Tuesday, December 10, 2019

Kisah permusuhan Gus Dur Dengan Ya'i As'ad

Kisah permusuhan Gus Dur Dengan Ya'i As'ad

“Ibarat imam shalat, Gus Dur sudah batal kentut. Karena itu tak perlu lagi bermakmum kepadanya.” Beginilah salah satu ungkapan sikap KHR As’ad Syamsul Arifin, sebagaimana dikutip media nasional beberapa hari pasca Muktamar NU ke-28 di Krapyak, 26 tahun lalu.

Konon, KHR As’ad kecewa besar pada lima tahun kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum PBNU. Gus Dur dianggap kebablasan. Pemikiran dan tindak-tanduk liberalnya diniliai sudah keluar dari rel Aswaja. Dari berita yang dimuat di koran, pemikiran dan tindak-tanduk liberal yang dialamatkan pada Gus Dur antara lain terkait keikutsertaannya sebagai juri Festival Film Indonesia. KHR As’ad bahkan menyebut Gus Dur kiai ketoprak lantaran aksinya ini. Lalu terkait wacana Gus Dur mengubah salam “assalamu’alaikum” menjadi “selamat pagi”, dan beberapa kontroversi lain yang mengiringi perjalanan kepemimpinan Gus Dur.

Puncak ketidakcocokan Ketua Ahlul Halli wal Aqdi pada Muktamar NU ke-27 ini terjadi pada hari terakhir Muktamar Krapyak, Rabu siang, 29 Nopember 1989. Di hadapan media di arena Muktamar yang telah aklamasi memilih kembali Gus Dur sebagai Ketua Umum Tanfidziyah, pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo ini, lantang menyatakan diri mufaraqah (memisahkan diri). Ketidakcocokan KHR As’ad dengan Gus Dur sebenarnya sudah lama. Keputusan mufaraqah bisa dibilang lebih merupakan kulminasi dari perselisihan panjang antarkeduanya.

Perselisihan awal setidaknya sudah dimulai ketika pleno pertama PBNU hasil Muktamar Situbondo, di Pesantren Tebuireng, Jombang pada Januari 1985. Keputusan pleno menyatakan bahwa yang berhak mewakili NU keluar adalah Rais ‘Aam KH Ahmad Shiddiq, dan Ketua Umum Tanfidziyah KH Abdurrahman Wahid. Keputusan ini dinilai membatasi gerak dan langkah ulama sepuh lain, terutama KHR As'ad yang sebelumnya dikenal dekat dengan Presiden Soeharto dan menteri-menterinya.

Beberapa kontroversi Gus Dur lainnya sepanjang 1984-1989 semisal; keterlibatan Gus Dur menjadi ketua DKJ (Dewan Kesenian Jakarta), kesediaan membuka Malam Puisi Yesus Kristus, dan kecenderungan membela Syi'ah, juga turut menjadi pemicu kerenggangan komunikasi antara KHR As’ad beserta kiai-kiai sepuh lain dengan Gus Dur. Hal ini berujung peristiwa ‘gugatan’ pada Gus Dur di Pesantren Darut-Tauhid, Arjawinangun, Cirebon, pada Maret 1989.

Sebuah fakta politik menarik, menyusul mufaraqah KHR As’ad, Gus Dur justru makin gencar melawan Orde Baru. Gus Dur makin aktif mendukung para aktivis melawan pemerintah. Menjelang pemilu 1992, di tengah kuatnya kekuasaan Soeharto, Gus Dur bahkan berani terang-terangan menolak penguasa negeri 32 tahun itu untuk dipilih kembali. Gus Dur terus menyerang Pak Harto hingga lengser ke prabon pada 1998. Banyak literatur menyebut, KHR As’ad Syamsul Arifin adalah sosok wali quthub.

Kesaksian KH Mujib Ridwan misalnya, menyebut jika KHR As’ad pernah menangis tersedu-sedu lantaran ‘kedoknya’ terbuka, usai dibacakan sebuah surat Al-Qur’an. KH Mujib Ridwan adalah putra KH Ridwan Abdullah, pencipta lambang NU, yang lebih 20 tahun mengabdi pada KH As’ad Syamsul Arifin.

Di luar kharisma keulamaannya, KHR As’ad adalah seorang guru dan pengamal 17 jenis tarekat. Meskipun demikian beliau tidak pernah memaklumkan diri sebagai seorang mursyid tarekat di depan umum. KHR As’ad juga mendalami ilmu kanuragan yang membuat banyak bajingan bertekuk lutut kepadanya.  Konon, kewalian KHR As’ad inilah yang melatarbelakangi beberapa tindakannya sehingga tidak mudah dimengerti khalayak awam.

Satu di antaranya menyangkut kerenggangan KHR As’ad dan Gus Dur. Kala itu tentu saja tak sedikit Nahdliyin di akar rumput yang kebingungan. Meski tak sampai menciptakan kubu-kubu yang saling berseberangan, konflik panjang dua tokoh beda generasi ini memunculkan pertanyaan di banyak pihak. Tak terkecuali rombongan Kepala Sekolah SLTP dan SLTA Ma’arif Kotamadya Surabaya. Suatu hari, pada 15 April 1987, mereka serombongan sowan ke ndalem KHR As’ad di kompleks Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo.

Sesampai di ndalem, rombongan diterima langsung oleh KHR As’ad yang kala itu didampingi KH Mudjib Ridwan. Rombongan pun mendapat penjelasan langsung bahwa beliau mufaraqah dengan Gus Dur karena Gus Dur kiai ketoprak. Dengan menjadi juri FFI di Bali, Gus Dur dinilai sudah tidak sesuai dengan kakeknya KH Hasyim Asy’ari, dan penjelasan lain-lain seterusnya sebagaimana yang sudah beredar di media massa. Dari Situbondo, rombongan meneruskan silaturahim berikutnya ke Jember ke ndalem KH Ahmad Shiddiq. Di hadapan Rais ‘Aam PBNU ini, disampaikanlah panjang lebar kebingungan-kebingungan mereka mengenai hubungan KHR As’ad dengan Gus Dur. Dan beginilah dawuh KH Ahmad Shiddiq. “Kulo, dan sampean-sampean semua—seraya menunjuk satu persatu rombongan yang hadir—bukan levelnya. Bukan kelasnya menilai Kiai Haji Raden As’ad Syamsul Arifin.”

