Saturday, March 31, 2018

ULAMA PECINTA HABAIB

ULAMA PECINTA HABAIB

Wasiat Abah Guru Sekumpul tentang keluarga Rosululloh :

“Orang biasa (bukan habib) alim dibanding Habib jahil lebih mulia cucu Rosululloh (Habib)…”

“Berguru dengan Habib yang alim lebih afdhol dari pada berguru kepada seribu ulama yang bukan Habib…”

“Amun Habib bujur haja ikuti amun salah jangan diumpati…(apabila Habib benar ikuti bila salah jangan dicaci)…"

”Kita boleh benci dengan maksiatnya tapi jangan dengan jasadnya…”

“Supaya kita kada katulahan gawian para Habaib kaya apakah jangan di umpat campuri…(supaya kita tidak kuwalat perbuatan para Habaib seperti apa saja jangan dicaci / diikut campuri)”

“Apabila keluarga Rosululloh ada yang berbuat jahat maka sebelum berbuat jahat sudah diampuni Alloh… jadi ini i'tiqod kita…”

"Hubungan ilmu kita tidak akan tersambung sampai ke Rosululloh bila kita masih ada salah dengan dzuriyyat nabi.."

Nabi Muhammad saw. bersabda :
"Empat orang yang kelak nanti aku wajib memberinya syafa'at walaupun mereka datang kepadaku dengan dosa sebanyak ahli bumi:

1. Orang yang mengangkat pedang membela keturunanku.
2. Orang yang mengabulkan hajat keturunanku. 3. Orang yang mengurusi perkara keturunanku. 4. Orang yg mencintai keturunanku dangan hati dan lidah mereka.

Beliau juga bersabda :
"Cintailah aku karena kecintaanmu kepada Alloh, dan cintailah keluargaku (keturunanku) karena kecintaanmu kepadaku"

❤Maka tidak dapat dicapai kecintaan kepada Rosululloh melainkan dengan kecintaan kepada keluarga Rosululloh...
❤Memperoleh ridho Rosululloh adalah dengan mencintai keluarganya...
❤Memandang dan bertemu Rosululloh di dunia dan di akhirat adalah dengan mencintai keluarganya...
❤Terhubungnya ruh dengan Rosululloh adalah dengan mencintai keluarganya...
❤Orang yang menyenangkan keluarga Rosululloh sama dengan menyenangkan Rosululloh...
❤Ibadah yang pasti diterima adalah khidmah/melayani keluarga Rosululloh...
❤Sebaik-baik amal ialah husnudzon dan mendoakan keluarga Rosululloh...
❤Semakin besar kedudukan keluarga Rosululloh di hati seseorang semakin besar pula kedudukannya di sisi Rosululloh...
❤Ciri orang yang cinta ia melihat di alam semesta ini tidak ada yg paling nyata kecuali Rosululloh saw dan keluarganya...

Ya Alloh jadikanlah kami orang-orang yang mencintai keluarga Baginda Nabi shollallohu alaihi wa sallam.

SHOLAWAT NUUR MUHAMMAD
ﺃَﻟﻠّٰﻬُﻢَّ ﺻَﻞِّ ﻋَﻠٰﻰ ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻧُﻮْﺭِﻙَ ﺍﻟﺴَّﺎﺭِﻱْ ﻭَﻣَﺪَﺩِﻙَ ﺍﻟْﺠَﺎﺭِﻱْ ﻭﺍﺟْﻤَﻌْﻨِﻲْ ﺑِﻪٖ ﻓِﻲ ﻛُﻞِّ ﺃَﻃْﻮَﺍﺭِﻱْ ﻭَﻋَﻠٰﻰ ﺁﻟِﻪٖ ﻭَﺻَﺤْﺒِﻪٖ ﻳَﺎﻧُﻮْﺭُ

ALLOHUMMA SHOLLI WA SALLIM ‘ALA SAYYIDINA MUHAMMAD NUURIKAS SAARI WA MADADIKAL JAARI WAJMA’NII BIHI FI KULLI ATHWAARI WA ‘ALA ALIHI WA SHOHBIHI YANNUUR.

ISTILAH-ISTILAH UKURAN DALAM FIQIH DAN SEPUTAR ZAKAT PADI

ISTILAH-ISTILAH UKURAN DALAM FIQIH

6 bulan yang lalu

ISTILAH UKURAN DALAM FIQH

a. Satu QIROTH menurut imam Tsalasah 0,215 Gr

b. Satu DIRHAM menurut imam Tsalasah 2,715 Gr

c. Satu MITSKOL menurut imam Tsalasah 3,879 Gr

d. Satu DANIQ menurut imam Tsalasah 0,430 Gr

e. Satu DZIRO' Al-Mu’tadil menurut Aktsarin-Nas 48 Cm

- Menurut Al Makmun 41,666625 Cm

- Menurut An-Nawawi 44,720 Cm

- Menurut Ar-Rofi’i 44,820 Cm

f. Satu MUD Menurut Imam Tsalatsah 9,22 Cm (P x L x T ) = 0,766 Ltr

g. Satu SHO Menurut Imam Tsalatsah 14,65 Cm (P x L x T ) = 3,145 Ltr

h Satu WASAQ Menurut Imam Tsalatsah 57,32 Cm (P x L x T ) = 188,712 Ltr

i Satu SHO’ Gandum (Hinthoh) Menurut Imam An-Nawawi 1.862,18 Gr

j. Satu MUD Gandum (Hinthoh) Menurut Imam An-Nawawi 456,54 Grm

k Satu SHO’ Beras putih 2.719,19 Grm

l. Satu Mud Beras putih 679,79Grm

m. Air DUA KULAH menurut An-Nawawi 55,9 Cm ( P x L x T ) = 174,677 Ltr

- Menurut Ar-Rofi’iy 56,1 Cm (P x L x T ) = 176,558 Ltr

- Menurut Ahli Iraq 63,4 Cm (P x L x T ) = 245,840 Ltr

- Menurut Aksarin-Nas 60 Cm (P x L x T ) = 216 Ltr

n. Zakat Fitrah adalah satu SHO’ 2.719,19 Grm = 2,71919 Kg

o Jarak Qosor Sholat menurut:

- Kitab Tanwirul Qulub 80,640 Km

- Al-Ma`Mun 89,999992 Km

- Ahmad Husain 94,500 Km

-Aksarul Fuqha 119,99988 Km

- Hanafiyyah 96 km

- Kitab Fiqh al-Islâmy 88, 74 km

- Versi Imam Ahmad Husain al-Mishry 94, 5 km

p.Mîl al-Hâsyimy:

Versi Imam Makmûn 1, 666665 km

Versi Imam Ahmad Husain al-Mishry 1, 76041 km

Versi Mayoritas ulama’ 2, 4999975 km

q. Farsakh:

Versi Imam Makmûn 4, 99995 km

Versi Imam Ahmad Husain al-Mishry 5, 28125 km

Versi Mayoritas ulama’ 7, 4999925 km

r. RITL BAGDAD menurut:

- An-Nawawi 349,16 Grm

- Ar-Rofi’i 353,49 Grm

s NISHOB SARIQOH emas menurut Imam Tsalasah 0,97 Grm

t Satu UQIYAH 12 Dirham

u Satu DIRHAM 2 Gram

DAFTAR NISOB DAN ZAKAT HARTA ZAKAWIY

1 Perak 543,35Gr 1/40=13,584Gr 2,5% Dikeluarkan setelah 1 thn

2 Tambang Perak 543,35Gr 1/40=13,584Gr 2,5% Dikeluarkan seketika

3 Rikaz Perak 543,35Gr 1/5=108,67Gr 20% Dikeluarkan seketika

4 Harta dagang dgn modal perak 543,35Gr 1/40 =13,584 Gr 2,5% Ditaksir dengan perak dan dikeluarkan setelah 1 thn

5 Emas 77,58Gr 1/40 =1,9395 Gr 2,5% Dikeluarkan setelah 1 thn

6 Tambang Emas 77,58Gr 1/40 =1,9395 Gr 2,5% Dikeluarkan seketika

7 Rikaz Emas 77,58Gr 1/5=15,516Gr 20% Dikeluarkan seketika

8 Harta dagang dgn modal emas 77,58Gr 1/40 =1,9395 Gr 2,5% Ditaksir dgn emas dan dikeluarkan setelah 1 thn

9 Gabah 1.323,132Kg 1/10=132,3132Kg 10% Tanpa biaya pengairan

1.323,132Kg 1/20=66,1566Kg 5% Dgn biaya pengairan

10 Padi gagang 1.31,516 Kg 1/10=163,1516Kg 10% Tanpa biaya pengairan

1.31,516 Kg 1/20=81,5758Kg 5% Dgn biaya pengairan.

11 Beras 815,758 Kg 1/10=81,5758Kg 10% Tanpa biaya pengairan

815,758 Kg 1/20=40,7879Kg 5% Dgn biaya pengairan

12 Gandum 558,654 Kg 1/10=55,8654Kg 10% Tanpa biaya pengairan

558,654 Kg 1/20=27,9327Kg 5% Dgn biaya pengairan

13 Kacang tunggak 756,697 Kg 1/10=75,6697Kg 10% Tanpa biaya pengairan

756,697 Kg 1/20=37,83485Kg 5% Dgn biaya pengairan

14 Kacang Hijau 780,036Kg 1/10=78,0036Kg 10% Tanpa biaya pengairan

780,036Kg 1/20=39,0018Kg 5% Dgn biaya pengairan

15 Jagung kuning 720 Kg 1/10=72 Kg 10% Tanpa biaya pengairan

720 Kg 1/20=36 Kg 5% Dgn biaya pengairan

16 Jagung Putih 714 Kg 1/10=71,4 Kg 10% Tanpa biaya pengairan

714 Kg 1/20=35,7Kg 5% Dgn biaya pengairan

KETERANGAN

- Perhitungan awal tahun pd zakat hewan ternak dimulai dari memilikinya dlm jumlah 1 nishob, begitu juga pada emas & perak. Sedangkan utk barang dagang maka:

Bila modal dagang diambilkan dari emas/perak yg sudah genap 1 nishob baik dipakai semua atau tdk, maka penghitungan tahun dimulai dari pemilikan emas/perak

Bila modal dagang berasal dari selain emas/perak yg telah mencapai 1 nishob, maka penghitungan tahun dimulai dari permulaan berdagang.

- Daftar nishob dan ukuran di atas dikutif dari kitab “FATHIL-QODIR” susunan Syaikh Ma’sum bin Ali Quwaron, Jombang.

- Yang dimaksud dgn Imam Tsalatsah di atas adalah Imam Maliki, Imam Syafi’I dan Imam Hambali.

- Nishob emas pada daftar di atas adalah nishob emas murni (emas dgn kadar 100%). Sedangkan utk mencari nishob emas yg tdk murni (emas dgn kadar kurang dari 100%) yaitu dgn cara: Nishob emas murni (77,58) dibagi kadar emas yg tdk murni kemudian hasilnya dikalikan dgn kadar emas murni (100)

Contoh:

Untuk pencarian Nishob emas dgn kadar 90%:

Nishob = 77,58 : 90 x 100 = 86,2 Gr

Zakat yg harus dikeluarkan – 2,5% (1/40) = 2,155 Gr

- 2,0% (1/50) = 17,24 Gr

Untuk pencarian Nishob emas dgn kadar 75%:

Nishob = 77,58 : 75 x 100 = 103,44 Gr

Zakat yg harus dikeluarkan – 2,5% (1/40) = 2,586 Gr

- 2,0% (1/50) = 20,688 Gr

- Nishob dan ukuran utk jenis biji-bijian dengan menggunakan berat/gram sebagai mana daftardi atas adalah hanya pendekatan saja. Sebeb ukuran yang asal menurut Syara’ adalah dengan menggunakan Sho’ / Wasaq yang ada pada jaman Rasululloh SAW, maka dihimbau kepada kaum muslimin apabila ada perbedaan pendapat dalam menentukan berat kadar nishob, agar mengambil kadar yang ukurannya telah diyakini tidak kurang dari kadar yang telah ditentukan Syara’. ( Fathul Wahhab 1/114 dan S. Taufiq:41)

SINGKATAN NAMA-NAMA ULAMA’

NO SINGKATAN NAMA ULAMA’

1. ر م Syihâb ad-Dîn Ahmad bin Hamzah

( ar-Ramly al-Kabîr ).

