعَ أَحَدُ الشَّرِيكَيْنِ مِنْ عِمَارَةِ الْجِدَارِ أُجْبِرَ عَلَى الْقَدِيمِ (1) وَهُوَ الصَّحِيحُ عِنْدَ ابْنِ الصَّبَّاغِ وَصَاحِبِهِ الشَّاشِيِّ وَأَفْتَى بِهِ الشَّاشِيُّ: وَمِنْهَا الصَّدَاقُ فِي يَدِ الزَّوْجِ مَضْمُونٌ ضَمَانُ الْيَدِ عَلَى الْقَدِيمِ وَهُوَ الْأَصَحُّ عِنْدَ الشَّيْخِ أَبِي حَامِدٍ وَابْنِ الصَّبَّاغِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

* ثُمَّ إنَّ أَصْحَابَنَا أَفْتَوْا بِهَذِهِ الْمَسَائِلِ مِنْ الْقَدِيمِ مَعَ أَنَّ الشَّافِعِيَّ رَجَعَ عَنْهُ فَلَمْ يَبْقَ مَذْهَبًا لَهُ هَذَا هُوَ الصَّوَابُ الَّذِي قَالَهُ الْمُحَقِّقُونَ وَجَزَمَ بِهِ الْمُتْقِنُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا وَغَيْرِهِمْ: وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا إذَا نَصَّ الْمُجْتَهِدُ عَلَى خِلَافِ قَوْلِهِ لَا يَكُونُ رُجُوعًا عَنْ الْأَوَّلِ بَلْ يَكُونُ لَهُ قَوْلَانِ: قَالَ الْجُمْهُورُ هَذَا غَلَطٌ لِأَنَّهُمَا كَنَصَّيْنِ لِلشَّارِعِ تَعَارَضَا وَتَعَذَّرَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا يُعْمَلُ بِالثَّانِي وَيُتْرَكُ الْأَوَّلُ: قَالَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ فِي بَابِ الْآنِيَةِ مِنْ النِّهَايَةِ مُعْتَقَدِي أَنَّ الْأَقْوَالَ الْقَدِيمَةَ لَيْسَتْ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ حَيْثُ كَانَتْ لِأَنَّهُ جَزَمَ فِي الْجَدِيدِ بِخِلَافِهَا وَالْمَرْجُوعُ عَنْهُ لَيْسَ مَذْهَبًا لِلرَّاجِعِ: فَإِذَا عَلِمْت حَالَ الْقَدِيمِ وَوَجَدْنَا أَصْحَابَنَا أَفْتَوْا بِهَذِهِ الْمَسَائِلِ عَلَى الْقَدِيمِ حَمَلْنَا ذَلِكَ عَلَى أَنَّهُ أَدَّاهُمْ اجْتِهَادُهُمْ إلَى الْقَدِيمِ لِظُهُورِ دَلِيلِهِ وَهُمْ مُجْتَهِدُونَ فَأَفْتَوْا بِهِ وَلَا يَلْزَمُ مِنْ ذَلِكَ نِسْبَتُهُ إلَى الشَّافِعِيِّ وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ مِنْ الْمُتَقَدِّمِينَ فِي هَذِهِ الْمَسَائِلِ أَنَّهَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَوْ أَنَّهُ اسْتَثْنَاهَا: قَالَ أَبُو عمر وفيكون اخْتِيَارُ أَحَدِهِمْ لِلْقَدِيمِ فِيهَا مِنْ قَبِيلِ اخْتِيَارِهِ مَذْهَبَ غَيْرِ الشَّافِعِيَّ إذَا أَدَّاهُ اجْتِهَادُهُ إلَيْهِ فانه ان كان إذا اجْتِهَادٍ اُتُّبِعَ اجْتِهَادُهُ وَإِنْ كَانَ اجْتِهَادُهُ مُقَيَّدًا مَشُوبًا بِتَقْلِيدٍ نَقَلَ ذَلِكَ الشَّوْبَ مِنْ التَّقْلِيدِ عَنْ ذَلِكَ الْإِمَامِ وَإِذَا أَفْتَى بَيَّنَ ذَلِكَ فِي فَتْوَاهُ فَيَقُولُ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ كَذَا وَلَكِنِّي أَقُولُ بِمَذْهَبِ