Demikianlah yang pada intinya, Nahdliyin yang belum masuk levelnya, tidak pantas menilai sikap mufaraqah KHR As’ad dengan Gus Dur. Keduanya memiliki maqom (tingkatan spiritual) yang tinggi di atas kebanyakan. Menyikapi friksi di tingkatan elit NU yang kian membingungkan ini, suatu ketika beberapa anggota Dewan Khas IPSNU Pagar Nusa dipimpin H. Suharbillah memutuskan sowan ke KH Khotib Umar, Pengasuh Pesantren Raudhatul Ulum Sumberwiringin, Sukowono, Jember. IPSNU Pagar Nusa kebetulan saat itu baru saja dideklarasikan.

KH Khotib Umar adalah salah seorang ulama pejuang yang wara’ yang sangat disegani di kalangan Nahdliyin. Kepada para pendekar Pencak Silat NU ini, KH Khotib Umar bertutur bahwa suatu waktu beliau menghadap pada KHR As’ad Syamsul Arifin bermaksud meminta penjelasan mengenai masalah dengan Gus Dur. Dan KHR As’ad dawuh bahwa memusuhi Gus Dur merupakan strategi menghadapi rezim Orde Baru. Supaya Gus Dur tidak dihabisi maka beliau memusuhi Gus Dur.

Untuk menyelamatkan beliau. “Saya dengan Gus Dur hanya berbeda dalam siyasi, politik! Mufaraqah bukan berarti benci Gus Dur. Malah saya sangat mengasihi Gus Dur. Saya khawatir kalau Gus Dur di penjara oleh penguasa—karena sikap kritisnya­—lalu siapa yang akan membela? Demikian dawuh sang wali quthub. (Didik Suyuthi)
  * Sebagian data diperoleh dari catatan pribadi DR KH Suharbillah

Tuesday, October 15, 2019

TIRAKATNYA SEORANG SUAMI KETIKA ISTRI MENGANDUNG

TIRAKATNYA SEORANG SUAMI KETIKA ISTRI MENGANDUNG

Dari Kh sholeh bandar kidul beliau Dari KH Mahrus Ali lirboyo kediri

1.Seorang suami Seyogyanya didahului dengan berpuasa hari kamis, dan berbuka hanya dg air putih (tidak boleh makan apapun) sempai tengah malam. Kemudian dilanjutkan sholat hajat.

Kaifiyah sholat hajat
Rokaat 1 setelah fatehah membaca

(رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ)
[Surat Al-Baqarah 128]

Rokaat ke 2 setelah fateh membaca

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ.رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ
[Surat Ibrahim 40, 41]

Rokaat ke 3 setelah fatehah membaca

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا)
[Surat Al-Furqan 74]

Rokaat ke 4 setelah fatehah membaca
( رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضاَه وأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ)
[Surat Al-Ahqaf 15]

Setelah salam membaca

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا)
[Surat Al-Furqan 74]

2. Membaca sholawat 313 x, kemudian ditiupkan pada pusarnya istri yang hamil, dan di usap (di elus elus) sambil membaca

ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار
3 x dalam satu nafas

3. Hadiah fatehah kepada ayah, ibu dan seterusnya

Friday, October 4, 2019

Para mujahid yang berjuang dalam Perang Badar

Para mujahid yang berjuang dalam Perang Badar:

1. Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
2. Abu Bakar as-Shiddiq Radliyallahu 'Anhu.
3. Umar bin al-Khattab Radliyallahu 'Anhu.
4. Utsman bin Affan Radliyallahu 'Anhu.
5. Ali bin Abu Tholib Karramallahu Wajhah.
6. Talhah bin ‘Ubaidillah Radliyallahu 'Anhu.
7. Bilal bin Rabbah Radliyallahu 'Anhu.
8. Hamzah bin Abdul Muttolib Radliyallahu 'Anhu.
9. Abdullah bin Jahsyi Radliyallahu 'Anhu.
10. Al-Zubair bin al-Awwam Radliyallahu 'Anhu.
11. Mus’ab bin Umair bin Hasyim Radliyallahu 'Anhu.
12. Abdur Rahman bin ‘Auf Radliyallahu 'Anhu.
13. Abdullah bin Mas’ud Radliyallahu 'Anhu.
14. Sa’ad bin Abi Waqqas Radliyallahu 'Anhu.
15. Abu Kabsyah al-Faris Radliyallahu 'Anhu.
16. Anasah al-Habsyi Radliyallahu 'Anhu.
17. Zaid bin Harithah al-Kalbi Radliyallahu 'Anhu.
18. Marthad bin Abi Marthad al-Ghanawi Radliyallahu 'Anhu.
19. Abu Marthad al-Ghanawi Radliyallahu 'Anhu.
20. Al-Husain bin al-Harith bin Abdul Muttolib Radliyallahu 'Anhu.
21. ‘Ubaidah bin al-Harith bin Abdul Muttolib Radliyallahu 'Anhu.
22. Al-Tufail bin al-Harith bin Abdul Muttolib Radliyallahu 'Anhu.
23. Mistah bin Usasah bin ‘Ubbad bin Abdul Muttolib Radliyallahu 'Anhu.
24. Abu Huzaifah bin ‘Utbah bin Rabi’ah Radliyallahu 'Anhu.
25. Subaih (maula Abi ‘Asi bin Umaiyyah) Radliyallahu 'Anhu.
26. Salim (maula Abu Huzaifah) Radliyallahu 'Anhu.
27. Sinan bin Muhsin Radliyallahu 'Anhu.
28. ‘Ukasyah bin Muhsin Radliyallahu 'Anhu.
29. Sinan bin Abi Sinan Radliyallahu 'Anhu.
30. Abu Sinan bin Muhsin Radliyallahu 'Anhu.
31. Syuja’ bin Wahab Radliyallahu 'Anhu.
32. ‘Utbah bin Wahab Radliyallahu 'Anhu.
33. Yazid bin Ruqais Radliyallahu 'Anhu.
34. Muhriz bin Nadhlah Radliyallahu 'Anhu.
35. Rabi’ah bin Aksam Radliyallahu 'Anhu.
36. Thaqfu bin Amir Radliyallahu 'Anhu.
37. Malik bin Amir Radliyallahu 'Anhu.
38. Mudlij bin Amir Radliyallahu 'Anhu.
39. Abu Makhsyi Suwaid bin Makhsyi al-To’i Radliyallahu 'Anhu.
40. ‘Utbah bin Ghazwan Radliyallahu 'Anhu.
41. Khabbab (maula ‘Utbah bin Ghazwan) Radliyallahu 'Anhu.
42. Hathib bin Abi Balta’ah al-Lakhmi Radliyallahu 'Anhu.
43. Sa’ad al-Kalbi (maula Hathib) Radliyallahu 'Anhu.
44. Suwaibit bin Sa’ad bin Harmalah Radliyallahu 'Anhu.
45. Umair bin Abi Waqqas Radliyallahu 'Anhu.
46. Al-Miqdad bin ‘Amru Radliyallahu 'Anhu.
47. Mas’ud bin Rabi’ah Radliyallahu 'Anhu.
48. Zus Syimalain Amru bin Amru Radliyallahu 'Anhu.
49. Khabbab bin al-Arat al-Tamimi Radliyallahu 'Anhu.
50. Amir bin Fuhairah Radliyallahu 'Anhu.
51. Suhaib bin Sinan Radliyallahu 'Anhu.
52. Abu Salamah bin Abdul Asad Radliyallahu 'Anhu.
53. Syammas bin Uthman Radliyallahu 'Anhu.
54. Al-Arqam bin Abi al-Arqam Radliyallahu 'Anhu.
55. Ammar bin Yasir Radliyallahu 'Anhu.
56. Mu’attib bin ‘Auf al-Khuza’i Radliyallahu 'Anhu.
57. Zaid bin al-Khattab Radliyallahu 'Anhu.
58. Amru bin Suraqah Radliyallahu 'Anhu.
59. Abdullah bin Suraqah Radliyallahu 'Anhu.
60. Sa’id bin Zaid bin Amru Radliyallahu 'Anhu.
61. Mihja bin Akk (maula Umar bin al-Khattab) Radliyallahu 'Anhu.
62. Waqid bin Abdullah al-Tamimi Radliyallahu 'Anhu.
63. Khauli bin Abi Khauli al-Ijli Radliyallahu 'Anhu.
64. Malik bin Abi Khauli al-Ijli Radliyallahu 'Anhu.
65. Amir bin Rabi’ah Radliyallahu 'Anhu.
66. Amir bin al-Bukair Radliyallahu 'Anhu.
67. Aqil bin al-Bukair Radliyallahu 'Anhu.
68. Khalid bin al-Bukair Radliyallahu 'Anhu.
69. Iyas bin al-Bukair Radliyallahu 'Anhu.
70. Uthman bin Maz’un Radliyallahu 'Anhu.
71. Qudamah bin Maz’un Radliyallahu 'Anhu.
72. Abdullah bin Maz’un Radliyallahu 'Anhu.
73. Al-Saib bin Uthman bin Maz’un Radliyallahu 'Anhu.
74. Ma’mar bin al-Harith Radliyallahu 'Anhu.
75. Khunais bin Huzafah Radliyallahu 'Anhu.
76. Abu Sabrah bin Abi Ruhm Radliyallahu 'Anhu.
77. Abdullah bin Makhramah Radliyallahu 'Anhu.
78. Abdullah bin Suhail bin Amru Radliyallahu 'Anhu.
79. Wahab bin Sa’ad bin Abi Sarah Radliyallahu 'Anhu.
80. Hatib bin Amru Radliyallahu 'Anhu.
81. Umair bin Auf Radliyallahu 'Anhu.
82. Sa’ad bin Khaulah Radliyallahu 'Anhu.
83. Abu Ubaidah Amir al-Jarah Radliyallahu 'Anhu.
84. Amru bin al-Harith Radliyallahu 'Anhu.
85. Suhail bin Wahab bin Rabi’ah Radliyallahu 'Anhu.
