Thursday, November 30, 2017

TEORI MEMPRODUKSI ANAK AGAR BISA JADI ULAMA

TEORI MEMPRODUKSI ANAK AGAR BISA JADI ULAMA

KH. Abdul Qoyyum Mansur, Lasem, Jateng saat ngaji di acara haul KH. Abdul Fattah Hasyim dan masyayikh di Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Kamis (09/02/2017) menjelaskan teori produksi ulama dalam pandangan tasawuf.

Pertama, teori tempat. "Tempat kelahiran mempengaruhi karakter seseorang," kata Gus Qoyyum. Ia menyontohkan Hakim bin Hizam dan Sayyidina Ali yang lahir di dalam Ka'bah. Hakim menjadi dermawan hingga rela menjual kantornya untuk disedekahkan. Sayyidina Ali menjadi ahli ilmu.

Nabi Muhammad SAW sampai berkata, aku gudangnya ilmu dan Ali pintunya. Kita mengenal Sayiddina Ali sebagai sahabat yang cerdas. Seorang ahli hadist India bernama Husyamuddin al Muttaqi al Hindi, menulis dalam kitabnya Kanzul Ummal bahwa Sayiddina Ali pernah berpidato secara spontan sebanyak 5 halaman tanpa huruf alif.

"Jadi kalau akan melahirkan, cari tempat yang baik. Misalnya rumah sakit Islam, bisa RSNU atau RS Muhammadiyah. Atau cari keluarga dan lingkungan yang baik," sarannya.

Kedua, teori yang dikatakan Gus Qoyyum adalah teori keluarga. Di dalam Al-Quran, ada 26 kali penyebutan keluarga dengan kata ali, ala danalu. Keluarga Nabi Ibrahim dua kali disebut, keluarga Nabi Luth empat kali, lalu keluarga Firaun yang paling banyak disebut, hingga 14 kali.

"Siapapun, bisa punya jiwa Fir’aun. Penguasa maupun ulama juga bisa punya jiwa Fir’aun," tuturnya.

Ilmuwan Jepang sepakat bahwa anak usia empat bulan dalam kandungan yang diperdengarkan musik, bisa mempengaruhi tumbuh kembangnya. "Kalau ingin anak jadi penyanyi, sejak empat bulan di kandungan perdengarkan lagu-lagu. Kalau ingin anak pintar ngaji, perdengarkan bacaan Quran," paparnya.

Ketiga, adalah teori seks. Disebutkan Gus Qoyyum. Dulu, katanya, ada wali buta bernama Ali Al-khowash. "Semua ilmunya laduni," imbuhnya.

Ali Al-Khowash pernah menuturkan, siapa yang dibayangkan sebelum, selama dan setelah berhubungan seks, akan mempengaruhi anak. sebab ada energi yang mengalir dari pikiran ke dalam jiwa, lalu ke anak. "Kalau yang dipikirkan ulama, jadinya ulama. Kalau yang dipikirkan penyanyi, ya jadi penyanyi," ucapnya.

Gus Qoyyum lantas menceritakan kandungan QS Ali Imron 37-39. Dalam ayat tersebut, Nabi Zakariya sangat mengagumi Maryam karena tiap kali mendatangi kamar Maryam di masjid, selalu ada makanan dari Allah.

Nabi Zakariya lalu berdoa minta anak. Kemudian diberi anak Nabi Yahya. "Nabi Yahya ini ada kesamaan dengan Maryam. Sama-sama tidak menikah," jelasnya.

Gus Qoyyum menambahkan, apa yang kita cintai, apa yang kita pikirkan, energinya akan menyalur dalam diri kita. "Kalau kita cinta Rasulullah, maka Allah akan mentransfer energi sehingga karakter kita mirip Rasulullah," lanjutnya.

Napoleon Bonaparte dijadikan contoh oleh Gus Qoyyum. Katanya, setiap ketemu wanita tua, pemimpin Perancis itu selalu berhenti menghormat. Itu dia lakukan karena setiap melihat wanita tua, dia teringat ibunya. "Dia pun jadi pemimpin yang karakternya baik seperti ibu," simpulnya.

Keempat, teori produksi ulama, kata Gus Qoyyum, adalah terori transfer. Dulu, katanya, ada seorang ulama bernama Sa'duddin Al-Taftazani. Beliau belajar puluhan tahun tapi tetap bodoh hingga suatu hari ada orang datang kepadanya memberitahu bahwa dia ditunggu Rasulullah.

Dia lalu datang dan disuruh membuka mulutnya, lalu diludahi Rasulullah. Sejak itu, dia menjadi ulama brilian. "Ada kesunahan, kita sowan ulama membawa kurma lalu minta ulama tersebut memamahnya. Kemudian kurma pamahan tersebut diberikan pada anak kita," paparnya.

Waktu kecil, saya sering makan sesuatu yang dipamahkan oleh bapak saya. Bisa jadi, gus-gus itu jadi ulama karena kecilnya sering makan dari makanan yang dipamah bapaknya yang seorang kiai.

Tokoh Muhammadiyah Jombang, KH Muchid Jaelani sempat cerita, saat mondok di Tebuireng, mulutnya pernah diludahi Gus Kholiq, pengasuh Pesantren Tebuireng yang dikenal sakti. Sejak itu, beliau bisa membaca sendiri kitab-kitab kuning meskipun belum pernah diajarkan kiai.

Di akhir ceramah, Gus Qoyyum memberikan ijazah yang sanadnya sampai ke Mbah Hasyim Asy'ari. Ijazah tersebut didapatkan Gus Qoyyum dari abahnnya. Ini yang diijzahkan:

Membaca kalimat "Tahasshontu Bihisni Laa Ilaaha Illallah Muhammad Rasuulullah" sebelum beranjak tidur. Dibaca 4 kali. Bacaan pertama sembari meludah ke kanan, bacaan kedua, meludah ke kiri. Bacaan ketiga dan keempat, meludahnya ke depan dan belakang.

Ijazah di atas bermanfaat untuk menjaga jiwa raga saat tidur dan setelahnya. Jika Anda ingin mengamalkan, silakan ketik Qabiltu (Saya terima) di kotak komentar di bawah ini.

Wednesday, November 29, 2017

Reformasi Keagamaan Arab Saudi dan Wahabisme di Indonesia

Kendi, NU Online | Rabu, 29 November 2017 20:00

Oleh M. Imdadun Rahmat

Reformasi politik yang bergulir di Arab Saudi memunculkan tanda-tanda orientasi baru Negara itu termasuk reformasi paham keagamaan.  Negara kaya minyak yang telah lama mengembangkan Wahabisme global dan menyokong berkembangnya Wahabisme di Indonesia itu ingin perubahan. Arah baru dimaksud adalah menghentikan radikalisme, ekstrimisme dan konservatisme. Raja Salman, penguasa Nejed dan Hijaz itu menginginkan kembali kepada Islam moderat. 

Wacana baru yang dilontarkan Pangeran Muhammad bin Salman ini menimbulkan harapan yang tampaknya berlebihan dari publik Nahdliyyin. Tampak ada harapan bahwa kelompok Salafi yang selama ini membid’ah-bid’ahkan kaum Nahdliyyin akan berhenti beroperasi karena bantuannya dihentikan oleh Arab Saudi. Ada harapan kehidupan akan damai dan tenang karena tv, radio, terbitan, medsos dan panggung-panggung para ustadz Salafi/Wahabi akan berhenti menfitnah, mencerca dan mendelegitimasi NU. Bahkan, ada harapan dana dari Arab Saudi yang selama ini tidak pernah seriyal pun diterima oleh kaum Nahdiyyin akan menghampiri mereka. 

Apakah harapan Nahdliyyin itu akan menjadi kenyataan?

Ini terkait dengan pertanyaan tentang hakikat perubahan itu. Apa sesungguhnya yang dimaksud rejim Saudi sebagai radikalisme, ekstrimisme dan konservatisme? Kelompok mana yang dimaksud dengan itu? Kemudian, apa yang dimaksud dengan Islam moderat? Artikel pendek ini hendak menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Koalisi Permanen Bani Saud dan Alu Syaikh

Arab Saudi menjadikan Islam sebagai agama resmi Negara. Meskipun tidak ada dokumen tertulis, Wahabi/Salafi merupakan aliran resmi yang penyebarannya dibiayai Negara. Jabatan-jabatan tinggi keulamaan dipegang oleh Alu Syaikh, sejumlah ulama yang merupakan keturunan Muhammad Bin Abdul Wahhab. Ulama Wahabi/Salafi seperti Abdullah Bin Baz menduduki status yang sangat tinggi dan didukung penuh oleh pemerintah untuk menyebarkan dan mengembangkan Salafiyah garis Ibnu Taymiyyah, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah dan Muhammad Bin Abdul Wahhab di dalam negeri dan ke seluruh dunia Islam.

Di waktu yang sama pemerintah menerapkan berbagaipolicy yang cenderung mempersempit ruang gerak madzhab lain. Sebagai imbalannya, Wahabi/Salafi menjadi pendukung paling loyal terhadap kekuasaan Raja Saudi. 

Koalisi ini terbentuk sejak awal lahirnya kerajaan Arab Saudi. Semenjak fase merebut kekuasaan di wilayah Nejed (Jazirah Arabia bagian Timur), tepatnya di Dir’iyyah, Raja Saud dibantu oleh Muhammad Bin Abdul Wahhab. Abdul Wahhab memiliki pasukan Paderi yang berjumlah besar yang menjadi pasukan inti Raja Saud. Pasukan Paderi ini adalah para pengikut Abdul Wahhab yang puritanis yang mencita-citakan pembersihan dan pemurnian ajaran Islam dari bid’ah, khurafat, dan takhayul.

Pasukan ini dikenal militan, ganas dan tanpa kompromi. Kontribusi tetara Wahabi sangat besar dalam berbagai kemenangan Raja Saud. Koalisi itu juga bahu-membahu merebut wilayah Hijaz (Jazirah Arab bagian barat) termasuk Mekah dan Medinah yang menandai lahirnya kerajaan besar Saudi Arabia. 

Itulah sebabnya, sejak awal merebut Mekah dan Madinah, Raja Saud menerapkan kebijakan sapu bersih  apa yang dianggap bid’ah, khurafat, dan takhayyul. Madzhab yang empat dibatasi (kecuali Madzhab Hambali versi Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Qoyim). Para ulama dan imam masjid Haramain diganti dengan para tokoh Wahabi. Wahabiyah didukung penuh oleh kerajaan untuk menjadi satu-satunya aliran di Arab Saudi. Situs-situs peninggalan Nabi, keluarga Nabi, dan para Sahabat dihancurkan termasuk makam keluarga Nabi serta para sahabat dan tabiin.

Jika saja tidak mendapatkan protes keras dari seluruh penjuru dunia Islam makam Nabi juga akan dihancurkan. Bahkan, tarekat sufiyyah dilarang sama sekali. 

Koalisi ini makin menjadi-jadi setelah Arab Saudi panen minyak sejak 1930-an dan mulai tahun 1975 menjadi Negara super kaya. Arab Saudi ingin menjadi yang terdepan di dunia Islam. Ia bersaing dengan Mesir, Irak, Turki,  Syiria dan Iran. Saudi ingin pengaruhnya meluber ke penjuru negeri-negeri OKI. Salah satu wasilah yang dipakai adalah penyebaran Wahabi ke seluruh dunia. Dengan semakin kuatnya Wahabi di sebuah Negara, maka publiknya  akan menggeser dukungan kepada Negara-negara kuat saingan Saudi. 

Internasionalisasi Wahhabi ini setidaknya dilakukan dengan beberapa strategi. Pertama, memberikan dukungan finansial kepada organisasi-organisasi penting. Cara ini dilakukan secara lebih canggih dan menyeluruh terutama pada tahun 1980-an dengan menciptakan organisasi perwakilan seperti Liga Muslim Dunia (Rabithah al-Alam al Islami), yang secara luas mendistribusikan literatur Wahhabi dalam semua bahasa utama dunia, memberikan hadiah dan sumbangan, serta menyediakan dana untuk jaringan penerbit, sekolah, mesjid, organisasi, dan perseorangan.

Tentu saja efek kampanye ini adalah munculnya banyak gerakan Islam di seluruh dunia yang menjadi pendukung ideologi Wahhabi. Kedua, persebaran Wahhabi juga didukung oleh berbagai institusi baik institusi sosial-keagamaan, pendidikan, institusi bisnis dan media massa seperti penerbitan buku, koran, radio, TV dan majalah maupun institusi politik dan pemerintah, dan juga perseorangan seperti imam, guru, ustadz, dan penulis  yang “secara oportunis” ingin mengambil untung dari donasi Saudi. 

Koalisi Rezim Saudi dengan Wahabi/Salafi makin kuat saat ini karena Iran semakin menonjol sebagai saingan Saudi di regional Timur Tengah maupun di dunia Islam. Saudi juga terlibat perang dengan pihak-pihak yang didukung  Iran; Rejim Basyar Asad dan Pemberontakan Houti di Yaman. Wahabi/Salafi menjadi alat yang efektif untuk melawan pengaruh Iran di dunia Islam dengan gerakan anti Syi’ah. Intinya, Syi’ah bukan Islam oleh karena itu ia harus diisolasi dari pergaulan dunia Islam. Iran harus keluar dari OKI, atau minimal tidak menduduki posisi penting di OKI. 

