Saturday, December 30, 2017

Menyerupai Suatu Kaum: Hadits, Konteks Budaya, Dan Tahun Baru 2018

Minggu, 31 Desember 2017

Hanya dengan satu hadits ini, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR Abu Daud dan Ahmad), banyak ustaz yang lantang mengharamkan hampir semua aspek kehidupan kita saat ini. Bagaimana cara kita memahami hadits ini dalam tinjauan ilmu hadits, sejarah, politik dan budaya?

Berbeda dengan imajinasi pihak tertentu, dari mulai Prof Samuel Huntington sampai Emak-emak yang hobi main medsos, yang membayangkan terjadinya benturan budaya, sesungguhnya peradaban manusia dibangun lewat perjumpaan dan percampuran berbagai budaya di dunia ini. Dari mulai bahasa, pakaian, makanan, karya seni, teknologi sampai olahraga terdapat titik-titik kesamaan yang kemudian bila dilacak ke belakang kita akan kesukaran menentukan identitas asli tradisi tersebut.

Ambil contoh, memakan dengan sumpit. Kawan bule saya keheranan saya tidak bisa menggunakan sumpit padahal sudah 20 tahun lebih tinggal di Australia. Ganti saya yang keheranan ketika sumpit dihubungkan dengan tradisi Australia. Bukannya ini berasal dari Cina? Kawan bule saya dengan santai bilang: “Aslinya sih begitu, tetapi semua anak Ausie tahu cara pakai sumpit.”

Saya beri satu contoh umum lagi, sebelum kita masuki contoh yang kontroversial. Sepak bola modern berasal dari Inggris. Paling tidak itu kata kawan saya yang penggemar berat Arsenal. Tapi ternyata olahraga ini punya sejarah panjang dari mulai permainan cuju di Cina, sampai permainan epyskiros di Yunani.

Dan kini setiap menyebut sepak bola, dunia tidak lagi mengingat pemain Inggris, Cina atau Yunani, tetapi Messi dari Argentina dan Ronaldo dari Portugal (keduanya bermain di Liga Spanyol). Dan saya menduga baik Messi maupun Ronaldo juga tidak keberatan makan dengan sumpit.

Nah, bisakah hanya gara-gara makan dengan sumpit atau menjadi penggemar bola, Anda kemudian dianggap bagian dari mereka? “Mereka” itu siapa? Itu saja tidak jelas karena untuk sampai kepada “mereka”, perjalanan sumpit dan sepak bola itu panjang melintasi benua dan samudera. Tapi bukankah sebagai orang Jawa, Sunda, Bugis atau Ambon Anda tetap tidak merasa kehilangan kejawaan, kesundaan, kebugisan atau keambonan Anda hanya karena makan mie pangsit dengan sumpit atau mengoleksi berbagai atribut Real Madrid atau  Barca?

Lantas apa maksud hadits di atas? Saya dulu pernah menjelaskan soal politik identitas. Saya kutip sebagian:

Pada masa Nabi Muhammad hidup lima belas abad yang lampau, identitas keislaman menjadi sesuatu yang sangat penting. Tapi bagaimana membedakan antara Muslim dengan non-Muslim saat itu? Bukankah mereka sama-sama orang Arab yang punya tradisi yang sama, bahasa yang sama bahkan juga berpakaian yang sama? Untuk komunitas yang baru berkembang, loyalitas ditentukan oleh identitas pembeda.

Pernah pada suatu waktu, orang kafir menyatakan masuk Islam di pagi hari, dan kemudian duduk berkumpul bersama-sama komunitas membicarakan strategi dakwah, tapi di sore hari orang itu menyatakan dia kembali kafir lagi. Maka, murkalah Nabi. Tindakan itu dianggap sebuah pengkhianatan terhadap loyalitas komunal. Di sini muncullah hukuman mati terhadap orang murtad, yang di abad modern ini mirip dengan hukuman terhadap pengkhianat dan pembocor rahasia negara.

Mulailah Nabi Muhammad melakukan konsolidasi internal: loyalitas dibentengi dengan identitas khusus. Nabi melakukan politik identitas: umat Islam dilarang menyerupai kaum Yahudi, Nasrani, Musyrik bahkan Majusi. Maka, keluarlah aturan pembeda identitas dari soal kumis-jenggot, sepatu-sendal, dan warna pakaian. Pesannya simpel: berbedalah dengan mereka. Jangan menyerupai mereka, karena barang siapa yang menyerupai mereka, maka kalian sudah sama dengan mereka.

Inilah konteks hadits di atas: politik identitas dari Nabi untuk komunitas Islam saat itu. Nah, para ustaz jaman now yang gemar mengutip hadits tasyabuh ini sebenarnya juga hendak mengukuhkan identitas keislaman kita bahwa kita berbeda dengan “mereka”. Namun para ustaz lupa bahwa kita tidak lagi hidup di komunitas terbatas seperti perkampungan Madinah 15 abad lalu.

Kita sekarang sudah menjadi citizen of the world (warga dunia). Kondisi sudah berubah, identitas keislaman tidak akan tergerus oleh pembeda yang berupa asesoris semata. Identitas keislaman saat ini adalah akhlak yang mulia.

Secara sanad, hadits di atas juga tidak diriwayatkan oleh dua kitab utama, Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Para ulama hadits juga berbeda menentukan derajat hadits itu. Ada yang mensahihkan, ada yang memandang hadits itu hasan, bahkan ada pula yang mendhaifkannya. Bagi yang mengkritik perawi hadits di atas, mereka misalnya menemukan persoalan pada Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban.

Ahmad bin Hanbal mengatakan hadits yg diriwayatkan perawi ini munkar. Abu Dawud mengatakan tidak mengapa dengannya. An-Nasa’i mengatakan dha’if. Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa yang bersangkutan itu jujur, tapi sering keliru, dianggap bermazhab Qadariyyah, dan berubah hapalannya di akhir usianya.

Mengapa para ustaz tidak menjelaskan perbedaan status sanad hadits ini dan juga konteks kemunculannya? Saya berbaik sangka para ustaz tidak punya kesempatan yang cukup untuk menjelaskannya di video youtube mereka yang viral itu.  Wa Allahu a’lam.

Saya ingin sekali lagi menunjukkan betapa pentingnya memahami hadits sesuai konteksnya. Misalnya ada riwayat:

“Berbedalah kalian dengan Yahudi, karena mereka salat tidak pakai sandal dan sepatu” (HR Abu Daud).

Guru saya, Prof Dr KH Ali Mustafa Ya’qub, pernah menjelaskan bahwa kondisi masjid di zaman Nabi itu tidak pakai lantai. Hanya beralaskan tanah atau pasir. Maka, kita paham konteksnya. Bayangkan kalau hadits ini sekarang kita pakai apa adanya dan kita masuk masjid dengan sandal dan sepatu. Kita akan diteriakin bahkan mungkin dianggap penista Islam. Itulah gunanya memahami konteks hadits.

Yang dulunya diwajibkan, malah bisa dilarang, ketika konteksnya berubah. Abu Yusuf, murid utama Imam Abu Hanifah, dengan cerdas mengeluarkan kaidah: “Jika suatu nash muncul dilatarbelakangi sebuah tradisi, dan kemudian tradisi itu berubah, maka pemahaman kita terhadap nash itu juga berubah.”

Di samping itu, tidak benar kalau Rasulullah selalu hendak berbeda dengan kaum non-Muslim. Misalnya HR Bukhari-Muslim ini:

“Nabi SAW tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab : ”Sebuah hari yang baik, ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur. Maka, beliau Rasulullah menjawab : ”Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu.”

Saya sudah jelaskan bahwa cara berpakaian orang Arab baik Muslim maupun non-Muslim saat itu serupa, maka penanda yang tampak seperti tampak di wajah itu menjadi penting bagi identitas keislaman pada saat itu seperti riwayat ini:

“Selisilah orang-orang musyrik. Potong pendeklah kumis dan biarkanlah jenggot.” (HR Muslim).

Tapi bagaimana dengan model sisiran? Ternyata Nabi tidak menyelisihi non-Muslim. Kenapa? Karena rambut tertutup sorban sehingga apa pun model sisiran rambut tidak akan menjadi penanda identitas. Perhatikan riwayat ini:

“Dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah dahulunya menyisir rambut beliau ke arah depan hingga kening, sedangkan orang-orang musyrik menyisir rambutnya ke bagian kiri-kanan kepala mereka, sementara itu Ahlul Kitab menyisir rambut mereka ke kening. Rupanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih suka bila bersesuaian dengan apa yang dilakukan oleh Ahlul Kitab dalam perkara yang tidak ada perintahnya. Namun kemudian hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyisiri rambutnya ke arah kanan-kiri kepala beliau”. (HR Bukhari)

Nah, kalau kita memahami teks riwayat di atas secara apa adanya, apa kita berani mengatakan bahwa Rasulullah serupa dengan non-Muslim dan telah menjadi bagian dari mereka hanya karena model sisirannya sama? Yang heboh nanti sobat saya, Kang Maman Suherman, yang plontos itu. Dia akan bingung mau nyisir model apa biar gak dianggap kafir! 

Begitu juga soal jenggot dan kumis, kini tidak lagi menjadi satu-satunya pembeda antara identitas Muslim dengan non-Muslim. Banyak selebriti yang sekarang memelihara jenggot dan tidak berkumis, begitu juga para tokoh non-Muslim yang juga seperti itu. Apa mereka menjadi Muslim atau kita yang menjadi kafir gegara punya jenggot?

Sekarang bagaimana dengan perayaan tahun baru? Bagaimana dengan perayaan Valentine? Bagaimana dengan ucapan selamat hari ibu, selamat ulang tahun, selamat atas wisuda, selamat atas promosi jabatan? Bagaimana kalau kita pakai celana jeans, atau dasi dan jas?

Untuk perempuan, tahukah Anda sejarah bra? Zaman Rasul gak ada muslimah yang pakai bra, itu tradisi Eropa abad ke-18. Bolehkah Anda sekarang pakai bra? Untuk yang lelaki, bagaimana kalau kita pakai topi cowboy atau topi ulang tahun, atau topi santa?

Saya sudah jelaskan konteks hadits tasyabuh dan dikaitkan dengan hadits lain serta pemahaman kita akan interaksi berbagai budaya di dunia. Kembali ke contoh awal di tulisan saya ini, apa Anda lantas merasa jadi kafir hanya karena makan dengan sumpit dan menonton atau ikut bermain sepak bola?

Dalam tradisi hukum Islam dikenal kaidah al-‘adah muhakkamah. Tradisi yang tidak bertentangan langsung dengan pokok-pokok akidah itu bisa diakui dan diakomodir dalam praktik maupun ekspresi keislaman kita. Kaidah ini membuat Islam bisa menerima berbagai budaya tanpa harus kehilangan identitas keislaman kita. Itu pula yang dilakukan Walisongo saat mengakomodir budaya dan tradisi Nusantara.

Saya tidak ingin memberi fatwa boleh atau tidaknya merayakan ini dan itu, boleh tidaknya memakai ini dan itu. Anda putuskan sendiri saja. Semoga penjelasan saya ini cukup menjadi bahan pertimbangan Anda. Hidup ini pilihan. Selamat memilih, dan Selamat Tahun Baru 2018

Friday, December 29, 2017

Nasihat dari wali majdzub

Habib Jakfar Alkaff Kudus, terkenal memiliki kebiasaan jadzab (berbuat aneh). Meskipun jadzab, ternyata beliau sering  juga mernahake ( bahasa Salik nya adalah mentarbiyyah/membimbing)  para muhibbin ( pecinta)  beliau.  Salah seorang muhibbinnya dipanggil beliau dan dikasih uan.

'' Ji ... ini duit buat kamu.  Buat beli For tuner, ya?  '' Kata Habib Ja'far.
'' Njih,  bib '' Kata Pak Kaji sambil menghitung jumlah uang pemberian Habib. Totalnya cuma 400 ribu rupiah.
Melihat uang pemberiannya dihitung,  Habib Jakfar berkata ' jangan dihitung, Ji.  Harus ikhlaaas,  ''

Ini pelajaran pertama dari habib ja'far,  bahwa pemberian Allah baik berupa uang ataupun harta yang lain tidak boleh dilihat materi / barangnya.  Juga berapa jumlahnya. Tetapi lihatlah siapa gerangan Dzat yang memberinya. Yakni Allah Ta'ala . Saputangan harganya murah. Tetapi saputangan pemberian kekasih,  tidak ternilai harganya.

Beberapa waktu kemudian,  Habib Jakfar mengajak dia ke tepi laut. Beliau berkata, '' Jii ....ini duit dalam tas semua, ayoh dibuang ke lauuut. Diniati shadaqah Sir/rahasia, yaa?  Diniati shadaqah Sir  yaa?  ''

Bersama salah satu khadim/pembantu,  pak Kaji tersebut membuang lembaran - lembaran uang kelaut. Dia perkirakan tidak kurang dari 20 juta rupiah uang yang dibuang. Muhibbin itu berpikir keras apa makna perbuatan ini, serta apa konteknya dengan dirinya?