أَبِي حَنِيفَةَ وَهُوَ كَذَا: قَالَ أَبُو عَمْرٍو وَيَلْتَحِقُ بِذَلِكَ مَا إذَا اخْتَارَ أَحَدُهُمْ الْقَوْلَ الْمُخَرَّجَ عَلَى الْقَوْلِ الْمَنْصُوصِ أَوْ اخْتَارَ مِنْ قَوْلَيْنِ رَجَّحَ الشَّافِعِيُّ أَحَدَهُمَا غَيْرَ مَا رَجَّحَهُ بَلْ هَذَا أَوْلَى مِنْ الْقَدِيمِ: قَالَ ثُمَّ حُكْمُ مَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلًا للترجيح ان لا يتبعوا شيئا من اختيار انهم المذكورة لانه مقلد للشافعي فدون غيره: قال وَإِذَا لَمْ يَكُنْ اخْتِيَارُهُ لِغَيْرِ مَذْهَبِ إمَامِهِ بَنَى عَلَى اجْتِهَادٍ فَإِنْ تَرَكَ مَذْهَبَهُ إلَى اسهل منها فَالصَّحِيحُ تَحْرِيمُهُ وَإِنْ تَرَكَهُ إلَى أَحْوَطَ فَالظَّاهِرُ جوازه عليه بَيَانُ ذَلِكَ فِي فَتْوَاهُ هَذَا كَلَامُ أَبِي عَمْرٍو

* فَالْحَاصِلُ أَنَّ مَنْ لَيْسَ أَهْلًا لِلتَّخْرِيجِ يَتَعَيَّنُ عَلَيْهِ الْعَمَلُ وَالْإِفْتَاءُ بِالْجَدِيدِ مِنْ غَيْرِ اسْتِثْنَاءٍ وَمَنْ هُوَ أَهْلٌ لِلتَّخْرِيجِ وَالِاجْتِهَادِ فِي الْمَذْهَبِ يَلْزَمُهُ اتِّبَاعُ مَا اقْتَضَاهُ الدَّلِيلُ فِي الْعَمَلِ وَالْفُتْيَا مُبَيِّنًا فِي فَتْوَاهُ أَنَّ هَذَا رَأْيُهُ وَأَنَّ مَذْهَبَ الشَّافِعِيِّ كَذَا وَهُوَ مَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْجَدِيدِ هَذَا كُلُّهُ فِي قَدِيمٍ لَمْ يَعْضُدْهُ حَدِيثٌ صَحِيحٌ: أَمَّا قَدِيمٌ عَضَدَهُ نَصُّ حَدِيثٍ صَحِيحٍ لَا مُعَارِضَ لَهُ فَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَمَنْسُوبٌ إلَيْهِ إذَا وُجِدَ الشَّرْطُ الَّذِي قَدَّمْنَاهُ فِيمَا إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ عَلَى خِلَافِ نَصِّهِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

* وَاعْلَمْ أَنَّ قَوْلَهُمْ الْقَدِيمُ لَيْسَ مَذْهَبًا لِلشَّافِعِيِّ أو مرجوعا عَنْهُ أَوْ لَا فَتْوَى عَلَيْهِ الْمُرَادُ بِهِ قَدِيمٌ نَصَّ فِي الْجَدِيدِ عَلَى خِلَافِهِ أَمَّا قَدِيمٌ لَمْ يُخَالِفْهُ فِي الْجَدِيدِ أَوْ لَمْ يَتَعَرَّضْ لِتِلْكَ الْمَسْأَلَةِ فِي الْجَدِيدِ فَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَاعْتِقَادُهُ وَيُعْمَلُ بِهِ وَيُفْتَى عَلَيْهِ فَإِنَّهُ قَالَهُ وَلَمْ يَرْجِعْ عَنْهُ وَهَذَا النَّوْعُ وَقَعَ مِنْهُ مَسَائِلُ كَثِيرَةٌ سَتَأْتِي فِي مَوَاضِعِهَا إنْ شَاءَ اللَّهُ وَإِنَّمَا أَطْلَقُوا أَنَّ الْقَدِيمَ مَرْجُوعٌ عَنْهُ وَلَا عَمَلَ عَلَيْهِ لِكَوْنِ غَالِبِهِ كَذَلِكَ

