Wednesday, January 25, 2023

KISAH PELECEHAN SEKSUAL SAAT TAWAF DI ZAMAN DULU

KISAH PELECEHAN SEKSUAL SAAT TAWAF  DI ZAMAN DULU

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R. Rozikin, Dosen di Universitas Brawijaya)

Berbuat dosa di tanah suci, apalagi di lingkungan Kakbah itu berbeda dengan tempat lain.

Sama-sama melakukan dosa, jika dilakukan di tempat yang suci, maka dosanya lebih berat.

Demikian beratnya dosa yang dilakukan di sana, sampai-sampai terkadang Allah mempercepat hukuman dosa itu di dunia  agar menjadi ibrah dan pelajaran bagi yang lain.

Ada seorang lelaki di masa lalu yang sedang tawaf.
Tidak sengaja tersingkaplah  lengan seorang wanita yang sedang tawaf juga.

Lengan  itu begitu halus, putih dan  indah hingga seakan-akan berkilauan.

Kemudian secara sengaja dia menempelkan lengannya pada lengan wanita itu untuk berlezat-lezat dengannya. Tiba-tiba Allah membuat lengan mereka melekat terus dan tidak bisa dilepaskan!

Dia menjadi sangat menyesal dan sedih dengan apa yang dilakukannya.

Akhirnya dia mendatangi salah seorang ulama dan meminta fatwa terkait masalah tersebut. Sang ulama memberi saran,

“Kembalikah ke tempat engkau melakukan perbuatan tersebut dan berjanjilah kepada Allah untuk tidak mengulanginya”

Kemudian saran itu dilakukan dan akhirnya terlepaslah dua lengan yang melekat tersebut.

Ibnu Abū al-Dunyā meriwayatkan,

«بَيْنَا رَجُلٌ يَطُوفُ بِالْبَيْتِ، إِذْ ‌بَرِقَ ‌لَهُ ‌سَاعِدُ امْرَأَةٍ، فَوَضَعَ سَاعِدَهُ عَلَى سَاعِدِهَا يَتَلَذَّذُ، فَلَصَقَتْ بِسَاعِدِهَا، فَأُسْقِطَ فِي يَدَيْهِ، فَأَتَى بَعْضَ أُولَئِكَ الشُّيُوخِ، فَقَالَ: ارْجِعْ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي فَعَلْتَ فِيهِ، فَعَاهِدْ رَبَّ الْبَيْتِ أَلَّا تَعُودَ. فَفَعَلَ، فَخُلِّيَ عَنْهُ "». «العقوبات لابن أبي الدنيا» (ص196)

Artinya,

“Suatu saat ada seorang lelaki yang bertawaf di Kakbah. Tiba-tiba tersingkaplah lengan seorang wanita. Maka lelaki itu meletakkan lengannya pada lengan wanita itu untuk berlezat-lezat dengannya. Maka lengannya langsung melekat pada lengannya. Diapun menyesal sekali. Kemudian dia mendatangi sebagian ulama, maka sang ulama berkata, ‘Kembalikah ke tempat engkau melakukan dosa tersebut  dan berjanjilah kepada pemilik baitullah untuk tidak mengulanginya’. Diapun melakukannya dan akhirnya bebaslah dia” (al-‘Uqūbāt li Ibn Abū al-Dunyā hlm 196)

***
Kisah Isāf (إساف) dan Nā’ilah (نائلة) di zaman jahiliah juga sangat populer terkait prinsip hukuman yang dipercepat jika dosa dilakukan di lingkungan Kakbah. Dua pasangan kekasih berzina di dalam Kakbah! Maka Allah mengubah mereka menjadi batu seketika!

Karena itulah, dalam kitab-kitab fikih dinasihatkan supaya benar-benar sensitif menjaga diri saat di lingkungan Kakbah. Jangan sampai bermaksiat apapun. Sekedar maksiat pandangan sekalipun. Sekali-kali jangan memandang lawan jenis yang sifatnya menikmati. Jangan pula memandang orang lain dengan pandangan mata meremehkan, entah karena fisiknya yang kurang atau karena kejahilannya dalam manasik.

#fikihumrah
#fikihumroh

Tuesday, January 24, 2023

Kapan Sayyidina Muhammad saw Menjadi Nabi?