Ini pelajaran kedua untuk dirinya,  bahwa bagi seorang Arif billah, antara  uang dan tanah liat  nilainya  tidak ada bedanya . Yang membuat berbeda adalah kecintaan hati kepada salah satu dari keduanya. Jika tidak ada cinta,  ( karena yang dicinta hanyalah Allah)  emas,  uang atau yang lain tidak lagi berharga sehingga tidak layak diuber-uber apalagi dicinta.

Perbuatan membuang uang kelaut, pernah menjadi sasaran kritik Ibnul Qayyim kepada kaum Sufiyyah yang melakukannya. Karena perbuaan tersebut secara fikih dhahir hukumnya haram disebabkan tadzyi'ul maal /  mensia-siakan harta. Namun Ba'dhul Arifien Quddisa Sirruh, menjawabnya  banyak . Diantaranya :

''Kaum Sufiyyah membuang Harta ke laut, saat mereka mulai merasa hatinya tertambat dengan Harta tersebut. Dan bagi seorang Sufi haram hukumnya mencintai harta dunia, dan bahayanya cinta dunia itu lebih dahsyat dari dosanya mensia-siakan Harta.  Jika ditanya, mengapa tidak disedekahkan saja?  Dijawab bahwa, terhadap sosok Sufi seperti diri  mereka sendiri saja, mereka tidak mempercayai untuk menyerahkan 'dunia',  apalagi terhadap orang lain?  Tuhmah ( kekhawatiran)  tersebut membuat mereka terpaksa membuangnya ke laut. ''

Apa yang dilakukan Habib Ja'far juga selaras dengan hal diatas, dimana beliau ingin mengajari Muhibbinnya, supaya tidak cinta dunia. Dan beliau peraktekkan sendiri didepan matanya,  membuang uang berjuta-juta ketengah laut,  seperti berkata : '' Ji,  jangan kedunyan (cinta dunia). Duit itu bagi seorang yang ' mengerti ' , tidak ada nilainya ''

Kemudian saat akan pulang,  Habib memanggilnya kembali : '' Ji,  kamu punya tanaman dalam pot di pojok Rumah? ''
Pak Kaji menjawab :" Bener,  Bib ''
''Sampai rumah,  Cabuten ae, '' kata beliau.

Pak Kaji langsung tercenung. Bukan heran, Habib Ja'far bisa tahu dia punya tanaman itu,  karena hal-hal kasyaf model begitu sudah biasa dia jumpai dalam diri Habib Jakfar. Tetapi dia tercenung karena dia baru sadar , ini pelajaran penting untuk dirinya dari Habib,  karena beberapa waktu belakangan ini dia sangat suka merawat tanaman tersebut.

'' Harganya mahal.  Saya membelinya 7 juta rupiah '' Kata Pak Kaji.

Tampaknya,  dia diajari oleh Habib ja'far: '' Ji,  ji ..... Bebaskan hatimu dari ta'alluq condong dengan tanaman berharga jutaan.  Bersihkan hatimu dari suka mobil Fortuner. Bersihkan hatimu dari kicauan Lovebird.  Bersihkan hatimu dari akik Bacanmu  . Bersihkan hatimu dari wajah Ayu istrimu dan gemesinnya anak-anakmu ...bersihkan ...bersihkan ...bersihkan .... ''

sumber fb Abi Husna

Monday, December 25, 2017

Sahabat dunia akhirat

Samur, bertubuh pendek dan lumpuh,
adalah seorang Nasrani.
Soleh, bertubuh tinggi jangkung dan buta, adalah seorang Muslim.
Foto ini diambil di Damaskus tahun 1889. Keduanya sejak kecil sudah yatim piatu
dan tinggal bersama dalam satu rumah.
Samur bergantung pada kaki soleh
untuk berjalan, soleh bergantung pada mata Samir untuk melihat.
.
Keduanya berkerja di sebuah warung kopi
dan dikaruniai umur yang panjang
krn keduanya lain ibadah tetap rajin sampai sekali waktu samur tidur disebelah soleh
yg sedang solat malam sambil soleh
membaca solawat nabi muhammad saw setelah mengerjakan solat 'dlm tidur samur bermimpi didatangi cahaya putih yg berjalan bersama soleh dan cahya itu berkata kpd samur Hai samur  jika kamu ingin berkumpul bersama sahabatmu  soleh dunia dan akhirat maka ikutilah ajaran soleh' samur berkata
siapa anda' tanya samur..?
Berkata cahya itu temanmu tau Aku tanya lah padanya siapa Aku..!!
Lalu cahya itu berkata lagi salam
pada sahabatmu dariku Muhammad saw' akhirnya samur terbangun melihat soleh masi berdoa sambil mengucur air mata,
setelahnya samur berkata wahai sahabatku ,sudahkan kau berdoa..!!
soleh berkata" ya Alloh..! samur 'kau sudah bangun" samur berkata aku ingin bercerita... setelah menceritakan mimpinya, keduanya menangis dan akhirnya samur masuk islam berkah sahabat yg soleh. Samur meninggal lebih dahulu.

Seminggu kemudian, soleh menyusul Samur, meninggal karena cinta yang sangat mendalam mengumpulkan mereka satu atap di syurga bersama kekasih tuhan semesta Alam Nabi Muhammad saw.

Dari FB ThoriqohAlfisbuqi Alkufi

Saturday, December 23, 2017

DAKWAH LEMAH LEMBUT ABU BAKR AL-SHIDDIQ

DAKWAH LEMAH LEMBUT ABU BAKR AL-SHIDDIQ
Oleh: Ahmad Ishomuddin

Nama lengkapnya adalah 'Abdullah  bin Abi Quhafah ('Utsman) bin 'Amir bin 'Amr bin Ka'b bin Said bin Taim Ibn Murrah bin Ka'b. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah shalla Allahu 'alaihi wa sallama pada Murrah bin Ka'b, kakek beliau yang keenam.

Nama Abu Bakr pada masa jahiliyah adalah 'Abd al-Ka'bah, lalu namanya diganti oleh Rasulullah saw. dengan nama 'Abdullah. Adapun nama gelarnya  yang populer adalah al-'Athiq dan al-Shiddiq.

Abu Bakr ra.lahir pada tahun kedua atau ketiga dari Tahun Gajah, dua tahun enam bulan setelah kelahiran Nabi Muhammad saw. Hidup berkembang di Makkah dan berprofesi sebagai pedagang pakaian dan menjadi kaya karenanya. Ia juga seorang yang sangat ahli dibidang nasab yang tiada duanya pada masa itu, lebih-lebih nasab suku Quraisy.

Abu Bakr sejak muda berakhlak mulia, tidak pernah berdusta dan tidak terpengaruh oleh berita bohong, dermawan, mulia, banyak memberi, jauh dari berhala, tidak pernah mendekatinya, apalagi menyembahnya. Ia dikenal sangat anti terhadap minuman keras (khamr) sejak sebelum Islam. Saat ia ditanya, "apakah engkau pernah minum khamr?" Ia menjawab, "A'udzu Billy hidup  (aku berlindung diri kepada Allah)!" Lalu ia ditanya, "Mengapa?" Ia menjawab, "Aku selalu menjaga kehormatanku dan memelihara muruah-ku, maka sungguh orang yang meminum khamr  telah menyia-nyiakan kehormatannya dan muruah-nya".

Abu Bakr memiliki enam orang anak, yakni tiga laki-laki dan tiga perempuan, dari empat isteri:
1- Qatilah binti 'Abd al-Uzza melahirkan 'Abdullah dan Asma'.
2- Ummu Rumah Da'd binti 'Amir melahirkan 'Abd al-Rahman dan  'Aisyah.
3- Asma' binti 'Umais melahirkan Muhammad.
4- Habibah binti Kharijah bin Zaid al-Anshariyyah melahirkan Ummu Kultsum setelah beliau wafat.

Sejak sebelum Islam Abu Bakr telah bersahabat sangat dekat dengan Nabi Muhammad saw. dan masuk Islam sangat segera tanpa keraguan sedikitnya. Abu Bakr adalah orang laki-laki dewasa pertama yang masuk Islam dan beriman kepada Nabi Muhammad saw. Keislamannya sangat berarti bagi perkembangan Islam selanjutnya, karena ia adalah pemimpin suku Quraisy yang disegani, orang kaya, juru  dakwah kepada Islam, dicintai, lemah lembut  dan banyak memberikan sumbangan berupa harta demi menaati Allah dan Rasul-Nya.

Melalui Abu Bakr yang lemah lembut banyak kerabat dan sahabatnya yang menerima dakwahnya itu dan mereka pun masuk Islam. Tercatat 'Utsman bin 'Affan, al-Zubair bin 'Awwam, Thalhah bin 'Ubaidillah, Sa'd bin Abi Waqqash, 'Abdurrahman bin 'Auf, 'Utsman bin Madh'un, Abu 'Ubaidah Ibn al-Jarrah, Abu Salmah bin 'Abd al-Asad dan al-Arqam bin Abi al-Arqam, mereka semua masuk Islam karena dakwah (ajakan) dari Abu Bakr. Dan dengan sebab Islamnya mereka maka Bilal, Shuhaib, 'Ammar dan anaknya, Yasir, serta ibunya, Sumayyah juga memeluk Islam.

Friday, December 22, 2017

IBUKU KEPINGIN NAIK H A J I

🕋  Artikel K.H.HENRY SUTOPO.....  
---------------------------------------
IBUKU KEPINGIN NAIK H A J I   🕋

Setiap orang pasti pingin hidup BAHAGIA Dunia akhirat... Bahasa santrinya Fiiddunya khasanah wafil aakhiroti khasanah... Kalau sempurna tambah waqinaa 'adzaabannaar... Terjaga dari siksa  neraka.

Kebahagiaan hidup di dunia ini bersifat relatif... Tidak bisa diukur dengan Materi harta kekayaan, pangkat jabatan, gelar Akademik dsb... Demikian pula ukuran kesuksesan orang, tentu ukurannya tidak seperti itu.

Orang kaya yang tidur di Hotel Mewah dengan tarif lebih 900 $ per malam... Bisa kalah bahagia dengan Sopir Becak yang tidur di atas becaknya di pinggir jalan sambil memeluk Radio Baterai mendengarkan siaran Wayang.

Sering kalau ngobrol tentang resep hidup bahagia...saya biasanya ngomong : Hormati dan Bahagiakan orang tua semampumu... Dan jika keduanya sudah tiada... Rajinlah mendoakannya.

Saya ngomong seperti itu tentu ada dasarnya... Di samping dalil-dalil  Agama... juga fakta dan realita kehidupan yang saya temui...Orang yang menurutku bahagia dan yang tidak atau belum... Ternyata tergantung kepada Birrul Waalidain (baca... Aku Dianggap Orang Pintar (3)...).

Kenapa Allah "menggandengkan" kewajiban menghamba kepada Nya dengan kewajiban berbakti kepada kedua orangtua... Seperti dalam Al Israa 23 "Allah telah menetapkan agar kalian tidak beribadah melainkan kepada Nya, dan hendaklah kalian berbakti kepada kedua orangtua".

Dalam Ayat yang lain untuk perintah berbuat baik kepada kedua orangtua Allah memakai lafadz "washsho" wasiat, kok tidak "Amaro, kataba, farodho" atau yang lain...(Al Ahqoof 15)
ini menunjukkan urgensinya Birrul Waalidain.

Sangat banyak Hadis Nabi SAW berkaitan dengan Tarhib dan Targhib... Ancaman dan Anjuran untuk berbakti kepada Bapak Ibu... Dan sayapun berusaha semaksimal mungkin untuk mengamalkannya.

Sekitar Tahun 2003... Saat mau keluar kota saya menawari Ibuku yang sudah sepuh (hampir 70 Th) mau minta oleh-oleh apa? ... Ibu menjawab tidak pingin apa-apa ... Aku desak terus :"Lha Ibu sebenarnya apa yang dipingini?"... Sambil menatapku iba Beliau menjawab punya keinginan tapi nggak mungkin terlaksana yaitu pingin melihat Ka'bah langsung, alias pingin Naik Haji... Memang saat itu kondisi ekonomi keluarga belum memungkinkan.

Jujur semenjak Ibu ngendiko seperti itu saya jadi sulit tidur... Namun ada celah kemungkinan yaitu saya harus menjual satu satunya Mobil yang baru saja kubeli... baru satu bulan.

Istriku kuajak musyawarah terbuka... Alhamdulillah ia full setuju... Bahkan mengingatkan dulu saat nikah ya ndak punya apa-apa... Sekalian mendoakan pasti Alloh akan siapkan gantinya... langsung kucium kening Isteri yang bau minyak angin.