حاشية البجيرامي على الخطيب ج ١ ص ٥٤-٥٥
قَوْلُهُ: (وَصَنَّفَ بِهَا كِتَابَهُ الْقَدِيمَ) وَرُوَاتُهُ أَرْبَعَةٌ أَجَلُّهُمْ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، وَالْكَرَابِيسِيُّ، وَالزَّعْفَرَانِيُّ، وَأَبُو ثَوْرٍ، وَرُوَاةُ الْجَدِيدِ أَرْبَعَةٌ أَيْضًا الْمُزَنِيّ وَالْبُوَيْطِيُّ وَالرَّبِيعُ الْجِيزِيُّ وَالرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْمُرَادِيُّ رَاوِي الْأُمِّ وَغَيْرِهَا عَنْ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -. قَالَ الْإِمَامُ فِيهِ: إنَّهُ أَحْفَظُ أَصْحَابِي رَحَلَتْ النَّاسُ إلَيْهِ مِنْ أَقْطَارِ الْأَرْضِ لِيَأْخُذُوا عَنْهُ عِلْمَ الشَّافِعِيِّ، فَهُوَ الْمُرَادُ عِنْدَ الْإِطْلَاقِ، وَأَمَّا الرَّبِيعُ الْجِيزِيُّ فَلَمْ يَنْقُلْ عَنْ الشَّافِعِيِّ إلَّا كَرَاهَةَ الْقِرَاءَةِ بِالْأَلْحَانِ أَيْ الْأَنْغَامِ وَأَنَّ الشَّعْرَ يَطْهُرُ بِالدِّبَاغِ تَبَعًا لِلْجِلْدِ اهـ طَبَقَاتُ الْإِسْنَوِيِّ ع ش عَلَى م ر. وَالْفَتْوَى عَلَى مَا فِي الْجَدِيدِ دُونَ الْقَدِيمِ، فَقَدْ رَجَعَ الشَّافِعِيُّ عَنْهُ وَقَالَ: لَا أَجْعَلُ فِي حِلٍّ مَنْ رَوَاهُ عَنِّي إلَّا فِي مَسَائِلَ يَسِيرَةٍ نَحْوُ السَّبْعَةَ عَشَرَ يُفْتِي فِيهَا بِالْقَدِيمِ، وَهَذَا كُلُّهُ فِي قَدِيمٍ لَمْ يُعَضِّدْهُ حَدِيثٌ صَحِيحٌ لَا مُعَارِضَ لَهُ، فَإِنْ اعْتَضَدَ بِدَلِيلٍ فَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ فَقَدْ صَحَّ أَنَّهُ قَالَ: إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَاضْرِبُوا بِقَوْلِي عُرْضَ الْحَائِطِ.

فَائِدَةٌ: الْمَسَائِلُ الَّتِي يُفْتِي بِهَا عَلَى الْقَوْلِ الْقَدِيمِ تَبْلُغُ اثْنَتَيْنِ وَعِشْرِينَ مَسْأَلَةً مِنْهَا عَدَمُ وُجُوبِ التَّبَاعُدِ عَنْ النَّجَاسَةِ فِي الْمَاءِ الرَّاكِدِ وَالتَّثْوِيبُ فِي الْأَذَانِ وَعَدَمُ انْتِقَاضِ الْوُضُوءِ بِمَسِّ الْمَحَارِمِ وَطَهَارَةُ الْمَاءِ الْجَارِي الْكَثِيرِ مَا لَمْ يَتَغَيَّرْ، وَعَدَمُ الِاكْتِفَاءِ بِالْحَجَرِ إذَا انْتَشَرَ الْبَوْلُ وَتَعْجِيلُ صَلَاةِ الْعِشَاءِ وَعَدَمُ مُضِيِّ وَقْتِ الْمَغْرِبِ بِمُضِيِّ خَمْسِ رَكَعَاتٍ، وَعَدَمُ قِرَاءَةِ السُّورَةِ فِي الْأَخِيرَتَيْنِ، وَالْمُنْفَرِدُ إذَا أَحْرَمَ بِالصَّلَاةِ ثُمَّ أَنْشَأَ الْقُدْوَةُ، وَكَرَاهِيَةُ قَلْمِ أَظْفَارِ الْمَيِّتِ، وَعَدَمُ اعْتِبَارِ النِّصَابِ فِي الرِّكَازِ، وَشَرْطُ التَّحَلُّلِ فِي الْحَجِّ بِعُذْرِ الْمَرَضِ، وَتَحْرِيمُ أَكْلِ جِلْدِ الْمَيْتَةِ بَعْدَ الدِّبَاغِ، وَلُزُومُ الْحَدِّ بِوَطْءِ الْمَحْرَمِ بِمِلْكِ الْيَمِينِ، وَقَبُولُ شَهَادَةِ فَرَعَيْنَ عَلَى كُلٍّ مِنْ الْأَصْلَيْنِ، وَغَرَامَةُ شُهُودِ الْمَالِ إذَا رَجَعُوا وَتَسَاقُطُ الْبَيِّنَتَيْنِ عِنْدَ التَّعَارُضِ، وَإِذَا كَانَتْ إحْدَى الْبَيِّنَتَيْنِ شَاهِدَيْنِ وَعَارَضَهَا شَاهِدٌ وَيَمِينٌ يُرَجَّحُ الشَّاهِدَانِ عَلَى الْقَدِيمِ وَعَدَمُ تَحْلِيفِ الدَّاخِلِ مَعَ بَيِّنَتِهِ إذَا عَارَضَهَا بَيِّنَةُ الْخَارِجِ وَإِذَا تَعَارَضَتْ الْبَيِّنَتَانِ وَأَرْخَتْ إحْدَاهُمَا قُدِّمَتْ عَلَى الْقَدِيمِ وَهُوَ الصَّحِيحُ عِنْدَ الْقَاضِي حُسَيْنٍ، وَإِذَا عَلِقَتْ الْأَمَةُ مِنْ وَطْءِ شُبْهَةٍ ثُمَّ مَلَكَهَا الْوَاطِئُ صَارَتْ أُمَّ وَلَدٍ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ فِي الْقَدِيمِ وَاخْتُلِفَ فِي الصَّحِيحِ، وَتَزْوِيجُ أُمِّ الْوَلَدِ فِيهِ قَوْلَانِ وَاخْتَلَفَ فِي الصَّحِيحِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.