86. Safwan bin Wahab Radliyallahu 'Anhu.
87. Amru bin Abi Sarah bin Rabi’ah Radliyallahu 'Anhu.
88. Sa’ad bin Muaz Radliyallahu 'Anhu.
89. Amru bin Muaz Radliyallahu 'Anhu.
90. Al-Harith bin Aus Radliyallahu 'Anhu.
91. Al-Harith bin Anas Radliyallahu 'Anhu.
92. Sa’ad bin Zaid bin Malik Radliyallahu 'Anhu.
93. Salamah bin Salamah bin Waqsyi Radliyallahu 'Anhu.
94. ‘Ubbad bin Waqsyi Radliyallahu 'Anhu.
95. Salamah bin Thabit bin Waqsyi Radliyallahu 'Anhu.
96. Rafi’ bin Yazid bin Kurz Radliyallahu 'Anhu.
97. Al-Harith bin Khazamah bin ‘Adi Radliyallahu 'Anhu.
98. Muhammad bin Maslamah al-Khazraj Radliyallahu 'Anhu.
99. Salamah bin Aslam bin Harisy Radliyallahu 'Anhu.
100. Abul Haitham bin al-Tayyihan Radliyallahu 'Anhu.
101. ‘Ubaid bin Tayyihan Radliyallahu 'Anhu.
102. Abdullah bin Sahl Radliyallahu 'Anhu.
103. Qatadah bin Nu’man bin Zaid Radliyallahu 'Anhu.
104. Ubaid bin Aus Radliyallahu 'Anhu.
105. Nasr bin al-Harith bin ‘Abd Radliyallahu 'Anhu.
106. Mu’attib bin ‘Ubaid Radliyallahu 'Anhu.
107. Abdullah bin Tariq al-Ba’lawi Radliyallahu 'Anhu.
108. Mas’ud bin Sa’ad Radliyallahu 'Anhu.
109. Abu Absi Jabr bin Amru Radliyallahu 'Anhu.
110. Abu Burdah Hani’ bin Niyyar al-Ba’lawi Radliyallahu 'Anhu.
111. Asim bin Thabit bin Abi al-Aqlah Radliyallahu 'Anhu.
112. Mu’attib bin Qusyair bin Mulail Radliyallahu 'Anhu.
113. Abu Mulail bin al-Az’ar bin Zaid Radliyallahu 'Anhu.
114. Umair bin Mab’ad bin al-Az’ar Radliyallahu 'Anhu.
115. Sahl bin Hunaif bin Wahib Radliyallahu 'Anhu.
116. Abu Lubabah Basyir bin Abdul Munzir Radliyallahu 'Anhu.
117. Mubasyir bin Abdul Munzir Radliyallahu 'Anhu.
118. Rifa’ah bin Abdul Munzir Radliyallahu 'Anhu.
119. Sa’ad bin ‘Ubaid bin al-Nu’man Radliyallahu 'Anhu.
120. ‘Uwaim bin Sa’dah bin ‘Aisy Radliyallahu 'Anhu.
121. Rafi’ bin Anjadah Radliyallahu 'Anhu.
122. ‘Ubaidah bin Abi ‘Ubaid Radliyallahu 'Anhu.
123. Tha’labah bin Hatib Radliyallahu 'Anhu.
124. Unais bin Qatadah bin Rabi’ah Radliyallahu 'Anhu.
125. Ma’ni bin Adi al-Ba’lawi Radliyallahu 'Anhu.
126. Thabit bin Akhram al-Ba’lawi Radliyallahu 'Anhu.
127. Zaid bin Aslam bin Tha’labah al-Ba’lawi Radliyallahu 'Anhu.
128. Rib’ie bin Rafi’ al-Ba’lawi Radliyallahu 'Anhu.
129. Asim bin Adi al-Ba’lawi Radliyallahu 'Anhu.
130. Jubr bin ‘Atik Radliyallahu 'Anhu.
131. Malik bin Numailah al-Muzani Radliyallahu 'Anhu.
132. Al-Nu’man bin ‘Asr al-Ba’lawi Radliyallahu 'Anhu.
133. Abdullah bin Jubair Radliyallahu 'Anhu.
134. Asim bin Qais bin Thabit Radliyallahu 'Anhu.
135. Abu Dhayyah bin Thabit bin al-Nu’man Radliyallahu 'Anhu.
136. Abu Hayyah bin Thabit bin al-Nu’man Radliyallahu 'Anhu.
137. Salim bin Amir bin Thabit Radliyallahu 'Anhu.
138. Al-Harith bin al-Nu’man bin Umayyah Radliyallahu 'Anhu.
139. Khawwat bin Jubair bin al-Nu’man Radliyallahu 'Anhu.
140. Al-Munzir bin Muhammad bin ‘Uqbah Radliyallahu 'Anhu.
141. Abu ‘Uqail bin Abdullah bin Tha’labah Radliyallahu 'Anhu.
142. Sa’ad bin Khaithamah Radliyallahu 'Anhu.
143. Munzir bin Qudamah bin Arfajah Radliyallahu 'Anhu.
144. Tamim (maula Sa’ad bin Khaithamah) Radliyallahu 'Anhu.
145. Al-Harith bin Arfajah Radliyallahu 'Anhu.
146. Kharijah bin Zaid bin Abi Zuhair Radliyallahu 'Anhu.
147. Sa’ad bin al-Rabi’ bin Amru Radliyallahu 'Anhu.
148. Abdullah bin Rawahah Radliyallahu 'Anhu.
149. Khallad bin Suwaid bin Tha’labah Radliyallahu 'Anhu.
150. Basyir bin Sa’ad bin Tha’labah Radliyallahu 'Anhu.
151. Sima’ bin Sa’ad bin Tha’labah Radliyallahu 'Anhu.
152. Subai bin Qais bin ‘Isyah Radliyallahu 'Anhu.
153. ‘Ubbad bin Qais bin ‘Isyah Radliyallahu 'Anhu.
154. Abdullah bin Abbas Radliyallahu 'Anhu.
155. Yazid bin al-Harith bin Qais Radliyallahu 'Anhu.
156. Khubaib bin Isaf bin ‘Atabah Radliyallahu 'Anhu.
157. Abdullah bin Zaid bin Tha’labah Radliyallahu 'Anhu.
158. Huraith bin Zaid bin Tha’labah Radliyallahu 'Anhu.
159. Sufyan bin Bisyr bin Amru Radliyallahu 'Anhu.
160. Tamim bin Ya’ar bin Qais Radliyallahu 'Anhu.
161. Abdullah bin Umair Radliyallahu 'Anhu.
162. Zaid bin al-Marini bin Qais Radliyallahu 'Anhu.
163. Abdullah bin ‘Urfutah Radliyallahu 'Anhu.
164. Abdullah bin Rabi’ bin Qais Radliyallahu 'Anhu.