Kalau Ibu tahu saya jual Mobil pasti beliau tidak berkenan... Karena di mata Ibu, saya anak yang paling prihatin sejak kecil dari sepuluh bersaudara... Sampai nikahpun saya beaya sendiri tanpa membebani orang tua.

Maka saya lobbi semua saudaraku tentang keinginan Haji Ibu itu... Hasil kesepakatan nanti saya yang matur Bapak Ibu bahwa beaya Haji itu dipikul sepuluh bersaudara... Walau formalitas ada yang iuran cuma ala kadarnya bahkan ada yang cukup doa.

Setelah mobil laku... diam-diam KTP dan Kartu Keluarga Bapak sama Ibuku saya "curi" untuk daftar calon Haji...maksudku untuk surprise... Kedua orangtuaku baru tahu setelah ada Panggilan Cek Kesehatan di Puskesmas... itupun tahunya setelah pulang dari Puskesmas saya ditanya kok tadi disuruh Tanda Tangan di Buku Hijau itu buku apa?... Barulah saya berterus terang Bahwa Bapak Ibu sudah harus persiapan untuk berangkat Haji...

Kulihat mata Ibuku berkaca kaca... Sempat saya ditanya... Uangnya dari mana?...saya jawab dari semua putra putri Bapak dan Ibu sepuluh orang ... (Alkhamdulillah sampai Bapak Ibuku meninggal Beliau berdua tidak tahu kalau beaya Haji itu dari uang jual Mobil kesayanganku).

Sehari menjelang berangkat Haji...saya pulang Ngaji sekitar jam satu malam pinjem mobil kakakku... Capek ngantuk jadi satu.. Begitu mau berbaring... Bapakku minta diantar Ziarah ke makam Kakek yang jaraknya cukup jauh... saya tidak protes... Padahal banyak saudaraku yang mestinya lebih layak disuruh... Tetapi mungkin Bapakku menganggapku yang "iurannya" paling sedikit.. Maka sayalah yang disuruh...

Sampai di Makam hampir jam dua malam... Begitu Bapak saya antar masuk makam... saya masuk ke mobil mau istirahat... Tapi Bapak nyamperin lagi supaya ikut masuk Makam...sayapun nurut tanpa protes... padahal tengah malam, dingin gerimis campur capek dan ngantuk...lagian nyamuk kuburannya segedhe jangkrik ... Demi orang tua kujalani dengan ikhlas... Mumpung masih mampu.

Kisah ini sudah saya ceritakan kepada anak-anakku... Entah direspon atau tidak saya nggak mikir... Yang penting saya sudah mengajari anak-anak dengan contoh nyata... Urusan difahami kemudian ditiru... Semua saya serahkan kepada Allah SWT.

Sempat pula saya bercerita... Kira-kira tiga bulan sebelum Ibu meninggal...saya tergesa gesa mau berangkat mengajar... Ibu menyuruhku membeli singkong rebus yang tidak pakai santan... Langsung kukerjakan, tanpa protes walau sudah ditunggu jamaah... Bagiku nuruti Ibu harus didahulukan... Keluar masuk beberapa pasar dan bikin heboh pasar karena lebih 50 tahun tidak pernah masuk pasar hanya mencari singkong rebus seharga dua ribu rupiah.. Itupun habis dapet sempat menyuapin Ibu singkong yang diinginkan walau cuma dua suapan.. Air mataku hampir netes nulis ini... Karena itu suapan yang terakhir sebelum Beliau wafat... Tidak sebanding dengan suapan Ibu kepadaku yang tidak terhitung jumlahnya....

Allohummaghfir lahuma... Ya Allah... Ampunilah dosa Ibu Bapakku... Kasihanilah kedua orang tuaku sebagaimana mereka berdua mengasihi aku sedari kecil...

Alkhamdulillah yang jelas... Dalam sisa hidup ini... Ada rasa lega dalam hati bahwa Ibuku sudah sempat melihat Ka'bah secara langsung sesuai yang Beliau inginkan...sebelum meninggalkanku selama-lamanya...dan mobil yang dulu kujual sekarang malah bertambah banyak...karena saya bakul mobil.

Tinggal harapan yang tersisa adalah semoga saya bisa berkumpul kembali dengan Bapak Ibuku di Surga nanti...
Aamiin Ya Robbal Alamiin.

🕋🕋🕋🕋🕋🕋🕋🕋🕋
(Catatan Santri henry sutopo).

Sunday, December 17, 2017

Kisah Diberikanya Gelar al Faruq Kepada Umar

Kisah Diberikanya Gelar al Faruq Kepada Umar
=======================
Sebagian ahli tafsir berkata :
Seorang lai-laki yang bernama Bisyr dari golongan orang munafiq bertengkar dengan seorang laki-laki kaum yahudi.
Yahudi berkata : "Diantara aku dan dirimu terdapat Abul Qasim (Rasulullah)".

Munafiq menyahut : " Diantara aku dan dirimu terdapat Ka'b bin Asyrof".

Hal tersebut disebabkan karena Rasulullah selalu memutuskan terhadap keadilan dan tidak pernah menerima suap dan orang yahudi ini ingin mencari kebenaran. Sedangkan Ka'b adalah sangat suka dengan suap dan orang munafiq ini ingin mencari kebathilan. Namun yahudi tetap bersikeras akan haknya.

Keduanya pergi menghadap kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau menghukumi hak diberikan kepada yahudi tidak kepada munafiq. ketika keduanya keluar dari hadapan Nabi munafiq berkata : "Aku tidak ridho, maka pergilah engkau denganku menemui Abu Bakar".

Kemudian keduanya menemui Abu Bakar dan Abu Bakar juga munghukumi hak kepada Yahudi bukan kepada munafiq, mendengar hal itu munafiq tidak rela, munafiq berkata : "Diantara kita terdapat Umar".

Dan keduanya pun menemui Umar, orang yahudi tersebut menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan Abu Bakar telah memberikan keputuan bahwa hak menjadi milik orang yahudi, tetapi orang munafiq ini tidak rela dengan keputusanya.
Umar berkata kepada munafiq : "Apakah seperti itu?".

Ia menjawab : "iya".

Umar berkata : " Sabarlah, aku mempunyai keperluan, aku akan masuk rumahku dulu dan mnyelesaikanya kemudian aku akan keluar kepada kalian".

Umar masuk dan mengambil sebilah pedang, setelah itu ia keluar dan memukulkan pedang tersebut terhadap lehernya orang munafiq hingga ia mati.

Umar berkata : "Seperti inilah aku memutuskan kepada orang yang tidak ridho dengan keputusan Allah dan keputusan RasulNya".

Orang yahudi itu berlari dan mendatangi keluarga orang munafiq, dan mereka mengadukan perkara Umar kepada Rasulullah, Rasulullah bertanya kepada Umar tentang kisahnya.

Umar menjawab : "Sesunggunya ia menolak keputusanmu wahai utusan Allah".

Maka datanglah malaikat Jibril ketika itu juga dengan ayat ini (an Nisa' 60), dan berkata : "Sesungguhnya Umar adalah al Faruq yang memisahkan kebenaran dan kebatilan".

Kemudian Rasulullah meneruskan kepada Umar : "Kamu adalah al Faruq...!"

PENYEBAR ISLAM DI NUSANTARA

PENYEBAR ISLAM DI NUSANTARA

───────────────────────

Di Indonesia kekayaan Aulia'nya itu nomor 2 setelah Hadramaut,kemudian Baghdad dan India.

Yang pertama masuk di tanah Jawa adalah Syaikh Jumadil Kubro (As-Sayyidi Jamaluddin Husain) Bin Ahmad Syah Jalaluddin Husain Bin Abdullah Azmatkhan Bin Amir Abdul Malik Bin Alwi 'Ammil Faqih Bin Muhammad Shahib Marbath.

Yang saya kagum adalah Sayyid Ahmad Syah Jalal, putra dari Abdullah Azmatkhan. Salah satu Wali,dan ibunya orang India.
Imam Abdullah mempunyai 5 putra, yang pertama Ahmad Syah Jalal yang masuk ke daerah Kamboja, didaerah itu ada Desa atau Kota namanya Campa dan Anam. Campa masyhur dengan putri Campa. Disitu agamanya masih berbeda, dan sering terjadi keributan dan perang yang tiada habisnya. Datang Imam Ahmad Syah Jalal, sebagai Ahli BaitinNabi Saw. Menjadi sebab juru selamat dengan akhlaqnya yang luar biasa menyatukan 2 kerajaan Anam dan Campa. Dan kedua Kerajaan itu menyerahkan kedudukannya kepada Imam Ahmad Syah Jalal dan ditunjuk sebagai Rajanya. Yang meninggal didaerah Anam.
Dan putranya  yang pertama Imam Jamaluddin Husain, ibunya adalah Putri Campa.

Kemudian Imam Jamaluddin Husain mempunya anak  12.
Yang ada di Indonesia adalah Imam Hisyamuddin yang dimakamkan di Banten.
Kemudian Barokat Zainal Abidin, Ayah Dari Maulana Malik Ibrahim.
Yang pertengahan, Al Imam Ibrahim Asmoroqondi Ayahnya Sunan Ampel, Maulana Ishaq (Sunan Wali Lanang) Dan Sunan Ali Al Murtadho (Sunan Mbedilan), makamnya di Gresik.
Kanjeng Sunan Mbedilan mempunyai anak namanya Kanjeng Usman Haji makamnya di Mandalika, terkenal dengan Sunan Mandalika, dekat dengan Jepara.

Saya kagum dengan Imam Ahmad Rahmatillah (Sunan Ampel) anaknya ada 11, Putra-putrinya menjadi orang-orang yang sangat luar biasa, yaitu:
1. Sayyid Hasyim atau Maulana Qosim (Sunan Drajad), ahli ekonomi, ahli tasawuf, ahli sastra dan seniman.
Menurut Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, Kitab Sejarah Walisongo yang berasal dari catatan KHR. Abdullah bin Nuh Bogor, diterangkan bahwa Sunan Drajat adalah Bapak pendiri Al-Aitam Pertama (Rumah Yatim Pertama).

Sunan Drajat yang menurunkan Sunan Nur Rahmat Sendang Dhuwur, yang berputra
•Sayyid Abdul Qodir,berputra
•Sayyid Abdul Qohir (Adipati Gampang) berputra,
•Aryo Hadiningrat 1,berputra
•Aryo Hadiningrat 2,berputra
•Raden Bukuh,berputra
•Raden Husain Rahmatillah (Raden Among Negoro), Bupati Pekalongan pertama dijaman Sultan Agung, berasal dari Pasuruan, yang dimakamkan di Sapuro Pekalongan,berputra
•Raden Qosim atau Jayeng Rono 1, Bupati Wiroto,berputra
•Raden Muhammad atau Jayeng Rono 2,Bupati Wiroto ,berputra
•Sayyid Ahmad Husain Rahmatillah , Bupati Batang.

Sunan Drajat Pendiri rumah yatim pertama bedanya tidak membuat bangunan. Yang mengumpulkan anak yatim pertama. Tiap hari di temui setiap rumahnya yang ada yatimnya kemudian dikumpulkan di Masjid, maghrib diajak belajar, isya' sudah makan bersama kemudian diajak pulang kerumahnya masing masing. Melakukan itu semua setiap hari, kantongnya tidak pernah rapat.

Makanya sejak wafatnya Sunan Drajat,dari anak anak sampai orang orang tua semuanya menangisi karena kehilangan seorang pengayom dan pelindung umat. Karena Sunan Drajat Mengikuti sunahnya Kanjeng Nabi Saw.

Kanjeng Nabi Saw kalau hari Raya Idul fitri, setelah shalat Id, kanjeng Nabi Saw duduk didepan Masjid bersama Shahabatnya. Kanjeng Nabi Saw dari jauh melihat kearah pucuk tebing gunung ada seorang anak.

Menurut Maulana Habib Luthfi bin Yahya, Kanjeng Nabi Saw itu mempunyai keistimewaan, tingginya Kanjeng Nabi Saw itu kalau di dekati orang Hijaz yang tingginya 2 meter lebih, tetep tinggi Kanjeng Nabi Saw. Berjalan didekati orang yang tingginya 170 cm. Tetep tinggi Kanjeng Nabi Saw.

Jarak pandang Rasulullah Saw. Didekat dan jauh sama saja. Pendengarannya juga demikian.
Makanya bisa melihat anak kecil umur 7 tahun di atas tebing.
Kalau melihat anak anak kecil di Madinah terkepung beberapa gunung gunung.

Kemudian Kanjeng Nabi Saw mendekati kearah tebing, "Hai anak kecil yang berselimut sorban", melihat teman temannya dibawah, terkadang sorbannya ditutupkan kewajahnya,terkadang dibuka, sebab agar tidak ketahuan.

Kanjeng Nabi Saw dari belakang memberi salam "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh". Anak itu mendengar salam dari Kanjeng Nabi Saw, langsung berdiri dan merangkul Kanjeng Nabi Saw karena sangat bahagianya. Diusap usap kepala anak itu,dan didudukkan diatas dekapan Beliau.