Melihat besarnya kepentingan Kerajaan Saudi terhadap Wahabi/Salafi sebagai pendukung kekuasaan dan kepentingan politik regional dan internasional ini, berat rasanya Arab Saudi meninggalkan Wahabi/Salafi. Di lain pihak, jaringan Ahlussunnah Waljamaah (non-Wahabi) di Arab Saudi telah terlanjur berantakan dihajar oleh pemerintah Saudi, tinggal sisa-sisanya, antara lain jaringan Syaikh Alwi Al-Maliki.

Oleh karenanya Pangeran Muhammad Bin Salman tidak pernah mengatakan akan memberantas Wahabi. Yang ia katakan adalah memberantas ekstrimisme, radikalisme dan kaum konservatif. Siapakah mereka?

Salafi Surury, Salafi Jihadis dan Salafi Takfiry

Wahabisme/Salafisme telah berkembang jauh dengan percabangan yang makin rumit. Di antara berbagai fraksi dalam Wahabi/Salafi sendiri terdapat tiga kelompok yang oposisional terhadap pemerintah Saudi. Yakni Salafi Surury, Salafi Jihadis dan Salafy Takfiry. Salafy Surury atau "Salafiyah Politik" yang lebih menaruh perhatian pada persoalan-persoalan politik ketimbang agenda pemurnian (purifikasi).  Mereka terpengaruh oleh pemikiran lkhwan Al-Muslimin (IM).

Sebutan mereka merujuk pada dai Syiria Muhammad Syurur Zein Al-Abidin, seorang tokoh IM. Kelompok inilah yang menentang keberadaan Amerika Serikat dan intervensi militernya dalam perang Teluk II.  Mereka juga menentang politik Saudi Arabia yang tidak tegas terhadap Israel.Tokoh-tokoh kelompok ini antara lain Salman Al-Audah, Safar Al-Hawali, 'Aidh Al-Qarni, dan lain-lain.  

Sedangkan Salafi Jihadis dan Salafi Takfiris sama-sama menggunakan kekerasan dan terror. Dua-duanya adalah produk Saudi sendiri. Keterlibatan Arab Saudi dan Intelijen Pakistandukungan Amerika Serikat dalam membentuk “legiun Arab” dalam perang Afghanistan serta keterlibatannya dalam mensupport kelompok perlawanan Sunni terhadap rezim Syiah Basyar Asad di Syiria telah melahirkan jenis Salafi baru yang tidak dikehendakinya.

Para sukarelawan jihad di Afghanistan melahirkan Tanzim Al-Qaidah pimpinan Usamah Bin Ladin, sebuah kelompok teroris yang berideologi Salafi Jihadi. Sedangkan sukarelawan Sunni di Syiria berkembang menjadi Daisy (Al-Daulah Al-Islamiyyah fi Al-Iraq wa Al-Syuriyah) masyhur disebut ISIS.Kelompok bersenjata yang didukung sukarelawan dari berbagai Negara ini merupakan kiblat bagi kelompok pro kekerasan yang menganut ideology Salafi Takfiri. Ketiga kelompok Salafi inilah yang disebut oleh Pangeran Muhammad Bin Salman sebagai ekstrimisme, radikalisme dan kaum konservatif.

Islam Moderat ala Saudi: Neo Fundamentalis 

Lalu, siapakah Islam moderat itu? Yaitu Salafi yang loyal kepada Kerajaan. Salafi yang a-politis yang loyal dan memberikan legitimasi agama bagi keabsahan kekuasaan Raja Saud. Salafi resmi di bawah Abdullah Bin Baz dan Syaikh Utsaimin yang menfatwakan bahwa berorganisasi dan berpolitik adalah bid’ah dlolalah.

Agenda konkretnya adalah membendung dan menyaingi pengaruh IM yang sangat politis, cenderung kritis dan oposisional terhadap semua penguasa di dunia Arab. Yang dimaui oleh Keluarga Raja Saud adalah melemahkan arus deras Islamisme (Islam sebagai ideology perlawanan) yang dimunculkan oleh IM.

Oleh karenanya, seruan yang didukung oleh Salafisme internasional ala Saudi adalah kesalehan individu, purifikasi agama dan penerapan Syariat Islam sebagai hokum formal. Inilah yang oleh Olivier Roy disebut sebagai neo-fundamentalisme yang telah berhasil sekian waktu membendung bahkan menggagalkan agenda Islamisme di dunia Islam.

Salafi-Wahabi yang berkembang di Indonesia adalah Salafi resmi ini. Reformasi di Arab Saudi tak akan berpengaruh apa-apa terhadap kelompok-kelompok Salafi di sini. Real Saudi akan tetap mengucur ke kelompok-kelompok Salafi di negeri kita. Sebab, yang diperangi hanyalah Salafi Surury, Salafi Jihadi dan Salafi Takfiry. Kaum Nahdliyyin harus tetap bersabar dibid’ah-bid’ahkan oleh kelompok Salafi. Innallaha m’ashshabiriin.

Penulis adalah Direktur SAS Institute dan pengajar Program Kajian Terorisme SKSG Universitas Indonesia

Tuesday, November 28, 2017

Kiai Raden Asnawi saat Bertamu ke Pemilik Perusahaan Rokok

Mahbib, NU Online | Kamis, 19 Oktober 2017 16:03

Imam Ali bin Abi Thalib pernah mengajarkan, "Bajumu akan memuliakanmu sebelum engkau duduk, sedangkan ilmumu akan memuliakanmu setelah engkau duduk."

Seorang kiai yang sangat alim dari Kudus bernama Kiai Raden Asnawi berkeinginan membuktikan kebenaran ucapan Imam Ali tersebut. Suatu saat beliau bertandang ke rumah salah seorang pemilik perusahaan rokok di kota itu. Ia bernama Turaikhan. Kiai Asnawi mendatangi rumah Turaikhan dengan pakaian biasa layaknya orang umum, tidak berpakaian yang seperti biasa beliau pakai.

Saat sampai di sana beliau ditemui oleh seorang pembantu. Kepada pembantu itu beliau minta bertemu dengan sang juragan, Turaikhan. Maka sang pembantu masuk untuk menyampaikan keinginan tamunya. Sementara Kiai Asnawi duduk menunggu di ruang tamu. Namun hingga sekian lama sang pemilik rumah belum juga keluar. Maka Kiai Asnawi bangkit dan  segera pulang.

Tak berapa lama kemudian beliau kembali mendatangi rumah Turaikhan. Kali ini beliau berpakaian rapi dan mewah; berjas dengan rantai kecil menghias di dadanya. Beliau juga mengendarai seekor kuda yang besar dan gagah. Saat itu kuda adalah tunggangan kalangan papan atas.

Sesampainya di depan rumah Turaikhan, Kiai Asnawi tak segera turun. Sementara pemilik rumah yang mendengar ada suara kuda di depan rumahnya segera beranjak ke luar untuk menyambut tamunya. Dan betapa terkejutnya ia ketika mengetahui yang datang seorang kiai besar yang sangat dihormati. Maka dengan segera dan penuh senang hati Turaikhan mempersilakan Kiai Asnawi untuk masuk rumah.

Namun di luar dugaan Kiai Asnawi menolak seraya berkata, "Aku tak mau, aku mau pulang saja. Tadi aku datang ke rumahmu dengan pakaian biasa ditemui seorang pembantu dan aku menunggumu lama tak segera keluar. Kini setelah aku berpakaian seperti ini dan menunggang kuda engkau segera keluar menemuiku. Tidak, aku tak mau. Engkau tidak menyambut dan menghormatiku, engkau hanya menyambut dan menghormati kudaku."

 

(Diceritakan oleh KH. Subhan Makmun dalam kajian kitab "Tafsir Munir" di Islamic Center Brebes

Catatan haul romo KH. ABDUL HAMID PASURUAN JATIM.

Catatan haul romo KH. ABDUL HAMID PASURUAN JATIM.

1. Semakin tahun banyak yg mendatangi haul kiai Hamid. Kira2 apa saya atau pak Walikota akan seperti ini?. Semoga kita kelak ketika berpulang akan banyak yg mengirimkan fatihah (Gus Ipul).

Mau-idhoh Hasanah (Gus Qoyum)
2. Wali abdal ada 30 orang. Setiap ada yg wafat selalu ada yg menggantikannya sehingga jumlahnya tetap.
3. Mereka wali abdal memiliki hati Nabi Ibrahim.
4. Nabi Ibrahim disebut sebanyak 69 kali.
5. Ibrohim artinya abun rohim (ayah yg penuh kasih sayang). Maka wali abdal  memposisikan diri yg penuh kasih sayang.
6. Sifat dasar Nabi Ibrohim haniifan musliman (prioritas keadilan, kemanusiaan, kasih sayang, dan teguh dgn syariat).
7. Umar bin Khottob pernah ditawari makan di dalam gereja. Beliau tdk mau krn di dalam gereja ada simbol2 gereja. Inilah ciri wali abdal.
Tidak mencampuradukkan ajaran agama tapi juga tdk merusak mereka (ritual non muslim).
8. Ibrohim tidak pernah inkar janji. Janji itu berat. Inilah ciri wali abdal.
9. Ciri wali abdal kedua adalah Berprasangka baik yg menyebabkan kekuatan hati (cerita perampok yg menyamar pejuang agama, sehingga dapat menyembuhkan sakit).
10. Ciri ketiga (sebagaimana cerita Ibrohim) adalah melakukan nilai2 ibadah dlm keadaan tidur dan bangun.
11. Wali abdal tdk ada niatan apa2, polos, lugu dan ibadahnya tdk siasat.
12. Wali abdal memiliki spesifikasi karomah yg berbeda; cerita orang yg menjebak Imam Bukhori setelah dpt kebaikan beliau.
13. Wali abdal itu tenang, banyak diam, dan berwibawa.
14. Wali abdal bisa bergonta ganti hatinya: bisa berhati Ibrohim, Musa (Tegas) bahkan Adam (kepandaian).
15. Meskipun kita belum sampai maqom ini (wali abdal), kita setidaknya mencintai beliau2.
16. Peraturan wali beda dengan kita. (Zona kewalian, baju kewalian, pencabutan kewalian).
17. Wali ada adabus syariat (nilai2 syariat) dan adabul haqiqat (saatnya terbuka atau tertutup).
18. Ciri2 wali abdal kita tiru yg kita bisa. Krn dlm kitab Al Ghozali Sulwatul Arifin ada keterangan yg berkesimpulan liberal tdk boleh (cerita Majusi memukul putranya yg tdk berpuasa). Amar ma'ruf nahi munkarnya jelas.
19. Allohumma sholli alal khodiri almuhmali ba'du. (sholawat yg dibaca sahabatnya kiai Hamid).
20. Imam ibnul Jauzi; ada seorang wali yg doanya dijatah sama Allah.

Semoga menjadi inspirasi dan nasehat untuk kita, wa bil khusus al-faqir sendiri.
Pasuruan, 28 Nopember 2017 (Rosyid Jamil, Forum Aswaja Community Pasuruan)

MENGENAL KITAB AL-UMM KARYA ASY-SYAFI’I

MENGENAL KITAB AL-UMM KARYA ASY-SYAFI’I

Al-Umm (الأم) adalah kitab yang ditulis Asy-Syafi’i dan menjadi kitab fikih paling populer yang dinisbatkan kepada beliau (pembuktian bahwa Al-Umm adalah tulisan Asy-Syafi’i bisa dibaca pada artikel saya yang berjudul “Benarkah Kitab Al-Umm Ditulis Oleh Asy-Syafi’i?”).

Kitab ini adalah cerminan fase akhir dari kematangan ijtihad Asy-Syafi’i setelah “berpetualang” mencari ilmu, menggali, berdebat, berdiskusi, dan merenung di Hijaz, Irak dan Mesir. Kitab ini juga menjadi kitab Asy-Syafi’i yang paling terakhir ditulis. Bisa dikatakan Al-Umm juga mencerminkan madzhab jadid Asy-Syafi’i. Perawinya adalah Ar-Robi’ bin Sulaiman Al-Murodi, murid Asy-Syafi’i yang paling berjasa menyebarkan kitab-kitab beliau sebagaimana sudah di”ramal”kan sendiri oleh sang imam menjelang wafatnya. Dalam perkembangan madzhab selanjutnya, kitab Al-Umm akhirnya menjadi pelopor yang darinya lahir banyak ratusan bahkan ribuan kitab fikih bermadzhab Asy-Syafi’i.

Adapun cara Asy-Syafi’i dalam menulis dan mentransferkan naskahnya kepada murid-muridnya, hal itu bisa kita ketahui dari laporan Yahya bin Nashr Al-Khoulani.

Menurut informasi Yahya Al-Khoulani, pertama-tama Asy-Syafi’i menulis kitab tertentu yang sudah diniatkannya. Dalam proses menulis ini, Asy-Syafi’i hanya mengandalkan hafalannya tanpa bergantung pada buku apapun. Jika sudah selesai, datanglah Ibnu Harom yang akan mengambil naskah itu kemudian menyalinnya. Setelah itu Al-Buwaithi, murid Asy-Syafi’i yang paling senior akan membacakannya di depan Asy-Syafi’i agar dikoreksi. Semua yang hadir mendengar, kemudian menyalin dari naskah yang sudah dikoreksikan itu.