165. Abdullah bin Abdullah bin Ubai Radliyallahu 'Anhu.
166. Aus bin Khauli bin Abdullah Radliyallahu 'Anhu.
167. Zaid bin Wadi’ah bin Amru Radliyallahu 'Anhu.
168. ‘Uqbah bin Wahab bin Kaladah Radliyallahu 'Anhu.
169. Rifa’ah bin Amru bin Amru bin Zaid Radliyallahu 'Anhu.
170. Amir bin Salamah Radliyallahu 'Anhu.
171. Abu Khamishah Ma’bad bin Ubbad Radliyallahu 'Anhu.
172. Amir bin al-Bukair Radliyallahu 'Anhu.
173. Naufal bin Abdullah bin Nadhlah Radliyallahu 'Anhu.
174. ‘Utban bin Malik bin Amru bin al-Ajlan Radliyallahu 'Anhu.
175. ‘Ubadah bin al-Somit Radliyallahu 'Anhu.
176. Aus bin al-Somit Radliyallahu 'Anhu.
177. Al-Nu’man bin Malik bin Tha’labah Radliyallahu 'Anhu.
178. Thabit bin Huzal bin Amru bin Qarbus Radliyallahu 'Anhu.
179. Malik bin Dukhsyum bin Mirdhakhah Radliyallahu 'Anhu.
180. Al-Rabi’ bin Iyas bin Amru bin Ghanam Radliyallahu 'Anhu.
181. Waraqah bin Iyas bin Ghanam Radliyallahu 'Anhu.
182. Amru bin Iyas Radliyallahu 'Anhu.
183. Al-Mujazzar bin Ziyad bin Amru Radliyallahu 'Anhu.
184. ‘Ubadah bin al-Khasykhasy Radliyallahu 'Anhu.
185. Nahhab bin Tha’labah bin Khazamah Radliyallahu 'Anhu.
186. Abdullah bin Tha’labah bin Khazamah Radliyallahu 'Anhu.
187. Utbah bin Rabi’ah bin Khalid Radliyallahu 'Anhu.
188. Abu Dujanah Sima’ bin Kharasyah Radliyallahu 'Anhu.
189. Al-Munzir bin Amru bin Khunais Radliyallahu 'Anhu.
190. Abu Usaid bin Malik bin Rabi’ah Radliyallahu 'Anhu.
191. Malik bin Mas’ud bin al-Badan Radliyallahu 'Anhu.
192. Abu Rabbihi bin Haqqi bin Aus Radliyallahu 'Anhu.
193. Ka’ab bin Humar al-Juhani Radliyallahu 'Anhu.
194. Dhamrah bin Amru Radliyallahu 'Anhu.
195. Ziyad bin Amru Radliyallahu 'Anhu.
196. Basbas bin Amru Radliyallahu 'Anhu.
197. Abdullah bin Amir al-Ba’lawi Radliyallahu 'Anhu.
198. Khirasy bin al-Shimmah bin Amru Radliyallahu 'Anhu.
199. Al-Hubab bin al-Munzir bin al-Jamuh Radliyallahu 'Anhu.
200. Umair bin al-Humam bin al-Jamuh Radliyallahu 'Anhu.
201. Tamim (maula Khirasy bin al-Shimmah) Radliyallahu 'Anhu.
202. Abdullah bin Amru bin Haram Radliyallahu 'Anhu.
203. Muaz bin Amru bin al-Jamuh Radliyallahu 'Anhu.
204. Mu’awwiz bin Amru bin al-Jamuh Radliyallahu 'Anhu.
205. Khallad bin Amru bin al-Jamuh Radliyallahu 'Anhu.
206. ‘Uqbah bin Amir bin Nabi bin Zaid Radliyallahu 'Anhu.
207. Hubaib bin Aswad Radliyallahu 'Anhu.
208. Thabit bin al-Jiz’i Radliyallahu 'Anhu.
209. Umair bin al-Harith bin Labdah Radliyallahu 'Anhu.
210. Basyir bin al-Barra’ bin Ma’mur Radliyallahu 'Anhu.
211. Al-Tufail bin al-Nu’man bin Khansa’ Radliyallahu 'Anhu.
212. Sinan bin Saifi bin Sakhr bin Khansa’ Radliyallahu 'Anhu.
213. Abdullah bin al-Jaddi bin Qais Radliyallahu 'Anhu.
214. Atabah bin Abdullah bin Sakhr Radliyallahu 'Anhu.
215. Jabbar bin Umaiyah bin Sakhr Radliyallahu 'Anhu.
216. Kharijah bin Humayyir al-Asyja’i Radliyallahu 'Anhu.
217. Abdullah bin Humayyir al-Asyja’i Radliyallahu 'Anhu.
218. Yazid bin al-Munzir bin Sahr Radliyallahu 'Anhu.
219. Ma’qil bin al-Munzir bin Sahr Radliyallahu 'Anhu.
220. Abdullah bin al-Nu’man bin Baldumah Radliyallahu 'Anhu.
221. Al-Dhahlak bin Harithah bin Zaid Radliyallahu 'Anhu.
222. Sawad bin Razni bin Zaid Radliyallahu 'Anhu.
223. Ma’bad bin Qais bin Sakhr bin Haram Radliyallahu 'Anhu.
224. Abdullah bin Qais bin Sakhr bin Haram Radliyallahu 'Anhu.
225. Abdullah bin Abdi Manaf Radliyallahu 'Anhu.
226. Jabir bin Abdullah bin Riab Radliyallahu 'Anhu.
227. Khulaidah bin Qais bin al-Nu’man Radliyallahu 'Anhu.
228. An-Nu’man bin Yasar Radliyallahu 'Anhu.
229. Abu al-Munzir Yazid bin Amir Radliyallahu 'Anhu.
230. Qutbah bin Amir bin Hadidah Radliyallahu 'Anhu.
231. Sulaim bin Amru bin Hadidah Radliyallahu 'Anhu.
232. Antarah (maula Qutbah bin Amir) Radliyallahu 'Anhu.
233. Abbas bin Amir bin Adi Radliyallahu 'Anhu.
234. Abul Yasar Ka’ab bin Amru bin Abbad Radliyallahu 'Anhu.
235. Sahl bin Qais bin Abi Ka’ab bin al-Qais Radliyallahu 'Anhu.
236. Amru bin Talqi bin Zaid bin Umaiyah Radliyallahu 'Anhu.
237. Muaz bin Jabal bin Amru bin Aus Radliyallahu 'Anhu.
238. Qais bin Mihshan bin Khalid Radliyallahu 'Anhu.
239. Abu Khalid al-Harith bin Qais bin Khalid Radliyallahu 'Anhu.