2. مـر Syams ad-Dîn Muhammad bin Ahmad

( ar-Ramly As- Saghîr 919 - 1004 H. ).

3. حـج Ibn Hajar al-Haitamy ( 909 - 973 H. )

4. خـط Al-Khathîb as-Syirbîny ( … - 977 H. ).

5. ز ي Nûr ad-Dîn 'Ali az-Zayâdy atau az-Ziyâdy

( … - 1024 H.).

6. س م / س ب Syihâb ad-Din bin Qâsîm al-Abâdy

( 964 - 922 / 994 H.)

7. ظ ب Nashîr ad-Dîn Manshûr at-Thablawy

( … - 1014 H.).

8. ب ر Abû Abdillâh Muhammad bin Abd

ad-Daim Al-Barmawy .( 763 - 831 H.).

9. با ج Al-Baijury ( 1198 - 1277 H.).

10. أ ج Al- 'Allâmah 'Athiyyatullâh bin Athiyah

al-Burhân ( … - 190 H.).

11. ح ف Asy-Syamsu Muhammad bin Sâlim

al-Hafnawy ( 1101 - 1181 H.).

12. ش ق / ش ر ق Abdullâh bin Hijâz bin Ibrâhîm

as-Syarqawy ( 1150 - 1226 / 1227 H.).

13. حا ل / ح ل Nûr ad-Dîn 'Ali bin Ibrâhîm al-Halaby

( 975 - 1044 H.).

14. ع ش 'Ali Syibramalisy; Nûr ad-Dîn Abû Dliyâ' 'Ali bin 'Ali ( 997 - 1087 H.).

15. ق ل Syihâb ad-Din Ahmad bin Salâmah

al-Qulyûby ( ... - 1069 H.).

16. س ل Sulthân bin Ahmad al-Mazâkhi

( 985 - 1075 H.).

17. ع ن Muhammad al-'Inâni ( ... - 1098 H.).

18. ب ج Sulaimân bin Muhammad bin 'Umar

al- Bujairamy.

19. خ ض Syamsu Muhammad Syaubary al-Khadry

( 977 - 1069 H.).

20. م د Hasan bin 'Ali Ahmad al-Mudâbiry

( … - 1170 H.).

21. ع ب / ع ب د Abd al-Hamid; asy-Syekh Abd al-Hamid

ad-Daghistâny.

22. أ ط Muhammad bin Manshûr al-Ithfihy

al-Mishry.

23. ي As-Sayyid bin Abdullâh bin 'Umar

al-Alawy ( 1209 - 1265 H.).

24. ك / ك ر Asy-Syekh Muhammad bin Sulaimân

al-Kurdy ( … - 1194 H.).

WaLlohu a’lam bish-showab 

A. Ketentuan Zakat Padi

Karena padi dianggap sama dengan jenis tanaman yang wajib dikeluakan zakatnya, maka kita tinggal mengacu kepada zakat tanaman secara umum, yaitu :

1. Yang Diwajibkan

Tidaklah disyariatkan zakat padi kecuali kepada petaninya. Dan yang dimaksud petani ini adalah mereka yang punya lahan dan dengan sengaja menanami lahannya itu dengan padi. 

Sedangkan buruh tani, yaitu tenaga yang dibayar untuk melakukan pekerjaan menanam padi, tentu posisinya bukan orang yang wajib membayar zakat. Sebab penghasilannya bukan dari panen, melainkan dari upah yang diberikan oleh petani. 

Kalau pun harus ada zakat, maka zakatnya adalah zakat profesi yang sebenarnya masih khilafiyah hukumnya.

2. Yang Dizakatkan : Padi atau Beras?

Ini adalah inti pertanyaan Anda, yaitu apa yang diberikan, masih dalam bentuk padi (gabah) atau sudah dalam bentuk beras?

Sebenarnya memang ada perbedaan pendapat tentang apakah yang dikeluarkan zakatnya itu termasuk kulitnya atau tidak. Sebagian ulama berpendapat bahwa kulitnya harus dikelupas dulu baru ditimbang, sedangkan sebagian lainnya berpendapat bahwa kulitnya ikut ditimbang.

a. Kulit Tidak Dihitung

Di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah disebutkan bahwa angka nishab di atas dihitung dalam keadaan udah terkupas, sehingga kulit dari masing-masing hasil panen itu tidak dihitung. Istilahnya adalah la qisyra ’alaiha (لا قشر عليها).

Mazhab Al-Hanabilah juga mengatakan bahwa bahwa berat 5 wasaq itu adalah berat bulir panenan yang sudah dikupas. Jadi itu bukan berat gabah melainkan berat padinya.

Begitu juga bila bentuknya buah yang wajib dizakati seperti kurma, yang ditimbang adalah yang sudah kering, bukan yang masih basah.

b. Kulit Ditimbang Juga

Sedangkan mazhab Al-Malikiyah mengatakan bahwa ukuran 5 wasaq itu ditimbang dengan kulit-kulitnya kalau bulir padi atau gandung, dan ditimbang ketika masih basah kalau buah-buahan. 

3. Nishab

Jumhur ulama diantaranya mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah sepakat mensyaratkan nishab atau batas minimal hasil panen untuk kewajiban zakat ini.

Nishab zakat tanaman ditetapkan berdasarkan timbangan berat buah hasil panen tanaman tersebut pada setiap kali panen dilakukan. Dan nisab hasil panen itu adalah seberat 5 wasaq, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسَاقٍ مِنْ تَمْرٍ وَلاَ حَبٍّ صَدَقَةٌ

Hasil tanaman kurma dan habbah (gandum) yang kurang dari 5 wasaq tidak ada kewajiban shadaqahnya (zakat). (HR. Muslim dan Ahmad) .

Hadits di atas tentu hadits yang shahih, sehingga seluruh ulama sepakat menggunakan hadits di atas sebagai rujukan dalam menetapkan nishab zakat tanaman. 

Namun yang jadi masalah dengan hadits di atas, berapa kah sesungguhnya 5 wasaq itu? Dan wasaq itu sendiri apa?

Rupanya meski haditsnya sama, namun para ulama agak berbeda dalam memahami teks hadits di atas. Secara umum, pendapat para ulama para terpecah dua, sebagian memandang bahwa ukuran nishab zakat tanaman diukur berdasarkan ukuran volume, dan sebagian lagi menggunakan ukuran berat.

a. Ukuran Volume

Yang perlu diketahui pertama kali adalah bahwa di masa Rasululllah SAW, khususnya di Madinah, orang-orang terbiasa mengukur banyaknya suatu makanan itu dengan ukuran takaran atau volume.

Kebiasaan ini agak berbeda dengan kebiasaan di luar Madinah atau di luar negeri Arab saat itu, dimana orang-orang terbiasa mengukur jumlah makanan berdasarkan berat.

Istilah wasaq (وسق) di masa Nabi khususnya di Madinah adalah volume suatu makanan. Ada sebuah hadits yang menjelaskan nilai satu wasaq :

الوَسَقُ سِتُّونَ صَاعًا

Satu wasaq itu sama dengan 60 shaa' (HR.Abu Daud)

Walau pun hadits ini dinilai oleh banyak kalangan sebagai hadits dhaif, namun esensinya bahwa satu wasaq itu sama dengan 60 shaa' dibenarkan oleh para ulama dan menurut Ibnul Mundzir hal itu sudah menjadi ijma' di antara mereka.

Dengan demikian maka 5 wasaq itu sama dengan 5 x 60 = 300 shaa'. Maka sebagaimana yang umumnya disebutkan oleh para ulama kontemporer bahwa satu shaa' itu setara dengan 2,75 liter, maka 300 shaa' itu sama dengan 825 liter.

b. Ukuran Berat

Namun sebagaimana kita ketahui bahwa kebanyakan para ulama melakukan konversi dari takaran volume menjadi ukuran berat. Hal itu terjadi ketika kita membahas zakat al-fithr yang aslinya di masa Rasulullah SAW masih menggunakan ukuran shaa', kemudian oleh para ulama di masa berikutnya ukurannya diubah menjadi ukuran berat.

Namun karena hasil konversi dari takaran menjadi ukuran berart menghasilkan angka yang tidak sama, sehingga kita pun di masa sekarang ini akan mendapatkan hasil yang juga berbeda-beda.

Versi Pertama : 750 Kg Beras

Sebagian kalangan ada yang mengkonversi 300 shaa' itu setara dengan 750 kg. Logikanya didapat dari pendapat bahwa satu shaa' itu setara dengan 2,5 kg beras sebagaimana kita membayar zakat al-fithr.

Maka 300 shaa' itu dikalikan dengan 2,5 kg, hasilnya adalah 750 kg beras.

Versi Kedua : 520 Kg Beras

Sebagian lagi ada yang mendapatkan hasil konversi 300 shaa' itu setara dengan 652,8 kg. Logikanya didapat dari pendapat yang menghitung bahwa satu shaa' setara dengan 2,176 kg. Maka dengan demikian 5 wasaq x 60 shaa' x 2,176 kg = 652,8 kg.

Namun karena yang dihitung adalah bulir yang sudah dikupas, maka angka 652,8 kg harus dikonversi lagi dengan mengurangi kulitnya. Makanan seberat 652,8 kg itu masih berbentuk gabah, kalau gabah sebanyak itu dikupas kulitnya, maka hasilnya berupa beras tanpa kulit seberat 520 kg.

Versi Ketiga : 653 Kg Gabah

Dr. Wahbah Az-Zuhaili ketika mengukur nisab zakat pertanian menyebutkan bahwa 300 shaa' itu sama dengan 653 kg. Maka para petani yang pada saat melakukan panen, hasilnya di bawah dari 653 Kg, tidak wajib mengeluarkan zakat.

Sebenarnya versi kedua dan ketiga nyaris sama saja, karena nampaknya angka dari Wahbah Az-Zuhaili ini merupakan pembulatan ke atas dari desimal.

Namun nampaknya Dr. Wahbah Az-Zuhaili tidak termasuk mereka yang berpendapat bahwa kulit tidak perlu dihitung. Sehingga angka yang beliau sebutkan sesungguhnya angka berat makanan bersama kulit-kulitnya juga.

Thursday, March 22, 2018

HTI, Indonesia, Libya, dan Suriah

HTI, Indonesia, Libya, dan Suriah

HTI selalu mengklaim diri sebagai semata-mata organisasi dakwah Islam dan atas alasan itu, UU Ormas (kini UU) secara salah kaprah disebut anti Islam. Padahal yang disasar UU Ormas adalah ormas yang ideologinya membahayakan NKRI (anti Pancasila, pro kekerasan, dll). Tokoh ex-HTI Mereka pun mengajukan gugatan ke PTUN minta pencabutan pembubaran ormas mereka.

Untuk argumen teologis, para pakar sudah dihadirkan pihak pemerintah dalam persidangan. Tentu saja, para pakar ini dibully di medsos oleh para pembela HTI, bahkan dengan cara&tuduhan yang sangat kasar.

Untuk argumen politik, saya bisa menjelaskan, dimana bahayanya HTI, dengan cara menyimak rekam jejak mereka dalam isu Timteng.

HTI selalu mengklaim sebagai organisasi dakwah. Ini bertentangan dengan pernyataan yang dimuat di situs-situs HT di berbagai negara, termasuk Indonesia, yang secara jelas menyatakan bahwa Hizbut Tahrir adalah partai politik yang memiliki tujuan untuk mendirikan kekhalifahan Islam.

Saat diwawancarai oleh Aiman dari Kompas TV (12/6), Ismail Yusanto mengelak menjawab, bagaimana proses terbentuknya kekhilafahan serta siapa dan dari negara mana asal sang khalifah.

Pertanyaan bagaimana proses terbentuknya khilafah adalah poin yang amat krusial dalam mengetes kesahihan klaim-klaim antikekerasan yang disampaikan oleh HTI. Bila kita melacak jejak digital pernyataan-pernyataan HTI terkait upaya pendirian khilafah di Libya dan Suriah, kita justru mendapati bahwa organisasi ini menyebarkan narasi yang menyerukan kekerasan. Menurut HTI, rezim Qaddafi dan Assad adalah rezim taghut, karenanya perlu jihad untuk mendirikan khilafah di kedua negara itu.

HTI dan Libya

Pada 23 Februari 2011, Ismail Yusanto merilis siaran pers berjudul “Seruan HTI untuk Kaum Muslimin di Libya Tumbangkan Rezim Diktator, Tegakkan Khilafah”. Dalam siaran pers itu Ismail menyatakan, “penguasa Libya memimpin dengan penuh kezaliman, menggunakan tekanan, paksaan dan kekangan… rakyatnya hidup dalam kemiskinan yang sangat dan kelaparan yang tiada terkira.”