Dengan cara seperti inilah Ar-Robi’ mendapatkan naskah tulisan kitab Al-Umm yang langsung ditulis oleh Asy-Syafi’i. Hanya saja, Ar-Robi’ dikenal banyak membantu mengurusi kebutuhan Asy-Syafi’i. Oleh karena itu wajar jika kadang-kadang beliau tidak ikut mendengar. Jika terjadi seperti ini, biasanya yang luput akan dikoreksikan sendiri langsung kepada Asy-Syafi’i.

Dari sinilah bisa kita pahami, jika dalam kitab Al-Umm ada kata-kata Ar-Robi’ yang berbunyi “akhbarona Asy-Syafi’i” (أخبرنا الشافعي), maka hal itu menunjukkan bahwa yang ditulis Ar-Robi’ adalah naskah yang riil ditulis Asy-Syafi’i yang kemudian ditulis oleh murid-muridnya lalu dikoreksikan kepada Asy-Syafi’i kemudian diijazahkan kepada mereka. Jenis penukilan naskah dengan model ini adalah bagian terbesar dalam Al-Umm. Adapula yang ditulis Ar-Robi’ melalui jalan imla’ (dikte), yakni naskah yang ditulis Ar-Robi’ dengan lafaz “akhbaronaa Asy-Syafi’i imlaa-an” (أخبرنا الشافعي إملاء), tapi yang model ini jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Asy-Syafi’i adalah seorang alim yang sangat produktif dalam menulis dan mengajarkan. Ar-Robi’ menginformasikan bahwa selama 4 tahun di Mesir, Asy-Syafi’i telah mendiktekan 1500 waroqoh (lembar), sementara Al-Umm sendiri terdiri dari 2000 waroqoh.

Adapun isi Al-Umm, menurut Rif’at Fauzi mengandung lima macam tulisan,

1. Furu’ fikih, yakni pembahasan fikih rincian terkait halal-haram dan hukum berbagai perbuatan maupun benda. Ini adalah bagian terbesar Al-Umm

2. Ushul fikih seperti pembahasan Ar-Risalah, Ikhtilafu Al-Hadits, Jima’ Al-‘Ilmi

3. Fikih Muqoron seperti pembahasan ikhtilaf Malik wa Asy-Syafi’i, Ikhtilaf Abu Hanifah Wa Ibni Abi Laila

4. Ayat-ayat hukum dan tafsirnya yang disebutkan Asy-Syafi’i sebagai dalil atas hukum fikih yang digalinya

5. Hadis-hadis dan atsar hukum dengan sanad bersambung sebagai dalil pembahasan hukum

Perlu ditegaskan di sini, menurut penelitian Rif’at Fauzi, Ar-Risalah adalah bagian dari Al-Umm, bukan kitab terpisah. Manuskrip di Maktabah Ahmad Ats-Tsalits dan Al-Maktabah Al-Mahmudiyyah meletakkan kitab Ar-Risalah pada bagian awal kitab Al-Umm, setelah itu baru pembahasan Thoharoh. Ikhtilafu Al-Hadits juga bagian dari Al-Umm bukan kitab terpisah. Jika pada zaman sekarang ada penerbit yang mencetak secara terpisah Ar-Risalah dan Ikhtilafu Al-Hadits maka itu adalah bentuk ikhroj/istikhroj/separation saja.

Jadi, Al-Umm sebagaimana tergambar dalam namanya adalah sebuah kitab yang menghimpun sejumlah kitab, sebagiannya dalam ushul fikih dan sebagainya dalam furu’. Kitab ini sebagaimana penjelasan Al-Baihaqi adalah gabungan berbagai kitab mustaqill/independen. Menurut Ibnu An-Nadim juga Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, karya-karya independen Asy-Syafi’i mencapai 140 lebih kitab. Semua kitab itulah yang dijadikan satu oleh Ar-Robi’ menjadi kitab Al-Umm.

Adapun sistematikanya, tentu saja versi tercetak yang ada di zaman sekarang bukanlah sistematika yang dibuat Asy-Syafi’i. Sang Imam tidak pernah menulis satu kitab besar kemudian diberi nama Al-Umm. Asy-Syafi’i menulis kitab-kitab secara independen kemudian dikumpulkan oleh Ar-Robi’ dan disusun dengan sistematika tertentu, lalu jadilah kitab Al-Umm ini.

Hanya saja, seiring dengan perjalanan sejarah, manuskrip Al-Umm akhirnya ada dua versi. Yang pertama adalah versi Ar-Robi’, yang kedua adalah versi Al-Bulqini. Sistematika Al-Umm susunan Ar-Robi’ adalah susunan asli Al-Umm sebagaimana terdapat pada manuskrip di Maktabah Ahmad Ats-Tsalits di Turki dan Al-Maktabah Al-Mahmudiyyah di Al-Madinah Al-Munawwaroh. Adapun sistematika Al-Bulqini, beliau menyusun ulang Al-Umm dengan mengikuti sistematika topik yang terdapat pada Mukhtashor Al-Muzani. Terbitan penerbit Bulaq dan Dar Al-Wafa’ yang ditahqiq Rif’at Fauzi mengikuti sistematika Al-Bulqini ini. Sistematika Al-Bulqini dipilih sebagai dasar percetakan karena kelebihannya adalah menggabung semua tulisan yang satu tema dalam satu bab sehingga lebih mudah ditelaah.

Adapun metode Asy-Syafi’i dalam menulis Al-Umm, pertama-tama Asy-Syafi’i memulai pembahasan topik dengan menyajikan dalil. Jika ada dalil dalam Al-Qur’an, maka disajikan dari Al-Qur’an. Jika tidak ada dalil dari Al-Qur’an maka beliau menyebutkan dalil dari As-Sunnah. Jika ada keduanya maka disebutkan semua. Saat menyebutkan dalil As-Sunnah kadang-kadang Asy-Syafi’i menegaskan kesahihannya terkadang juga mendiamkannya. Jika dhoif maka akan dijelaskan. Jika didiamkan maka itu bermakna bisa dijadikan hujjah sebagaimana keterangan Abu Dawud As-Sijistani. Rif’at Fauzi setelah meneliti juga menegaskan bahwa apa yang didiamkan bermakna bisa dijadikan hujjah oleh Asy-Syafi’i. Terkadang Asy-Syafi’i menyebut hadis mu’allaq dan dijadikah hujjah karena sudah masyhur di kalangan ahli ilmu sebagai hadis yang bisa dijadikan hujjah. Setelah itu Asy-Syafi’i memaparkan istinbath dalil dengan penjelasan yang dalam, detail dan rinci.

Pada saat menjelaskan hukum, Asy-Syafi’i kadang-kadang juga menyisipkan pembahasan ushul fikih. Setelah itu menyebut atsar salaf sekaligus mendiskusikannya.

Jika topik yang dibahas mengandung persoalan ikhtilaf, maka Asy-Syafi’i juga menguraikannya. Oleh karena itu, Al-Umm bisa juga dipakai sebagai rujukan dalam fikih muqoron (fikih perbandingan). Dalam mengulas persoalan khilaf, Asy-Syafi’i menempuh salah satu dari dua cara;

a. Menyebut ikhtilaf dan langsang membahasnya setelah menjelaskan ijtihad Asy-Syafi’i sendiri,

b. Menyendirikan pembahasan ikhtilaf dalam pembahasan khusus di akhir topik utama dengan pembahasan komprehensif mencakup semua aspek ilmiah fikih, istidlalnya dan diskusinya.

Dalam membahas ikhtilaf, tentu saja Asy-Syafi’i akan menjelaskan kelemahan-kelemahan pendapat yang berbeda dengan hasil ijtihadnya. Semua pihak yang bertentangan dengan ijtihad Asy-Syafi’i diyakinkan kekeliruan mereka dengan dalil-dalil dan argumentasi yang beliau miliki. Terkadang beliau mengkritik dalil-dalil lawan, mengoreksi konsepsi-konsepsinya, membantah argumentasi lawan memakai kaidah yang sudah diterima lawan, bahkan kadang bersepakat pada satu kesimpulan tertentu dengan lawan dalam konteks untuk meyakinkannya.

Asy-Syafi’i juga membuat kitab khusus untuk mendokumentasikan ikhtilaf para fuqoha’ itu seperti kitab Ikhtilaf Malik, kitab Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibnu Abi Laila, kitab Sairu Al-Auza’i, kitab Ar-Rodd ‘ala Muhammad bin Al-Hasan, kitab Ikhtilaf Al-‘Iroqiyyin dan lain-lain. Semua pembahasan ini ditulis dengan atmosfer diskusi yang benar-benar ilmiah, bermutu tinggi, tenang dan kokoh.

Hampir-hampir semua bab yang ditulis Asy-Syafi’i dalam Al-Umm selalu ada pembahasan ikhtilafnya. Seandainya pembahasan ikhtilaf ini dipisahkan dari kitab Al-Umm kemudian dicetak tersendiri, niscaya itu akan menjadi rujukan penting dalam fikih muqoron dengan segenap pembahasan ushul fikih, kaidah tathbiq dan furu’nya.

Dengan metode penyajian kitab seperti di atas, bisa dipahami bahwa kitab Al-Umm adalah kitab fikih istidlali (kitab fikih yang mengajarkan cara penggalian hukum), bukan fikih mukhtashor. Al-Umm bahkan bukan hanya kitab fikih istidlali tapi juga menjadi peletak dasar dan pondasi cara pembahasna fikih berdasarkan kaidah ushul tertentu.

Kitab Al-Umm juga kaya hadis dan atsar. Isi hadisnya sekitar 4000-an lengkap disebutkan dengan sanadnya sehingga aspek validitas riwayatnya benar-benar tinggi. Apalagi diketahui mayoritas riwayat Asy-Syafi’i dalam Al-Umm banyak bertumpu pada riwayat dari dua imam besar dalam hadis yakni Imam Malik dan Imam Sufyan bin ‘Uyainah. Kita tahu, bahwa sanad Malik-Nafi’-Ibnu Umar adalah sanad emas dan sanad yang paling sahih dalam meriwayatkan hadis. Jadi, bisa dikatakan bahwa Asy-Syafi’i telah menguasai betul Muwattho Malik dan riwayat-riwayat dari Sufyan bin ‘Uyainah.

Dari sisi jumlah, riwayat hadis dan atsar dalam Al-Umm yang mencapai sekitar 4000-an juga tidak bisa diremehkan. Bandingkan dengan Muwattho’ Malik yang mengandung sekitar 3600-an hadis. Oleh karena itu, kitab Al-Umm bukan hanya menjadi kitab fikih tetapi juga sumber kitab hadis karena hadis yang disebutkan semuanya disajikan lengkap dengan sanadnya!

Pengetahuan Asy-Syafi’i terhadap hadis memang sangat luas. Hanya orang jahil yang menyangka Asy-Syafi’i tidak mengerti hadis. Al-Baihaqi secara khusus telah membuat kitab untuk menampilkan keluasan pengetahuan hadis Asy-Syafi’i dalam hadis pada sebuah karya yang berjudul “Ma’rifatu As-Sunan Wa Al-Atsar”. Kitab ini sebenarnya bermakna “Ma’rifatu Asy-Syafi’i Li As-Sunan Wa Al-Atsar”. Jadi kitab ini menampilkan sejauh mana dan seluas apa pengetahuan Asy-Syafi’i terhadap As-Sunnah dan atsar. Al-Baihaqi juga punya karya khusus untuk mentakhrij seluruh hadis dan atsar dalam kitab Al-Umm yang berjudul “Takhriju Ahadits Al-Umm”. Tahqiq Rif’at Fauzi juga melengkapi takhrij ini sehingga lebih mantap lagi.

Al-Umm juga berjasa mendokumentasikan fikih shahabat, fatwa mereka, putusan/amar peradilan mereka, sunnah mereka, dan pendapat fuqoha’ yang semasa dengan Asy-Syafi’i seperti Al-Auza’i, Ibnu Abi Laila dan lain-lain. Malah bisa jadi kita tidak menemukan pendapat fikih para fuqoha’ yang semasa dengan Asy-Syafi’i kecuali di kitab Asy-Syafi’i ini.

Lebih dari itu, Al-Umm isinya bukan hanya pembahasan fikih, tapi juga ushul fikih, bahasa Arab, tafsir dan syarah hadis, riwayat hadis, atsar dan riwayat fikih as-salafus sholih.

Dengan cara penulisan seperti ini tidak diragukan lagi, metode Asy-Syafi’i dalam Al-Umm benar-benar akan melatih, mengasah dan menajamkan kemampuan malakah fiqhiyyah ijtihadiyyah (talenta ijtihad fikih). Jadi, kalau mau latihan menjadi mujtahid, maka khatam kitab Al-Umm dan memahaminya sepaham-pahamnya adalah di antara yang direkomandasikan.