240. Jubair bin Iyas bin Khalid Radliyallahu 'Anhu.
241. Abu Ubadah Sa’ad bin Uthman Radliyallahu 'Anhu.
242. ‘Uqbah bin Uthman bin Khaladah Radliyallahu 'Anhu.
243. Ubadah bin Qais bin Amir bin Khalid Radliyallahu 'Anhu.
244. As’ad bin Yazid bin al-Fakih Radliyallahu 'Anhu.
245. Al-Fakih bin Bisyr Radliyallahu 'Anhu.
246. Zakwan bin Abdu Qais bin Khaladah Radliyallahu 'Anhu.
247. Muaz bin Ma’ish bin Qais bin Khaladah Radliyallahu 'Anhu.
248. Aiz bin Ma’ish bin Qais bin Khaladah Radliyallahu 'Anhu.
249. Mas’ud bin Qais bin Khaladah Radliyallahu 'Anhu.
250. Rifa’ah bin Rafi’ bin al-Ajalan Radliyallahu 'Anhu.
251. Khallad bin Rafi’ bin al-Ajalan Radliyallahu 'Anhu.
252. Ubaid bin Yazid bin Amir bin al-Ajalan Radliyallahu 'Anhu.
253. Ziyad bin Lubaid bin Tha’labah Radliyallahu 'Anhu.
254. Khalid bin Qais bin al-Ajalan Radliyallahu 'Anhu.
255. Rujailah bin Tha’labah bin Khalid Radliyallahu 'Anhu.
256. Atiyyah bin Nuwairah bin Amir Radliyallahu 'Anhu.
257. Khalifah bin Adi bin Amru Radliyallahu 'Anhu.
258. Rafi’ bin al-Mu’alla bin Luzan Radliyallahu 'Anhu.
259. Abu Ayyub bin Khalid al-Ansari Radliyallahu 'Anhu.
260. Thabit bin Khalid bin al-Nu’man Radliyallahu 'Anhu.
261. ‘Umarah bin Hazmi bin Zaid Radliyallahu 'Anhu.
262. Suraqah bin Ka’ab bin Abdul Uzza Radliyallahu 'Anhu.
263. Suhail bin Rafi’ bin Abi Amru Radliyallahu 'Anhu.
264. Adi bin Abi al-Zaghba’ al-Juhani Radliyallahu 'Anhu.
265. Mas’ud bin Aus bin Zaid Radliyallahu 'Anhu.
266. Abu Khuzaimah bin Aus bin Zaid Radliyallahu 'Anhu.
267. Rafi’ bin al-Harith bin Sawad bin Zaid Radliyallahu 'Anhu.
268. Auf bin al-Harith bin Rifa’ah Radliyallahu 'Anhu.
269. Mu’awwaz bin al-Harith bin Rifa’ah Radliyallahu 'Anhu.
270. Muaz bin al-Harith bin Rifa’ah Radliyallahu 'Anhu.
271. An-Nu’man bin Amru bin Rifa’ah Radliyallahu 'Anhu.
272. Abdullah bin Qais bin Khalid Radliyallahu 'Anhu.
273. Wadi’ah bin Amru al-Juhani Radliyallahu 'Anhu.
274. Ishmah al-Asyja’i Radliyallahu 'Anhu.
275. Thabit bin Amru bin Zaid bin Adi Radliyallahu 'Anhu.
276. Sahl bin ‘Atik bin al-Nu’man Radliyallahu 'Anhu.
277. Tha’labah bin Amru bin Mihshan Radliyallahu 'Anhu.
278. Al-Harith bin al-Shimmah bin Amru Radliyallahu 'Anhu.
279. Ubai bin Ka’ab bin Qais Radliyallahu 'Anhu.
280. Anas bin Muaz bin Anas bin Qais Radliyallahu 'Anhu.
281. Aus bin Thabit bin al-Munzir bin Haram Radliyallahu 'Anhu.
282. Abu Syeikh bin Ubai bin Thabit Radliyallahu 'Anhu.
283. Abu Tolhah bin Zaid bin Sahl Radliyallahu 'Anhu.
284. Abu Syeikh Ubai bin Thabit Radliyallahu 'Anhu.
285. Harithah bin Suraqah bin al-Harith Radliyallahu 'Anhu.
286. Amru bin Tha’labah bin Wahb bin Adi Radliyallahu 'Anhu.
287. Salit bin Qais bin Amru bin ‘Atik Radliyallahu 'Anhu.
288. Abu Salit bin Usairah bin Amru Radliyallahu 'Anhu.
289. Thabit bin Khansa’ bin Amru bin Malik Radliyallahu 'Anhu.
290. Amir bin Umaiyyah bin Zaid Radliyallahu 'Anhu.
291. Muhriz bin Amir bin Malik Radliyallahu 'Anhu.
292. Sawad bin Ghaziyyah Radliyallahu 'Anhu.
293. Abu Zaid Qais bin Sakan Radliyallahu 'Anhu.
294. Abul A’war bin al-Harith bin Zalim Radliyallahu 'Anhu.
295. Sulaim bin Milhan Radliyallahu 'Anhu.
296. Haram bin Milhan Radliyallahu 'Anhu.
297. Qais bin Abi Sha’sha’ah Radliyallahu 'Anhu.
298. Abdullah bin Ka’ab bin Amru Radliyallahu 'Anhu.
299. ‘Ishmah al-Asadi Radliyallahu 'Anhu.
300. Abu Daud Umair bin Amir bin Malik Radliyallahu 'Anhu.
301. Suraqah bin Amru bin ‘Atiyyah Radliyallahu 'Anhu.
302. Qais bin Mukhallad bin Tha’labah Radliyallahu 'Anhu.
303. Al-Nu’man bin Abdi Amru bin Mas’ud Radliyallahu 'Anhu.
304. Al-Dhahhak bin Abdi Amru Radliyallahu 'Anhu.
305. Sulaim bin al-Harith bin Tha’labah Radliyallahu 'Anhu.
306. Jabir bin Khalid bin Mas’ud Radliyallahu 'Anhu.
307. Sa’ad bin Suhail bin Abdul Asyhal Radliyallahu 'Anhu.
308. Ka’ab bin Zaid bin Qais Radliyallahu 'Anhu.
309. Bujir bin Abi Bujir al-Abbasi Radliyallahu 'Anhu.
310. ‘Itban bin Malik bin Amru al-Ajalan Radliyallahu 'Anhu.
311. ‘Ismah bin al-Hushain bin Wabarah Radliyallahu 'Anhu.
312. Hilal bin al-Mu’alla al-Khazraj Radliyallahu 'Anhu.
313. Oleh bin Syuqrat Radliyallahu 'Anhu.