Lalu pada Agustus 2011, situs HTI merilis siaran pers ucapan selamat atas tumbangnya “rezim tiran Qaddafi”.

HTI mengabaikan data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa sebelum 2011, Libya adalah negara dengan Human Development Index (HDI) tertinggi di Afrika. Pada tahun 2010, HDI Libya berada di peringkat 57 dunia. Ini adalah posisi yang jauh lebih baik darpada Indonesia yang baru sampai di peringkat 112.

Dalam situs UNDP dicantumkan bahwa pengukuran HDI dimaksudkan untuk mengetahui kondisi kehidupan manusia, dengan berbasis tiga hal berikut ini: kehidupan yang sehat, panjang umur, dan kreatif; memiliki pengetahuan, serta memiliki akses terhadap sumber daya yang diperlukan untuk memiliki kehidupan yang layak.

Pada 2010, pendapatan penduduk per kapita Libya adalah US$ 14.582. Bandingkan dengan Indonesia pada saat itu yang hanya US$ 2.149. Warga Libya menikmati pendidikan dan layanan kesehatan gratis, serta subsidi berlimpah di sektor energi dan pangan.

Dan ironisnya, di balik seruan-seruan jihad serta gegap-gempita HTI pasca tergulingnya Qaddafi, yang terjadi di Libya sesungguhnya adalah agenda penggulingan kekuasaan yang dilakukan oleh NATO. Prosesnya diawali dengan demo-demo antipemerintah oleh para “mujahidin” Libya yang berafiliasi dengan Al-Qaidah. Lalu, setelah terjadi bentrokan senjata dengan tentara pemerintah, mereka meminta kepada PBB untuk turun tangan, mengklaim telah terjadi “kejahatan kemanusiaan”.

Hanya dalam waktu sebulan, di luar kewajaran, Dewan Keamanan PBB merilis Resolusi 1973/Maret 2011, yang memberikan mandat kepada NATO untuk memberlakukan no fly zone. Praktis resolusi ini memberi kesempatan kepada NATO untuk membombardir Libya. Negara yang pernah dijuluki “Swiss-nya Afrika” itu pun luluh lantak. Qaddafi terguling dan korporasi multinasional pun berpesta-pora karena mendapatkan proyek-proyek rekonstruksi dan eksplorasi minyak di negara yang amat kaya sumber daya alam itu.

HTI dan Suriah

Peran “mujahidin” sebagai proksi NATO di Libya kembali terulang di Suriah. Bahkan tokoh-tokoh Al-Qaidah Libya-lah yang merintis pembentukan milisi-milisi jihad Suriah. Laporan jurnalis Mary Fizgerald dari Foreign Policy menyebutkan bahwa salah satu komandan pemberontak Libya yang paling terkenal, Al-Mahdi Al-Harati, bersama lebih dari 30 milisi Al-Qaidah Libya datang ke Suriah untuk mendukung Free Syrian Army (FSA) serta membentuk milisi Liwaa Al-Ummah.

Lalu, di mana peran HTI? Sama seperti Libya, HTI menjadi cheerleader yang sangat aktif dalam menyerukan jihad Suriah. Pada Januari 2013, HTI bahkan sangat optimistis menyatakan bahwa “khilafah di Suriah sudah dekat”. Hafidz Abdurrahman, Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI, menyatakan, “Hizbut Tahrir terus bekerja keras untuk mengawal Revolusi Islam ini hingga mencapai tujuannya, yaitu tumbangnya rezim kufur Bashar, kemudian menggantikannya dengan khilafah.”

Menurut Hafidz, proses berdirinya khilafah di Suriah bisa dipercepat dengan “…melumpuhkan kekuasaan Bashar. Bisa dengan membunuh Bashar, seperti yang dilakukan terhadap Qaddafi, atau pasukan yang menopang kekuasaan Bashar.”
Dari kalimat ini terlihat bahwa metode yang diusung HTI dalam mendirikan kekhalifahan adalah metode destruktif.

Bila diamati rekam jejak narasi HTI terkait Suriah di situs-situs mereka: sangat jelas mereka memberikan dukungan kepada kelompok-kelompok teror. Ini pun sudah diakui juga secara terbuka oleh Ismail Yusanto bahwa Hizbut Tahrir pernah mengikuti sumpah setia dengan banyak kelompok “mujahidin” Suriah, termasuk dengan Al-Nusra. Pada 9 September 2014, situs HTI memuat ucapan duka cita atas tewasnya pimpinan pasukan “jihad” Ahrar Al-Sham.

Jabhah Al-Nusrah dan Ahrar Al-Sham adalah organisasi teror yang sangat brutal, yang lahir dari rahim Al-Qaidah. Situs counterextrimism.com menyebutkan bahwa Al-Nusra didirikan oleh Abu Mus’ab Al-Zarqawi yang merupakan mantan anggota HT. Kelompok Al-Muhajirun, yang dituduh bertanggung jawab atas 50% aksi-aksi teror di Inggris sejak 1995, didirikan oleh Omar Bakri Muhammad, yang juga mantan pimpinan HT.

Di Indonesia, kita mengenal nama Muhammad Al-Khaththath yang ditangkap polisi dengan tuduhan makar, serta Bahrun Naim, yang disebut-sebut sebagai dalang bom Sarinah. Keduanya adalah mantan anggota HTI.

Suriah dan Indonesia

Sejak perang Suriah dikobarkan para "mujahidin", di Indonesia pun muncul gerakan masif mengusung narasi kebencian kepada Syiah (dan parahnya, setiap orang/pihak yang sepakat dengan mereka langsung distempel Syiah). Aksi-aksi penggalangan donasi untuk Suriah dilakukan sangat gencar, dengan membawa narasi kebencian, perang Sunni lawan Syiah, mencaci ulama-ulama Suriah yang menentang "jihad", menyebarkan foto dan video palsu, dll.

Ini jelas membawa masalah besar buat Indonesia. Apa masalahnya? Karena kebencian itu bagai api, akan membakar ke segala penjuru. Dampaknya sudah sangat terasa di atmosfir Indonesia: kebencian meruyak ke segala arah; melebar ke semua isu. Fasisme atas nama agama dengan cara mengusung kebencian semakin merajalela. Isu yang dimanfaatkan bukan cuma Syiah, tapi PKI, China, dll. Dan siapa yang membawa narasi kebencian ini? Tak lain mereka yang berafiliasi dengan ormas-ormas radikal yang angkat senjata di Suriah.

Kalau mau diperdalam lagi, silahkan cek, kelompok-kelompok yang sering membawa hoax soal Suriah adalah kelompok-kelompok yang sama yang juga aktif menyebarkan hoax soal pemerintah.

Karena itu, sepatutnya melawan hoax soal Suriah gencar dilakukan, terutama oleh mereka yang mengaku aktivis anti Hoax.


Catatan Penting:

Sebenarnya yang paling awal berperan mengobrak-abrik Suriah adalah kelompok Ikhwanul Muslimin (mengaku berjihad, padahal dapat suplai dana dan senjata dari Barat). Saat inipun pasukan "jihad" terkuat di Suriah selain ISIS dan Al Qaida adalah yg berhaluan IM. IM ini ada cabangnya di Indonesia dan mendirikan partai.

#HTISudahlah

Sumber: facebook dina sulaenan

JUAL BELI MALAQIH, APA ITU?

JUAL BELI MALAQIH, APA ITU?

“Malaqih” (الملاقيح) adalah bentuk jamak dari “malquhah” (الملقوحة) atau “malquh” (الملقوح). Arti “malquhah” adalah “janin/fetus”. Dinamakan “malquhah” karena dia muncul dan hadir sebagai hasil dari pembuahan yang melibatkan “liqoh” (اللقاح)/”air mani” yang kemudian dikandung (لَقَحَتْهُ) oleh induknya.

Jual beli “malaqih” bermakna menjual janin yang masih ada dalam perut induknya. Misalnya ada orang yang memiliki unta bunting, atau sapi bunting, atau kambing bunting. Kemudian pemilik berniat menjual janin yang ada pada binatang itu. pemilik hanya berniat menjual janinnya saja, tidak berniat menjual induk yang mengandungnya.

Istilah yang semakna dengan “malaqih” adalah “madhomin” (المضامين). Lafaz “madhomin” adalah bentuk jamak dari “madh-mun” (المضمون). Lafaz “madhmun” adalah “isim maf’ul” yang bermakna “sesuatu yang dikandung”. Jadi, “madhmun” boleh juga dimaknai “janin”, karena janin adalah sesuatu yang dikandung oleh induknya. Kadang-kadang “madhmun” juga dimaknai air mani yang berada dalam tulang sulbi pejantan.


Jual beli “malaqih” dan jual beli “madhomin” semuanya terlarang dan ini adalah jual beli batil yang tidak sah jika dilakukan. Jual beli ini mengandung unsur “ghoror” (ketidak jelasan) sehingga dekat dengan jual beli yang mengandung unsur penipuan dan atau memicu perselisihan.

Rasulullah ﷺ melarang jual beli “madhomin”, “malaqih” dan “habalul habalah”. Abdur Rozzaq meriwayatkan dari Ibnu umar,

وَقَدْ نَهَيْ عَنِ الْمَضَامِينِ، وَالْمَلَاقِيحِ وَحَبَلِ الْحَبَلَةِ»

“…Sungguh, beliau (Rasulullah ﷺ ) melarang (jual beli) madhomin, malaqih dan habalul habalah…”

Terkait jual beli “habalul habalah” sudah kita buatkan catatan khusus pada artikel yang berjudul “Jual Beli “Habalul Habalah”, Apa Itu?”

Adapun jika membeli janin BESERTA induknya (bukan hanya janinnya saja), maka hal ini mubah sebagaimana mubahnya membeli rumah beserta pondasinya (meskipun tidak tahu bagaimana rupa pondasinya), atau membeli kambing sekaligus dengan air susu yang terdapat pada ambingnya (meskipun belum tahu kuantitas dan kualitas air susu tersebut). Kebolehan jual beli seperti ini sudah disepakati sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi. Beliau menulis dalam Al-Majmu’,

(فَأَمَّا) مَا تَدْعُو إلَيْهِ الْحَاجَةُ وَلَا يُمْكِنُ الِاحْتِرَازُ عَنْهُ كَأَسَاسِ الدَّارِ وَشِرَاءِ الْحَامِلِ مَعَ احْتِمَالِ أَنَّ الْحَمْلَ وَاحِدٌ أَوْ أَكْثَرُ وَذَكَرٌ أَوْ أُنْثَى وَكَامِلُ الْأَعْضَاءِ أَوْ نَاقِصُهَا وَكَشِرَاءِ الشَّاةِ فِي ضَرْعِهَا لَبَنٌ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَهَذَا يَصِحُّ بَيْعُهُ بِالْإِجْمَاعِ

‘…Adapun sesuatu yang memang dibutuhkan dan tidak mungkin dihindari, seperti (membeli) pondasi rumah (sekaligus dengan rumahnya) dan membeli hewan bunting padahal ada kemungkinan janinnya itu satu atau lebih, jantan atau betina, normal atau cacat, dan juga seperti (membeli) kambing yang dalam ambingnya (payudaranya) terdapat air susu dan semisalnya, maka jual beli seperti ini sah berdasarkan ijma’ (Al-Majmu’, juz 9 hlm 258)

Versi Situs:  http://irtaqi.net/2018/03/22/jual-beli-malaqih-apa-itu-2/

***
Muafa
4 Rojab 1439 H

Wednesday, March 21, 2018

Di Balik Keramat Kiai Siroj Payaman

Khoiron, NU Online | Jumat, 16 Maret 2018 05:30

Kiai Siroj, Payaman, Magelang yang oleh masyarakat masyhur dengan panggilan Romo Agung merupakan orang yang dikenal kewaliannya. Namun, di balik keramat yang ia miliki, ada ibadah yang sangat kuat, di luar kebiasaan orang pada umumnya. 

Satu ketika, Kiai Siroj berkunjung ke rumah salah satu temannya, KH Dardiri dari Tingkir, Kota Shalatiga. Waktu itu, desa ini masih mengikuti wilayah Kabupaten Semarang.