Adapun tahqiq manuskrip secara serius, di zaman sekarang di antara yang dikenal melakukannya adalah Ahmad Badruddin Hassun, mufti Suriah. Beliau mentahqiq kitab Al-Umm, kitab-kitab ikhtilaf dan karya Asy-Syafi’i lainnya untuk dikumpulkan jadi satu dan dijadikan disertasinya. Kitab-kitab yang ditahqiqnya ada 9 yaitu,

1. Ikhtilaf Al-‘Iroqiyyin (antara Abu hanifah dengan Ibnu Abi Laila)

2. Ikhtilaf ‘Ali Wa Abdillah bin Mas'ud

3. Ikhtilaf Malik Wa Asy-Syafi’i

4. Jima’ Al-Ilmi

5. Bayanu Faro-idhillah

6. Shifatu nahyi Rasulillah

7. Ibtholu Al-Istihsan

8. Ar-Rodd ‘Ala Muhammad ibni Al-Hasan Asy-Syaibani

9. Sairu Al-Auza’i

Menurut Akrom Al-Qowasimi, kerja tahqiq Hassun ini layak dinamakan Al-Mabsuth yang disebutkan oleh Ibnu An-Nadim dalam Al-Fihrist.

Beberapa penerbit telah tercatat pernah mencetak Al-Umm. Yang tertua adalah penerbit Bulaq. Dari terbitan ini kemudian dicetak ulang oleh penerbit-penerbit lain seperti Dar Asy-Sya’b, Ad-Dar Al-Mishriyyah, Ad-Dar Al-‘Ilmiyyah, Dar Qutaibah, Dar Al-Ma’rifah, dan Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah.

Penerbit Dar Al-Wafa’ mencetaknya dalam 11 jilid atas jasa tahqiq Rif’at Fauzi dengan total ketebalan sekitar 6400-an hlm. Tahqiq Rif’at Fauzi inilah yang saat ini dianggap tahqiq terbaik dan paling serius untuk versi cetakan Al-Umm.

رحم الله الشافعي رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين

Versi Situs: http://irtaqi.net/2017/11/28/mengenal-kitab-al-umm-karya-asy-syafii/

***
Muafa
9 Robiul Awwal 1439 H

Monday, November 27, 2017

Sholawat fi hubbi

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّـدْ # يَا رَبِّ صَلِّ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ

Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan rahmat(Mu) kepada Muhammad # Yaa Rabb, limpahkanlah (pula) shalawat dan salam ke hadirat Beliau.

فِيْ حُبِّ سَيِّدِنَا مُحَمَّـدْ # نُـوْرٌ لِّبَدْرِ هُدًى مُّتَمَّمْ

Dengan mencintai junjungan kita (Nabi) Muhammad # menjadi sempurnalah nur cahaya hidayah yang (terangnya) laksana bulan purnama.

قَلْبِيْ يَـحِنُّ إِلَى مُحَمَّـدْ # مَا زَالَ فِـيْ وَلَـهٍ مُّتَـيَّمْ

Hatiku (selalu) merindukan Muhammad # (dan hatiku) selalu bersedih menahan kerinduan yang sangat kuat.

مَا لِيْ حَـبِـيْبٌ سِـوَى مُـحَمَّدْ   #  خَـيْرٌ الرُّسُلِ طَـهَ الْمُكَرَّمْ

Aku tak mempunyai kekasih selain Muhammad # (Beliau) adalah sebaik-baik Rasul, yaitu Thaaha yang terhormat.

شَوْقُ الْمُـحِبِّ إِلَى مُحَمَّدْ # أَضْـــنَاهُ ثُـمَّ بِـهِ تَـأَلَّـمْ

Kerinduan seorang pecinta (Muhammad) kepada Muhammad # membuat (beban di) hatinya terasa berat, sehingga ia merasakan kepedihan.

فِى الْحَشْرِ شَافِعُـنَا مُحَمَّدْ  # مُنْجِى الْخَلاَئِقِ مِنْ جَهَنَّمْ

Di padang Mahsyar (nanti), Penolong kami yaitu Muhammad # akan menyelamatkan seluruh makhluk dari neraka jahannam.

مِيْـلاَدُ سَيِّـدِنَا مُحَـمَّـدْ  # أُمُّ الْقُــرَى بَلَـدٌ مُّعَظَّـمْ

Tanah kelahiran junjungan kita Muhammad # terletak di ibukota sebuah negara yang agung (Makkah).

مَـدْفـَانُ سَيِّـدِنَا مُحَـمَّـدْ  #  طَيْبُ الْقُرَى بَلَدٌ مُّفَخَّمْ

Tempat disemayamkannya junjungan kita Muhammad # terletak di kota yang harum  semerbak dari sebuah negara yang mulia (Madinah).

أَحْيَا الدُّجَى زَمَنًا مُّحَمَّدْ  # حَتَّى اشْتَكَتْ قَدَمٌ مُّوَرَّمْ

Muhammad selalu menghidupkan waktu-waktu malamnya (dengan beribadah kepada Allah) # sehingga kaki Beliau merasa kesakitan dan (kemudian) membengkak[1].

لمَـَّا عَــلاَ وَدَنَا مُحَـمَّدْ  #  مَـوْلاَهُ سَـلَّـمَهُ وَكَــلَّـمْ

Ketika Muhammad melakukan mi’raj/naik ke atas (sidratul muntaha) dan mendekat # Tuhannya ‘mengucapkan’ salam serta ‘berbicara’ (kepadanya)[2].

نَدْعُـوْكَ أَحْمَدُ يَامُحَمَّدْ  #  يَا سَـيِّدَ الرُّسُـلِ الْـمُقَدَّمْ

Kami memohon kepadamu wahai Ahmad, wahai Muhammad, # wahai Penghulu para Rasul terdahulu.

إِشْفَعْ اِلَى اللهِ يَـا مُحَـمَّدْ   #  يَـوْمَ الْقِـيَامَـةِ لَنَا نُـنَعَّمْ

Syafa’atilah kami karena Allah, wahai Muhammad # di hari kiamat nanti, sehingga kami bisa memperoleh kenikmatan (surga)[3].

نَرْجُو الشَّـفَاعَةَ مِنْ مُحَمَّدْ  #    لَوْكُنَّا نَرْتَكِبُ  الْـمُحَرَّمْ

Kami mengharap syafa’at dari Muhammad # apabila kami (pernah) melakukan perbuatan yang diharamkan.

مَنْـجَا وَمَلْجَـأُنَا مُـحَمَّدْ  # يَـوْمَ الْهَوَانِ بِهِ تَـحَشَّمْ

Tempat kami mencari keselamatan dan tempat kami berlindung (di hari kiamat nanti) hanyalah pada Muhammad # yaitu, hari yang semua makhluk merasakan malu kepadanya.

وَالنُّـوْرُ جَاءَ بِـهِ مُـحَمَّدْ  # وَالْـحَقُّ بُـيِّنَ إِنْ تَكَلَّمْ

Muhammad datang dengan membawa nur (agama Islam) # Dan ketika Beliau berbicara, menjadi jelaslah perkara yang haq.

“أَعْلَى السَّمَاءِ سَمَا مُحَمَّدْ #  جِبْرِيْلُ قَـالَ لَـهُ: “تَقَـدَّمْ

Langit tertinggi/Sidratul Muntaha (pernah) dinaiki oleh Muhammad (ketika Isra’ Mi’raj) # (pada kesempatan itu) Jibril pun berkata kepada Beliau: “silahkan Anda berangkat (menghadap Allah) sendirian”[4].

وُالْجُـنْدُ حِيْنَ غَزَا مُحَمَّدْ # مِنْهُمْ مَـلاَئِـكَةٌ تُسَـوَّمْ

Bala tentara Muhammad ketika Beliau berperang # di antaranya adalah Malaikat yang dikirim (oleh Allah)[5].

وَالـدِّيْنُ أَظْـهَـرَهُ مُحَمَّدْ  # وَالْكُـفْرُ أَبْـطَلَهُ فَهَـدَّمْ

Agama Islam ditampakkan (secara jelas) oleh Muhammad # sedangkan kekufuran disia-siakan oleh Beliau, untuk kemudian dihancurkan.

أَعْـــمَارُ سَـيِّدِنَا مُـحَمَّدْ  #  سِتُّوْنَ جِيْمٍ مِّنْ مُعَـوَّمْ

Umur dari junjungan kita Muhammad # adalah 63 tahun[6].

صَلَّى اْلإِلَهُ عَلَى مُحَمَّدْ  #   وَاْلأَلِ كُلِّـهِمِ وَسَـلَّــمْ

Semoga Tuhan selalu melimpahkan shalawat dan salam kepada Muhammad # juga kepada seluruh Sahabat-Sahabat Beliau.

صَلَّى اْلإِلَهُ عَلَى مُحَمَّدْ #    وَالصَّحْبِ كُلِّهِمِ وَسَلَّمْ

Semoga Tuhan selalu melimpahkan shalawat dan salam kepada Muhammad # juga kepada seluruh keluarga Beliau.

Sumber: Shalawat Fii Hubbi (complete version) | Buletin Al Fithrah http://buletinalfithrah.com/shalawat-fii-hubbi/#ixzz4zgB9Gdrt

Sunday, November 26, 2017

KAROMAH AL-IMAM ASY-SYAFI’i

KAROMAH AL-IMAM ASY-SYAFI’i

Al-Imam Asy-Syafi’i bukan hanya seorang fakih, seorang mujtahid mutlak dan seorang panutan untuk mengetahui hukum Allah/perkara halal-haram, tetapi beliau juga orang salih yang memenuhi hak Allah dan hamba-hamba-Nya sebaik-baiknya. Di antara tanda bahwa beliau orang salih yang dicintai Allah adalah berita tentang karomahnya. Berikut ini kisah tentang satu karomah beliau yang diceritakan Al-Baihaqi dalam kitabnya; “Manaqibu Asy-Syafi’i”.

قال الربيع: دخلنا على الشافعي عند وفاته أنا والبويطي والمزني ومحمد ابن عبد الله بن عبد الحكم. قال: فنظر إلينا الشافعي ساعة فأطال ثم التفت إلينا فقال: أمّا أنت يا أبا يعقوب فتموت في حديدك. وأما أنت يا مزني فستكون لك بمصر هَنَاتٌ وهَنَات، ولتدركن زماناً تكون أقيس أهل ذلك الزمان. وأما أنت يا محمد فسترجع إلى مذهبك أبيك. وأما أنت يا ربيع فأنت أنفعهم لي في نشر الكتب. قم يا أبا يعقوب فتسلم الحلقة. قال الربيع: فكان كما قال.

“Ar-Robi’ berkata, ‘Kami masuk menemui Asy-Syafi’i menjelang wafatnya. Saya, Al-Buwaithi, Al-Muzani dan Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam. Ar-Robi’ berkata, ‘Asy-Syafi’i memandang kami cukup lama kemudian dengan serius memperhatikan kami seraya berkata, ‘Engkau wahai Abu Ya’qub, dirimu akan meninggal dalam belenggu besimu. Adapun engkau wahai Muzani, di Mesir akan ada peristiwa besar dan engkau akan mengalami masa dimana engkau akan menjadi orang yang terpandai di zaman itu. Adapun engkau wahai Muhammad, engkau akan kembali ke madzhab ayahmu. Adapun engkau wahai Robi’, engkau akan menjadi muridku yang paling bermanfaat bagiku dalam menyebarkan kitab. Bangkitlah wahai Abu Ya’qub dan terimalah halqoh (jadilah pengasuh majelisku). Ar-Robi’ berkata, ‘Demikianlah yang terjadi sebagaimana yang beliau katakan;” (Manaqib Asy-Syafi’i juz 2 hlm 136)

Dalam kisah di atas diceritakan ada empat murid menonjol Asy-Syafi’i yang datang membesuk gurunya pada saat sang guru sakit. Mereka adalah Ar-Robi’, Al-Buwaithi (dipanggil Asy-Syafi’i dengan nama Abu Ya’qub), Al-Muzani dan Ibnu Abdi Al-Hakam (dipanggil Asy-Syafi’i dengan nama Muhammad). Setelah Asy-Syafi’i memandang beberapa saat maka dengan serius beliau memberitahukan “penglihatan”nya kepada mereka. Al-Buwaithi “diramalkan” Asy-Syafi’i akan diuji dan meninggal dalam belenggu besi. Al-Muzani “diramalkan” akan menjadi tokoh besar. Ibnu Abdi Al-Hakam “diramalkan” akan kembali ke madzhab Maliki, dan Ar-Robi’ “diramalkan” akan berperan besar menyebarkan kitab-kitab karangan Asy-Syafi’i.

Ternyata memang demikianlah kenyataan sejarah yang terjadi.

Di masa Khalifah Al-Watsiq Billah, Ibnu Abi Du-ad yang beraliran mu’tazilah memerintahkan wali Mesir untuk memanggil Al-Buwaithi dan mengetesnya terkait Al-Qur’an. Al-Buwaithi menolak untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Beliau pun ditangkap, diikat pada leher dan kakinya dengan belenggu dan rantai seberat 40 rithl (kira-kira seberat 16 kg) dan dibawa ke Baghdad. Di sana beliau dipenjara dalam keadaan dibelenggu dan beliaupun wafat dalam keadaan dibelenggu sebagaimana firasat Asy-Syafi’i.