Lahum Al-Fatihah

Friday, September 20, 2019

Kisah Nabi Shaleh (3): Unta Betina dari Batu (1)

Di tengah situasi menyimpangnya Kaum Tsamud, Allah kemudian mengutus Nabi Shales AS kepada mereka, yakni seseorang yang berasal dari kaum mereka sendiri. Silsilah lengkap Shaleh adalah: Shaleh bin Ubaid bin Asif bin Masikh bin Ubaid bin Khadir bin Tsamud bin Gether bin Aram bin Sem bin Nuh. Dia kemudian menyeru umatnya untuk menyembah Allah semata, dan tidak mempersekutukan-Nya.[1]

Seruan Nabi Shaleh tercatat di dalam Alquran, “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).’.” (Q.S 11: 61)

Menurut Quraish Shihab, apa yang disampaikan Shaleh untuk umatnya sama persis dengan apa yang telah disampaikan oleh Nabi Nuh dan Nabi Hud kepada umat mereka masing-masing.[2] Dan respon yang didapatnya, juga serupa. Sementara sebagian kecil Kaum Tsamud beriman kepadanya, namun  sebagian besar dari mereka tidak percaya dan melukainya, baik melalui kata-kata maupun perbuatan.[3]

Sebelum mendapatkan wahyu dari Allah SWT, Shaleh di antara Kaum Tsamud dikenal sebagai seseorang yang bijaksana, suci, berakhlak baik, dan sangat dihormati oleh mereka. Sebagaimana dikatakan oleh Kaum Tsamud sendiri di dalam Alquran, “Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? Dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami.” (Q.S 11: 62)

Mereka hanya ingin menyembah tuhan yang sama seperti yang dimiliki oleh orang tua mereka. Tidak perlu alasan, tidak perlu bukti, dan tidak perlu dipikirkan. Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Shaleh adalah bukti itu sendiri, karena tidak ada manusia manapun yang mampu mengucapkan kata-kata seperti nabi. Meski demikian, sebagian besar umatnya tetap tidak mempercayainya.

Mereka meragukan kata-katanya, mengira bahwa Shaleh hanyalah seorang penyihir, dan mereka melihat bahwa dia tidak akan berhenti berkhotbah. Khawatir bahwa para pengikut Shaleh akan terus bertambah, maka mereka mencoba untuk membendungnya dengan memberikan dia tugas penting yang seolah-olah mustahul. Sebagai bukti bahwa dia adalah seorang nabi, maka mereka memintanya untuk melakukan mukjizat.[4]

Seperti yang pernah disinggung, Kaum Tsamud adalah kaum yang mempunyai keahlian memahat gunung. Mereka mampu membuat relief-relief yang sangat indah, sehingga gambar-gambar yang dihasilkan oleh mereka bagaikan sesuatu yang benar-benar hidup. Maka mereka menuntut sesuatu yang melebihi kemampuan mereka.[5]

Kaum Tsamud berkata, “Jika engkau benar, tunjukkanlah kepada kami suatu tanda.”[6]

Mereka kemudian menunjuk sebuah batu karang dan memintanya, “Mintalah kepada Tuhanmu untuk membuatkan unta betina, yang harus sepuluh bulan hamil, tinggi, dan menarik. Buatkanlah dari batu itu untuk kami.”

Shaleh menjawab, “Lihatlah sekarang! Jika Allah mengirimkan kalian apa yang kalian minta, seperti yang telah kalian deskripsikan, akankah kalian beriman kepada apa yang telah aku datangkan kepada kalian, dan beriman kepada risalah yang telah aku sampaikan?”

Mereka menjawab, “Ya.”

Shaleh kemudian mengambil sumpah dari mereka tentang hal ini, lalu berdoa kepada Allah SWT untuk mengabulkan permintaan mereka. Allah kemudian memerintahkan batu itu untuk membelah diri, dan memunculkan unta yang hamil sepuluh bulan. Ketika mata mereka menatapnya, mereka kagum. Mereka melihat hal yang hebat, pemandangan yang indah, kekuatan yang menakjubkan dan bukti yang jelas![7]

Dalam riwayat lain, sebagaimana disampaikan oleh Abu al-Tufail, kisahnya berjalan seperti ini:

Tsamud berkata kepada Shaleh, “Tunjukkanlah kami tanda jika engkau memang benar.”

Shalih berkata kepada mereka, “Pergilah ke ketinggian di atas tanah,” dan (batu) itu berguncang keras, bagaikan seorang wanita yang bergetar ketika sedang melahirkan, dan terbelah, dan dari tengahnya muncullah seekor unta.