Di rumah Kiai Dardiri ini, selain Kiai Siroj, Payaman, ada Kiai Munajat yang turut hadir di sana. Ketiga kiai yang berkumpul dalam satu majelis tersebut mempunyai hubungan yang akrab.

Sesaat sebelum melaksanakan shalat Isya', Kiai Siroj tahu bahwa tuan rumah sedang memasak, mempersiapkan jamuan. Diperkirakan, nanti jamuan akan disajikan setelah shalat Isya' dilaksanakan sehingga pas. 

Usai shalat isya', Kiai Siroj ternyata tidak lekas beranjak dari tempat sujudnya. Ia tidak hanya shalat beberapa rakaat ba'diyah atau shalat witir. Ia menyambung dengan shalat-shalat sunah. Dua kiai lain, Kiai Dardiri dan Kiai Munajat hanya menunggu sambil berbincang bersama di luar.

Pukul 02.00 dini hari, Kiai Siroj baru selesai melaksanakan shalat-shalatnya. Ia bertanya kepada tuan rumah, "Lha, masakannya apa sudah matang?"

Sangat tampak, Kiai Siroj seperti orang yang baru melaksanakan shalat lima atau sepuluh menit. Tidak heran jika ia bertanya masakannya sudah matang apa belum. Padahal, dua kawannya yang lain sudah menunggu berjam-berjam. Oleh Kiai Siroj dikira baru beberapa menit. 

Karena Kiai Siroj sudah mencapai maqam kelezatan dalam beribadah, mencapai ekstase tinggi, shalat yang begitu lama dikira baru sebentar saja.

Tidak cukup di situ. Untuk membuktikan kewalian dan kedekatannya kepada Allah dan jauhnya hati dengan dunia, Kiai Dardiri mencoba berbisik kepada Kiai Munajat. 

"Mbah, anda ingin membuktikan nggak bagaimana cara membedakan wali atau tidak?" tanya Kiai Dardiri. 

Sejurus, Kiai Munajat menjawab, "Iya."

Habis itu, Kiai Dardiri tanya langsung kepada Kiai Siroj tadi. 

"Mbah, wedangnya sudah manis apa belum?"

Kiai Siroj tidak lekas menjawab. Padahal ia baru beberapa detik yang lalu meminumnya. Kiai Siroj mengambil gelas, diminum, seketika itu, gelas masih dalam genggaman, Kiai Siroj baru menjawab, "Oh ya, sudah manis"   

Artinya, Kiai Siroj, dalam urusan dunia seperti manisnya gula, selang beberapa detik saja sudah terlupakan. Ia tidak ingat lagi. Karena hatinya penuh dengan ingat Allah. Semua benda dunia tidak mendapat tempat di hatinya. Sebaliknya, shalat yang berjam-jam, oleh Kiai Siroj, dikira baru beberapa menit.

Jadi, di luar keramat yang dikenal masyarakat luas kala itu, ada dzikir dan ibadah yang  perlu kita teladani. Kita tidak boleh hanya takjub dengan keramatnya, namun abai terhadap amalan di balik keramat yang tampak pada seorang wali.

Cerita tersebut juga memberikan visualisasi, bagaimana Baginda Nabi Muhammad shallahu alaihi wa sallam dulu sampai bisa shalat 100 rakaat dalam semalam. Ya, bagaimanapun kalau landasannya adalah cinta yang mendominasi, yang berat terasa ringan. 

Kerja di sawah, menjadi tukang becak, tukang bangunan atau apa saja, rata-rata susah payah secara fisik. Namun  karena dilandasi cinta, tidak begitu terasa. Capeknya adalah nikmat. Seperti pengantin baru yang dicubit pasangannya, sesakit apa pun, ia tidak memandang itu sakit, tapi nikmat karena dilandasi cinta yang kuat. 

Demikian orang yang cinta kepada Allah, capeknya shalat tidak terasa. Adapun yang shalat hanya dua menit setengah sudah merasa capek atau justru malas melakukan, cintanya kepada Allah perlu dipertanyakan. (Ahmad Mundzir

Monday, March 19, 2018

HIKAYAT SEORANG WANITA YANG MEMBACA SURAT AL IKHLASH SETIAP HARI DI BULAN RAJAB

*HIKAYAT SEORANG WANITA YANG MEMBACA SURAT AL IKHLASH SETIAP HARI DI BULAN RAJAB*

HIKAYAT SEORANG WANITA YANG MEMBACA SURAT AL IKHLASH SETIAP HARI DI BULAN RAJAB

Pertama:

Dari Kitab Mukasyafatul Qulub halaman 255, karya Imam Ghazali:

وَحُكِيَ أَنَّ امْرَأَةً فِيْ بَيْتِ الْمَقْدِسِ كَانَتْ تَقْرَأُ كُلَّ يَوْمٍ مِنْ رَجَبٍ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ اِثْنَتَيْ عَشْرَةَ أَلْفَ مَرَّةٍ وَكَانَتْ تَلْبَسُ الصُّوْفَ فِيْ شَهْرِ رَجَبٍ فَمَرِضَتْ وَأَوْصَتْ اِبْنَهَا أَنْ يَدْفِنَ مَعَهَا صُوْفَهَا فَلَمَّا مَاتَتْ كَفَّنَهَا فِيْ ثِيَابٍ مُرْتَفِعَةٍ فَرَآهَا فِيْ مَنَامِهِ تَقُوْلُ لَهُ أَنَا عَنْكَ غَيْرُ رَاضِيَةٍ لِأَنَّكَ لَمْ تَعْمَلْ بِوَصِيَّتِيْ فَانْتَبَهَ فَزِعًا وَأَخَذَ صُوْفَهَا لِيَدْفِنَهُ مَعَهَا فَنَبَشَ قَبْرَهَا فَلَمْ يَجِدْهَا فِيْهِ فَتَحَيَّرَ فَسَمِعَ نِدَاءً أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ مَنْ أَطَاعَنَا فِيْ رَجَبٍ لَا نَتْرُكُهُ فَرْدًا وَحِيْدًا

Diceritakan, bahwa ada seorang wanita di Baitul Maqdis. Dia membaca surat QUL HUWALLAAHU AHAD setiap hari 12000 kali di bulan Rajab, dan di bulan Rajab tsb ia mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu kambing (shuf) .

Pada suatu ketika dia jatuh sakit dan berwasiat pada anak laki-lakinya, apabila dia mati supaya dikubur bersama pakaiannya yang terbuat dari bulu

Dan ketika ibunya meninggal, si anak mengkafani jenazah ibunya dengan pakaian yang mahal.

Syahdan, si anak bermimpi melihat ibunya berkata padanya : “Wahai anakku, aku tidak ridha kepadamu, karena kamu tidak melaksanakan wasiatku”

Maka si anakpun kaget dan terbangun dari tidurnya. Ia cepat-cepat mengambil pakaian shuf ibunya untuk ia qubur bersama ibunya

Lalu iapun menggali kembali kuburan ibunya, namun dia tidak mendapati ibunya didalam kuburnya. Diapun bingung sekali, tiba-tiba mendengar suara yang berkata : “Tidaklah engkau tahu, bahwa barang siapataat kepada kami di bulan Rajab maka tidak akan kami tinggalkan sendirian di dalam kuburnya”.

Kedua:

Dari Kitab Durratunnasihin halaman 43-44, karya Syeikh Utsman bin Hasan al Khaubari:

حُكِيَ أَنَّ امْرَأَةً فِيْ بَيْتِ الْمَقْدِسِ كَانَتْ عَابِدَةً إِذَا جَاءَ رَجَبُ تَقْرَأُ كُلَّ يَوْمٍ (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ) اِثْنَتَيْ عَشْرَةَ مَرَّةً تَعْظِيْمًا لَهُ وَكَانَتْ تَنْزِعُ اللِّبَاسَ الْأَطْلَسَ وَتَلْبَسُ ثَوْبَ الْبَلَاسَ

Diceritakan, bahwa di Baitul Maqdis ada seorang perempuan ahli ibadah, jika tiba bulan Rajab, ia membaca surat QUL HUWALLAAHU AHAD setiap hari 12 kali. Dia melepas pakaian lusuhnya dan berganti mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu.

فَمَرِضَتْ فِيْ رَجَبَ وَأَوْصَتْ اِبْنَهَا أَنْ يَدْفِنَهَا مَعَ بَلَاسِهَا فَكَفَّنَهَا اِبْنُهَا فِيْ ثِيَابٍ مُرْتَفِعَةٍ رِيَاءَ النَّاسِ

Pada suatu ketika dalam bulan Rajab, ia jatuh sakit dan berwasiat pada puteranya, apabila ia mati supaya dikubur bersama pakaiannya yang terbuat dari bulu, akan tetapi si anak mengkafani jenazah ibunya dengan pakaian yang mahal, dengan tujuan pamer kepada orang-orang.

فَرَآهَا فِي الْمَنَامِ فَقَالَتْ يَا بُنَيَّ لِمَ لَمْ تَأْخُذْ بِوَصِيَّتِيْ إِنِّيْ غَيْرُ رَاضِيَةٍ عَنْكَ

Syahdan, si anak bermimpi melihat ibunya berkata padanya : “Wahai anakku, kenapa engkau tidak melaksanakan wasiatku? Sesungguhnya aku tidak ridha kepadamu”.

فَانْتَبَهَ فَزِعًا وَنَبَشَ قَبْرَهَا فَلَمْ يَجِدْهَا فِيْ قَبْرِهَا وَتَحَيَّرَ وَبَكَى بُكَاءً شَدِيْدًا

Maka si anak kaget dan terbangun dari tidurnya. Dia cepat-cepat menggali kembali kuburan ibunya, namun dia tidak mendapati ibunya didalam kuburnya. Diapun bingung dan menangis sejadi-jadinya

فَسَمِعَ نِدَاءً يَقُوْلُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ مَنْ عَظَّمَ شَهْرَنَا رَجَبَ لَا نَتْرُكُهُ فِي الْقَبْرِ فَرِيْدًا وَحِيْدًا

dan diapun mendengar suara yang berkata : “Tidaklah engkau tahu, bahwa barang siapa yang mengagungkan bulan kami, bulan Rajab maka tidak akan kami tinggalkan sendirian di dalam kuburnya”.

NB : Semua Ulama telah sepakat, bahwa utk fadhoilul a'mal (amalan-amalan yang Soleh) boleh menggunakan semua mcm derajat hadist, termasuk dhoif.

*Walloohu a'lamu bish-showaab*

Sunday, March 18, 2018

Bulan Rajab, Kisah Beserta Amalan.

Bulan Rajab, Kisah Beserta Amalan.
___________________________________
18 - 03 -2018 (jatuh nanti malam)

Suatu hari Nabi ‘Isa ‘Alaihisholatuwassalam lewat pada suatu hutan, dan dalam perjalanya melewati sebuah gunung yang bersinar terang benderang, maka Nabi ‘Isa memohon kepada ALloh subhanahu wata’ala,
“Ya Robbi, semoga saya di perkenankan bercakap dengan gunung ini!”.

Maka gunung itupun berbicara;

"Ya RukhuLloh! Menghendaki apakah engkau wahai Utusan ALloh?”,

Nabi ‘Isa pun berbicara.
“saya mau tau khabar tentang dirimu?, kenapa dirimu sangat bercahaya sekali?”.

Gunung berbicara;

“di dalam diri saya ini terdapat seorang laki - laki yang ahli ibadah (Rojul ‘Abid).

Nabi ‘Isa lalu berdo’a;

“ya Robb, keluarkanlah (Rojul ‘Abid) ini”

Maka seketika itu gunung langsung pecah dan keluarlah seorang laki laki yang sudah sangat tua dan di dalam wajahnya memancarkan aura yang sangat mengagumkan. Maka Nabi ‘Isa ‘Alaihissalam bertanya kepadanya.

“ya Syaikh, berkatalah kepadaku tentang keadaanmu ,gerangan apakah menyebabkan diri anda di beri keistimewaan oleh Alloh Subhanahu wata’ala?”

Syaikh itupun angkat bicara,;

” Ya Nabi ‘Isa, saya itu adalah kaumnya Nabi Musa ‘Alaihissalam, saya berdo’a agar supaya di beri umur panjang oleh ALloh subhanahu wata’ala dan di beri kesempatan untuk menjadi ummatnya Nabi Muhammad sollaLlohu “alaihi wasallam.

Dan sekarang ini saya sudah beribadah 600 tahun berda di dalam gunung ini.