Setelah Al-Buwaithi dizalimi dalam peristiwa fitnah “Qur’an makhluk” itu, maka Al-Muzani-lah yang menggantikan Al-Buwaithi untuk mengasuh majelis Asy-Syafi’i. Pengaruh Al-Muzani semakin membesar dan ilmunya tersebar luas terutama setelah beliau mengarang kitabnya yang termasyhur; “Mukhtashor Al-Muzani”. Barangkali inilah yang dimaksud Asy-Syafi’i sebagai perkara besar dan Al-Muzani akan menjadi orang terpandai di zamannya.

Adapun Ibnu Abdi Al-Hakam, pada awalnya murid Asy-Syafi’i ini bermadzhab Maliki sebagai mana ayahnya. Setelah datang Asy-Syafi’i ke Mesir, beliau tertarik dengan ilmunya, berguru kepadanya dan menjadi muridnya. Pada saat Asy-Syafi’i sakit, Ibnu Abdi Al-Hakam ingin menggantikan Asy-Syafi’i sebagai pengasuh majelis. Al-Buwaithi menolak karena beliaulah murid Asy-Syafi’i yang dipercaya sang imam. Akhirnya terciptalah ketegangan di antara keduanya. Al-Humaidi datang sebagai penengah dan bersaksi bahwa Asy-Syafi’i menegaskan Al-Buwaithi-lah muridnya yang paling berilmu sehingga paling layak mengasuh majelis menggantikan beliau. Ibnu Abdi Al-Hakam menyergah ucapan Al-Humaidi dengan mengatakan , “Kadzabta!’ (dusta kamu!). Al-Humaidi menjawab lebih keras lagi, “Kadzabta anta wa abuka wa ummuka!” (dusta kamu, juga ayah dan ibumu). Ibnu Abdi Al-Hakam menjadi marah, meninggalkan majlis Asy-Syafi’i dan akhirnya kembali ke madzhab Maliki. Dengan demikian genaplah firasat Asy-Syafi’i.

Adapun Ar-Robi’ bin Sulaiman Al-Murodi, kita semua tahu jasa besar Ar-Robi’ dalam menulis ulang, meriwayatkan dan menyebarkan kitab besar Asy-Syafi’i yang bernama “Al-Umm”. Melalui perantaraan Ar-Robi’ lah kita menjadi tahu kitab-kitab besar Asy-Syafi’i dalam hal fikih maupun ushul fikih. Dengan demikian genap pulalah firasat Asy-Syafi’i.

Karomah Asy-Syafi’i dalam kisah inilah yang disebut Al-Ghozzali dengan istilah “kasyf” (الكشف) atau “mukasyafah” (المكاشفة). Orang-orang sufi kadang menyebutnya ilmu “ladunni”. Ia juga bisa juga disebut “ilham” (الالهام), “fath” (الفتح), “tahdits” (التحديث), atau “firasat” (الفراسة). “Ru’ya shodiqoh”/mimpi yang benar (االرؤيا الصادقة) bisa juga dimasukkan dalam golongan ini.

Secara epistemologis Syed Naquib Al-Attas mengakui “kasyf” sebagai salah satu sumber ilmu selain wahyu, rasio dan empiri. Hanya saja ilmu yang dimaksud tidak boleh sampai taraf digunakan untuk “ilzamul ghoir” (إلزام الغير). Ibnu Taimiyyah memposisikan “kasyf” maksimal hanya bisa dijadikan “murojjih” terhadap dalil-dalil perlu ditarjih, tidak boleh diangkat terlalu tinggi menjadi dalil untuk dien.

Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Yusuf Al-Qordhowi dalam kitabnya “Mauqifu Al-Islam Min Al-Ilham Wa Al-Kasyf Wa Ar-Rua Wa Min At-Tama-im Wa Al-Kahanah Wa Ar-Ruqo”. Beliau tidak mengingkari “kasyf” dengan syarat tidak bertentangan dengan “nash”. Sikap ini juga ditegaskan oleh Hasan Al-Banna pada prinsip nomor tiga dari 20 prinsip yang beliau rumuskan. Yang menganggap “kasyf” dan ilham sebagai dalil dalam dien adalah sebagian sufi yang disebut Al-Qordhowi sebagai pseudo-sufi.

Memposisikan “kasyf” secara berlebihan memang berpotensi merusak dan menghancurkan ajaran dien. Tasawuf yang benar, atau ilmu ihsan atau ilmu “tazkiyatun nufus” atau ilmu mujahadah fi tho’atillah atau ilmu apapun namanya yang bertujuan untuk membersihkan jiwa dan memperkuat ketaatan kepada Allah tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ilmu pembersihan jiwa yang benar seharusnya memiliki hasil seperti Asy-Syafi’i dan An-Nawawi. Kuat dan tajam dalam hal ilmu fikih, dan dianugerahi Allah karomah sebagai tanda kesalihan yang layak dijadikan panutan.

Versi Situs: http://irtaqi.net/2017/11/26/karomah-al-imam-asy-syafii/

***
Muafa
7 Robiul Awwal 1439 H

Amalan bulan maulid (asma' artho)

اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه ❤

قال معروف الكرخي قدس الله سره:
من هيأ لأجل قراءة مولد الرسول طعاما، وجمع إخوانا، وأوقد سراجا، ولبس جديدا، وتعطر وتجمل تعظيما لمولده حشره الله تعالى يوم القيامة مع الفرقة الأولى من النبيين، وكان في أعلى عليين.

Syekh Ma'ruf AlKarkhi -semoga Alloh menyucikan sirri Beliau- berkata:
"Barang siapa menyiapkan makanan untuk acara pembacaan Maulid Rosululloh, mengumpulkan kawan2, menghidupkan lampu, memakai pakaian baru, memakai wewangian dan berhias karna mengagungkan Maulid Nabi, maka Alloh ta'ala akan mengumpulkannya di hari Kiamat bersama golongan pertama dari para Nabi dan berada di Surga yang tertinggi"

ﻭﻣﻦ ﻗﺮﺃ ﻣﻮﻟﺪ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﺩﺭﺍﻫﻢ ﻣﺴﻜﻮﻛﺔ ﻓﻀﺔ ﻛﺎﻧﺖ ﺃﻭ ﺫﻫﺒﺎ ﻭﺧﻠﻂ ﺗﻠﻚ ﺍﻟﺪﺭﺍﻫﻢ ﻣﻊ ﺩﺭﺍﻫﻢ ﺃﺧﺮ ﻭﻗﻌﺖ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﺒﺮﻛﺔ ﻭﻻ ﻳﻔﺘﻘﺮ ﺻﺎﺣﺒﻬﺎ ﻭﻻ ﺗﻔﺮﻍ ﻳﺪﻩ ﺑﺒﺮﻛﺔ ﻣﻮﻟﺪ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ

Barangsiapa membaca Maulid Nabi ShollAllohu 'alaihi wasallam pada uang logam dari perak atau emas (jaman now munkin pokoknya uang), lalu mencampurkannya dengan uang yang lain, maka semuanya akan barokah, tidak akan fakir pemiliknya dan tidak akan kosong (dari uang) tangannya sebab berkah Maulid Nabi ShollAllohu alaihi wa sallam.
============
Ianah Attholibin 3/364

SHOLLU 'ALAN NABI

Friday, November 24, 2017

PERSELISIHAN PARA ULAMA, BAGAIMANA MENYIKAPINYA?

PERSELISIHAN PARA ULAMA, BAGAIMANA MENYIKAPINYA?

Ketika sejumlah orang yang dianggap ulama berselisih, berdebat, saling mengkritik, bahkan mungkin saling mencela/menjelekkan pribadi lawannya, biasanya di situ mulai tampak siapa yang tulus dan tidak tulus. Siapa yang membela Allah dan siapa yang membela manusia. Siapa yang yang bekerja fisabilillah dan yang berkerja untuk kepentingan dirinya. Siapa yang menjadikan akhirat sebagai tujuan dan siapa yang menjadikan dunia sebagai tujuan. Siapa yang mengajak cinta organisasi/kelompok dan siapa yang mengajak kepada cinta Allah dan Rasulullah. Siapa yang mengajak fanatik pada Allah/ Rasul-Nya dan siapa yang mengajak fanatik pada tokoh dan komunitasnya.

Pada tahap ini bisa jadi sangat mudah bagi kaum muslimin muqollid yang ikhlas untuk memilih mana ulama yang layak menjadi panutan dan didengarkan ucapannya karena tanda-tanda yang sangat jelas yang menunjukkan apakah seseorang termasuk ulama salih ataukah ulama su’/jahat.

Tapi terkadang pula di mata orang awam ada dua ulama yang lahirnya sama-sama baik, sama-sama salih, sama-sama bertakwa, sama-sama ikhlas, sama-sama tulus nasihatnya kepada umat, sama-sama banyak jasanya bagi Islam dan kaum muslimin tetapi mereka tampak berselisih, saling mengkritik, bahkan sampai level saling menjarh (mencederai kredibilitas) dan mentahdzir (mengajak umat menjauhi bahayanya).

Bagaimana menyikapinya?

Satu prinsip yang harus kita pegang, “Tidak mungkin seorang ulama akan bersepakat dalam segala hal dengan ulama yang lain”. Ketidaksetujuan dan perbedaan pendapat dalam sejumlah persoalan itu sangat biasa, manusiawi dan alami. Hanya saja, para ulama generasi salih di zaman dulu meski saling mengkritik, tetapi pada saat yang sama mereka juga saling memuji, saling menghargai dan saling menghormati. Akhirnya perbedaan pendapat di kalangan mereka tidak pernah menjadi fitnah bagi kalangan awam dan pengikut masing-masing ulama itu. Sikap seperti ini diceritakan oleh Adz-Dzahabi terkait Imam Ahmad ketika memuji Ishaq bin Rohawaih sebagai berikut,

لَمْ يَعْبُرِ الجِسْرَ إِلَى خُرَاسَانَ مِثْلُ إِسْحَاقَ، وَإِنْ كَانَ يُخَالِفُنَا فِي أَشْيَاءَ، فَإِنَّ النَّاسَ لَمْ يَزَلْ يُخَالِفُ بَعْضُهُم بَعْضاً

.. Tidak ada (ulama) yang melintasi jembatan menuju Khurosan yang (kualifikasinya) seperti Ishaq meskipun beliau berbeda pendapat dengan kami dalam sejumlah persoalan. Memang, manusia selalu saja berselisih satu sama lain…(Siyaru A’lami An-Nubala’, juz 11 hlm 371)

Sayangnya sikap semacam ini sangat langka di kalangan ulama atau dai atau ustadz di zaman sekarang sehingga hal itu menimbulkan fitnah, perpecahan, saling menjelekkan dan saling membully di antara pengikut dai masing-masing.

Hanya saja, meskipun perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah wajar tetapi terkadang perbedaan pendapat itu melampaui garis yang seharusnya, sehingga dinilai oleh ulama generasi belakangan sebagai ketergelinciran. Ketergelinciran juga hal yang sangat mungkin pada manusia, tetapi ini adalah kesalahan minor, bukan mayor. Oleh karena itu tidak boleh ketergelinciran seperti ini dibesar-besarkan apalagi sampai dijadikan dasar untuk memusuhi dan memutus hubungan.

Hal seperti ini pernah terjadi di masa lalu. Kisah terbaik yang bisa dijadikan contoh adalah perselisihan antara Al-Bukhori dengan Adz-Dzuhli.

Adz-Dzuhli adalah ahli hadis Khurosan. Beliau orang salih. Ilmunya bermanfaat bagi kaum muslimin. Beliau juga guru Al-Bukhari dan Muslim. Hadisnya diriwayatkan banyak mukhorrij hadis seperti Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasai, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Abu ‘Awanah dan lain-lain. Bahkan Adz-Dzuhli di Khurosan dari sisi wibawa dan kharisma adalah seperti Imam Ahmad di Irak!

Tapi Adz-Dzuhli dikenal dalam sejarah telah mentahdzir Imam Al-Bukhari dengan alasan akidah Al-Bukhari bermasalah. Tuduhan yang dialamatkan ke Al-Bukhori terkenal dengan istilah “Tuhmah Al-Lafzhiyyah”, yakni tuduhan bahwa Al-Bukhari berakidah Jahmiyyah gara-gara ucapan beliau terkait pelafalan Al-Qur’an. Sebagai akibat perselisihan ini, Al-Bukhari sendiri menjadi tidak bisa “leluasa” menyebut Adz-Dzuhli jika berbicara tentang perawi hadis. Setiap menyebut nama Adz-Dzuhli, beliau tidak mau menyebut nama langsungnya, yaitu Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli, tetapi hanya mau menyebut Muhammad, atau dinisbatkan pada leluhur Adz-Dzuhli seperti menyebut Muhamamd bin Kholid atau Muhammad bin Abdillah.

Apa jadinya jika kita turuti tahdzir Adz-Dzuhli terhadap Al-Bukhari?

Tentu saja itu hal itu akan menjadi kesalahan terbesar dalam sejarah dan kerugian yang nyata bagi seluruh kaum muslimin dalam urusan dien mereka. Hal itu dikarenakan bermakna menolak seluruh hadis tersahih sesudah Al-Qur’an yang dikumpulkan Al-Bukhari dalam kitabnya. Kita juga bisa kehilangan sebagian besar As-Sunnah jika menuruti saran Adz-Dzuhli sehingga menjadi tersesat dalam dien ini.