Kanjeng Nabi Saw bertanya, "kenapa tidak ikut merayakan hari raya bersama dan ditebing sendirian, dari mana nak? "
dijawab dengan kepolosan dan kelucuannya, "Aku malu ya Rasulullah."
ini lho, pakaianku penuh tambalan Ya Rasulullah, dibelakangku juga".

Pakaian belakangnya itu sudah sobek, Kanjeng Nabi melihat dan senyum memperhatikan anak yang ada dipangkuannya. Kemudian Beliau bertanya, "Ayah kamu dimana nak?"
ketika ditanya seperti itu, anak itu menundukkan kepalanya.
Dengan suara pelan anak itu menjawab "Ayahku sudah meninggal diperang Uhud ya Rasulullah ".
Rasulullah kaget terhentak mendengar jawaban anak itu,ternyata anak itu yatim.
Kemudian Beliau tanya lagi, "dimana ibumu nak".
Anak itu menjawab, "ibuku menikah lagi demi aku ya Rasulullah, sampai saat ini belum kembali,makanya aku disini menunggu."

Lalu anak itu diangkat oleh Rasulullah Saw ,di sandarkan dipundak Beliau, dan Beliau berkata "Hai nak, jangan takut,Aku sekarang ayahmu, Aku sekarang keluargamu" dipanggul oleh Kanjeng Nabi Saw dan dibelikan pakaian yang bagus ,dimandikan dan dipakaikan pakaiannya oleh Baginda Nabi Saw digandeng di Masjid dan dipangku oleh kanjeng Nabi Saw dipanggilkan teman temannya untuk bermain bersama. Kanjeng Nabi Saw. berkata kepada anak itu,"sana bermain nak, Ayahmu disini menunggumu nak, Kalau ada perlu apa apa, jangan khawatir Saya disini."

Itulah Kanjeng Nabi Saw. Itu termasuk Sunan Drajat mengikuti Kanjeng Nabi Saw kantongnya tidak pernah rapat.

2. Gurunya para Ratu, gurunya para Wali dan Ulama' ,gurunya para Senopati, Sulthan, Adipati, dan para santri. Yaitu Al Imam Quthbil Ghaust Sayyidi Ibrahim Alias Sunan Bonang.
Sampai ada pepatah, kalau kamu masuk ke Jawa tidak Ziarah ke Tuban, sama saja kamu masuk Madinah tetapi tidak bisa Ziarah ke Kanjeng Nabi Saw. Itu menuduhkan pangkatnya Sunan Bonang.

3. Orang yang paling terkenal, Orang yang sangat arif bijaksana dalam menentukan hukum menjadi peranan di Demak, yaitu Sayyid Zainal Abidin (Sunan Qodhi Demak),

4. Ahli ekonomi,yang berhasil luar biasa ,ahli fiqih dan muhadist, yaitu Al Imam Sunan Kudus (Imam Asqolani, Ibnu Hajarnya tanah Jawa).
Yang diterapkan Sunan Kudus, sehingga Pangeran Poncowati tunduk kepada Sunan Kudus karena Sunan Kudus melarang hari raya besar memotong sapi,bukan mengharamkan. Karena Mayoritas pada waktu itu agamanya Hindu. Sunan Kudus tidak mau melukai, tidak mau melukai diantara agama, menjaga kesatuan dan persatuan dan menjaga bagaimana rahmatal lil 'alamin.
Dengan sajak dan sastranya, pidatonya Beliau Radhiallahu ta'ala anhu tentang masalah sapi, dengan mengetahui kebijakan yang luar biasa,langsung Pangeran Poncowati taslim, menyerahkan kerajaannya kepada Sunan Kudus Bin Ahmad Rahmatillah (Sunan Ampel).
Salah satu Nasab ada yang bilang kalau Sunan Kudus adalah anak dari Sunan Usman Haji. Tapi saya melihat dari kitab Maktab Daimi maupun di Mesir dan ahli Nasab semua mengakui anak dari Sunan Ampel.

5. Sayyidi Abdul Jalil (Sunan Bagus Jepara) ,seorang tasawuf, sufi tapi fuqaha yang luar biasa.

6. Sayyid Ahmad Husyamuddin (Sunan Lamongan) ,waktu lahirnya persis sama seperti wafatnya Sunan Ampel.
Makanya dinamai Ahmad bin Ahmad. Ahmad Husyamuddin Bin Ahmad Rahmatillah ,itu adat orang Arab. Kalau ditinggal wafat oleh Ayahnya pasti dinamai sama dengan Ayahnya.

7. Putrinya Sunan Ampel, Waliyah, Khafidhoh, Alimah, Sayyidah Asyiqoh binti Ahmad Rahmatillah, yang menjadi istrinya Maulana Sulthan Abdul Fatah Demak.
8. Dewi Ruqoyyah, istrinya Al Imam Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri),
9. Dewi Aisyah , istrinya Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
10. Dewi Muthmainah, istri dari alim alimnya para Walisongo di jaman itu, yaitu Sayyid Abdurrahman Ar Rum,
11. Dewi Hafsah, Istri dari Sayyid Ahmad Ibnu Yahya Al-Yamani.

Inilah yang saya kagum, putra putrinya menjadi orang yang sangat luar biasa. Itulah tanda, bagaimana generasi tua bisa melahirkan generasi penerus yang luar biasa.

Mudah mudahan ini menjadi contoh bagi kita semua, mampukan atau tidak akan bisa melahirkan re generasi penerus pembangunan agama ,umat dan bangsa ini hingga lahirlah bangsa bangsa, umat umat indonesia siap menjawab tantangan umat dan bangsa, sehingga kita tidak menjadi golongan yang mengecewakan sesepuh ,leluhur dan para ulama kita.
Saya tidak butuh jawaban "Tidak", tapi tunjukkan kalau kita tidak menjadi orang orang yang mengecewakan Baginda Nabi Saw , Ulama ,Leluhur leluhur kita. Wallahu a'lam (Spd)

───────────────────────

Mauidhah khasanah : Maulana Habib Luthfi bin Yahya, Rais Aam Idarah Aliyah Jam’iyyah Ahlith Thoriqah al- Mu’tabaroh an-Nahdliyyah (JATMAN).

Empat Shalat yang Mewajibkan Imam Niat Berjamaah

Khoiron, NU Online | Rabu, 13 Desember 2017 17:00

Di dalam ibadah apa pun, bahkan dalam perbuatan-perbuatan yang secara lahir tidak termasuk kategori ibadah, niat merupakan satu unsur sangat penting yang menentukan nilai ibadah dan perbuatan itu. Suatu perbuatan disebut ibadah atau bukan, sebuah ibadah dinilai berkualitas atau tidak, sebuah perbuatan mubah bisa menjadi ibadah atau tidak, sangat ditentukan oleh kebenaran dan kebaikan niat pelakunya. Inilah salah satu pelajaran penting yang bisa dipetik dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

Artinya: “Sesungguhnya amal-amal perbuatan tergantung pada niatnya.” (HR. Imam Bukhari)

Di dalam shalat niat juga menjadi bagian terpenting yang bisa menentukan sah atau tidaknya shalat seseorang. Begitu pentingnya peranan niat di dalam shalat para ulama menentukan berbagai aturan yang mesti ditaati baik orang yang melakukan shalat tersebut menjadi seorang imam, makmum, ataupun shalat sendirian.

Di dalam madzhab Syafi’i orang yang shalat berjamaah bila berposisi sebagai makmum maka ia harus berniat sebagai makmum dengan menambahkan kata ma’mûman saat berniat di dalam hati berbarengan dengan takbiratul ihramnya. Bila makmum tidak berniat demikian namun gerakan shalatnya mengikuti gerakan shalatnya orang lain maka shalatnya tidak sah karena tidak adanya hubungan shalat dengan orang tersebut.

Namun bila ia berposisi sebagai imam ia tidak wajib niat berjamaah atau tidak wajib menambahkan kataimâman di dalam niatnya. Hanya saja shalat yang ia lakukan itu dianggap sebagai shalat sendirian, tidak dengan berjamaah. Karena setiap amal itu tergantung pada niatnya sebagaimana hadits di atas.

Akan tetapi, meskipun pada dasarnya seorang imam tidak wajib berniat sebagai imam namun ada shalat-shalat tertentu di mana seorang yang berposisi sebagai imam harus berniat sebagai imam bersamaan dengan takbiratul ihramnya.

Syekh Salim bin Sumair dalam kitabnya Safînatun Najâ menyebutkan ada 4 (empat) shalat di mana seorang imam harus berniat sebagai imam.

الذي يلزم فيه نية الإمامة أربع الجمعة والمعادة والمنذورة جماعة والمتقدمة في المطر

Artinya: “Ada 4 (empat) shalat yang mewajibkan berniat sebagai imam: shalat Jumat, shalat yang diulang, shalat jama’ah yang dinadzarkan, dan shalat jama’ taqdim karena hujan.”

Lebih lanjut Syekh Muhammad Nawawi Banten dalam kitabnya Kâsyifatus Sajâ menjelaskan keempat shalat tersebut sebagai berikut:

Pertama, shalat Jumat.

Seorang yang menjadi imam shalat Jumat baginya wajib berniat untuk menjadi imam. Bila ia tidak berniat demikian pada saat takbiratul ihram maka tidak sah niatnya yang juga berarti tidak sah pula shalat Jumatnya. Ini dikarenakan shalat Jumat harus dilakukan secara berjamaah. Bila imam di dalam niatnya tidak menyebutkan kata imâman maka ia dianggap shalat sendirian, tidak berjamaah.

Kedua, shalat mu’âdah atau shalat yang diulang.

Shalat yang diulang adalah shalat wajib yang telah dilakukan atau shalat sunah yang disunahkan dilakukan secara berjamaah yang untuk kedua kalinya dilakukan kembali secara berjamaah pada waktunya karena berharap pahala.

Alasan seseorang mengulang shalatnya secara berjamaah adalah karena shalat yang kedua dianggap lebih utama dari pada shalat yang pertama. Seperti ketika seseorang yang mengulang shalat secara berjamaah karena sebelumnya ia telah melakukan shalat tersebut namun sendirian, tidak berjamaah. Atau pada saat shalat yang pertama ia telah melakukannya secara berjamaah namun mengulangnya kembali secara berjamaah karena melihat shalat jamaah yang kedua ini lebih utama dibanding shalat jamaah yang pertama yang telah ia lakukan. Ini bisa karena pada shalat jamaah yang kedua jumlah jamaahnya lebih banyak, imamnya lebih alim atau wara’, tempatnya lebih mulia dan alasan lainnya.

Kesunahan mengulang shalat yang demikian didasarkan pada sebuah hadits riwayat Imam Nasai dan lainnya yang menceritakan adanya dua orang yang datang ke masjid pada waktu subuh namun tidak mengikuti shalat berjamaah bersama Rasul. Ketika Rasulullah bertanya kepada keduanya seusai shalat mereka menjawab, “Kami sudah shalat di rumah kami.” Maka kemudian Rasul bersabda:

فَلَا تَفْعَلَا، إِذَا صَلَّيْتُمَا فِي رِحَالِكُمَا، ثُمَّ أَتَيْتُمَا مَسْجِدَ جَمَاعَةٍ فَصَلِّيَا مَعَهُمْ، فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَةٌ

Artinya: “Jangan kalian lakukan (lagi). Bila kalian telah shalat di rumah kemudian kalian datang ke masjid yang sedang dilakukan shalat berjamaah maka shalatlah bersama mereka, karena bagi kalian itu adalah kesunahan.” (HR. Imam Nasai).

Bila pada shalat yang diulang ini sang pelaku berposisi sebagai imam maka ia wajib menyebutkan kata imâman dalam niatnya bersamaan dengan pengucapan takbiratul ihram.

(Baca juga: (Baca juga: Perihal I‘adah, Anjuran Mengulang Shalat yang Telah Dilaksanakan)

Ketiga, shalat yang dinadzarkan secara berjama’ah.

Seseorang bernadzar bahwa bila ia mendapatkan apa yang dicita-citakan maka ia akan shalat subuh berjamaah, misalnya. Ketika apa yang ia citakan tercapai dan kemudian ia shalat berjamaah subuh untuk memenuhi nadzarnya, bila dalam shalat berjamaah itu ia berposisi sebagai imam maka ia mesti menambahkan kata imâman di dalam niatnya bersamaan dengan pengucapan takbiratul ihram. Bila tidak demikian maka ia dianggap shalat sendirian, tidak berjamaah, dan karenanya dianggap melakukan perbuatan dosa karena tidak memenuhi nadzarnya.

Keempat, shalat yang dilakukan secara jama’ taqdim karena hujan.

Sebagaimana diketahui bahwa pada waktu hujan yang sangat deras diperbolehkan menjama’ shalat secara jama’ taqdim di mana shalat yang kedua dilakukan pada waktu shalat yang pertama; shalat isya dilakukan pada waktu shalat madghrib dan shalat ashar dilakukan pada waktu shalat dhuhur.