Lalu Nabi ‘Isa bermunajat kepada Alloh subhanahu wata’ala.

“Ya Robbi, apakah ada seseorang yang lebih mulia di bumi ini yang melebihi hamba (Rojul ‘Abid) Mu itu?”

Maka ALlohpun menjawab Nabi ‘Isa Alaihissalam.

“Ya ‘Isa, orang yang puasa di bulan rojab satu hari dari ummatnya Nabi Muhammad itu lebuh mulia dari pada (Rojul ‘Abid) itu.” _[di sadurkan dari buku/ kitab lathoifnya Mbah sholeh bin umar darat semarang, hal 87.]
Tentang bulan yang di muliakan kita coba lihat referensi dari Al Qur’an:
Surat Baroah/ AT Taubah 36;

36. Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram[640]. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri[641] kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
[640] Maksudnya antara lain Ialah: bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah Haram (Mekah) dan ihram.

"Semoga kita di beri kekuatan oleh Alloh untuk memuliakan dan mengamalkan amalan -amalan terutama puasa dalam bulan Rajab ini, Amin ya Robbal 'alamin.

Thursday, March 15, 2018

Resep Untuk Bertemu Rasulullah SAW Dari Al Habib Umar Bin Hafidz

Resep Untuk Bertemu Rasulullah SAW Dari Al Habib Umar Bin Hafidz

سئل شيخنا المربي سيدي الحبيب عمر بن حفيظ حفظه الله واطال بعمره في المدينة المنورة ليلة العيد عام 1417هـ :

Guru kami, al murabby, Sayyidi Al Habib Umar ditanyai saat berada di Madinah Munawwaroh, Malam 'ied tahun 1417 H:

كيف نرى النبي صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم في المنام واليقظة؟

Bagaimana caranya kita dapat melihat Nabi shallallahu alaihi wa alihi washahbihi wasallam, baik dalam keadaan tidur maupun terjaga?

فأجاب: ازدد شوقا

Beliau pun menjawab: Tambahkan rasa rindumu

ازدد ولعا

Tambahlah kobaran cintamu

احمل همه

Embanlah tugas dakwahnya

قف على بابه بالادب

Berdirilah di depan pintunya dengan penuh adab

وستراه 

وستراه

وستراه

Kamu pasti akan melihatnya...! Pasti akan melihatnya...! Pasti akan melihatnya...!

وأضاف قائلاً : كلما أدخلتَ أدبًا من آدابه في ذاتك.. انفتحت لك باب الرؤية، شعرت أو لم تشعر،

Habib Umar juga berkata, "Tiap kali kau menjaga adab-adab Nabi Saw. dalam dirimu, peluang untuk melihatnya makin terbuka. Kau sadari atau tidak"

فإذا تكاثرت أنوار آدابه فيك.. تجلت لك الذات النبوية المصطفوية..

Jika cahaya adab-adabnya semakin banyak dalam dirimu, maka akan tampak bagimu Dzat Nabi yang terpilih Saw.

اللهم أكرمنا بالنظر إلى وجه حبيبك المصطفى ...

صلى الله عليه واله وسلم ،،،

Ya Allah, muliakan kami dengan memandang wajah kekasih-Mu.

‎يالله بالتوفيق حتى نفيق ونلحق الفريق

Mudah-mudahan kita mendapat taufiq sehingga kita bisa di golongkan dengan orang-orang sholeh...

Wallahu a'lam Bishowab

Allahuma sholii 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim

Nasab Itu Ada dua, Nasab keturunan dan Nasab keilmuan – KH. Maimun Zubair

KH Maimoen Zubair sekarang ini adalah ulama sepuh yang sangat disegani. Beberapa petikan pendapat hasil wawancara ini kami sajikan  untuk dijadikan pedoman bagi umat Islam, utamanya soal kerukunan antar anak bangsa di negara tercinta Indonesia.

Nasab ada dua; keilmuan dan keturunan. Segala pengetahuan maka itu adalah keilmuan. Ukuran keilmuan adalah kembalinya kepada Al-Quran yang utama.Masa sekarang, tidak lagi memikirkan hadist atau bukan. Agama itu rasio. Ada dalil aqli dan naqli. Selama dalil aqli tidak bertentangan dengan naqli, maka bisa dijadikan hukum.Sanad keilmuan itu penting. Karena itu pokok dan menjadi syarat bahwa ilmu itu benar-benar berasal dari Nabi Muhammad, Sang sumber ilmu.Zaman sekarang, banyak orang paham Al-Quran dari terjemahan. Malah terkadang hafal Al-Quran tidak tahu artinya. Dulu, orang hafal Al-Quran pasti alim, tapi sekarang yang hafal Al-Quran umumnya justru malah perempuan. Kita harus hati-hati. Jangan berkiblat pada terjemah Al-Quran atau kitab, apalagi internet.Ini akhir zaman, orang Islam pintar-pintar karena pakai huruf latin atau terjemahan. Jarang sekali ada skripsi pakai Bahasa Arab. Jadi, yang baru harus kita terima, tapi yg dulu harus kita pertahankan. Itu sudah qodho’ Allah.Sekarang, tidak ada negara khilafah. Semua negara nasional. Dulu, orang haji semua pakai bendera Islam. Tapi sekarang, semua pakai bendera nasional masing-masing.Kita harus junjung tinggi bangsa ini. Nabi sendiri menjunjung tinggi Bangsa Arab, karena nabi orang Arab. Sehingga Arab menjadi penguasa dan panutan bagi bangsa-bangsa lain.Syiir syubbanul wathon itu karya Mbah Wahab. Saya dapatkan dari abah saya, abah saya dari Mbah Wahab. Pertama kali saya berikan kepada Nusron, ketua GP Anshor saat itu. Karena segala perubahan itu berawal dari anak muda. Indonesia merdeka karena semangat pemuda pada 28 Oktober.Selisih itu bawaan manusia. Kalau ingin maju, buat bersatu tapi tetap boleh beda. Itulah konsep Bhinneka Tunggal Ika. Kalau hanya Islam, tidak akan mampu mempersatukan Indonesia. Nasional harus kita samakan dengan keislaman. Sehingga beda tapi sama, sama tapi beda.Semua agama menunjukkan kebaikan. Sebab agama itu punya 4 titik kesamaan;Pertama, menjaga jiwa. Kedua, menjunjung akal. Ketiga, melestarikan keturunan. Keempat, menjaga bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang paling mulia.Ahok sudah minta maaf. Kita minta seluruh umat Islam untuk tenang dan meredam amarah. Jangan dibesar-besarkan. Jika bisa diredam maka persatuan juga bisa dijaga. Jika umat islam Jakarta memang tak mau memilihnya karena faktor agama, ya jangan dibesar-besarkan sehinggu memicu isu SARA.

Ini adalah resume wawancara dengan KH Maimoen Zubair, Sarang, Rembang. Sumber Majalah Aula, Edisi November 2016 via dutaislam.com

Sunday, March 11, 2018

Hormat tamu yai jazuli ploso

”Alhamdulillah , enek tamu. Nyai mesti engko mbeleh pitik.”
Itulah dawuh Mbah Yai Djazuli kepada istrinya ketika melihat ada tamu yang datang. 

Kata-kata itu bukan sekedar basa-basi.  Ibu Nyai benar-benar menyuguhkan hidangan istimewa kepada tamu yang datang.  Padahal,  biasanya hidangan yang disantap keluarga Mbah Yai Djazuli setiap hari dapat dikatakan sangat sederhana.

Jangankan yang jelas-jelas mampir ke kediaman beliau sebagai tamu, bahkan ada Kiayi lewat di jalan saja, Mbah Djazuli sudah kelihatan repot.  Dilaporkannya kiayi tersebut pada isterinya, “Belehno pitik, Mengko ta stop.” Kata beliau. Tak ayal lagi bila kiayi tadi kembali, akan dihadang oleh Mbah Yai Djazuli seperti polantas menghadang kendaraan di jalan.

Beliau Mbah Yai Djazuli sangat menghormati tamu.
Memulyakannya, dan berusaha memberikan layanan terbaik adalah kewajiban. Beliau selalu memberikan suguhan istimewa, mengenakan pakaian terbaik untuk menyambut tamu, dan dengan perasaan gembira mengajak tamu bercakap-cakap ramah. Bahkan tak jarang ketika tamu hendak pulang, Mbah Yai Djazuli memberinya amplop berisi uang. Walaupun Mbah Yai Djazuli sendiri tergolong orang yang tidak mampu.

Inilah salah satu sifat Mbah Yai Djazuli yang sangat istimewa.

Jika anda mengaku santri dan murid beliau, maka mencontoh karakter beliau adalah suatu keharusan.

Sunday, March 4, 2018

MENGENAL KITAB “RIYADHU ASH-SHOLIHIN” KARYA AN-NAWAWI

MENGENAL KITAB “RIYADHU ASH-SHOLIHIN” KARYA AN-NAWAWI

Kitab “Riyadhu Ash-Solihin” adalah di antara kitab karya An-Nawawi yang paling populer. Nama lengkapnya, “Riyadhu Ash-Sholihin Min Kalami Sayyidi Al-Mursalin”(رياض الصالحين من كلام سيد المرسلين). Lafaz “riyadh” adalah bentuk jamak dari kata “roudhoh’ yang bermakna taman. “Sayyidu al-mursalin” bermakna pemimpin para rasul, yang dalam hal ini dimaksudkan Nabi Muhammad ﷺ karena beliau memang menjadi penghulu para utusan. Jadi makna bebas “Riyadhu Ash-Sholihin Min Kalami Sayyidi Al-Mursalin” adalah taman orang-orang salih yang dipetik dari sabda pemimpin para rasul, yakni Nabi Muhammad ﷺ. Tasybih (penyerupaan) hadis Nabi dengan taman barangkali didasarkan pada riwayat yang mengkatakan bahwa majelis ilmu yang membahas dien disebut Rasulullah ﷺ sebagai “riyadhul jannah” (taman-taman surga).

Kitab ini ditulis An-Nawawi saat usia beliau kira-kira menjelang 40 tahun dan selesai pada hari Senin tanggal 4 Ramadhan tahun 670 H di Damaskus.

Kitab ini sangat populer bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Ribuan masjid mengkajinya, ribuan lembaga pendidikan menjadikannya sebagai kitab wajib, dan jutaan rumah mengoleksinya. Memang, setiap rumah sudah sepantasnya memiliki kitab ini untuk kebaikan dien mereka.


Adz-Dzahabi merekomendasikan kitab ini bersama dengan Al-Qur’an, shahih Bukhari dan Sunan An-Nasai. Beliau menulis,

فَعَلَيْك يَا أَخِي بتدبُّر كِتَاب اللهِ، وَبإِدمَان النَّظَر فِي “الصَّحِيْحَيْنِ” و”سنن النسائي”، و”رياض النواوي” و”أذكاره”، تُفْلِحْ وَتُنْجِحْ

“Engkau wahai saudaraku, renungilah Kitabullah dan terus-meneruslah mengkaji Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan An-Nasai, Riyadhu Ash-Sholihin, dan Al-Adzkar. Niscaya engkau akan beruntung dan berhasil ” (Siyaru A’lami An-Nubala’, juz 1, hlm 89)

Adapun isinya, kitab “Riyadhu Ash-Sholihin” memuat hadis-hadis yang mengandung soal akidah, ibadah dan kehidupan sehari-hari. Jika dilihat dari muqoddimah yang ditulis oleh An-Nawawi, tujuan penulisan buku ini adalah untuk menuntun kaum muslimin agar bisa beribadah dengan baik dan zuhud terhadap dunia dengan cara bertaaddub (mengusahakan untuk memiliki “good manners”) dengan adab-adab yang diajarkan Rasulullah ﷺ. Dengan begitu, seorang hamba beriman akan memiliki pelita pada saat berjalan menuju akhirat dan menggiring pembacanya untuk berbuat kebaikan dan mencegah mereka berbuat keburukan dan hal-hal yang bisa membinasakan.

Karena itulah, isi hadis-hadis yang disajikan An-Nawawi adalah hadis-hadis yang menguatkan iman kepada Allah, menguatkan hubungan dengan Allah, menguatkan ikhlash dalam ibadah, menanamkan rasa cinta pada Nabi, menanamkan rasa hormat pada Nabi, menanamkan semangat berteladan kepada beliau, menanamkan semangat berpegang teguh dengan sunnahnya, menyucikan jiwa dan membenahinya, membersihkan hati dan mengobatinya, dan menjaga anggota badan dari maksiat dan meluruskannya. Bisa dikatakan kitab ini menghimpun adab lahir dan adab batin, menghimpun targhib dan tarhib.