Bagaimana jika mendukung Al-Bukhari kemudian menjauhi Adz-Dzuhli?

Keliru juga sikap ini, karena Adz-Dzuhli juga imam hadis yang ilmunya tidak bisa diremehkan. Hadis-hadis beliau banyak diriwayatkan oleh pakar-pakar hadis seperti Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, An-Nasai, Ibnu Khuzaimah, Abu ‘Awanah, Sa’id bin Manshur, Ash-Shoghoni, Abu Zur’ah, Abu Hatim, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi dan lain-lain. Memboikot Adz-Dzuhli juga bermakna menolak Sunnah Nabi yang diriwayatkan beliau karena alasan pribadi yang tidak bisa dibenarkan.

Oleh karena itu, sikap yang paling adil adalah tetap menghormati para ulama tersebut dan mengambil ilmu dari keduanya. Kejadian perselisihan mereka kita pahami sebagai perselisihan pribadi, kita lipat, dan tidak perlu kita besar-besarkan atau dijadikan dasar untuk mentahdzir satu sama lain. Kejadian yang menimpa para ulama itu sekaligus menjadi pelajaran penting bagi kita bahwa tidak ada seorangpun yang maksum di kalangan ulama. Karenanya menempatkan penghormatan terhadap ulama harus tetap proporsional.

Sikap yang sama dalam hal penghormatan dan mengabaikan perselisihan pribadi juga berlaku pada ulama yang lain, misalnya seperti kisah Imam Malik yang mengatakan Abdullah bin Ziyad pendusta, Imam Malik yang menyebut Muhammad Ibnu Ishaq sebagai dajjal, Ibnu Ma’in yang mencela Az-Zuhri, Ibnu Ma’in yang menjatuhkan kredibilitas riwayat Asy-Syafi’i, As-Suyuthi yang menjarh As-Sakhowi, As-Sakhowi yang menjarh As-Suyuthi, Abu Nu’aim yang berselisih dengan Ibnu Mandah, ‘Ikrimah yang berselisih dengan Sa’id bin Al-Musayyab dan lain-lain.

Adz-Dzahabi mengatakan, andai saja beliau mau, bisa saja beliau menulis puluhan lembar (karoris) untuk mencatat kejadian perselisihan pribadi para ulama itu. Tetapi ini tidak baik dan tidak ada gunanya sehingga tidak dilakukan Adz-Dzahabi.

Jangan sampai perselisihan di kalangan ulama itu malah dijadikan alasan dan pembenar untuk melakukan saling tahdzir yang efeknya hanyalah saling mengkapling jamaah. Apalagi alasannya seringkali sangat subyektif, beraroma kecemburuan akan popularitas, didorong fanatisme madzhab/pemikiran/harokah/organisasi/jamaah bahkan muncul karena kedengkian.

Jika alasannya hanya karena penilaian subyektif bahwa seseorang misalnya dikatakan “akidahnya bermasalah”, maka tahdzir Ad-Dzuhli terkait Al-Bukhari seharusnya lebih layak diperhatikan daripada tahdzir 1000 dai/tokoh/ustadz zaman sekarang. Jika ulama zaman dulu yang lebih terjaga, lebih takut dosa, lebih banyak yang menjadi wali Allah, lebih tinggi ilmunya, lebih kuat imannya, lebih kokoh ketakwaannya bisa terjatuh pada fitnah perselisihan pribadi tersebut maka kira-kira seperti apa “dahsyatnya” saling mentahdzir antar dai di zaman sekarang?

Apabila kaum muslimin telah mendapatkan bukti untuk bisa berhusnuzhon bahwa ada ulama/dai/ustadz yang berilmu, bertakwa, salih, tulus nasihatnya untuk umat, jasanya untuk umat juga nyata, kemudian mereka berselisih, maka marilah kita pandang perselisihan itu sebagai perselisihan pribadi yang tidak perlu dibesar-besarkan. Kisahnya kita lipat, tidak perlu dipopulerkan, tidak perlu dijadikan dasar untuk saling mentahdzir dan kita tetap memanfaatkan ilmu dari mereka semua. Biarlah perselisihan pribadi itu menjadi tanggungjawab mereka di akhirat agar dihisab dan diadili Allah seadil-adilnya.

Adz-Dzahabi berkata:

كلام الأقران بعضهم في بعض لا يعبأ به، لا سيما إذا لاح لك أنه لعداوة أو لمذهب أو لحسد، ما ينجو منه إلا من عصم الله

“…Ucapan (mencela) orang yang hidup semasa satu sama lain tidak perlu dianggap, apalagi jika jelas bagimu jika ( celaan itu muncul) karena permusuhan, (membela) madzhab, atau hasad (kedengkian). Tidak ada yang selamat darinya kecuali yang dijaga Allah..” (Mizan Al-I’tidal juz 1, hlm 111)

Di titik penting ini ingin saya tegaskan; Jika ucapan ulama/dai/ustadz yang menjelek-jelekkan sesamanya saja bisa ditolak apalagi ucapan buruk para juhala’. Ucapan orang-orang jahil yang masih belum snaggup memahami kadar dirinya itu secara mutlak harus ditolak. Didengarkan (jika diucapkan) atau dibaca (jika ditulis) saja jangan, karena bisa mengotori hati dan menularkan akhlak yang buruk.

رحمهم الله رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين

Versi Situs: http://irtaqi.net/2017/11/20/perselisihan-para-ulama-bagaimana-menyikapinya/

***
Muafa
1 Robi'ul Awwal 1439 H

MENOLAK SYUBHAT WAHABI TENTANG MAULID

MENOLAK SYUBHAT WAHABI TENTANG MAULID

Menurut Wahabi, orang yang pertamakali merayakan Maulid adalah Syiah Fathimiyah di Mesir, sebagaimana diceritakan oleh al-Muqrizi yang wafat pada tahun 845 H.

Jawaban pertama terhadap Syubhat tersebut:

*SIAPAKAH ORANG YANG PERTAMA KALI MERAYAKAN MAULID ?*

Dr. Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani rohimahullah berkata :

*إن أول المحتفلين بالمولد هو صاحب المولد وهو النبي صلى الله عليه وسلم كما جاء فى الحديث الصحيح الذي رواه مسلم لما سئل عن صيام يوم الإثنين ، قال صلى الله عليه وسلم :  «ذاك يوم ولدت فيه»*

*فهذا أصح وأصرح نص فى مشروعية الإحتفال بالمولد النبوي الشريف*

*ولا يلتفت لقول من قال : إن أول من إحتفل به الفاطميون لأن هذا إما جهل او تعام عن الحق*

_Sesungguhnya orang yang pertama kali merayakan Maulid adalah pemilik Maulid, yaitu Baginda Rasulillah ﷺ. Dijelaskan dalam Shahih Muslim ketika Beliau ditanya tentang alasan Beliau berpuasa pada hari Senin, Beliau menjawab : "Pada hari itu aku dilahirkan"._

_Pernyataan ini adalah nash yang paling shahih dan paling jelas (sebagai hujjah) didalam disyariatkannya merayakan maulid Nabi ﷺ._

_Jangan pedulikan pendapat siapapun yang mengatakan bahwa yang pertama kali merayakan Maulid adalah orang-orang dari Dinasti Fathimiyah, karena alasannya cuma satu di antara dua hal, bisa karena tidak tahu atau sengaja menutup mata dari kebenaran yang nyata._ [Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Al-I'lam Bi Fatawa Aimmatil Islam Haula Maulidihi Alaihi As-Shalatu Wassalam, hal. 11].

Jawaban kedua:

Menurut al-Imam Abu Syamah al-Dimasyqi, wafat tahun 665 Hijriah, orang yang pertamakali merayakan Maulid adalah Syaikh Umar bin Muhammad al-Mulla, seorang ulama yang sholeh dan populer di Mousul Iraq. Kemudian hal tersebut diteladani oleh Raja Irbil di Iraq pada masa tersebut.

Jawaban ketiga: Informasi dari Abu Syamah lebih kuat daripada informasi dari al-Muqrizi karena beberapa hal:

Pertama, Abu Syamah hidup pada masa lebih awal dari pada al-Muqrizi. Dan mengikuti awal mula pelaksanaan maulid. Sedangkan al-Muqrizi hidup pada masa yang jauh setelah runtuhnya Dinasti Fathimiyah ratusan tahun berikutnya.

Ketiga, Abu Syamah menyampaikan informasi berdasarkan pengalamannya sendiri. Sedangkan al-Muqrizi tidak menjelaskan sanadnya. Padahal telah berlalu lebih dua ratus tahun apa yang beliau ceritakan.

Ketiga, al-Muqrizi masih termasuk keluarga Dinasti Syiah Fathimiyah di Mesir dan senang membesar-besarkan mereka karena faktor keluarga. Beliau juga senang menshahihkan nasab Dinasti Fathimiyah  kepada Imam Ja'far al-Shadiq. Padahal menurut para ulama sejarawan terkemuka dan ahli nasab, nasab mereka tidak bersambung kepada Ahlul-Bait, melainkan kepada imigran Yahudi dari Maroko.

Juanda Surabaya. Perjalanan ke Manado. Semoga lancar dan selamat sampai tujuan. Amin.

Al Alim Allamah Al Arifbillah As-Syaikh Abdullah Bin Bayah

*Al Alim Allamah Al Arifbillah As-Syaikh Abdullah Bin Bayah*
(Teladan Hikmah Sang Guru Besar)
--------------------------------------------------
~ Semakin Tahu, Semakin Malu
“Sepanjang perjalanan ilmiah Anda, saya belum pernah sekalipun mendapati Anda membantah seseorang. Apa rahasianya wahai Syaikh?” tanya seorang murid kepada Syaikh Abdullah bin Bayyah.
“Saya lebih butuh memperbaiki diri saya sendiri terlebih dahulu. Saya bukan orang sempurna yang lantas bisa seenaknya membincang aib orang lain,” jawabnya.
~ Mauritania, Suku yang Disegani Masyayikh Saudi
“Anda tahu tidak kalau ada satu suku yang sangat disegani oleh masyayikh (para guru) Saudi, namun berasal dari luar Saudi?”
“Suku apa itu, Ustadz?”
“Pernah dengar Mauritaniyyah?”
“Belum, kenapa mereka disegani Ustadz?”
“Karena kebiasaan mereka dalam menuntut ilmu yang sangat luar biasa. Jika ada seorang anak kecil di sana berumur 7 tahun belum hafal al-Quran, itu akan sangat memalukan kedua orangtuanya. Bahkan 7 dari 13 doktor di MEDIU berasal dari Mauritaniyyah.”
“Masya Allah, bagaimana sistem pengajaran mereka?"
“Pertanyaan Anda bagus. Memang kita bukan hanya harus takjub tapi kita harus meniru sistem yang mereka gunakan. Jadi begini, mereka itu mendapatkan pendidikan al-Quran bukan hanya sejak kecil, tapi sejak bayi. Ketika ada seorang ibu hamil, dia tidak akan menghabiskan waktu hanya tidur di kasur. Sang ibu tersebut akan menyibukkan diri untuk nderes (mengulang) hafalannya hingga terasa letih karenanya.
Setelah bayi itu lahir, keluarga yang akan muraja’ah (nderes). Misalkan seorang anak akan muraja’ah kepada bapak atau ibunya, maka ia diwajibkan bermuraja’ah di depan adiknya yang masih bayi pula. Jadi ketika ibunya sedang menggendong bayi tersebut, kakaknya bermuraja’ah kepada ibunya. Kalaupun suara tangis bayi mengganggu kakaknya, ya itulah tantangan untuk anak tersebut.”
“Masya Allah, lalu sistem ketika menginjak remaja bagaimana Ustadz?”
“Ketika berusia 7 tahun ke atas, mereka akan pergi kepada masyaikh untuk belajar agama. Mereka tidak belajar di dalam kelas, melainkan dibuatkan tenda di tengah gurun. Di dalam tenda itulah proses belajar mengajar dilakukan. Mungkin itu menyakitkan karena panasnya, namun itulah kenikmatan bagi mereka yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Bagi mereka ilmu adalah kenikmatan yang tiada tara, jauh melampaui nikmatnya harta sebanyak apapun."
“Masya Allah, Ustadz…”
“Ketika sang guru mereka berkata, “Istami'”, dengarkanlah! maka semuanya menatap sang guru dan menyimak dengan seksama. Tidak ada yang berani menulis bahkan bermain pulpen sekalipun, karena akan dimarahi. Setelah guru menerangkan panjang lebar barulah mereka menulis. Dalam menulispun bukan di selembaran kertas, melainkan di batu, daun, kulit pohon atau sejenisnya yang mereka bawa dari rumah. Kenapa tidak pakai kertas? karena memang itu dilarang, dan mereka hanya membawa selembar saja. Setelah menulis maka tulisan mereka yang berasal dari ingatan itu ditunjukkan kepada sang guru. Jika ada kesalahan maka akan dikembalikan untuk dibetulkan, hingga semua santrinya menuliskan semua yang diucapkan guru. Ketika semua santrinya telah menuliskan dengan benar maka sang guru memerintahkan untuk dihapus.”
“Dihapus Ustadz? Lalu mereka tidak punya catatan pelajaran hari itu dong?”
“Betul. Ketika semuanya sudah benar, hal itu menunjukkan pelajaran yang disampaikan oleh guru sudah dihafal di luar kepala. Jadi catatannya ya ingatan mereka itu. Setelah semuanya benar dan telah dihapus, maka sang guru melanjutkan pelajarannya. Begitu seterusnya sampai pelajaran di hari itu habis. Setelah pulang ke rumah, barulah apa yang diingat mereka tulis ulang dalam buku. Di usia 17 tahun, mereka sudah bisa (berhak) mengeluarkan fatwa, yang berarti mereka sudah menjadi Mufti.”
“Masya Allah, merinding Ustadz.”
“Dulu ketika saya di LIPIA, ada cerita menarik. Dosen saya ketika ingin mencari atau mengingat-ingat sebuah hadits maka beliau bertanya kepada temannya yang masih berstatus mahasiswa S2. Karena apa? Karena temannya itu sudah hafal Kutubus Sittah, Bulughul Maram, Shahihain, dan sekarang sedang menghafal Musnad Imam Ahmad dan sudah hafal 2/3-nya. Anda tahu kan kitab-kitab tersebut tebalnya seperti apa? Itu baru tebalnya, belum isi atau jumlah hadits dari kitab tersebut. Dan yang lebih menakjubkan adalah, mereka bukan hanya hafal matan haditsnya, namun juga sampai ke Rijalul Hadits, Perawi baik tahun lahir sampai wafatnya, mengambil hadits dari siapa saja, dinyatakan tsiqah atau tidak oleh ulama, hingga dia bisa menentukan sendiri sanad hadits tersebut shahih atau tidak."
“Masya Allah, merasa tidak punya apa-apa Ustadz ketika menyadari di belahan bumi lain ada yang mempelajari agama hingga seperti itu…”
Itulah sekilas percakapan tentang kebiasaan hidup orang Mauritania yang diceritakan oleh Ustadz Abdullah Zaidi. Dan Syaikh Abdullah bin Bayyah adalah satu diantaranya. Seorang ulama Ahlussunnah wal Jama'ah yang berasal dari Mauritania, pengajar di Universitas King Abdul Aziz University Saudi Arabia yang bermadzhab Imam Maliki.
~Sekilas Tentang Syaikh Abdullah Bin Bayyah
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Mahfudz bin Bayyah, dilahirkan pada tahun 1935 di Mauritania. Ia mengajar di Universitas Raja Abdul Aziz di Arab Saudi. Ia seorang yang ahli fikih 4 madzhab, terutama madzhab Maliki.
Masa mudanya dihabiskan untuk mempelajari dan mendalami ilmu agama, khususnya bidang syariah, di Tunisia. Sekembalinya ke Mauritania, ia diamanati sebagai menteri pendidikan lalu menteri kehakiman. Ia juga pernah menjabat sebagai wakil presiden dari presiden pertama negeri Mauritania.
Syaikh Bin Bayyah terlibat di sejumlah dewan pakar, termasuk Dewan Fiqih Islam, suatu institut yang berpusat di Arab Saudi. Ia juga pernah menjabat sebagai wakil presiden dari Persatuan Ulama Internasional, dimana ia lalu mengundurkan diri di pertengahan 2013. Ia juga merupakan anggota dari Dewan Penelitian dan Fatwa Eropa yang berpusat di Dublin, dewan ulama yang fokus mengarahkan pada upaya menjelaskan hukum-hukum Islam yang sensitif terhadap kehidupan Muslim Eropa. Dan ia termasuk diantara 500 orang Muslim paling berpengaruh di dunia tahun 2009-2013.
(Al Alim Al Habib Ali Zainal Abidin Bin Abdurahman Al jufri bersama Al Alim Al Allamah Al Arifbillah Asy-Syaikh Abdullah Bin Bayah)