الفقه الإسلامي وأدلته - وهبة الزحيلي - ج ١ - ص ٧٩-٨١- المكتبة الشاملة
أـ (الأظهر): أي من قولين أو أقوال للشافعي رحمه الله تعالى، قوي الخلاف فيهما أو فيها، ومقابله (ظاهر) لقوة مدرك كلٍ (٢).
ب ـ (المشهور): أي من قولين أو أقوال للشافعي لم يقو الخلاف فيهما أو فيها، ومقابله (غريب) لضعف مدركه.
فكل من الأظهر والمشهور: من قولين للشافعي.
جـ ـ (الأصح): أي من وجهين أو أوجه استخرجها الأصحاب من كلام الشافعي، بناء على أصوله، أو استنبطوهامن قواعده، وقد قوي الخلاف فيما ذكر، ومقابله صحيح.
د ـ (الصحيح): أي من وجهين أو أوجه، ولكن لم يقو الخلاف بين الأصحاب، ومقابله ضعيف لفساد مدركه.
فكل من الأصح والصحيح: من وجهين أو أوجه للأصحاب.
هـ ـ (المذهب) من الطريقتين أو الطرق: وهي اختلاف الأصحاب في حكاية المذهب، كأن يحكي بعضهم في المسألة قولين، أو وجهين لمن تقدم، ويقطع بعضهم بأحدهما، وعلى كل قد يكون قول القطع هو الراجح، وقد يكون غيره. ومدلول هذا التعبير (المذهب): أن المفتى به هو ماعبر عنه بالمذهب.
وـ (النص) أي نص الشافعي، ومقابله وجه ضعيف أو مخرَّج (١)، وعلى كل قد يكون الإفتاء بغير النص.
ز ـ (الجديد): هو مقابل المذهب القديم، والجديد: هو ماقاله الشافعي في مصر تصنيفاً أو إفتاء، ورواته: البويطي والمزني والربيع المرادي وحرملة ويونس بن عبد الأعلى، وعبد الله بن الزبير المكي، ومحمد بن عبد الله بن عبد الحكم وغيرهم. والثلاثة الأول: هم الذين قاموا بالعبء، والباقون نقلت عنهم أمور محصورة.
ح ـ (القديم): ماقاله الشافعي في العراق تصنيفاً في كتابه (الحجة) أو أفتى به. ورواته جماعة أشهرهم: الإمام أحمد بن حنبل، والزعفراني والكرابيسي، وأبو ثور. وقد رجع الشافعي عنه، ولم يحل الشافعي الإفتاء به، وأفتى الأصحاب به في نحو سبع عشرة مسألة.
وأما ماوجد بين مصر والعراق، فالمتأخر جديد، والمتقدم قديم.
وإذا كان في المسألة: قديم وجديد، فالجديد هو المعمول به، إلا في مسائل يسيرة نحو السبع عشرة، أفتي فيها بالقديم (٢).
ط ـ (قولا الجديد): يعمل بآخرهما إن علم، فإن لم يعلم، وعمل الشافعي بأحدهما، كان إبطالاً للآخر أو ترجيحاً لما عمل به.
وكلمة (قيل) تعني وجود وجه ضعيف، والصحيح أو الأصح خلافه.
----------------------------
(٢) انظر في هذا وما يأتي مقدمة كتاب المنهاج للنووي.
(١) التخريج: أن يجيب الشافعي بحكمين مختلفين في صورتين متشابهتين، ولم يظهر مايصلح للفرق بينهما، فينقل الأصحاب جواب الشافعي في كل صورة إلى الأخرى، فيحصل في كل صورة منهما قولان: منصوص ومخرج، المنصوص في مسألة مخرج في الأخرى، والمنصوص في الأخرى مخرج في الأولى، فيقال: فيهما قولان بالنقل والتخريج، والأصح أن القول المخرّج لا ينسب للشافعي؛ لأنه ربما روجع فيه، فذكر فرقاً.
(٢) أوصل الشافعية هذه المسائل إلى اثنتين وعشرين مسألة، مثل عدم مضي وقت المغرب بمضي خمس ركعات (انظر بجيرمي الخطيب: ٤٨