Kitab ini berisi hampir 2000 hadis yang dikelompokkan dalam bab-bab dan subbab-subbab tertentu. Sanadnya dibuang dan secara umum disisakan perawi shahabat saja. Hadis-hadisnya dipetik An-Nawawi dari Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan An-Nasai, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah dan sejumlah kitab hadis yang lain.

An-Nawawi menggolongkan topik-topik kitab ini menjadi 17 bab/“chapters”, dan 372 subbab. Secara tidak sengaja, jumlah bab kitab ini hampir sama dengan jumlah hari dalam setahun. Artinya, jika dalam sehari dibahas satu bab, maka setahun insya Allah semuanya khatam. Ijtihad singkat An-Nawawi dalam memahami dalil dan hadis dalam kitab ini tercermin dari pemilihan kalimat saat membuat judul-judul bab atau subbab.

Semua hadisnya sahih, kecuali sedikit sekali yang statusnya diperselisihkan. An-Nawawi sendiri menegaskan dalam muqoddimah bahwa beliau memetik hadis-hadis yang ditulisnya dari riwayat-riwayat sahih dan hanya menukil hadis sahih saja. Hanya saja istilah sahih yang dipakai An-Nawawi adalah istilah ahli hadis generasi awal yang bermakna hadis kuat yang mencakup hadis sahih dan hasan. Ini berbeda dengan istilah Al-Bukhori yang diikuti At-Tirmidzi yang membedakan hadis sahih dengan hadis hasan.

Hanya saja klaim sahih ini tidak semua disetujui. Di antara ulama yang mengkritisi sebagian hadis-hadis An-Nawawi dan menilai di dalamnya ada hadis dhoif dan munkar adalah Nashiruddin Al-Albani. Dalam cetakan Al-Maktab Al-Islami, Al-Albani menyebut ada 40 hadis yang “bermasalah” dalam penilaian beliau. Dalam hal ini Al-Albani tidak sendiri. Syu’aib Al-Arnauth juga berpendapat senada. Dalam hitungan beliau angkanya malah mencapai 46 hadis “bermasalah”.

Diduga yang meyebabkan An-Nawawi memasukkan hadis-hadis yang dianggap “bermasalah” tersebut dalam kitab ini adalah karena beliau bertumpu pada penilaian tashih dan tahsin At-Tirmidzi, dan diamnya Abu Dawud sebagaimana beliau nyatakan dalam muqoddimah kitab Al-Adzkar. Jadi, An-Nawawi tidak selalu melalukan penelitian terfokus untuk benar-benar melakukan tahqiq kualitasnya. Sikap semacam ini kebanyakan juga diambil oleh mayoritas fuqoha’ mutaakhirin. Jarang ada fuqoha sekaligus ahli hadis yang benar-benar meneliti hadis-perhadis sebagaimana yang dilakukan Ibnu Hajar Al-‘Asqolani. Bisa juga sebabnya adalah karena An-Nawawi memang sengaja melakukan “ighfal” (pengabaian) penelitian kualitas hadis sebagaimana beliau isyaratkan dalam muqoddimah Al-Adzkar. Entah mengapa beliau melakukan “ighfal” ini. Barangkali sebabnya karena beliau belum mendapati ulama hadis yang menjelaskan kualitasnya sementara waktu yang beliau miliki belum memungkinkan untuk meneliti serius hadis-hadis tersebut.

Al-Albani juga mengkritik klaim An-Nawawi pada sejumlah hadis yang disebut An-Nawawi memiliki sejumlah sanad, sementara faktanya sebenarnya hanya satu sanad dan hanya mencabang menjadi banyak melalui satu perowi tertentu saja. Kritikan seperti ini bukan Al-Albani yang mengawali, tetapi sudah pernah dilakukan oleh ulama yang semazhab dengan An-Nawawi yaitu Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, sebagaimana yang beliau tulis dalam kitab “Nata-ij Al-Afkar” yang mentakhrij kitab “Al-Adzkar”. Jadi, dengan perspektif husnuzhon, jika An-Nawawi mentakhrij sebuah hadis dengan kata-kata bahwa hadis tersebut diriwayatkan dengan banyak sanad, maka hal itu bisa dipahami sebagai istilah khusus beliau, yakni beliau memaksudkan hadisnya masyhur secara relatif, yakni populer dimulai dari perawi tertentu.

Al-Albani juga meluruskan sejumlah waham lafaz hadis yang ada dalam “Riyadhu Ash-Sholihin” yang “maqlub” (terbalik) atau hilang karena memang tidak sesuai dengan lafaz yang terdapat dalam ummahat kutub hadis.

Catatan lain Al-Albani, ketika An-Nawawi menisbatkan hadis ke Bukhari yang “mu’allaq”, seharusnya An-Nawawi tidak menisbatkannya tanpa keterangan sehingga bisa disangka itu riwayat yang disepakati kesahihannya. Seharusnya An-Nawawi menyebutkan itu “mu’allaq”, karena riwayat-riwayat “mu’allaq” Al-Bukhari bukan riwayat yang disepakati kesahihannya secara mutlak.

Adapun riwayat-riwayat dalam “Riyadh Ash-Sholihin”, maka mayoritas adalah hadis- hadis Nabi ﷺ. Sedikit saja yang merupakan ucapan dan perbuatan shahabat.


Tiap topik diawali An-Nawawi dengan menulis ayat-ayat Al-Quran yang relevan dan berhubungan dengan topik tersebut. Hal ini wajar karena memang secara prinsip, hadis Nabi ﷺ adalah penjelas Al-Qur’an. Jika ada kata yang perlu “dhobth” maka An-Nawawi menjelaskannya. Jika ada kata yang perlu syarah makna maka An-Nawawi juga menjelaskannya. Setelah itu An-Nawawi menulis hadis-hadis yang terkait dengan topik pada judul bab/subbab. Metode penulisan seperti ini, yakni mengawali pembahasan topik judul bab dengan Al-Qur’an disusul Al-Hadis adalah metode Al-Bukhari. Bisa dikatakan An-Nawawi meniru Al-Bukhori dalam metode penulisan “Riyadhu Ash-Sholihin”.

Sejumlah ulama telah memberikan perhatian terhadap kitab ini dengan menyusun syarah. Di antara syarah yang terkenal adalah syarah Ibnu ‘Allan (w.1057 H) yang bernama “Dalilu Al-Falihin li Thuruqi Riyadhi Ash-Sholihin”. Syarah ini cukup bagus dan cukup padat penjelasannya. Kekurangannya, dalam menukil lafaz hadis kadang lafaznya tidak akurat/persis seperti yang tercantum dalam kitab-kitab hadis. Ada kesan Ibnu ‘Allan kurang meneliti akurasi lafaz hadis sebagaimana ditunjukkan Al-Albani saat menulis muqoddimah Riyadhu Ash-Sholihin yang mana Ibnu ‘Allan tidak mengetahui ada lafaz “maqlub” dalam matan “Riyadh Ash-Sholihin” dan mensyarah secara keliru berdasarkan lafaz “maqlub” tadi.

Syarah lain untuk kitab ini adalah “Tathriz Riyadh Ash-Sholihin” karya Faishol Al-Mubarok (w.1376 H). Hanya saja syarah ini sifatnya singkat, tidak sedalam dan seluas kitab “Dalilu Al-Falihin”.

Syarah lain untuk kitab ini adalah “Nuzhatu Al-Muttaqin” karya Mushthofa Al-Khin dkk, “Bahjatu An-Nazhirin” karya Al-Hilali, “Roudhotu Al-Muttaqin” karya Abdul Qodir Hassunah, “Al-Fathu Al-Mubin” karya Thoha Abdur Rouf , “Rouh Wa Royahin” karya Abdul Hadi Al-Bustani, “Al-Fawa-id Al-Mutro’ah Al-Hiyadh” karya Ibnu Kamal Basya, “Ithafu Al-Muhibbin bi Tartibi Riyadhu Ash-Sholihin” karya Muhammad Nu’aim Sa’i, syarah Ibnu Al-Utsaimin, dan “Kunuzi Riyadhi Ash-Shilihin” karya Hamd Al-‘Ammar dkk. Yang terakhir ini adalah syarah yang paling luas karena mencapai 22 jilid.

Banyak yang menerbitkan kitab ini seperti cetakan pribadi Ridhwan Muhammad Ridhwan, Al-Miriyyah, Dar Al-Kutub Azh-Zhohiriyyah, Dar Ar-Royyan, Dar Al-Ma’mun, Dar Ibni Katsir atas jasa tahqiq Mahir Yasil Al-Fahl, Al-Maktab Al-Islami atas jasa takhrij Nashiruddin Al-Albani, dan lain-lain.
Mu-assasah Ar-Risalah mencetak kitab ini atas jasa tahqiq Syu’aib Al-Arnauth dengan ketebalan 541 halaman.

رحم الله النووي رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين

Versi Situs: irtaqi.net/2018/03/04/mengenal-kitab-riyadhu-ash-sholihin-karya-nawawi/

***
Muafa
15 Jumada Ats-Tsaniyah 1439 H

Saturday, March 3, 2018

Sebab Tidak Mendapat Manfa'at Dari Ilmu

Sebab Tidak Mendapat Manfa'at Dari Ilmu

وَقِيلَ لِبَعْضِ الْحُكَمَاءِ : مَا لَنَا نَسْمَعُ الْعِلْمَ وَلَا نَنْتَفِعُ بِهِ ؟ فَقَالَ لَهُمْ لِخَمْسِ خِصَالٍ :

Ditanyakan kepada sebagian ulama' ahli hikmah :
"mengapa kami mendengar ilmu namun tidak mendapat manfa'at dengannya? "

Ulama' tsb menjawab : "itu karena 5 hal :

أَوَّلُهَا : قَدْ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَلَمْ تَشْكُرُوهُ.

Pertama : Allah telah memberi kenikmatan kepada kalian, namun kalian tidak mau bersyukur kepada-Nya.

وَالثَّانِي : إِذَا أَذْنَبْتُمْ فَلَمْ تَسْتَغْفِرُوهُ.

Kedua : ketika kalian melakukan dosa, kalian tidak mau beristighfar kepada-Nya.

وَالثَّالِثُ : لَمْ تَعْمَلُوا بِمَا عَلِمْتُمْ مِنَ الْعِلْمِ.

Ketiga : kalian tidak mengamalkan ilmu yg kalian ketahui.

وَالرَّابِعُ : صَحِبْتُمُ الْأَخْيَارَ وَلَمْ تَقْتَدُوا بِهِمْ.

Keempat : kalian berteman dengan orang2 pilihan namun kalian tidak mengikuti tingkah laku mereka.

وَالْخَامِسُ : دَفَنْتُمُ الْأَمْوَاتَ فَلَمْ تَعْتَبِرُوا بِهِمْ.

Kelima : kalian mengubur orang2 yg meninggal, namun kalian tidak mengambil pelajaran dengannya."

Wallohu a'lam.

Friday, March 2, 2018

MENGENAL KITAB HASYIYAH AL-BAJURI

MENGENAL KITAB HASYIYAH AL-BAJURI

Mana pelafalan yang lebih tepat antara Al-Bajuri ataukah Al-Baijuri sudah pernah saya buatkan catatan dalam artikel berjudul “Al-Bajuri Ataukah Al-Baijuri?”. Fokus kita kali ini bukan pada “dhobth” nama Al-Bajuri, tetapi pada resensi bukunya.

Secara genealogis, “Hasyiyah Al-Bajuri” sebenarnya berasal dari Matan Abu Syuja’ yang telah saya buatkan catatannya dalam artikel berjudul “Mengenal Matan Abu Syuja’”. Matan Abu Syuja’ yang sangat terkenal dikalangan Asy-Syafi’iyyah ini memiliki syarah yang juga sangat terkenal dan banyak dipelajari di masyarakat yang bernama “Fathu Al-Qorib’ karya Ibnu Qosim Al-Ghozzi (w.918 H). Nah, kitab “Fathu Al-Qorib” inilah yang dibuatkan Hasyiyah oleh Al-Bajuri sehingga karyanya kemudian terkenal dengan nama Hasyiyah Al-Bajuri (حاشية الباجوري).