Kapan Sayyidina Muhammad saw Menjadi Nabi?

Ada yang bilang bahwa Nabi Muhammad sudah menjadi Nabi sejak awal sebelum usia 40 tahun, bahkan sebelum Adam tercipta. Itu tidak benar. Nabi Muhammad jelas baru menjadi Nabi setelah berusia 40 tahun, sebelum itu belum menjadi Nabi meskipun sudah ada berbagai kejadian luar biasa yang menunjukkan bahwa beliau spesial. Kejadian luar biasa tersebut istilahnya irhash, bukan mukjizat sebab istilah mukjizat hanya bagi mereka yang telah diangkat menjadi Nabi saja.

Hadis yang menceritakan bahwa beliau diangkat sebagai Nabi tatkala berusia 40 tahun cukup banyak. Di antaranya adalah:

عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ، قالَ: «بُعِثَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وهُوَ ابْنُ أرْبَعِينَ سَنَةً
"Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Rasulullah diangkat menjadi Nabi tatkala berusia 40 tahun"

Sebenarnya dalil di atas sudah cukup, tapi sebagian orang betul-betul meyakini sebelum Itu Nabi Muhammad sudah menjadi Nabi meskipun belum mendapat wahyu pertamanya. Mereka juga menguatkan pendapatnya dengan beberapa hadis. Untuk itu perlu saya kutip pernyataan beliau sendiri bahwa sebelumnya beliau tidak menjadi nabi agar masalah ini terurai. Perhatikan hadis berikut:

فإن الله اتخذني عبدًا قبل أن يتخذني نبيًا

"Sesungguhnya Allah telah menjadikanku seorang hamba sebelum menjadikanku seorang Nabi"

Artinya ada fase di mana beliau menjadi hamba biasa terlebih dahulu sebelum diangkat menjadi Nabi. Adapun hadis-hadis yang mengisyaratkan seolah Nabi Muhammad sudah menjadi Nabi sebelum Nabi Adam, misalnya hadis berikut:

قلت: يا رسول اللَّه، متى كنت نبيًا؟ قال:»وآدم بين الروح والجسد
"Aku bertanya: Wahai Rasulullah, kapan engkau menjadi Nabi? Beliau menjawab: Ketika Adam masih antara ruh dan jasad (belum hidup)"

Maka maksud hadis itu adalah beliau sudah ditakdirkan menjadi nabi nantinya ketika beliau lahir ke dunia dan berusia 40 tahun. Pencatatan dalam buku takdir bahwa beliau nantinya akan diangkat menjadi Nabi ini dapat dipahami dari redaksi kedua hadis berikut:

وعَنْ أبِي هُرَيْرَةَ، قالَ: قالُوا: «يا رَسُولَ اللَّهِ! مَتى وجَبَتْ لَكَ النُّبُوَّةُ؟ قالَ: وآدَمُ بَيْنَ الرُّوحِ والجَسَدِ

Mereka berkata: "Wahai Rasulullah, kapan kenabian ditetapkan untukmu?" Rasul berkata : "Ketika Adam masih antara ruh dan jasad"

Ditetapkan di sini maksudnya ditetapkan dalam catatan takdir, bukan diangkat saat itu juga. Riwayat berikut memperjelas hal ini:

إنِّي عِنْدَ اللَّهِ مَكْتُوبٌ: خاتَمُ النَّبِيِّينَ، وإنَّ آدَمَ لِمُنْجَدِلٌ فِي طِينَتِهِ

"Aku sudah dicatat di sisi Allah sebagai Nabi terakhir, dan saat itu Adam masih dibentuk dalam tanahnya".

Dengan pemahaman ini maka semua hadis dalam pembahasan ini singkron dan tidak saling kontradiksi. Semoga bermanfaat.

*NB: Ada hadis-hadis lain yang seolah menekankan bahwa beliau sudah diangkat menjadi Nabi sejak awal tetapi sengaja tidak saya kutip karena lemah atau palsu.