Shalat jama’ taqdim karena hujan deras ini diperbolehkan bagi orang yang shalat berjamaah di masjid dan cukup jauh jarak antara masjid dan rumahnya, sehingga akan mendatangkan mudarat bila ia mesti berjalan bolak-balik ke masjid untuk melakukan shalat berjamaah. Bagi orang yang shalatnya tidak berjamaah, atau berjamaah namun tidak di masjid, atau berjamaah di masjid namun rumahnya tidak jauh tidak diperbolehkan melakukan jama’ taqdim ini.

Sebagai gambaran, ketika Anda sedang melakukan shalat madhrib berjamaah di masjid datang hujan yang sangat deras yang diduga kuat belum berhenti sampai dengan waktunya shalat isya. Karena rumah Anda cukup jauh dari masjid maka akan sangat merepotkan bila setelah shalat maghrib Anda pulang ke rumah lalu pergi lagi ke masjid untuk shalat isya berjamaah. Dalam keadaan demikian setelah shalat maghrib Anda diperbolehkan melakukan shalat isya secara jama’ taqdim.

Dalam keadaan seperti ini bila Anda berposisi sebagai imam maka Anda wajib menambahkan kata imâman di dalam niat berbarengan dengan takbiratul ihram untuk shalat isya-nya. Bila tidak maka shalat isya Anda tidaklah dianggap. Anda dianggap belum shalat isya, baik secara berjamaah maupun sendirian. Ini dikarenakan kebolehan menjama’ taqdim di waktu hujan lebat harus dengan berjamaah. Maka bila sang imam tidak berniat sebagai imam itu berarti ia tidak shalat secara berjamaah.

Wallahu a’lam. (Yazid Muttaqin

Gus Miek dan Tiga Preman Tanjung Priok

Gus Miek dan Tiga Preman Tanjung Priok.

Ustaz Suhaimi bercerita pada suatu hari di bilangan Tanjung Priok pada tahun 1996 ada tiga preman yang kerjaannya memalak setiap truk kontainer yang masuk pelabuhan. hasil palakannya digunakan untuk mabuk-mabukkan, main perempuan atau berjudi.

Hingga pada suatu hari datanglah seorang pria mengenalkan dirinya bernama Gus Miek. Lantas pria itu ngobrol ngalor-ngidul tentang banyak hal, mulai dari masalah politik, ekonomi hingga menyentuh masalah agama.

Begitu lembut dan inteleknya pria itu berbicara, hingga akhirnya ketiga preman itu mulai tertarik dengannya. Apalagi pria itu orangnya asyik diajak gaul ala preman dan suka mentraktir makan, minum dan rokok.

Hingga akhirnya masuk waktu salat Zuhur, lantas Gus Miek mengajak ketiga preman itu untuk ikut salat. Pada mulanya mereka menolak, tapi Gus Miek merayunya dengan iming-iming barangsiapa yang mau salat dengannya, maka akan dikasih uang Rp. 50.000 (Uang segini besar pada waktu itu). Maka walaupun terpaksa akhirnya ketiga preman ini mau ikut salat di belakang Gus Miek, tentu saja niatnya demi mendapat uang.

Begitulah setiap waktu salat, pasti mereka salat berjamaah bersama teman barunya, Gus Miek. Kejadian ini berlangsung hingga 3 bulan lamanya. Hingga pada akhirnya ada kesadaran tersendiri bagi tiga preman itu untuk salat, apalagi Gus Miek juga mengajarkan masalah agama yang selama ini belum pernah mereka dengar.

Dan memasuki bulan keempat, Gus Miek sudah tidak menemui tiga preman tersebut. Tentu saja mereka kalang kabut, karena sudah terbiasa salat berjamaah bersama Gus Miek. Mulai ada kerinduan dari ketiga preman itu akan sosok pria misterius yang selama ini selalu mengajak mereka kepada kebaikan dan mengajarkan mereka tentang masalah agama.

Rupanya tingkah mereka menarik perhatian Ustaz Suhaimi yang ketika itu baru pulang dari acara Maulid di Masjid Luar Batang. Lalu sang ustaz menghampiri mereka di teras masjid dan menanyakan banyak hal. Kemudian 3 preman itu bercerita tentang perjumpaan mereka dengan seorang pria misterius yang membuat mereka akhirnya mulai mendalami masalah agama.

Betapa kagetnya Ustaz Suhaimi ketika mendengar nama Gus Miek disebut oleh mereka. Lantas sang ustaz yang saat itu membawa buku saku tentang Dzikrul Ghofilin memperlihatkan foto seorang ulama kepada ketiga preman itu, “Apakah pria misterius itu seperti orang ini?”

Dengan nada heran, preman itu menjawab, “Iya benar. Apakah Ustaz kenal dengan dia?” Ustaz Suhaimi menjawab, “Bukan kenal lagi. Ini guru saya. Beliau seorang ulama besar yang merupakan waliyullah. Beliau sudah wafat 3 tahun yang lalu.”

Seperti tersambar petir, terkejut bukan kepalang tiga preman ini mendengar penjelasan Ustaz Suhaimi. Jadi selama ini mereka mendapat pencerahan dari seorang ulama besar, waliyullaah terkenal, yang sudah lama wafat.

Menangislah mereka sambil menciumi tangan Ustaz Suhaimi sambil menyatakan keinginan mereka untuk bertobat dan meminta beliau mau mengajari mereka tentang masalah agama. Akhirya sang ustaz pun menyanggupinya dengan berurai air mata.

Wallahu a'lam.

Saturday, December 16, 2017

Seburuk buruk hamba

Dari Asma' binti 'Umais -semoga Allah meridloinya- Dari Nabi sholllallohu alaihi wasallam bersabda :

1. Seburuk-buruk hamba adalah hamba yg sombong dan berjalan dengan penuh keangkuhan, dia melupakan Dzat yg maha sombong lagi maha tinggi.
2. Seburuk-buruk hamba adalah hamba yg membangga -banggakan diri lagi melanggar, dia melupakan Tuhan yg maha besar lagi maha luhur.
3. Seburuk-buruk hamba adalah hamba yg pelupa dan bermain-main, dia melupakan alam kubur dengan segala kerusakannya.
4. Seburuk-buruk hamba adalah hamba yg bertindak sewenang-wenang lagi melampaui batas, dia melupakan permulaan dan keberakhiran.
5. Seburuk-buruk hamba adalah hamba menipu dunia dengan agamanya.
6. Seburuk-buruk hamba adalah hamba yg menipu agama dengan barang-barang syubhat.
7. Seburuk-buruk hamba adalah hamba yg rakus.
8. Seburuk-buruk hamba adalah hamba yg disesatkan oleh nafsunya.
9. Seburuk-buruk hamba adalah hamba yg dihinakan oleh keinginnannya.

(HR Tirmidzi dan Al Hakim)

Sunday, December 10, 2017

Seks education ala islam

Seorang suami boleh melakukan aktivitas seks dengan istrinya kapan saja dan dengan gaya apa saja, kecuali yang dilarang oleh syara’, seperti menyetubuhi isteri ketika sedang haid atau nifas, saat istri menjalankan puasa fardhu, atau saat berihram haji atau umrah atau melalui anusnya.

نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ أَنَّى

Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. (Q.S. 2 Al Baqarah 223)

Masalah agama yang berkaitan dengan aktivitas seksual tidak perlu ditutup-tutupi. Untuk kepentingan hukum, Rasulullah saw tidak segan-segan menerangkannya seperti hadits berikut ini.

عَنْ خُزَيْمَةَ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ لاَ يَسْتَحْيِى مِنَ الْحَقِّ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ لاَ تَأْتُوا النِّسَاءَ فِى أَدْبَارِهِنَّ

Dari Khuzaimah bin Tsabit ia berkata, Rasulullah saw bersabda : Sesungguhnya Allah tidak malu dalam hal kebenaran, beliau berkata sampai tiga kali.  Jangan kalian mendatangi isteri-isteri melalui anus mereka. (H.R. Ibnu Majah no. 1999, Ahmad no. 22496, Ibnu Hibban no. 4200).

Di bawah ini akan kami sampaikan beberapa farwa ulama, di ataranya adalah :

Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam kitabnya menegaskan

يَجُوْزُ لِلزَّوْجِ كُلُّ تَمَتُّعٍ مِنْهَابِمَا سِوَىَ حَلْقَةِ دُبُرِهَا وَلَوْ بِمَصِّ بَظْرِهَا

Diperbolehkan bagi seorang suami untuk bersenang-senang dengan isteri dengan semua model kesenangan (melakukan semua jenis aktivitas seksual) kecuali lingkaran di sekitar anusnya, walaupun dengan menghisap klitorisnya. (Kitab Fathul Mu'in, Juz III, halaman 387)

Syaikh Ibnu Qudamah (bermadzhab Hanbali) dalam kitabnya menegaskan

وَيُبَاحُ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الزَّوْجَيْنِ النَّظَرُ إلَى جَمِيْعِ بَدَنِ صَاحِبِهِ وَلَمْسُهُ حَتَّى الْفَرْجِ لِمَا رَوَى بَهْزُ بْنُ حَكِيْمٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ : { قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ، عَوْرَاتُنَا مَا نَأْتِي مِنْهَا وَمَا نَذَرُ ؟ فَقَالَ : اِحْفَظْ عَوْرَتَكَ إلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ وَمَا مَلَكَتْ يَمِيْنُكَ } رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ : حَدِيْثٌ حَسَنٌ ؛ وَلِأَنَّ الْفَرْجَ يَحِلُّ لَهُ اْلِاسْتِمْتَاعُ بِهِ، فَجَازَ النَّظَرُ إلَيْهِ وَلَمْسُهُ، كَبَقِيَّةِ الْبَدَنِ

Diperbolehkan bagi pasangan suami-istri melihat dan menyentuh semua bagian tubuh pasangannya, termasuk alat vitalnya. Pendapat ini didasarkan pada riwayat Bahaz bin Hakim, bahwa kakeknya bertanya kepada Rasulullah : Wahai Rasulullah saw mana aurat yang boleh kami buka dan mesti kami tutup? Rasul menjawab : Tutup auratmu kecuali untuk istrimu dan budakmu. Diriwayatkan Tirmidzi, status kekuatan hadits ini adalah hasan. Mengapa diperbolehkan? Karena alat vital adalah tempat istimta’ (bersenang-senang) dan diperbolehkan melihat dan menyentuhnya, seperti anggota tubuh lainnya. (Kitab Al-Mughni, Juz XV, halaman 79)
Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya menegaskan :

وَقَدْ قَالَ أَصْبَغُ مِنْ عُلَمَائِنَا: يَجُوْزُ لَهُ أَنْ يَلْحَسَهُ بِلِسَانِهِ

Imam Ashbagh salah satu ulama dari kalangan kami (Madzhab Maliki) telah berpendapat : Boleh bagi seorang suami untuk menjilati kemaluan isteri dengan lidahnya. (Kitab Tafsir Al-Qurthubi, Juz XII, halaman 232).

Namun menurut Qadli Abu Ya’la salah seorang ulama di kalangan madzhab Hanbali berpandangan bahwa aktivitas tersebut sebaiknya dilakukan sebelum melakukan hubungan badan (jima’).
Syaikh Abdurrahman bin Abdullah Al-Ba’ali dalam kitabnya menegaskan :

وَقَالَ الْقَاضِيْ: يَجُوْزُ تَقْبِيْلُ الْفَرْجِ قَبْلَ الْجِمَاعِ وَيُكْرَهُ بَعْدَهُ

Al-Qadli (Abu Ya’la Al-Kabir) berkata, boleh mencium kemaluan isteri sebelum melakukan hubungan badan dan dimakruhkan setelahnya. (Kitab Kasyfu Mukhadirat war Riyadhul-Zahirat Li Syarhi akhsharil Mukhtasharat, Juz I, halaman 415)

Syaikh Ibnu Qudamah dalam kitabnya menegaskan

وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُلَاعِبَ امْرَأَتَهُ قَبْلَ الْجِمَاعِ، لِتَنْهَضَ شَهْوَتُهَا فَتَنَالَ مِنْ لَذَّةِ الْجِمَاعِ مِثْلَ مَا نَالَهُ

Dan dianjurkan (disunnahkan) agar seorang suami mencumbu istrinya sebelum melakukan jima’ supaya bangkit syahwat istrinya, dan dia mendapatkan kenikmatan seperti yang dirasakan suaminya. (Kitab Al-Mughni, Juz XIV, halaman 46).

(Ust. Achmad Anas).