Thursday, November 23, 2017

Khalifah Al-Amin Bin Harun Ar-Rasyid: Penyuka Sesama Jenis Dan Pemicu Perang Saudara by NADIRSYAH HOSEN

Dua puluh tiga tahun kekuasaan Khalifah kelima Abbasiyah yang melegenda, Harun ar-Rasyid, telah membawa kemajuan peradaban Islam dan stabilitas politik. Namun, sayang, semua kegemilangan berubah menjadi huru-hara sepeninggalnya. Ini semua gara-gara ketidakcakapan putra Harun yang bernama al-Amin, yang naik menjadi Khalifah keenam. Bagaimana kisahnya? Tegarkan hati Anda membaca lanjutan kolom sejarah politik Islam ini.

Nama aslinya Muhammad, lantas diberi gelar al-Amin. Sungguh nama dan gelar yang mulia–mengingatkan kita pada Rasulullah SAW. Ini karena lewat jalur ibunya, al-Amin masih keturunan Bani Hasyim. Namun, sayang, al-Amin ini jauh sekali dari sifat kemuliaan Rasulullah SAW. Imam Suyuthi blak-blakkan menulis: “dia tidak cakap dalam masalah pemerintahan, boros, dan lemah pandangan hidupnya, sehingga tidak layak menjadi khalifah.”

Sayangnya, kita tahu bagaimana khalifah Dinasti Umayyah dan Abbasiyah dipilih, yaitu bukan berdasarkan kemampuan dan pilihan rakyat, tapi karena wasiat keluarga dan pertalian darah. Akhirnya umat Islam beruntung kalau kebetulan mendapati khalifah yang baik dan adil. Namun akan celaka nasib umat kalau putra mahkota ternyata jauh dari kelayakan, dan umat hanya menunggu kapan wafatnya khalifah yang tidak layak ini dan berharap penggantinya kelak bisa lebih baik. Mekanisme pengangkatan dan pemakzulan pemimpin ini yang diperbaiki dengan hadirnya sistem demokrasi.

Sejak semula Khalifah Harun sudah berpesan agar penerus takhta kekhilafahannya, yaitu al-Amin dan kemudian al-Ma’mun, menjaga kekompakan mereka. Bahkan kesepakatan ini ditulis dan disimpan di dalam Ka’bah. Namun al-Amin begitu naik menjadi khalifah malah berusaha menggeser al-Ma’mun dari jalur suksesi. Inilah yang menjadi penyebab perang saudara kedua putra Harun ar-Rasyid ini. Sejarawan menyebutnya sebagai “fitnah keempat” dalam tubuh umat Islam.

Seperti pernah dijelaskan di tulisan saya (baca: Fitnah Ketiga dalam Sejarah islam), fitnah di sini maksudnya adalah ujian berupa perang saudara. Fitnah pertama tercatat pada saat pemberontakan yang mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, berlanjut dengan perang saudara antara Sayyidina Ali dengan Siti Aisyah (Perang Jamal) dan dengan Mu’awiyah (Perang shiffin). Periode fitnah pertama berakhir dengan perdamaian antara Sayyidina Hasan dan Mu’awiyah. Kisah periode ini sudah saya ceritakan dalam berbagai tulisan saya.

Fitnah kedua berlangsung pada periode pembantaian Sayyidina Husain di Karbala dan berlanjut dengan perlawanan Abdullah bun Zubair. Kisah pergolakan pada periode fitnah kedua juga sudah pernah saya bahas dalam sejumlah tulisan saya. Periode peperangan antara al-Walid II dan Yazid III dikenal dalam sejarah islam sebagai fitnah ketiga, yang berakhir dengan naiknya Marwan sebagai Khalifah terakhir Umayyah.

Nah, periode pertempuran antara kedua putra Harun ar-Rasyid di masa Dinasti Abbasiyah, antara al-Amin dan al-Ma’mun, disebut-sebut sebagai fitnah keempat. Peperangan ini berlangsung pada tahun 811-813 Masehi.

Imam Suyuthi menulis:

وقيل: إن الفضل بن الربيع علم أن الخلافة إذا أفضت إلى المأمون لم يبق عليه، فأغرى الأمين به، وحثه على خلعه، وأن يولي العهد لابنه موسى

Dikatakan bahwa salah satu sebab peperangan ini adalah pengaruh al-Fadhl bin ar-Rabi’, seorang Perdana Menteri yang khawatir kehilangan posisinya kalau al-Ma’mun kelak naik menggantikan al-Amin. Maka al-Fadhl bin ar-Rabi’ memprovokasi Khalifah al-Amin untuk menggeser al-Ma’mun dari jalur suksesi, dan mengangkat Musa, anaknya sendiri (Tarikh al-Khulafa 1/219).

Imam Thabari mengabarkan hal yang sama akan pengaruh provokatif al-Fadhl bin ar-Rabi’ ini (Tarikh al-Thabari 8/374). Ini mengingatkan kita pada kiprah Sengkuni yang menyebabkan terjadinya perang Bharata Yudha antara sesama saudara Kurawa dan Pandawa. Begitulah, selalu ada dalam tiap lintasan sejarah orang model al-Fadhl bin ar-Rabi’, sang sengkuni Dinasti Abbasiyah.

Sejumlah penasihatnya mencoba mengingatkan Khalifah al-Amin akan wasiat ayahanda Harun ar-Rasyid yang tersimpan di dinding Ka’bah. Naskah ini secara lengkap bisa dibaca di Tarikh al-Thabari (8/278). Khalifah al-Amin bukannya menuruti nasihat ini malah meminta naskah itu diambil dari dalam Ka’bah dan dibawa ke Baghdad.

Begitu Khalifah al-Amin menerima naskah tersebut, lantas dia merobeknya. Maka, segala wasiat, sumpah, dan kesepakatan antara sang ayahanda Harun ar-Rasyid dan kedua putranya di depan Ka’bah menjadi berantakan.

Begitulah nafsu kekuasaan yang bergema dalam sistem ketatanegaraan yang rapuh. Naskah wasiat dan kesepakatan Harun ar-Rasyid bukanlah sebuah Undang-Undang yang dikeluarkan oleh Parlemen. Itu semata-mata berasal dari tangan Khalifah, maka tidak ada yang bisa mencegah Khalifah berikutnya merobek naskah tersebut dengan tangannya sendiri, meski sebelumnya tersimpan di dinding Ka’bah.

Imam Suyuthi dengan getir menulis:

وبايع العهد لابنه موسى، ولقبه الناطق بالحق، وهو إذ ذاك طفل رضيع

Al-Amin meminta orang-orang berbai’at kepada Musa, anaknya yang dia beri gelar an-Nathiq bi al-Haq (suara kebenaran), padahal Musa saat itu masih menetek sama ibunya (Tarikh al-Khulafa 1/219).

Absurd! Begitulah nafsu kekuasaan itu, meski dalam khilafah Islam.

Imam Thabari juga mendeskripsikan bagaimana Khalifah al-Amin ini punya hubungan “spesial” dengan Kasim, pelayan istana. Kasim favoritnya bernama Kaustar. Kita tahu bahwa dalam berbagai monarki terdapat lelaki yang dikebiri dan kemudian bebas masuk keluar istana, termasuk ke kamar raja dan permaisuri untuk melayani kebutuhan keluarga kerajaan. Di masa Abbasiyah, kasim ini juga menjadi bagian dari pelayan istana.

Hubungan “spesial” antara Khalifah al-Amin terekam dalam catatan sejarah Imam Thabari dan Imam Suyuthi. Kecenderungan menyukai sesama jenis ini membuat Zubaydah, ibu al-Amin, murka. Istri Harun ar-Rasyid ini kemudian mengirimkan pelayan perempuan yang kurus dan cantik tapi didandani dan dipakaikan baju seperti lelaki. Mereka dikirim ke istana al-Amin agar sang khalifah berpaling dari para Kasim kesayangannya.

Kecenderungan Khalifah keenam Abbasiyah ini terhadap sesama jenis mengingatkan kita pada Khalifah Dinasti Umayyah, yaitu al-Walid bin Yazid bin Abdul Malik (709-744), yang dikenal dengan julukan al-Walid II, yang juga diberitakan melakukan liwath. Sejarah kadang begitu menohok. Namun catatan sejarah ini terekam dalam kitab-kitab klasik Islam yang diakui otoritasnya; bukan cerita karangan.

Singkat cerita, Khalifah al-Amin berkuasa sekitar 4 tahun (809-813 Masehi). Dua tahun terakhir dari kekuasaannya diisi dengan perang suadara melawan saudaranya sendiri, yaitu al-Ma’mun. Negara yang kaya raya di masa Harun ar-Rasyid menjadi defisit keuangan. Tatanan sosial menjadi rusak. Karut marut terjadi hanya karena hendak menggeser saudaranya sendiri dengan anak al-Amin yang masih kecil.

Pasukan setia al-Ma’mun dari Khurasan di bawah kepemimpinan Jenderal Tahir bin Husain mengalahkan pasukan Khalifah al-Amin, dan kepala sang khalifah dipenggal dan ditancapkan di gerbang kota al-Anbar. Lantas tubuhnya diseret dengan tali, dan akhirnya kepalanya dikirimkan ke al-Ma’mun. Maka, berakhirlah perang saudara kedua putra Harun ar-Rasyid.

Kekuasaan beralih dari al-Amin kepada al-Ma’mun persis seperti yang tertera dalam sumpah dan kesepakatan mereka berdua dulu di depan Ka’bah. Namun, caranya bukan seperti yang dikehendaki ayahanda mereka, Harun ar-Rasyid. Kekuasaan beralih lewat pertempuran ribuan pasukan sesama Muslim dan dipenggalnya kepala khalifah keenam Abbasiyah. Tragis!