Sunday, January 15, 2023

MENGENAL KITAB AL-MANHAL AL-NAḌḌĀKH KARYA IBNU AL-QARAHDAGI

MENGENAL KITAB AL-MANHAL AL-NAḌḌĀKH KARYA IBNU AL-QARAHDAGI

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya

Jika Anda ingin mengetahui ikhtilaf antara Ibnu Ḥajar al-Haitamī, al-Ramlī dan al-Syirbīnī saat mentarjih pendapat  mu’tamad mazhab al-Syāfi‘ī, maka di antara rujukan terbaik dalam topik ini adalah kitab al-Manhal al-Naḍḍākh karya Ibnu al-Qarahdagī.

Nama lengkap kitab ini sebagaimana disebutkan pengarang dalam mukadimah adalah  al-Manhal al-Naḍḍākh fī Ikhtilāf al-Asy-yākh (الْمَنْهَلُ النَّضَّاخُ فِيْ اخْتِلَافِ الأَشْيَاخِ). Makna manhal adalah tempat mereguk air minum. Makna al-naḍdākh adalah deras mengalir. Seakan-akan dengan judul ini,  pengarangnya ingin mengenalkan kitabnya yang memiliki karakteristik kaya isi dan padat ilmu bagaikan sumber yang airnya melimpah-limbah sehingga bisa diminum dengan puas oleh siapapun yang kehausan. Ilmu yang siap direguk oleh santri yang haus pengetahuan adalah informasi tentang  ikhtilaf ulama-ulama besar mazhab al-Syāfi‘ī di fase kedua tahrir mazhab.

Pengarangnya bernama  Umar al-Qarahdagī atau lebih dikenal dengan nama Ibnu al-Qarahdagī (ابن القره داغي). Nama lengkap beliau Umar bin  al-Syaikh Muhammad Amīn bin al-Syaikh Ma‘rūf al-Qarahdāgī al-Gaffārī al-Mardūkhī. Nama terkenalnya Ibnu al-Qarahdagī, yakni dinisbahkan kepada laqab kakeknya yang asli lahir di Qaradagh.

Sampai di sini bedakan dengan Prof Ali al-Qarahdagī yang banyak mengarang buku terkait ekonomi Islam karena keduanya beda generasi. Ibnu al-Qarahdagī itu hidupnya antara tahun 1886-1936 sementara Prof Ali al-Qarahdagī yang tinggal di Qatar termasuk ulama kontemporer yang sezaman, bahkan banyak beraktifitas bersama syaikh Yusuf al-Qaraḍāwī. Malahan harus diketahui bahwa di sana ada banyak nama ulama yang diakhiri laqab al-Qarahdagī. Jika tidak teliti maka bisa salah identifikasi.

Ibnu al-Qarahdagī lahir tahun 1303 H/1886 M di kota al-Sulaimāniyyah di Irak. Di sanalah beliau tumbuh berkembang di bawah asuhan ayahnya yang juga  berilmu.  Belajarnya dikenal serius dan sangat teliti sehingga gurunya sendiripun sampai percaya kepadanya jika ada persoalan yang perlu ditahkik. Awalnya beliau belum terkenal, tetapi begitu mulai menulis dan tersebar karangannya, terlihatlah kualitas keilmuannya  sehingga menjadi populer dan banyak yang ingin belajar kepada beliau. Penguasaannya terhadap mazhab al-Syāfi‘ī mengagumkan. Ada satu kisah menarik terkait hal ini. Begini kisahnya.

Sudah menjadi kebiasaan sejumlah murid beliau, bahwa sebelum ngaji kitab Tuḥfatu al-Muḥtāj, para murid ini akan belajar dulu malam sebelum kajian. Tujuannya nya agar saat ngaji, mereka tidak sampai terluput fawāid tambahan yang tak tertulis dalam kitab.

Suatu hari ada bagian pembahasan dalam kitab Tuḥfatu al-Muḥtāj  tersebut yang susah dipahami. Jadi mereka menunda pertemuan kajian dengan sang guru. Lalu mereka semua bekerja keras berusaha memecahkannya.

Malam pertama mereka gagal memecahkan maknanya. Lalu mereka menunda pertemuan dengan Ibnu al-Qarahdagī lagi. Kemudian di malam kedua mereka mencoba memecahkannya lagi, tapi masih gagal. Begitu masuk malam ketiga barulah ada salah seorang yang berhasil memecahkannya kemudian mendiskusikannya dengan kawannya dan semua setuju dengan pemecahan tersebut.