Ketika malaikat jibril tertawa

Dialog Rosulullah Dengan Malaikat Jibril
Oleh: Habib Umar Bin Hafidz

Pernah Nabi Muhammad saw bertanya kepada malaikat Jibril as:
"Apakah engkah pernah tertawa wahai Jibril? ”
Malaikat Jibril menjawab :
“ Ya ”
Nabi Muhammad saw bertanya lagi,:
“ Kapan ? ”
Berkata malaikat Jibril:
“ Ketika manusia mencari sesuatu didunia sedangkan sesuatu itu tidak ada di dunia. Sejak manusia mulai diciptakan sampai wafatnya, ia mencari sesuatu yang tidak pernah diciptakan didunia."
Nabi Muhammad saw merasa heran dan bertanya :
"Apakah sesuatu yang dicari manusia sedangkan hal tersebut tidak pernah diciptakan didunia..?!"

قال جبرائيل: الراحه.

Berkata malaikat Jibril;
“ ketenangan”

Sesungguhnya Allah tidak menciptakan ketenangan di dunia tetapi Allah menciptakannya di akhirat. Semua mencari ketenangan.

Anak kecil berkata :
"Andai aku sudah dewasa.?"
Pemuda berkata :
"Andai saja aku kembali kecil"
Orang tua berkata :
"Andai saja masa muda kembali lagi"
Orang yang telah menikah berkata :
"Andai saja aku kembali pada masa lajang (jomblo)"
Dan orang yang lajang (jomblo) berkata :
"Andai saja aku telah menikah"(Andai saja aku laku)
Orang yang tidak memiliki anak berkata :
"Andai saja aku punya anak walau hanya satu anak saja"
Orang yang memiliki banyak anak berkata :
"Andai aku tidak memiliki banyak anak"
Orang yang telah menikah dengan satu perempuan meng-inginkan :
"Andai aku bisa menikah lagi"
Andai.. Andai.. Andai..

Semua andai-andai diatas dalam rangka memburu & mencari ketenangan. Semua mencari ketenangan.
Akan tetapi tidak ada yang namanya ketenangan didunia ini.

Maka wajib bagi kita untuk merasa cukup dengan apa-apa yang telah Allah tentukan untuk kita.
Dan kita wajib bersyukur atas hal tersebut.

Dan perlu diketahui, sesungguhnya ketenangan ada didalam ibadah kepadaNya serta taat kepadaNya.

Sebagai jembatan kita dalam menapaki perjalanan untuk mendapatkan makna ketenangan hakiki yaitu di akhirat. Menangislah atas (kekurangan) dirimu.

فمن ترك قراءة القرآن ثلاثة أيام منْ غير عذر سمىى هاجرا

Maka barangsiapa yang meninggalkan membaca al-qur'an 3 hari tanpa udzur. Dialah yang dikatakan orang menjauh dari ketenangan.

Semoga kita bisa meng-Istiqomah-kan membaca al Qur'an dan ibadah ibadah lainnya.

امين يارب العالمين

Nanang kosim alwy

KH. KI AGENG HASAN BESARI TEGAL SARI PONOROGO - GURU PUJANGGA KI RONGGO WARSITO

Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari.

Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain.

Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini. Alumni Pondok ini banyak yang menjadi orang besar dan berjasa kepada bangsa Indonesia. Di antara mereka ada yang menjadi kyai, ulama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, negarawan, pengusaha, dll. Sekadar menyebut sebagai contoh adalah Paku Buana II atau Sunan Kumbul, penguasa Kerajaan Kartasura; Raden Ngabehi Ronggowarsito (wafat 1803), seorang Pujangga Jawa yang masyhur; dan tokoh Pergerakan Nasional H.O.S. Cokroaminoto (wafat 17 Desember 1934).

Dalam Babad Perdikan Tegalsari diceritakan tentang latar belakang Paku Buana II nyantri di Pondok Tegalsari. Pada suatu hari, tepatnya tanggal 30 Juni 1742, di Kerajaan Kartasura terjadi pemberontakan Cina yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi Susuhuhan Kuning, seorang Sunan keturunan Tionghoa. Serbuan yang dilakukan oleh para pemberontak itu terjadi begitu cepat dan hebat sehingga Kartasura tidak siap menghadapinya. Karena itu Paku Buana II bersama pengikutnya segera pergi dengan diam-diam meninggalkan Keraton menuju ke timur Gunung Lawu. Dalam pelariannya itu dia sampai di desa Tegalsari. Di tengah kekhawatiran dan ketakutan dari kejaran pasukan Sunan Kuning itulah kemudian Paku Buana II berserah diri kepada Kanjeng Kyai Hasan Besari. Penguasa Kartasura ini selanjutnya menjadi santri dari Kyai wara` itu; dia ditempa dan dibimbing untuk selalu bertafakkur dan bermunajat kepada Allah, Penguasa dari segala penguasa di semesta alam.

Berkat keuletan dan kesungguhannya dalam beribadah dan berdoa serta berkat keikhlasan bimbingan dan doa Kyai Besari, Allah SWT mengabulkan doa Paku Buana II. Api pemberontakan akhirnya reda. Paku Buana II kembali menduduki tahtanya. Sebagai balas budi, Sunan Paku Buana II mengambil Kyai Hasan Besari menjadi menantunya. Sejak itu nama Kyai yang alim ini dikenal dengan sebutan Yang Mulia Kanjeng Kyai Hasan Bashari (Besari). Sejak itu pula desa Tegalsari menjadi desa merdeka atau perdikan, yaitu desa istimewa yang bebas dari segala kewajiban membayar pajak kepada kerajaan.

Setelah Kyai Ageng Hasan Bashari wafat, beliau digantikan oleh putra ketujuh beliau yang bernama Kyai Hasan Yahya. Seterusnya Kyai Hasan Yahya digantikan oleh Kyai Bagus Hasan Bashari II yang kemudian digantikan oleh Kyai Hasan Anom. Demikianlah Pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari generasi ke generasi, dari pengasuh satu ke pengasuh lain. Tetapi, pada pertengahan abad ke-19 atau pada generasi keempat keluarga Kyai Bashari, Pesantren Tegalsari mulai surut.

Alkisah, pada masa kepemimpinan Kyai Khalifah, terdapat seorang santri yang sangat menonjol dalam berbagai bidang. Namanya Sulaiman Jamaluddin, putera Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon. Ia sangat dekat dengan Kyainya dan Kyai pun sayang kepadanya. Maka setelah santri Sulaiman Jamaluddin dirasa telah memperoleh ilmu yang cukup, ia diambil menantu oleh Kyai dan jadilah ia Kyai muda yang sering dipercaya menggantikan Kyai untuk memimpin pesantren saat beliau berhalangan. Bahkan sang Kyai akhirnya memberikan kepercayaan kepada santri dan menantunya ini untuk mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor

Friday, December 8, 2017

INILAH STANDAR SESEORANG BISA DISEBUT ULAMA

INILAH STANDAR SESEORANG BISA DISEBUT ULAMA

Di antara orang terakhir yang mendapatkan gelar 'al-'Allamah' di Damaskus ada 4 orang. Yakni Syaikh Hasan Habannakeh, Syaikh Zainal Abidin at-Tunisi (adik dari Syaikh Khidr Husein), Syaikh Bahjat Baitar, dan satu lagi aku lupa namanya. Itu terjadi di tahun '60--an. Perlu diingat, Damaskus saat itu menjadi salah satu ibukota keilmuan islam dunia

Nama beken sekelas Syaikh Salih Farfur, Syaikh Abdul Karim Rifai, dan ratusan ulama lain di level mereka tidak mendapatkan gelar tersebut, bukan karena mereka tidak alim, tapi level 'al-allamah' (ulama besar) yang berhak memakai 'surban putih dan ikat pinggang' bukan level sembarangan. Hanya 4 orang dari generasi emas ulama saat itu, dan para ulama lain pun tidak cemburu, karena ada standar yang tertulis untuk mencapai level itu.

Apa standarnya? Yaitu menguasai 12 cabang ilmu, memahaminya, mengaplikasikannya serta mengetahui dan menghapal seluruh dalilnya. Kemudian mempertahankan dalilnya dari kritikan (an-nudhar). Saat tahap itu telah dicapai maka mereka akan diberi gelar al-'allamah oleh ulama yang telah mencapai tahap itu terlebih dahulu.

Sedangkan bagi yang baru mencapai tahap menghapal dan menguasai 12 cabang ilmu, namun hanya satu cabang ilmu saja yang dikuasai dan dihapal setiap detail dalilnya, serta bisa mempertahankannya dari kritikan (an-nudhar), maka mereka dijuluki 'alim saja. Seperti sebutan faqih (dalam fiqih), ushuly (dalam ushul fiqh), adib (bahasa arab), muarikh (dalam sejarah dan sirah), mutakalim (dalam aqidah dan mantiq), muhadis (dalam hadis), mufasir (dalam tafsir), dan qura (dalam ilmu qiraat).

Level di bawah itu dinamakan al-ustadz, yakni mereka yang berhasil menguasai dan menghafal 12 cabang ilmu dan mengaplikasikannya tapi tidak mengapal seluruh dalil dan istinbatnya dengan detail. Intinya belum mencapai tahap an-nudhar. Tapi untuk mencapai level ini saja butuh waktu belasan tahun.

Di bawah itu dinamakan thalib (santri), sedangkan yang belajar satu cabang ilmu secara mendasar disebut mustaqaf (mempunyai wawasan), sedangkan orang biasa disebut awam.

Inilah standar ulama dahulu, makanya Syaikh Hasan Habannakeh ketika ada orang memuji terlalu berlebihan jika ada murid yang cerdas dengan kata "Masyaallah dia seorang alim," beliau menyela "Cukup katakan; thalib yang berbakat," bukan karena tidak mau memuji, tapi beliau sedang mengajari kita untuk menaruh sesuatu pada tempatnya, karena semua gelar itu sudah jelas standarnya.
Otak cerdas atau pintar ngomong saja tidak cukup, bahkan punya wawasan dan bacaan banyak juga tidak cukup untuk dikatakan alim. Tentu ulama melakukan standarisasi ini agar tidak ada orang 'berbaju ulama' yang menipu umat. Kalau tidak, lama kelamaan kepercayaan umat pada ulama akan hilang, karena 'penipu berjubah ulama' menyampaikan agama tidak sebagaimana mestinya
sebab kekurangan ilmu.

Gelar-gelar ini tidak hanya milik ulama Damaskus, tapi ada dimana-mana, seperti di Al-Azhar, madrasah Hijaz, dan lain-lain. Sayangnya sejak gelar ini mulai dikikis dengan munculnya gelar baru seperti profesor, doktor, master, license, dan semacamnya, standarisasi keilmuan semakin tidak jelas. Belum lagi kasus jual ijazah, masyarakat mulai tertipu dengan standar baru yang bisa didapatkan bahkan jika kita belajar Islam pada nonmuslim.

Bahkan ada yang modal semangat dan cukup pinter ngomong lalu memakai jubah dipanggil ustaz, belum lagi candaan panggilan ustaz yang membuat gelar al-ustaz jadi bahan obral. Lalu apa yang terjadi? Yang terjadi adalah apa yang kita lihat hari ini, umat bingung, ustad beneran jadi tidak dipercaya gara-gara ulama jadi-jadian bermodal taplak meja (yang dijadikan sorban -red). Bahkan tak jarang sebagian umat lebih mengidolakan orang yang tak ada sangkut paut dengan keilmuan, karena logika mereka jauh lebih memuaskan dibandingkan dalil dari ulama gadungan. Tapi ingat keduanya tidak mewakili keilmuan islam.

Saat haji kemarin, aku sempat bertamu dan berjumpa dengan beberapa ulama Hijaz seperti Habib Zain Sumaith, Sayyid Ahmad Salih Ruqaimy, Abuya Sayyid Ahmad al-Maliki, Sayyid Nabil al-Ghamry, Habib Umar al-Jailany, Habib Umar bin Hafidz dan lain-lain. Selain untuk menyampaikan titipan dari guruku di Damaskus, juga mengambil barakah, doa dan ijazah dari mereka.

Kawanku yang di Mekah, alumni Madrasah Saulatiyah yang membantuku memberi alamat mereka di Mekah memberitahu bahwa di antara mereka ada yang bergelar mufti. Yakni gelar bagi orang yang bertanggung jawab dan berhak untuk memberitahukan hukum Allah pada umat. Aku bertanya dengan agak heran, "Kok banyak banget mufti? Ini ditunjuk oleh kerajaan?" Dia jawab, "Nggak lah, 'kan kamu udah belajar fiqh dan ushul fiqh. Di sana ada syarat-syaratnya." Aku mulai kegirangan, lalu aku bertanya, "Abuya Sayyid Ahmad al-Maliki termasuk mufti nggak?" Dia menjawab, "Beliau memang alim tapi belum mencapai taraf mufti"

Aku mulai gembira, bukan karena Abuya tidak menjadi mufti, tapi karena orang selevel Abuya dan punya nama besar saja belum mencapai derajat itu. Berarti ada standar tinggi di sini, lalu aku melanjutkan pertanyaan yang sebenarnya aku sudah tahu jawabannya, "Jjadi siapa yang menentukan seseorang mufti atau bukan?" Dia menjawab, "Ya mufti-mufti sebelumnya."