Pengarang kitab ini bernama Ibrohim Al-Bajuri atau secara singkat bisa disebut Al-Bajuri. Nama lengkap beliau; Burhanuddin Abu Ishaq Ibrohim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri Al-Manufi Al-Mishri. Beliau lahir pada tahun 1197 H. Di usia 14 tahun beliau sudah masuk ke Al-Azhar dan belajar di sana. Dengan ketekunannya dalam belajar dan bermulazamah dengan sejumlah syaikh, akhirnya beliu naik sampai ke derajat Syaikhul Azhar Asy-Syarif di zamannya. Beliau sempat mengalami masa penjajahan Prancis di Mesir yang dipimpin oleh Napoleon. Di antara murid Al-bajuri yang terkenal adalah Rifa’ah Ath-Thohthowi.

Adapun motivasi penulisan hasyiyah ini, hal itu ditulis Al-Bajuri dalam muqoddimah kitabnya. Al-Bajuri melihat Matan Abu Syuja’ adalah mukhtashor yang penuh berkah dan banyak dimanfaatkan. Demikian pula syarahnya yang bernama “Fathu Al-Qorib”. Termasuk pula hasyiyah “Fathu Al-Qorib” yang bernama “Hasyiyah Al-Birmawi”. Hanya saja, beliau melihat dalam “Hasyiyah Al-Birmawi” ini masih banyak ungkapan-ungkapan yang tidak mudah dipahami untuk pelajar pemula. Oleh karena itu, setelah melihat problem ini, beliau didorong berkali-kali oleh kolega dan ulama sezamannya untuk membuat hasyiyah dengan bahasa yang enak dan mudah dicerna oleh para pemula dan beliaupun tergerak untuk melakukannya. Karena itu lahirlah “Hasyiyah Al-Bajuri”.

Hasyiyah Al-Bajuri populer di masyarakat karena bahasanya enak, indah dan mudah dicerna. Kemudahan bahasa ini menjadi salah satu ciri yang menonjol dari kitab ini sekaligus menjadi keistimewaannya jika dibandingkan dengan hasyiyah-hasyiyah yang lain.

Keistimewaan lain “Hasyiyah Al-Bajuri” adalah menjelaskan semua istilah dalam berbagai bidang ilmu sehingga akan sangat memudahkan pembacanya untuk memahami isinya. Jika ada “illat shorf” pada sebuah kata, maka Al-Bajuri akan menjelaskan wazannya, proses i’lalnya, proses ibdalnya, proses pembentukan jamaknya, asal mufrodnya, bentuk mudzakkarnya, dan bentuk muanntasnya. Jika ada ungkapan yang salah dalam “Fathu Al-Qorib” maka beliau mengoreksinya. Jika ada ungkapan yang kurang jelas maka beliau memperjelasnya. Jadi, “Hasyiyah Al-Bajuri” itu detail, padat isi, dan luas jangkauannya.

Keistimewaan yang lain, meskipun kitab ini dinamai hasyiyah, tapi secara fakta justru malah lebih dekat ke syarah. Syarah lebih mudah “ditelan” oleh pemula daripada hasyiyah. Oleh karena itu hasyiyah Al-Bajuri tidak mensyaratkan pengkajinya harus mencapai level “expert” dalam mazhab Asy-Syafi’i untuk memahaminya.

Sudah dikenal sejak zaman dulu bahwa pelajar pemula akan dianggap menyia-nyiakan waktu jika langsung mencoba menelaah hasyiyah. Hal itu karena ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam hasyiyah memang diperuntukkan untuk pengkaji fikih level tinggi. Bagi pemula, seharusnya mereka mempelajari matan/muktashor dan menghafalnya bukan langusng mengkaji hasyiyah. Ahmad bin Hasan Al-‘Atthos (w.1334 H) berkata,

من قرأ الحواشي ما حوى شي

“Barangsiapa (di kalangan pemula) mengkaji hasyiyah, maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa”

Hasyiyah hanya akan bermanfaat bagi orang yang level keilmuannya sudah tingkat lanjut/advanced, karena hal-hal yang umumnya sudah diketahui oleh pelajar tingkat lanjut tidak akan diterangkan oleh pengarang hasyiyah. Pengarang hasyiyah hanya akan menerangkan hal-hal yang paling sulit sehingga tetap bermanfaat bagi pelajar tingkat lanjut itu.

Tapi “Hasyiyah Al-Bajuri” ini beda. Karena pendekatan menulisnya lebih ke arah syarah, pelajar pemula yang merangkak menuju level menengah insya Allah bisa memanfaatkannya.

Adapun metode penulisannya, Al-Bajuri dalam menerangkan ungkapan dalam “Fathu Al-Qorib”, beliau memberikan “quyud” (batasan-batasan) dan “amtsilah” (contoh-contoh) agar maksudnya lebih mudah ditangkap. Untuk kata-kata dan ungkapan tertentu kadang-kadnag Al-Bajuri membahas juga aspek i’rob dan nahwunya.

Jika ada pembahasan furu’ fikih, maka Al-Bajuri akan menjelaskan kaidah ushul yang mendasarinya, termasuk aspek nahwu, dan asybah -nazhoirnya. Jika dibahas nahwu maka Al-Bajuri akan menyebutkan “syahid-syahid” (dalil kebahasaan) yang relevan dengan pembahasan nahwu tersebut.
Jadi kitab ini sungguh kaya cita rasa. Orang akan merasakan pembahasan fikih, ushul fikih, bahasa, dan “rasa-rasa” yang lainnya.

Adapun referensi yang dipakai Al-Bajuri untuk menulis hasyiyah ini, hal itu meliputi karya-karya Asy-Syafi’i, nukilan-nukilan dari ashabul wujuh, syarah-syarah mukhtashor Al-Muzani, kitab-kitab Al-Ghozzali, kitab-kitab syaikhon, kitab-kitab Ibnu Ar-Rif’ah, syarah-syarah Minhaj Ath-Tholibin, dan kitab-kitab Zakariyya Al-Anshori dan syarah-syarahnya. Beliau juga banyak mengambil rujukan dari syarah-syarah matan Abu Syuja’, Al-Iqna’ karya Al-Khothib Asy-Syirbini, “Fathu Al-Ghoffar” karya Ibnu Qosim Al-‘Abbadi, hasyiyah-hasyiyah “Fathu Al-Qorib” seperti “Hasyiyah Al-Qolyubi”, “Hasyiyah Al-Birmawi”, “Hasyiyah Athiyyah Al-Ujhuri”, “Hasyiyah Al-Bulbaisi” dan lain-lain.

Dengan referensi sebanyak ini wajar jika mutu “Hasyiyah Al-Bajuri” masuk dalam jajaran kitab syarah dan hasyiyah level tinggi.

Dalam menulis hasyiyah, Al-Bajuri juga menjelaskan mana pendapat mu’tamad, mana yang bukan mu’tamad, mana yang rojih, dan mana yang marjuh.

Dalam kitab ini, Al-Bajuri juga menyebut ikhtilaf antara Ibnu Hajar Al-Haitami dan Syamsuddin Ar-Romli. Seringkali beliau menguatkan pendapat Ar-Romli. Hal ini wajar, karena Al-Bajuri banyak belajar pada ulama Mesir dan bahkan menjadi syaikhul azhar di negeri tersebut, sementara kita tahu mayoritas tumpuan ulama-ulama Mesir adalah kitab-kitab Ar-Romli, terutama kitab “Nihayatu Al-Muhtaj”. Kata Al-Kurdi dalam Al-“Fawaid Al-Madaniyyah”, ulama-ulama Mesir telah “diikat perjanjian” bahwa mereka hanya akan mengambil ijtihad dan fatwa Ar-Romli saja. Hanya saja Al-Bajuri kadang-kadang menguatkan pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami pada persoalan-persoalan yang beliau pandang cocok dengan masanya. Tapi yang seperti ini jumlahnya sedikit dan terbatas.

Di antara urgensi kitab ini, Al-Bajuri banyak membahas isu-isu yang sering terjadi dan kasus-kasus aktual seperti hukum melihat (wanita/aurot), hukum dokter lelaki mengobati pasien wanita ajnabiyyah, hukum menunda kehamilan, hukum vasektomi/tubektomi, masalah riba dan lain-lain.

“Hasyiyah Al-Bajuri” telah ditahqiq oleh syaikh Mahmud Al-Hadidi. Dalam mentahqiq, Al-Hadidi meneliti 5 manuskrip dan 3 edisi cetakan yang mana satu naskah telah dikoreksi oleh Abu Al-Wafa’ Nashr Al-Hurini. Motivasi Al-Hadidi dalam mentahqiq adalah atas permintaan dan saran para ulama sejawat dan para penuntut ilmu yang mengadu kesulitan menelaah “Hasyiyah Al-Bajuri” dari terbitan-terbitan lama yang dipenuhi kesalahan cetak dan kesalahan ilmiah. Empat tahun dihabiskan Al-Hadidi untuk mentahqiq kitab ini atas supervisi penerbit Dar Al-Minhaj sampai akhirnya bisa terbit dalam 4 jilid dengan ketebalan hampir 3000 halaman.

Al-Bajuri wafat pada hari kamis, 28 Dzul Qo’dah tahun 1276/1277 H.

رحم الله الباجوري رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين

Versi Situs: http://irtaqi.net/2018/03/02/mengenal-kitab-hasyiyah-al-bajuri/

***
Muafa
13 Jumada Ats-Tsaniyah 1439 H

MENGENAL MATAN ABU SYUJA’ (TAQRIB)

MENGENAL MATAN ABU SYUJA’

Selain disebut Matan Abu Syuja’ (متن أبي شجاع) kadang ia juga disebut Al-Ghoyah Wa At-Taqrib (الغاية والتقريب) atau lebih singkat lagi; At-Taqrib atau Matan At-Taqrib. Ia juga disebut Ghoyatu Al-Ikhtishor atau Ghoyatu At-Taqrib atau Matan Al-Ghoyah. Sebagian orang ada juga yang menyebutnya Mukhtashor Abu Syuja’ atau Al-Ghoyah Fi Al-Ikhtishor.

Pengarangnya bernama Abu Syuja’ Ahmad bin Al-Hasan -versi lain Al-Husain- Al-Ashbahani -versi lain; Al-Ashfahani. Nama populernya Abu Syuja’. Info tentang biografi beliau -dengan segenap popularitasnya- ternyata sedikit sekali. Nasib yang sama sebagaimana Ibnu Ajurrum yang “hanya” dikenal dengan matan Ajurrumiyyah-nya dan Al-‘Amrithi yang “hanya” dikenal dengan nazhom Al-‘Amrithi-nya.

Ibadahnya dikenal tekun. Sebelum keluar rumah beliau akan selalu berusaha salat dulu. Beliau juga selalu berusaha mengistiqomahkan tilawah Qur’an semampunya.

Perannya dalam menyebarkan madzhab Asy-Syafi’i di Bashrah cukup besar. Lebih dari 40 tahun beliau berkhidmat mengajarkan fikih Asy-Syafi’i di kota tersebut.

Hanya saja, ada tiga kekeliruan informasi terkait beliau yang banyak beredar di sejumlah situs, bahkan kitab-kitab tercetak, baik hasyiyah maupun matan yang telah ditahqiq. Pertama, tentang jabatan sebagai wazir, kedua tentang kisah kedermawanannya dan ketiga, tentang kisah akhir hayatnya (domisili terakhir, umur dan tahun wafatnya).

Soal jabatan wazir (menteri), ada yang menginformasikan bahwa beliau menjabat sebagai wazir pada tahun 447 H. Pada saat menjadi wazir tersebut, beliau mengembannya dengan sangat baik dan menyebarkan keadilan ke seantero negeri. Ini adalah informasi keliru. Abu Syuja’ menegaskan bahwa tahun lahir beliau adalah 434 H (versi lain 433 H). Tahun 447 H bermakna usia beliau waktu itu masih 13 tahun. Bagiamana mungkin di usia itu beliau diserahi jabatan wazir?!