Begitu merasa sudah paham, mereka minta kajian kepada Ibnu al-Qarahdagi. Mereka berharap sang guru bingung juga dan bertawaqquf untuk pertama kalinya. Tapi saat tiba hari kajian, dengan entengnya sang guru menjelaskan dengan sangat bagus apa yang didiskusikan sejumlah muridnya sampai 3 hari itu. Peristiwa ini semakin membuat mereka semakin percaya dengan  kedalaman ilmu sang guru.

Jadwal mengajarnya sangat padat. Beliau biasa mengajar semenjak terbit matahari sampai zuhur, lalu salat, kemudian makan siang, lalu beristirahat, dan setelah itu mengajar lagi!  Karyanya cukup banyak di berbagai bidang ilmu syar’i maupun sains. Tapi di antara yang terpenting adalah al-Manhal al-Naḍḍākh ini.

Sebagaimana diterangkan singkat di awal tulisan, fokus kitab ini adalah menjelaskan ikhtilaf antara Ibnu Ḥajar al-Haitamī, al-Ramlī dan al-Syirbīnī saat mentarjih pendapat  mu’tamad mazhab al-Syāfi‘ī. Dengan demikian, ia mirip dengan kitab Bidāyatu al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, hanya saja karya Ibnu al-Qarahdagī fokus pada ikhtilaf internal  mazhab al-Syāfi‘ī di fase kedua tahrir mazhab.

Kitab ini termasuk karya yang ditulis pengarang di akhir hayatnya, walaupun bisa dikatakan konsepnya sudah disiapkan sejak masa mudanya. Penulisannya tidak ditulis  sekali jadi tetapi dituntaskan dalam waktu yang terpisah-pisah.

Adapun syaikh-syaikh al-Syāfi‘ī yyah yang ikhtilafnya  dibahas dalam kitab ini, maka terutama sekali adalah tiga orang yaitu Ibnu Ḥajar al-Haitamī (w. 974 H), Syamsuddin al-Ramlī (w. 1004 H)), dan al-Khaṭīb al-Syirbīnī (w. 977 H). Setelah itu di beberapa tempat dilengkapi juga dengan pendapat Syihābuddīn al-Ramlī (w.957 H), Ibnu Qāsim al-‘Abbādī (w. 944 H), al-Syabrāmallisī (w. 1087 H), dan  Zakariyyā al-Anṣārī (w. 926 H).

Referensi yang dipakai saat menyusun kitab ini yang paling utama ada 3 yaitu, Tuḥfatu al-Muḥtāj karya al-Haitamī, Nihāyatu al-Muḥtāj karya al-Ramlī, dan Mugnī al-Muḥtāj karya al-Khaṭīb al-Syirbīnī. Jadi perbandingan utama memang berputar pada ketiga karya ini. Pada sebagian kasus, pengarang merujuk pada Ḥāsyiyah  Ibnu Qāsim al-‘Abbādī ‘alā Tuḥfat al-Muḥtāj, Ḥāsyiyah  al-Syabrāmallisī ‘Alā Tuḥfat al-Muḥtāj , Syarḥu al-Minhāj Zakariyyā al-Anṣārī.

Simbol saat merujuk ulama-ulama tersebut adalah sebagai berikut


• (حج)=untuk Ibnu Ḥajar al-Haitamī dalam Tūhfatu al-Muḥtāj

• (رم)= untuk Syamduddin al-Ramlī dalam Nihāyatu al-Muḥjāj

• (خط)= untuk al-Khaṭīb al-Syirbīnī dalam Mugnī al-Muḥtāj

Terkadang Ibnu al-Qarahdāgī menyebut salah satu dari 3 orang ini, lalu sisanya diungkapkan dengan ungkapan taṡniyah semisal  qālā (قالا)

• (سم)= untuk Ibnu Qāsim al-‘Abbādī

• (ع ش) = untuk al-Syabrāmallisī

• (الشيخ) = untuk Zakariyyā al-Anṣārī

Kelebihan kitab ini adalah detail diksinya, mendalam pembahasannya, ringkas bahasanya,padat isinya. Pentahkiknya bersaksi pengarangnya sangat amanah dan teliti dalam menukil.