Betapa aku kegirangan. Mimpiku selama ini seperti jadi kenyataan, gelar mufti seperti dulu masih ada, bukan mufti yang ditunjuk pemerintah karena alasan politis. Dan ulama Hijaz masih memakai itu.

Aku sangat menginginkan standarisasi ulama itu ada di seluruh dunia, apalagi di Indonesia. Di mana semua orang jadi ustadz, dan semua orang jadi kiai. Modal ganteng, pandai ngomong, bahkan yang nyeleneh dan tidak jelas siapa gurunya pun dianggap kiai. Paling gila, modal surban dan maulidan sudah menjadi al-ustadz, fatwa nyeleneh bin aneh bin membingungkan tersebar pada umat. Belum lagi umat di Indonesia yang mudah heboh, akhirnya terjadilah apa yang terjadi; rasa hormat pada ulama hilang.

Ada orang modal akun facebook pakai surban jadi ustadz bahkan berani menyesatkan ulama yang belajar puluhan tahun. Umat bingung mau ikut siapa. Bayangkan, di Indonesia orang sepertiku saja ada yang manggil ustadz? Entah bagaimana masa depan Islam nantinya. dan sepertinya memang sudah saatnya kita kembali lagi ke masa dimana siapa ulama dan bukan ada standarnya. Sehingga kita tau kemana kita harus merujuk untuk bertanya tentang agama kita secara benar dan tidak membingungkan. Hijaz sudah ada, Indonesia kapan?

#repost
# Ditulis oleh seorang thalib yang berbakat, Mas Fauzan Inzaghi

http://as-salafiyyah.blogspot.co.id/2017/12/inilah-standar-seorang-bisa-dinamakan.html

Wednesday, December 6, 2017

MENGAPA KITAB FIKIH TIDAK DIAWALI PEMBAHASAN KENEGARAAN?

MENGAPA KITAB FIKIH TIDAK DIAWALI PEMBAHASAN KENEGARAAN?

Kitab-kitab fikih para fuqoha’ di berbagai masa selama berabad-abad, selalu diawali pembahasan tentang salat, bukan pembahasan tentang negara. Mereka juga tidak mengawali kitab fikih dengan pembahasan hukum-hukum yang memerlukan kehadiran hakim (penguasa) untuk menerapkannya seperti pembahasan hudud, qishosh, ta’zir, qodho’ dan semisalnya.

Mengapa demikian?

Apakah hal ini menunjukkan para fuqoha’ memahami bahwa politik itu bukan prioritas dalam pembahasan hukum Islam? Atau lebih jauh dari itu, apakah para fuqoha’ memahami bahwa politik itu bukan bagian dari ajaran Islam?

Jika dilacak tulisan-tulisan para fuqoha’ yang terkait topik ini, maka akan didapati bahwa alasan mendahulukan pembahasan salat itu justru didasarkan pada pemahaman yang mendalam, telaah yang sangat luas terhadap hukum Islam, dan kajian yang komprehensif terhadap seluruh ajaran Islam . Karena itulah mereka bisa menata topik mana yang harus didahulukan dan topik mana yang harus dinomorsekiankan. Mereka bisa menyusun urutan dengan kaidah ahammiyyah (الأهمية), yakni mana yang paling penting dan kaidah aulawiyyah (الأولوية) yakni mana yang harus diprioritaskan.

Amal akhirat murni harus didahulukan daripada amal yang terkait urusan dunia, karena kehidupan sejati adalah kehidupan akhirat, bukan dunia. Kehidupan dunia hanyalah sementara, tempat singgah dan panggung sandiwara. Kehidupan dunia digunakan sebagai kendaraan menuju akhirat saja. Lagipula Allah menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa maksud Allah mencipkan jin dan manusia adalah untuk beribadah dan mengabdi kepada-Nya. Apalagi jika kita bandingkan dengan kehidupan malaikat. Mereka bertasbih, memuji Allah siang malam tanpa henti dan tanpa letih selama -mungkin- ribuan atau jutaan tahun (hanya Allah yang tahu) adalah sejelas-jelas bentuk ibadah murni yang memang untuk itu mereka diciptakan. Oleh karena itulah, pembahasan kitab fikih harus didahului pembahasan hukum ibadah, bukan hukum negara.

Pembahasan ibadah yang paling penting adalah pembahasan salat, karena salat adalah rukun Islam setelah syahadat. Siapa yang mengingkari kewajiban salat, maka dia dihukumi murtad, kafir, telah keluar dari Islam dan pantas dihukum bunuh. Negara bukan rukun Islam. Orang yang mengingkari ajaran negara atau politik dalam Islam (meskipun salah) tidak bisa disebut telah murtad dan keluar dari Islam. Demikian penting dan tingginya kedudukan salat ini, tidak heran jika Muhammad bin Nashr Al-Marwazi (294 H) membuat kitab khusus untuk menjelaskan agungnya perintah salat ini dalam kitab beliau yang berjudul “Ta’zhimu Qodri Ash-Sholah” (تعظيم قدر الصلاة).

Oleh karena untuk salat harus dipenuhi syarat sahnya, yaitu thoharoh (kesucian), maka umumnya para fuqoha mengawali pembahasan fikih salat dengan bab thoharoh yang mencakup pembahasan macam-macam air, bejana, najis, cara membersihkan najis dan semisalnya. Sebagian fuqoha seperti Imam Malik memilih mengawali pembahasan dengan bab mawaqit sholah (waktu-waktu salat). Ini bermakna tetap menjadikan pembahasan salat sebagai pembahasan pertama dan utama dalam pembahasan fikih.

Setelah pembahasan ibadah mahdhoh selesai, yakni pembahasan yang mencakup topik salat, puasa, zakat, haji, umroh dan jihad, maka beralihlah pembahasan fikih itu menuju pembahasan perbuatan yang terkait urusan dunia.

Dalam hal urusan dunia, secara pasti manusia memiliki kebutuhan. Kebutuhan yang tidak mungkin dihindari adalah kebutuhan makan, minum, pakaian, rumah dan yang semisal dengannya. Untuk mendapatkan ini, maka manusia berinteraksi sesamanya dengan cara berjual beli, membuat akad perkontrakan dan sebagainya, dari sini maka diperlukan aturan yang mengontrol cara memenuhi kebutuhan agar tidak terjatuh pada konflik yang bersifat merusak. Karena itulah, mulai terasa pentingnya dibahas hukum jual beli, ijaroh, syirkah dan semisalnya. Hukum-hukum urusan dunia ini adalah hukum-hukum yang tidak termasuk ibadah murni. Hanya saja, karena dalam pelaksanaannya mengikuti aturan Allah, ia juga tetap bisa disebut ibadah. Hanya saja ibadahnya bukan murni, sehingga dinamakan ibadah ghoiru mahdhoh. Jadi, ibadah akhirnya dibagi menjadi dua; Ibadah murni dan tidak murni. Ibadah murni disebut juga ibadah mahdhoh, contohnya salat. Ibadah tidak murni contohnya jual beli menurut syarat sah dan rukunnya yang ditentukan Allah, yang disebut ibadah ghoiru mahdhoh.

Setelah kebutuhan makan dan minum beres, maka dibahas kebutuhan seks. Kebutuhan makan minum lebih penting daripada kebutuhan seks, karena orang bisa mati jika tidak makan minum sementara dia tidak akan mati jika tidak tersalurkan nafsu seksualnya. Karena itu, pembahasan hukum-hukum muamalat didahulukan daripada hukum-hukum yang mengatur nafsu seksual. Untuk membahas pengaturan penyaluran seks maka dibahaslah hukum-hukum munakahat (pernikahan). Kebutuhan seks ini jangkauannya lebih bersifat komunal. Alasannya, jika kebutuhan makan minum arahnya lebih ditekankan untuk menjaga keberlangsungan nyawa individu, maka kebutuhan seks secara sosial sesungguhnya juga berfungsi untuk menjaga kelestarian spesies manusia.

Setelah terpenuhi kebutuhan makan, minum dan seks, biasanya muncul problem kriminal akibat pemenuhan kebutuhan yang tidak benar dan menyimpang. Ada orang yang sudah kenyang, tapi masih ingin makanan orang lain. Ada orang yang sudah punya istri, tapi masih “ngiler” melihat wanita lain. Kecenderungan menyimpang ini bisa melahirkan tindakan kriminal seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan, perzinaan dan semisalnya. Dari sinilah maka diperlukan aturan untuk mengontrolnya. Mulai tampak pula urgensi pembahasan hukum-hukum Islam yang terkait dengan penyelenggaraan masyarakat dan sistem sosial. Dimulailah pembahasan hukum uqubat, qishosh, hudud, jinayat, diyat, ta’zir, qodho’, syahadat, iqror dan semisalnya. Ketika sudah sampai sini, maka mau tidak mau pembahasan fikih mesti akan bersinggungan dengan pembahasan politik dan negara. Di level inilah pembahasan tentang politik dan negara Islam menemukan urgensinya.

Ini adalah urutan prioritas pembahasan hukum fikih secara umum sebagaimana yang disusun oleh pakar-pakar hukum Islam. Tidak terlalu kaku dari sisi urutan, tapi secara umum begitulah urutan yang dipakai para fuqoha’.

Al-Buhuti berkata,

وقدموا العبادات اهتماما بالأمور الدينية ثم المعاملات لأن من أسبابها الأكل والشرب ونحوه من الضروري الذي يحتاج اليه الكبير والصغير وشهوته مقدمة على شهوة النكاح وقدموه على الجنايات والحدود والمخاصمات لأن وقوعها في الغالب بعد الفراغ من شهوتي البطن والفرج

“Mereka (para fuqoha) mendahulukan (penjelasan hukum-hukum) ibadat karena memberi perhatian terhadap perkara dien. Setelah itu (pembahasan) muamalat karena itu menjadi sebab bisa makan, minum dan (memenuhi) kebutuhan pokok yang semisal dengannya yang dibutuhkan orang dewasa dan anak kecil. Syahwatnya (terhadap makan minum) didahulukan daripada syahwat nikah. Mereka (para fuqoha’) juga mendahulukan pembahasan nikah daripada pembahasan jinayat, hudud dan mukhoshomat (perselisihan) karena terjadinya (tindakan kriminal itu) umumnya setelah terpenuhi syahwat perut dan kemaluan (Syarh Muntaha Al-Irodat, juz 1 hlm 13)

Jadi, pembahasan negara tidak dilakukan di awal bukan karena itu tidak penting apalagi diasumsikan bukan ajaran Islam. Peletakan pembahasan sistem sosial dan tata kelola negara di bagian akhir fikih Islam justru menunjukkan pemahaman yang sangat mendalam dan tajam pada saat mengenali karakteristik hukum Islam yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad.

Oleh karena itu, keliru jika pembahasan negara ini dinomorsatukan seraya melalaikan pembahasan-pembahasan unsur fikih yang justru menjadi “batu-bata” penyusunnya. Orang yang terburu alias “kesusu” membentuk negara Islam, padahal pondasi, batu-bata, batu kali, semen, fly ash, air, besi, kawat dan unsur-unsur bangunan lain belum disiapkan, sama dengan orang yang berambisi membuat rumah megah, mewah nan kuat tapi tidak menyiapkan bahan-bahan bangunanya dengan baik. Bisa dipastikan orang seperti itu akan membangun rumah dengan material bangunan ala kadarnya, atau bisa jadi mencomot bahan material yang disangka bahan bangunan padahal bukan, bahkan bisa jadi dia tidak akan pernah bisa membangun karena memang unsur bangunannya tidak pernah diusahakan. Kalaupun bangunan itu dipaksakan jadi, bisa dipastikan bangunan yang dibentuk dengan cara seperti itu akan cepat roboh dan membinasakan penghuninya.

Pembahasan terkait negara umumnya dalam kitab fikih tidak dibahas secara eksplisit, tetapi terkandung pada pembahasan qodho’, syahadat, uqubat dan semisalnya. Beberapa ulama membuat pembahasan khusus lebih panjang lebar dalam kitab mustaqill seperti “As-Siyasah Asy-Syar’iyyah” karya Ibnu Taimiyyah, “Al-Ahkam As-Sulthoniyyah” karya Al-Mawardi, “Ghiyatsul Umam” karya Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini dan lain-lain.

Dari sisi bentuk negara, judul-judul kitab di atas memang nampak seperti “tidak ambil pusing” karena barangkali menurut ijtihad beliau-beliau bentuk negara itu urusan teknis. Seolah-olah mereka bisa menerima bentuk apapun selama esensinya menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dasar mengelola negara.