Ini memang informasi keliru, karena yang menduduki jabatan menteri adalah Abu Syuja’ yang lain, bukan Abu Syuja’ pengarang Al-Ghoyah Wa Al-Ikhtishor ini. Jadi ada dua Abu Syuja’ sebenarnya; Abu Syuja’ Al-Faqih dan Abu Syuja’ politisi. Abu Syuja’ sang wazir, nama beliau adalah Muhammad bin Al-Husain yang lahir pada 437 H dan wafat pada tahun 488 H. Sebagian orang menyangka keduanya orang yang sama sehingga mencampuradukkan biografi keduanya. Bisa ditegaskan di sini bahwa Abu Syuja’ tidak pernah menjadi wazir, tetapi beliau adalah seorang Qodhi (hakim). Informasi ini bisa dilacak dengan mudah pada kitab Thobaqot Asy-Syafi’iyyah Al-Kubro karya As-Subki.


Cerita keliru lainnya tentang Abu Syuja’ adalah tentang kedermawanannya. Diceritakan beliau memiliki 10 staf yang membantunya untuk membagi-bagi zakat dan sedekah. Tiap staf itu ditugasi menyebar 120.000 dinar kepada orang-orang. Artinya jumlah uang yang disebar adalah 1, 2 juta dinar. Jika 1 dinar kira-kira setara 2 juta, maka 1,2 juta dinar kira-kira setara dengan 2,4 triliun! Info yang terlalu bombastis. Posisi Abu Syuja’ sebagai Qodhi secara rasional tidak mungkin akan memperoleh uang sebanyak itu. Yang benar, acara bagi-bagi uang ini adalah kegiatannya Abu Syuja’ sang wazir itu. Ada penjelasannya dalam Thobaqot Asy-Syafi’iyyah Al-Kubro karya As-Subki.

Cerita ketiga yang keliru tentang Abu Syuja’ adalah kisah akhir hayatnya. Diceritakan, menjelang akhir hayatnya beliau memutuskan tinggal di Madinah untuk melayani Masjid Nabawi sampai wafatnya beliau pada tahun 593 H. Jika kita telah mengetahui Abu Syuja’ lahir tahun 434 H, maka wafat tahun 593 bermakna usianya mencapai sekitar 160 tahun! Az-Zirikli dalam Al-A’lam juga menyebut tahun 593 H ini sebagai tahun wafatnya Abu Syuja’.

Ini infomasi keliru. Sumbernya adalah Ad-Dairobi sebagaimana dinukil oleh Al-Bujairimi dalam hasyiyahnya. Ad-Dairobi wafat tahun 1151 H. Ucapan beliau yang mengatakan Abu Syuja’ berusia 160 tahun tidak pernah dikenal kalau hal itu pernah diucapkan sejarawan sebelumnya. Jadi, pernyataan beliau tidak bisa dipegang bahkan cenderung seperti haditsul asmar (dongeng malam hari).

Informasi yang lebih akurat adalah berita yang diceritakan murid Abu Syuja’ sendiri yaitu Abu Thohir As-Silafi. Kata As-Silafi, Abu Syuja’ عَاشَ مُدَّةً (hidup beberapa waktu) setelah tahun 500 H. Hanya saja As-Silafi juga tidak bisa memastikan tahun berapa wafatnya beliau. As-Silafi wafat pada 576 H, artinya bisa dipastikan sang guru wafat antara tahun 500 H-576 H pada saat As-Silafi masih hidup, karenanya mustahil Abu Syuja’ wafat tahun 593 H. Oleh karena informasinya hanya sebatas ini, maka As-Subki dalam thobaqotnya tidak berani memastikan tahun berapa wafatnya. Ibnu Qodhi Syuhbah juga hanya berani menyebut wafatnya pada abad keenam. Dr.Muhammad Umar Al-Kaf berpendapat Abu Syuja’ wafat pada 533 H. Jika info ini diterima, berarti usia wafat Abu Syuja’ sekitar 100 tahun.

Informasi bahwa Abu Syuja’ di akhir hayatnya tinggal di Madinah untuk menjadi marbot masjid Nabawi juga tidak benar. Buktinya, dalam kitab-kitab biografi Abu Syuja’ tidak ada penjelasan kejadian ini. Dalam kitab-kitab tentang tarikh Madinah juga tidak ada keterangan biografi Abu Syuja’ pengarang Ghoyatu Al-Ikhtishor ini. Yang benar adalah Abu Syuja’ sang wazir lah yang pindah ke Madinah di akhir hayatnya. Info ini disebutkan dalam thobaqotnya As-Subki. Lagi-lagi penyakitnya adalah mencampuradukkan antara Abu Syuja’ pakar fikih dengan Abu Syuja’ politisi.

Informasi bahwa Abu Syuja’ adalah wazir, bagi-bagi uang 1,2 juta dinar dan wafat di Madinah adalah bentuk waham sebagai akibat mencampuradukkan biografi dua Abu Syuja’ yang berbeda. Yang terkena waham ini ternyata bukan hanya kaum awam, tetapi juga ulama-ulama besar seperti Al-Bajuri dan Al-Bujairimi yang ditaklidi oleh ulama lain seperti Nawawi Al-Jawi dan umumnya Asy-Syafi’iyyah mutaakhirin. Para muhaqqiq kitab matan Abu Syuja’ yang karyanya dicetak sekalipun di zaman sekarang masih banyak yang meneruskan waham ini! Sangat disayangkan jika para muhaqqiq sedemikian itu level keseriusannya dalam meneliti, padahal sumber-sumber untuk memvalidasi invfomasi saat ini jauh lebih mudah diakses daripada zaman dulu.

Kembali ke pembicaraan matan Abu Syuja’.

Karya Abu Syuja’ yang terkenal hanya satu ini, yaitu kitab “Al-Ghoyah Wa At-Taqrib”. Konon beliau juga sempat membuat syarah untuk “Al-Iqna’” karya Al-Mawardi. “Al-Iqna’” karya Al-Mawardi itu sendiri adalah mukhtashor dari “Al-Hawi Al-Kabir” karyanya juga.

Motivasi penulisan “Al-Ghoyah Wa At-Taqrib” sebagaimana ditulis sendiri Abu Syuja’ dalam muqoddimahnya adalah karena beliau diminta oleh sebagian kawan untuk membuat ringkasan fikih Asy-Syafi’i yang sangat ringkas agar mudah dipelajari dan dihafal.

Dari sisi bahasa, matan ini lebih mudah dicerna. Bahasanya mudah. Lebih mudah dipahami daripada matan Qurrotu Al-‘Ain karya Al-Malibari.

Sistematikanya seperti mukhtashor Al-Muzani, yakni di awali bab thoharoh dan diakhiri bab pembebasan ummul walad (pembahasan lebih detail tentang mukhtashor Al-Muzani bisa dibaca pada catatanh saya yang berjudul “Mengenal Mukhtashor Al-Muzani”)

Kata Al-Khothib Asy-Syirbini, karena Allah tahu ketulusan niatnya maka Allah membuat kitabnya menjadi bermanfaat.


Perhatian ulama Asy-Syafi’iyyah terhadap kitab ini sangat tinggi. Ada yang membuatkan manzhumah, syarah, penjelasan dalil, dan koreksi dalam hal pendapat mu’tamad.

Di antara karya yang berupa manzhumah adalah Manzhumah Al-Ibsyithi (883 H), Manzhumah Ibnu Al-Muzhoffar (892 H), Nihayatu At-Tadrib karya Yahya Al-‘Amrithi (989 H) yang kemudiaan di syarahi oleh Al-Fasyni (978 H) dalam kitab berjudul Tuhfatu Al-Habib, juga Nuzhatu Al-Labib karya Al-Jauhari, dan juga sempat dita’liq oleh Hasan Habannakah (1398 H), Al-Kifayah karya Ibnu Qodhi ‘Ajlun (928 H), manzhumah Al-Manufi (931 H), Nasyru Asy-Syu-‘a’ karya Ad-Dausari, manzhumah Ibnu Al-‘Ajmi, Nuru Al-Qulub karya al-Harqoni, dan lain-lain.

Dari sekian manzhumah ini yang paling terkenal adalah manzhumah “Nihayatu At-Tadrib” karya Al-‘Amrithi dan kitab-kitab turunannya.

Adapun karya yang berupa syarah, maka ini bagian terbesarnya. Di antaranya, Al-Ikhbar karya Al-Badwi (675 H), Syarah Ibnu Sayyidi An-Nas (697 H), Syarah Ibnu Daqiqi Al-‘Ied (702) yang terkenal dengan nama Tuhfatu Al-Labib, Syarah Abdullah Al-Hasani (ba’da 710 H), Kifayatu Al-Akhyar karya Taqiyyuddin Al-Hishni (829 H), Tuhfatu Al-Abror karya Al-Bulqini (844 H), Ma-idatu Al-Jiya’ karya Al-Ghozwali (860 H), Syarah Al-Akhshoshi (889 H), Syarah Al-Baronbari (889 H), Syarah Ibnu Salamah (892 H), Fathu Al-Qorib karya Ibnu Qosim Al-Ghozzi (918 H), Al-Iqna’ karya Al-Manufi (931 H) yang kemudian diringkas menjadi Tasynifu Al-Asma’, An-Nihayah karya Waliyyuddin Al-bashir, Syarah Abu Al-Hasan Al-Bakri Ash-Shiddiqi (952 H), Naqyu Al-Asma’ karya Al-Masiri (955 H), Syarah Al-‘Aitsawi (976 H), Al-Iqna’ karya Al-Khothib Asy-Syirbini (977 H), Fathu Al-Ghoffar dan Al-Kifayah karya Ibnu Qosim Ash-Shobbagh (992 H), Syarah Al-Bakri (994 H), Syarah Ibnu Al-Qoshir (1093 H), Wus’u Al-Itthila’ karya Al-Fawi (1176 H), Ta’liqot karya Al-Midrosi (1238 H), Roudhotu Al-Azhar karya Faiz Al-Barzanji (1308 H), Al-Bidayah dengan penulis majhul, Syarah Al-Kufairi Al-‘Ajluni, Jawahiru Al-Itthila’karya Al-Jizawi, Syarah Ibrohim Ad-Dusuqi, Imta’ Al-Asma’ karya Syifa’ Hitou (mu’ashir), Aisar Asy-Syuruh At-Ta’limiyyah karya Sholih Hasan Ar-Riyasyi (mu’ashir), Asy-Syarhu Al-Manhaji karya Sholih Hasan Ar-Riyasyi (mu’ashir), dan lain-lain.

Di antara sekian syarah ini, yang terkenal dan familiar di kalangan kaum muslimin karena telah dicetak dan dikaji adalah “Fathu Al-Qorib” karya Ibnu Qosim Al-Ghozzi, “Kifayatu Al-Akhyar” karya Taqiyyuddin Al-Hishni, dan “Al-Iqna’” karya Al-Khothib Asy-Syirbini. Yang terakhir ini banyak hasyiyahnya.

Adapula yang fokus pada penyajian dalil-dalil singkat untuk tiap masalah fikihnya seperti kitab “At-Tadzhib Fi Adillati Matni Al-Ghoyah Wa At-Taqrib” karya Mushthofa Dib Al-Bugho, dan komentar yang ditulis Majid Al-Hamawi saat mentahqiq kitab ini.

Ada yang berupa karya yang mengoreksi Abu Syuja’ karena menulis pendapat fikih yang bukan pendapat mu’tamad madzhab Asy-Syafi’i. Karya koreksi ini ditulis oleh Ibnu Qodhi ‘Ajlun dalam kitab yang berjudul “Umdatu An-Nuzh=zhor” (عمدة النظار).

Di zaman sekarang, ada sejumlah ulama yang mensyarah secara lisan kemudian direkam dalam bentuk file audio. Contoh syarah audio adalah seperti rekaman syaikh Ahmad Al-Maqromi, syaikh Abu Hafs Muhammad bin Kamil Al-Musnidi, syaikh Muhammad bin Sa’id Basholih, syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Mishbahi, syaikh ‘Amr Basyuni, dan lain-lain.

Matan Abu Syuja’ cukup populer di dunia Islam. Kitab ini diajarkan di Al-Azhar, pondok-pondok pesantren dan berbagai lembaga pndidikan Islam, bahkan telah diterjemahkan dalam bahasa Prancis, Jerman, dan berbagai bahasa lainnya.

Penerbit Dar Al-Minhaj pada tahun 1426 H/2005 M menerbitkannya dalam 176 halaman. Tahqiq yang lumayan serius dilakukan oleh Majid Al-Hamawi yang diterbitkan Dar Ibni Hazm dengan ketebalan 400 halaman.

رحم الله أبا شجاع رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين

Versi Situs:  http://irtaqi.net/2017/11/25/mengenal-matan-abu-syuja/

***
Muafa
6 Robiul Awwal 1439 H