Susunan kitab ini diatur dengan pembagian bab seperti pembagian topik fikih. Dimulai pembahasan ikhtilaf topik taharah, salat, zakat, puasa,...dst  sampai akhir topik yakni pembebasan budak. Hasil penelitiannya menunjukkan ada hampir 2000 ikhtilaf di antara 3 muharrir besar mazhab al-Syāfi‘ī itu. Tepatnya ada 1814 ikhtilaf.

Terkait dengan tarjih terhadap ikhtilaf itu, sudah umum diketahui di kalangan pemerhati tahrir mazhab al-Syāfi‘ī bahwa Ibnu Ḥajar al-Haitamī  dan Syamduddin al-Ramlī itu secara umum level keilmuannya setara. Oleh karena itu ada perbedaan pendapat hasil penelitian siapa yang dikuatkan jika mereka berbeda pendapat. Ulama-ulama Mesir lebih memilih hasil penelitian al-Ramlī sementara ulama-ulama Hijaz memilih pendapat Ibnu Ḥajar al-Haitamī .

Karena kesetaraan inilah maka ikhtilaf keduanya juga dipandang setara secara umum. Jika orang belum mampu mentarjih, maka boleh memilih secara bebas di antara pendapat keduanya. Tetapi jika sudah bisa mentarjih maka ia mentarjih berdasarkan ilmunya.

Hanya saja, dalam pendapat Ibnu al-Qarahdagī, Ibnu Ḥajar al-Haitamī itu lebih luas ilmunya daripada al-Ramlī . Karenanya, jadi jika ada ikhtilaf di antara al-Haitamī dan al-Ramlī, dan orang belum bisa melakukan tarjih  maka disarankan memenangkan perndapat al-Haitamī  untuk difatwakan. Penelitian al-Haitamī tetap dimenangkan baik keduanya (al-Haitami dan al-Ramlī) punya pendukung, atau tidak punya pendukung, bahkan walaupun pendukung al-Ramlī lebih banyak.

Tapi jika pendapat al-Ramlī didukung oleh al-Syirbīnī, atau didukung ulama sesudah mereka, maka penelitian al-Ramlī dimenangkan. Sebab, menurut al-Sayyid Umar al-Baṣrī dalam fatwanya, Mugni al-Muḥtaj itu selevel dengan Nihāyatu al-Muḥtāj padahal al-Sayyid Umar al-Baṣrī sendiri adalah di antara murid cemerlang al-Ramlī. Al-Kurdī dalam fatwanya juga berpendapat 3 karya tersebut levelnya berdekatan, jadi boleh saja bertaklid salah satu dari 3 penelitian mereka.

Satu fakta penting juga, al-Haitamī dalam penelitian tarjihnya banyak mengikuti hasil penelitian Zakariyyā al-Anṣārī. Al-Ramlī banyak mengikuti hasil penelitian ayahnya (Syihābuddīn al-Ramlī).  Al-Syirbīnī kadang mengikuti penelitian Syihābuddīn al-Ramlī dan terkadang mengikuti Zakariyyā al-Anṣārī.

Jika mengikuti kaidah yang sudah umum terkait cara mengtarjih ikhtilaf para muharrir tersebut, maka kaidahnya adalah sebagai berikut,

1. Ikuti kesepakatan Ibnu Ḥajar al-Haitamī dan al-Ramlī
2. Jika keduanya berbeda pendapat, bebas memilih selama belum mampu mentarjih
3. Jika keduanya berbeda pendapat, dan sudah mampu mentarjih maka pilihlah berdasarkan argumentasi tarjih tersebut
4. Jika ada yang luput belum dibahas dua orang tersebut, maka bertumpu pada hasil penelitian Zakariyyā al-Anṣārī
5. Jika tidak ada maka bertumpu pada hasil penelitian al-Khaṭīb al-Syirbīnī

Penerbit Dār  al-Basyā’ir al-Islāmiyyah mencetak kitab ini atas jasa tahqiq prof. ‘Alī Muḥyiddīn al-Qarahdagī  tahun 1428 H/2007 M  dalam 382 halaman

Ibnu al-Qarahdagī wafat pada  hari Rabu, 21 Shofar tahun 1355 H/ 13 Mei 1936 M diusia sekitar 52 tahun karena kanker.

رحم الله ابن القره داغي رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين

#ikhtilafhaitamiromli
#tahrirmazhab