Di zaman sekarang, sebagai akibat serangan pemikiran ilmu-ilmu sosial dari Barat, termasuk di antaranya pemikiran yang berkaitan dengan sistem politik dan tata negara, ada sebagian kaum muslimin yang berusaha “membakukan” sistem politik dan negara Islam dengan bentuk tertentu, seperti yang dilakukan Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani dalam kitabnya yang berjudul “Al-Khilafah” dan “Nizhomu Al-Hukmi Fi Al-Islam”. Sulaiman Rasyid dalam buku beliau; Fiqh Islam juga membuat judul khusus dalam bagian akhir buku itu dengan nama “Kitab Al-Khilafah”, hanya saja pembahasannya masih berbentuk prinsip-prinsip umum, belum sedetail An-Nabhani yang menata idenya sampai membentuk sebuah mekanisme pengelolaan negara yang tergambar jelas.

Ada juga yang berusaha menjawab tantangan zaman itu dengan pembahasan yang bersifat prinsip-prinsip politik Islam saja, tanpa berusaha membakukan bentuk pemerintahan tertentu seperti kitab “Min Fiqhi Ad-Daulah Fi Al-Islam’ karya Yusuf Al-Qordhowi dan “Al-Hukumah Al-Islamiyyah” karya Abu Al-A’la Al-Maududi. Masih banyak lagi, puluhan bahkan mungkin ratusan buku-buku yang membahas politik dan negara Islam baik karya ulama terdahulu maupun karya ulama-ulama kontemporer. PR masih sangat besar jika umat sudah mulai digiring untuk menghadapi tantangan zaman terkait dengan politik dan negara Islam.

Wallahua’lam.

اللهم فقهنا في الدين وعلمنا التأويل

Versi Situs: http://irtaqi.net/2017/12/06/mengapa-kitab-fikih-tidak-diawali-pembahasan-kenegaraan/
***
Muafa
17 Robi'ul Awwal 1439 H

MERAH PUTIH VERSUS BENDERA RASULULLAH Membaca Kembali Hadits Nabi dan Sejarah Islam

MERAH PUTIH VERSUS BENDERA RASULULLAH
Membaca Kembali Hadits Nabi dan Sejarah Islam
Oleh: Irwan Masduqi

Sebagai warga Indonesia yang menghormati merah putih barangkali kita agak terusik dengan keberadaan bendera ISIS dan HTI yang diklaim oleh para kader militan sebagai bendera Rasulullah saw. Bendera Rasulullah saw kini semakin marak digunakan oleh kelompok radikal dalam sejumlah aksi demonstrasi, seakan-akan bendera itulah yang Islami sedangkan merah putih tidak sesuai dengan hadits Nabi. Para ideolog HTI juga sering mengutip hadits-hadits tentang bendera Rasulullah dengan pemahaman yang tekstual. Pemahaman seperti ini perlu dikaji ulang dan diluruskan.

Dalam kitab Fath al-Bari Syarh Shahih Bukhari diterangkan bahwa warna bendera Rasulullah saw masih diperdebatkan disebabkan perbedaan redaksi hadits dan riwayat yang beragam. Dalam haditsnya Jabir diterangkan bahwa bendera Rasul saat masuk Makkah berwarna putih (anna Rasulallah dakhala Makkata wa liwa`uhu abyadh). Dalam haditsnya al-Bara’ diterangkan warnanya hitam (anna rayata Rasulillah kanat sauda`). Abu Dawud meriwayatkan bendera Rasulullah berwarna kuning (raaytu rayata Rasulillah shallallahu ‘alayhi wasallama shafra`). Untuk menyikapi hadits yang saling bertentangan ini, para ulama menggunakan metode ushul fiqh “al-jam’u baynal adilah”, mensinkronkan dalil-dalil yang bertentangan. Kesimpulannya, bendera Rasulullah saw berganti-ganti sesuai kondisi dan situasi (takhtalifu bikhtilafil awqat) dan para perawi meriwayatkan secara berbeda-beda sesuai yang mereka lihat atau dengarkan.

Bendera ISIS dan HTI terdapat tulisan La ilaha illallah Muhammad Rasulullah dan mereka mengklaim bahwa bendera Rasulullah saw juga terdapat tulisan seperti itu. Pemahaman seperti ini didasarkan pada hadits Ibnu Abbas “Kana maktuban ‘ala rayatihi la ilaha illallah Muhammad Rasulullah”. Namun dalam kitab Fath al-Bari Syarh Shahih Bukhari diterangkan bahwa sanad hadis tersebut adalah “wahin/dha’if jiddan” atau lemah sekali atau diduga hoax (muttaham bil kidzbi).

Ajaran Islam tidak menentukan warna bendera. Bendera Rasulullah saw bukanlah syiar agama, akan tetapi hanya kode untuk mengisyaratkan strategi perang (alwanu rayat fi tilkal fatrah lam takun tumatstsilu syiaran walakin rumuz). Bendera Rasulullah saw dikibarkan oleh tentara pilihan yang paling pemberani, yakni Hamzah, Ali bin Abi Thalib, dan Mush’ab bin ‘Umayr. Menurut Ibnu Khaldun, sejarawan Muslim terkemuka, tujuan dari bendera yang dikibarkan oleh pejuang adalah untuk mengintimidasi dan menakut-nakuti tentara musuh (li tahwil wa takhwif). Jadi hal ini murni strategi perang yang bersifat kondisional dan profan, bukan doktrin agama yang sakral. Bendera bisa dirubah warna apa saja karena tujuannya hanya kode dan isyarat untuk membedakan mana kawan dan lawan saat kondisi perang.

Bendera warna hitam dan putih kemudian juga digunakan sebagai penanda bagi pasukan kaum Muslimin di era Khulafa al-Rasyidin. Namun seiring perkembangan zaman, bendera kaum Muslimin terus mengalami perubahan. Di era Dinasti Umawi, menurut salah satu riwayat, benderanya diganti dengan warna hijau menyesuaikan selera Bani Umayah yang lebih menyukai warna hijau. Namun menurut riwayat lainnya, warnanya adalah putih dengan tulisan La ilaha illallah Muhammad Rasulullah. Dalam kesempatan lain, ada pula bendera yang diberi tulisan nashrun minallah wa fathun qarib yang artinya pertolongan dari Allah dan penaklukan akan segera datang. Bendera ini di era belakangan dipakai juga oleh Dinasti Muwahidin di Andalusia Spanyol.

Berganti Khilafah berganti pula kebijakan terkait warna bendera. Pada era Khilafah Abasiyah, warna bendera diganti hitam. Menurut Ibnu Khaldun, alasannya adalah untuk mengekspresikan kesedihan atas gugurnya para syuhada’ dari Bani Hasyim. Pada era al-Ma’mun, benderanya diganti lagi warnanya menjadi hijau sebagai syiar negara keadilan. Namun al-Ma’mun pada era belakangan menggantinya lagi menjadi hitam karena warna hijau juga digunakan oleh kelompok Alawiyin. Bendera Alawiyin yang hijau ini kemudian diganti oleh kelompok Syiah menjadi putih sebagai bendera Khilafah Fathimiyyah Syiah di kawasan Maghrib pada tahun 297 H/909 M. Di sini kita melihat bahwa perbedaan kepentingan politik Sunni dan Syiah juga menjadi faktor perubahan warna bendera.

Perubahan warna bendera terus terjadi dalam sejarah umat Islam sesuai dengan pertimbangan filosofis, politis, ideologis, sektarianis, dan selera warna sang pemimpin negara. Putih menyimbolkan kesucian, hitam menyimbolkan keberanian dan ekspresi kesedihan atas gugurnya para syuhada, hijau menyimbolkan keadilan dan kemakmuran, dan seterusnya. Dari kajian hadits dan sejarah di atas, maka kita sebagai warga negara Indonesia selayaknya menghormati merah putih dan tidak sepatutnya mempertentangkan merah putih dengan bendera Rasulullah saw, sebab warna bendera hanyalah bersifat fleksibel sesuai dengan kondisi dan situasi, filosofi pendiri bangsa-bangsa, sejarah kebudayaan masing-masing kawasan, dan cita-cita masa depan bangsa.

Lebih dari itu, menurut Bung Karno, dalam pidatonya pada 24 September 1955, merah putih bukanlah buatan Republik Indonesia. Bukan pula buatan tokoh-tokoh di zaman pergerakan nasional. Bukan buatannya Bung Karno, bukan buatannya Bung Hatta. Enam ribu tahun sebelum Indonesia merdeka manusia yang hidup di tanah air Nusantara sudah memberi makna pada Merah Putih. Bangsa Indonesia sudah mengagungkan merah putih jauh sebelum agama-agama masuk, seperti Hindu, Budha, Kristen, dan Islam. Kerajaan-kerajaan di Nusantara dari mulai Kediri, Singosari, Majapahit sampai Mataram menggunakan merah putih sebagai panji-panji. Bung Karno kemudian berwasiat, “Aku minta kepadamu sekalian, janganlah memperdebatkan Merah Putih ini. Jangan ada satu kelompok yang mengusulkan warna lain sebagai bendera Republik Indonesia”.

Akhir kalam, merah putih yang memiliki filosofi berani dan suci pun tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang mengajarkan keberanian dan kesucian (al-syaja’ah wa nadhafah). Maka penulis mengajak umat Islam di Indonesia agar melihat persoalan ini secara historis dan jangan terjebak pada sikap beragama yang simbolik dan tekstual (al-tadayyun al-syakli wal harfi) ala ISIS dan HTI. Beragama yang simbolik seperti ISIS dan HTI akan mengakibatkan kita terkungkung pada kulit sembari mengabaikan isi. Terjebak pada bentuk dan melupakan nilai filosofi. Memberhalakan teks dan menafikan konteks.
Kepada Sang Saka Merah Putih, hormaaaaat grak!

Yogya, 6 Desember 2017

http://as-salafiyyah.blogspot.co.id/2017/12/merah-putih-versus-bendera-rasulullah.html

Friday, December 1, 2017

Kisah Seorang Wali Peringati Maulid Nabi Muhammad SAW

Hafiz, NU Online | Kamis, 15 Desember 2016 05:04

Syahdan, suatu masa hidup seorang muda pada zaman Amirul Mukminin Harun Ar-Rasyid berkuasa. Pemuda ini berperangai buruk. Banyak perilakunya tidak menarik simpati penduduk Bashrah. Ia bukanlah pemuda idaman masyarakat. Penduduk kota tersebut kehilangan empati terhadapnya.

Karena perilakunya yang tidak terpuji dan banyaknya maksiat terang-terangan itu, ia kehilangan wibawa di tengah masyarakat. Penduduk memandang rendah kepadanya. Tak satupun anggota masyarakat yang peduli kepadanya.

Namun demikian seorang muda ini selalu tampil lebih baik saat bulan Rabi‘ul Awal tiba. Ia berdandan perlente. Ia mencuci pakaian yang dikenakannya. Ia mengenakan wangi-wangian pada pakaiannya. Rambutnya disisir dengan rapi. Ia bercermin untuk memastikan penampilannya yang terbaik.

Apakah yang dilakukan pemuda ini selanjutnya? Di luar dugaan masyarakat ia mengadakan jamuan kenduri. Di tengah jamuan itu ia meminta sejumlah penduduk untuk membacakan maulid atau sejarah kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Perjamuan kenduri semacam ini ia lakukan sepanjang usianya setiap kali bulan Rabi‘ul Awal tiba. Setiap kali bulan maulid tiba, setiap kali itu juga ia berhias, berpakaian rapi, mengenakan parfum, menyisir rambut, menjamu penduduk, dan tentu saja meminta salah satu dari mereka untuk membacakan riwayat kelahiran Rasulullah SAW.

Meski demikian, penduduk tidak mengubah pandangannya terhadap pemuda yang beralih senja. Mereka tetap memandang hina salah satu anggotanya ini. Hingga pada giliran Allah mencabut nyawanya, penduduk masih saja membencinya. Penduduk dengan enggan dan berat hati mengurus jenazahnya.

Tetapi alangkah terkejutnya penduduk Bashrah. Ketika orang ini wafat, mereka mendengar suara tanpa bentuk (hatif) yang menggema di atas langit Bashrah.

“Hai sekalian penduduk Bashrah, saksikanlah jenazah salah seorang waliyullah. Ia adalah seorang yang mulia di sisiku,” kata suara tersebut.

Penduduk Bashrah lalu berduyun-duyun menyaksikan jenazah orang tersebut. Mereka mengurus jenazah itu dengan sebaik-baiknya. Mereka menggelar upacara pemakamannya.

Dalam mimpi mereka melihat orang yang baru dimakamkan mengenakan pakaian berbahan sutra halus dan sutra tebal berlungsin emas. Mereka melihat almarhum berjalan penuh wibawa dengan pakaian indahnya.

“Dengan apa kau mendapatkan kehormatan seperti ini? tanya mereka.

“Berkat penghormatan terhadap hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW,” jawab waliyullah tersebut.

***

Cerita ini dikutip dari I‘anatut Thalibin karya Sayid Bakri bin Sayid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, terbitan Darul Fikr, Beirut, tahun 2005 M/1425-1426 H, juz III, halaman 414. (Alhafiz K)