Bagaimana kemudian kepemimpinan Khalifah ketujuh, al-Ma’mun, yang telah memenangkan pertempuran? Insya Allah kita teruskan mengaji sejarah politik Islam pada kolom Jum’at berikutnya, bi idznillah

Khalifah Al-Ma’mun: Disenangi Ilmuwan, Dijauhi Ulama By NADIRSYAH HOSEN

Pada 1 September tahun 813 Masehi berakhirlah perang saudara antara kedua anak Harun ar-Rasyid, yaitu al-Amin dan al-Ma’mun. Khalifah al-Amin kalah dan kepalanya dipenggal, lalu al-Ma’mun menduduki takhta kekhilafahan Dinasti Abbasiyah sebagai khalifah ketujuh. Pada perioden al-Ma’mun berkuasa, ilmu pengetahuan berkembang pesat lewat penguatan institusi Bait al-Hikmah. Namun nama al-Ma’mun menjadi cacat di mata para ulama tradisional akibat peristiwa mihnah. Yuk, kita ikuti catatan hasil mengaji sejarah politik Islam.

Al-Ma’mun lahir di malam Khalifah Musa al-Hadi wafat, atau saat ayahnya, Harun ar-Rasyid, dibaiat menjadi Khalifah. Maka, pada malam 14 September tahun 786 Masehi itu terdapat tiga peristiwa: wafatnya seorang khalifah, diangkatnya khalifah baru, dan lahirnya calon khalifah. Al-Ma’mun berusia sekitar 27 tahun saat menjadi khalifah.

Imam Suyuthi mendeskripsikan al-Ma’mun sebagai orang yang belajar hadits, fiqh, sejarah dan filsafat kepada banyak ulama dan ilmuwan. Dia seorang yang istimewa dalam hal kemauan yang kuat, kecerdasan, kewibawaan, dan kecerdikan. Dia bicara dengan fasih, dan seorang orator yang ulung.

Sulit mencari tandingannya di antara para khalifah Dinasti Abbasiyah lainnya dalam hal kepintaran. Diriwayatkan dalam al-Bidayah wan Nihayah (10/302) bahwa saat bulan Ramadhan dia sanggup mengkhatamkan al-Qur’an 33 kali.

Bekal kepintaran dan kecintaan pada ilmu itulah yang membuat periode kekhilafahan di masanya tercatat sebagai masa keemasan Abbasiyah, melanjutkan kisah gemilang ayahnya, Harun ar-Rasyid, khalifah kelima. Kalau pada masa ayahnya, Bait al-Hikmah didirikan sebagai perpustakaan pribadi, pada masa al-Makmun Bait al-Hikmah dikembangkan menjadi semacam perpustakaan negara dan pusat kajian.

Khalifah al-Ma’mun mengundang para fisikawan, matematikawan, astronom, penyair, ahli hukum, ahli hadis dan mufasir dari berbagai penjuru untuk menyemarakkan panggung intelektual dunia Islam. Mereka diberi fasilitas dan perlindungan negara agar dapat mencurahkan seluruh perhatian pada pengembangan ilmu pengetahuan. Bahkan ilmuwan Kristen dan Yahudi pun diajak turut serta.

Sejarah mencatat bahwa Hunain Ibn Ashaq, seorang Kristiani, telah menerjemahkan karya-karya Aristoteles dan Plato dari karya-karya Hippocrates dan Galen di bidang fisika. Karya itu beberapa tahun kemudian menyebar sampai ke Eropa Barat melalui Sisilia dan Spanyol. Setelah menjamurnya karya-karya terjemahan itu, semakin lengkaplah koleksi buku di perpustakaan akademi Bait al-Hikmah.

Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (775-835), matematikawan terkemuka dan penemu al-Jabar (Algebra), pernah bekerja di perpustakaan ini. Selama masa tugasnya di perpustakaan itu, ia menulis karya monumental, Kitab al-Jabr wa al-Muqabil
Sekadar ilustrasi saja, dana riset yang diberikan Khalifah al-Ma’mun kepada Bait al-Hikmah itu setara dengan dua kali dana Medical Research Centre di Inggris saat ini. Begitu juga gaji para ilmuwan seperti Hunain dan Khawarizmi di atas setara dengan gaji atlet profesional saat ini seperti Lionel Messi dan Ronaldo. Tidak aneh kalau Bait al-Hikmah menjadi pilar kemajuan peradaban Islam saat itu. Inilah institusionalisasi perintah iqra’ dalam al-Qur’an.

Bagaimana dengan kondisi sekarang? Majalah Newsweek, misalnya, melaporkan bahwa pada 2005, jumlah publikasi internasional yang dihasilkan Harvard University jauh lebih banyak dibanding akumulasi semua publikasi ilmiah dari universitas-universitas di 17 negeri Muslim. Dari 1,6 miliar umat Islam, kita hanya bisa menghasilkan dua Muslim sebagai pemenang nobel di bidang kimia dan fisika.

Kedua saintis Muslim tersebut—dan ini penting diingat—justru tinggal dan bekerja di dunia Barat. Itu artinya, kalau mereka melakukan penelitiannya di kampung halaman mereka, sulit atau kecil kemungkinan mereka akan mendapatkan hadiah nobel. Secara kontras, umat Yahudi yang jumlahnya hanya sepersepuluh umat Islam telah melahirkan 79 pemenang nobel dalam dunia sains.

Dana riset di 57 negara Muslim hanya sebesar 0,81% dari GDP mereka. Sebagai contoh yang memilukan hati, sebuah universitas di Islamabad, Pakistan, sudah memiliki 3 masjid di dalam kampus dan sekarang tengah membangun masjid keempat. Tapi, tidak satu pun ditemukan toko buku di dalam kampus. Mungkin kalau kita menengok koleksi dan fasilitas perpustakaan di dunia Muslim, kita akan lebih terkejut lagi.

Kembali ke kisah al-Ma’mun, sebagai pecinta ilmu, tentu saja dia dipuji para ilmuwan. Namun al-Ma’mun pada saat yang sama hendak menegakkan otoritas keagamaan yang dimiliki khalifah. Sebagai seorang rasionalis, dia cenderung pada pemikiran Mu’tazilah. Dan al-Ma’mun tidak bisa menahan godaan untuk memaksa para ulama tradisional agar memiliki paham yang sama dengannya. Maka, muncullah peristiwa mihnah, yaitu semacam tes keagamaan di mana mereka yang memiliki paham berbeda akan dipersekusi oleh negara.

Pangkal persoalan ada pada perdebatan ilmu kalam: apakah kalamullah yang berbentuk mushaf al-Qur’an itu qadim atau hadits (baru diciptakan dan karenanya dianggap sebagai makhluk). Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat al-Qur’an itu qadim, sedangkan Mu’tazilah berpendapat al-Qur’an itu makhluk.

Kalau ditarik ke belakang, perdebatan ini muncul akibat perbedaan kedua kelompok ini dalam memahami apakah Allah memiliki sifat atau tidak. Bukan pada tempatnya di sini kalau saya jelaskan panjang lebar soal ini. Kita kembali fokus pada masalah mihnah.

Imam Thabari menuliskan ulang surat Khalifah al-Ma’mun yang memerintahkan dikumpulkannya para ulama dan diinterogasi apakah mereka berpendapat al-Qur’an itu qadim atau makhluk. Sesiapa yang menjawab makhluk, maka amanlah dia. Sementara sesiapa yang menjawab qadim, habislah dia disiksa. Surat lengkap Khalifah al-Ma’mun kepada Ishaq bin Ibrahim yang memulai mihnah ini bisa dibaca di Tarikh Thabari, juz 8/361-345.

Maka, bisa kita simpulkan, Khalifah al-Ma’mun bukan hanya hendak menegakkan otoritas keilmuan tapi juga otoritas keagamaan sebagai khalifah. Dia memaksakan pahamnya dan ulama harus mengikutinya. Inilah sebabnya para ulama tradisional banyak yang tidak suka dengan al-Ma’mun. Salah satu yang ngotot bertahan dengan pendapat al-Qur’an itu qadim adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Peristiwa mihnah ini bisa dibaca lebih jauh di Al-Bidayah wan Nihayah karya Ibn Katsir, juz 10/298.

Ada sebab lain kenapa ulama tradisional tidak menyukai al-Ma’mun. Secara pemikiran, dia cenderung mengikuti Mu’tazilah, dan para ulama menyalahkan kecintaan al-Ma’mun pada filsafat dan gerakan penerjemahan karya para filosof Yunani. Mereka menuduh al-Ma’mun menjadi sesat karena pengaruh filsafat.

Tentu menjadi ironis: di satu sisi, masa al-Ma’mun dianggap sebagai periode keemasan khilafah dan para penyokong berdirinya kembali khilafah di abad ke-21 ini sering mengambil contoh masa keemasan ini. Tapi, di sisi lain, masa keemasan Abbasiyah ini justru berdiri di atas pondasi rasionalitas dan filsafat—sesuatu yang sering diharamkan pada masa sekarang. Pada masa al-Ma’mun aliran Mu’tazilah yang mendominasi, bukan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Aspek ini yang sering luput dari perhatian kita.

Secara politik, para ulama tradisional juga tidak senang dengan al-Ma’mun karena dia juga condong kepada Syiah. Al-Ma’mun memilih tinggal di kota Merw, di daerah Iran yang banyak orang Syiah dan Persia. Al-Ma’mun dituduh anti-Arab. Dia mengatakan berlepas diri terhadap mereka yang memganggap Mu’awiyah itu orang baik. Bahkan al-Ma’mun, seperti dituliskan oleh Imam Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa halaman 227, mengatakan orang yang paling utama setelah Rasulullah itu adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Tidak berhenti sampai di sana, al-Ma’mun bahkan menjadikan Imam Ali ar-Ridha, Imam kedelepan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah, sebagai putra mahkota pengganti al-Ma’mun. Tentu tak terbayangkan bahwa Dinasti Abbasiyah memberi kekuasaan kepada orang lain di luar jalur keluarga Abbas.

Al-Ma’mun beralasan, dulu saat Sayyidina Ali menjadi Khalifah keempat, beliau banyak memberikan posisi penting kepada keturunan Abbas. Dan kenapa sekarang saat Dinasti Abbasiyah berkuasa, tidak ada keturunan Sayyidina Ali yang mendapat jatah kekuasaan.

Al-Ma’mun semakin menegaskan posisi politiknya dengan memerintahkan pejabat untuk mengenakan pakaian hijau, dan mencopot pakaian hitam. Pakaian hitam adalah ciri Dinasti Abbasiyah, sedangkan pakaian hijau biasa dikenakan pemeluk Syiah.

Kemarahan sebagian pihak di Baghdad terhadap al-Ma’mun membuat mereka membaiat Ibrahim bin Mahdi, anak Khalifah ketiga Abbasiyah, sebagai khalifah pengganti al-Ma’mun. Al-Fadhl bin Sahal, perdana menteri al-Ma’mun, juga berkhianat kepada al-Ma’mun dengan memberikan informasi yang keliru. Posisi al-Ma’mun menjadi terjepit.

Kelompok Syiah tidak sepenuhnya menerima penunjukkan Imam Ali ar-Ridha sebagai putra mahkota pengganti al-Ma’mun. Mereka menuduh ini taktik politik al-Ma’mun agar mendapat dukungan kaum Syiah, dan juga fakta bahwa Imam Ali ar-Ridha berusia 20 tahun lebih tua dari al-Ma’mun. Artinya, kemungkinan Imam Ali ar-Ridho kelak tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai khalifah amat besar.

Dan ternyata benar, Imam Ali ar-Ridho wafat lebih dulu dari al-Ma’mun. Imam Thabari mengabarkan bahwa Ali ar-Ridha wafat setelah memakan buang anggur. Banyak kalangan Syiah yang percaya buah anggur itu sudah diracun atas perintah al-Ma’mun. Wa Allahu A’lam.

Wafatnya Ali ar-Ridha meredakan ketegangan politik. Al-Ma’mun membujuk keluarganya dan pejabat Abbasiyah untuk kembali loyal kepadanya karena Ali ar-Ridha bukan lagi putra mahkota.

Ibrahim bin al-Mahdi, yang diberi gelar al-Mubarak, bertahan hampir dua tahun menguasai Baghdad sebelum pasukan al-Ma’mun mengambil alih kekuasaan. Al-Ma’mun kemudian kembali mengenakan pakaian hitam.

Al-Ma’mun wafat karena sakit saat berusia 47 tahun. Dia berkuasa sekitar 20 tahun. Dia tidak menunjuk anaknya, al-Abbas, sebagai penggantinya. Dia menunjuk saudaranya, Abu Ishaq Mihammad bin ar-Rasyid, sebagai khalifah selanjutnya. Pada periode al-Ma’mun ini sejarah mencatat Imam Syafi’i wafat (820 M) dan juga guru Imam Syafi’i, yaitu Sayyidah Nafisah (824 M), seorang perempuan suci di Mesir.

Kita akan lanjutkan mengaji sejarah politik Islam pada kolom Jum’at berikutnya, insya Allah