Shaleh berkata, “Ini adalah unta Allah, sebuah tanda bagi kalian. Biarkan dia makan di tanah Allah, dan jangan menyakitinya, jangan sampai siksaan yang menyakitkan merenggutmu. Ia memiliki hak untuk minum, dan kalian memiliki hak untuk minum, masing-masing pada hari yang ditentukan.”[8] (PH)

Bersambung ke:

Kisah Nabi Shaleh (1): Kaum Tsamud

Untuk memulai kisah tentang Nabi Shaleh AS, kita akan memulainya dari sebuah riwayat dari Nabi Muhammad SAW yang disampaikan oleh salah satu sahabat, Abu al-Tufail:

Ketika Rasulullah pergi dalam ekspedisi untuk menyerang Tabuk, dia berkemah di al-Hijr dan berkata, “Wahai orang-orang! Janganlah meminta tanda (sebagai bukti kenabian) kepada Nabi kalian! Umat Shaleh ini meminta nabi mereka untuk mengirimi mereka tanda, dan Allah mengirim mereka unta betina sebagai tanda.

“Pada hari gilirannya (si unta betina) untuk minum, ia masuk di antara mereka dari celah (batu) ini dan meminum air mereka. Pada hari giliran mereka (Kaum Tsamud), mereka akan mendapatkan ini (air) dan akan mengambil susu darinya sebanyak sebagaimana mereka mengambil air sebelumnya. Dengan demikian ia akan keluar dari celah (untuk memberi susu).

“Namun mereka menjadi tidak taat kepada perintah Tuhan mereka dan melukainya[1](si unta betina), jadi Allah menjanjikan kepada mereka hukuman setelah tiga hari. Itu adalah janji dari Allah dan tidak salah. Maka Allah menghancurkan mereka semua, di Timur dan Barat, kecuali terhadap satu orang yang berada di tempat suci Allah. Tempat suci Allah melindunginya dari hukuman Allah.”

Mereka berkata, “Dan siapakah orang itu, wahai Rasulullah?”

Dia berkata, “Abu Righal.”[2]

Dalam hadis lain, yang diriwayatkan oleh at-Thabrani, Rasulullah bersabda, “Orang terdahulu yang paling celaka adalah pemotong unta (Nabi Shaleh).”[3]

Riwayat di atas menjadi semacam ringkasan dari apa yang terjadi terhadap Kaum Tsamud, umat Nabi Shaleh. Adapun penjelasan yang lebih lengkap, seperti misalnya mengapa Nabi Shaleh diutus? Kapan dia diutus? Bagaimana biografi Kaum Tsamud? Dan mengapa mereka dihancurkan? Itu akan dipaparkan secara lebih detail kemudian. Mari kita simak kisahnya.

Urutan masa kemunculan Nabi Shaleh, dapat diurut dari masa kenabian Nabi Nuh, dalam rentang waktu yang cukup dekat. Alquran tidak menjelaskan berapa rentang waktu antara peristiwa banjir besar pada masa Nabi Nuh sampai munculnya kaum ini, namun silsilah keluarga kaum ini masih cukup dekat dengan Nuh. Meskipun secara silsilah dekat, namun dalam banyak riwayat, orang-orang pada masa ini seringkali digambarkan berumur sangat panjang, ratusan bahkan ribuan tahun.

Setelah bahtera Nuh tiba di Gunung al-Judi dan mendarat di sana, dalam suatu riwayat dikatakatan bahwa Nuh membagi-bagi bumi kepada ketiga putranya. Amir bin Sharahil al-Sha`bi meriwayatkan, “Ketika Nuh, keturunannya, dan semua yang ada di dalam bahtera turun ke bumi, dia membagi bumi kepada para putranya ke dalam tiga bagian.

“Kepada Sem, dia memberikan bagian tengah bumi di mana Yerusalem, Sungai Nil, Sungai Efrat, Tigris, Sayhan, Jayhan (Gihon), dan Fayshan (Pison) berada. Itu memanjang dari Pison ke timur Sungai Nil, dan dari daerah dari mana angin selatan bertiup hingga ke daerah dari mana angin utara bertiup.

“Kepada Ham, dia memberikan bagian (bumi) di sebelah barat Sungai Nil dan daerah-daerah yang melampaui wilayah tempat angin barat bertiup. Bagian yang dia berikan kepada Yafet terletak di Pison dan daerah-daerah yang melampaui tempat angin timur bertiup.”[4]

Menurut Al-Tabari, dari ketiga putra Nuh tersebut, adalah keturunan dari Sem yang melahirkan dua kaum penyembah berhala. Dua kaum tersebut adalah Kaum Ad dan Kaum Tsamud. Ad dan Tsamud, dulunya adalah nama dua orang yang masih keturunan Nabi Nuh. Berikut ini adalah silsilah dari Ad: Ad bin Uz bin Aram bin Sem bin Nuh. Sementara itu, silsilah dari Tsamud adalah: Tsamud bin Gether bin Aram bin Sem bin Nuh.[5]

Allah kemudian mengutus dua nabi kepada kedua kaum tersebut. Untuk Kaum Ad, Allah mengutus Nabi Hud, dan untuk Kaum Tsamud, Allah mengutus Nabi Shaleh. Peristiwa kenabian Nabi Hud, terjadi lebih dahulu ktimbang Nabi Shaleh. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Katsir dalam Qisas Al-Anbiya, “Setelah penghancuran Kaum Ad, suku Tsamud menggantikan mereka dalam kekuasaan dan kejayaan. Mereka juga jatuh ke dalam penyembahan berhala.

“Ketika kekayaan materi mereka meningkat, demikian pula cara kejahatan mereka, sementara kebajikan mereka menurun. Seperti Kaum Ad, mereka membangun bangunan-bangunan megah di dataran dan memahat rumah-rumah yang indah di perbukitan. Tirani dan penindasan menjadi lazim ketika orang-orang jahat memerintah negeri itu.”[6]

Hal ini juga diungkapkan di dalam Alquran:

“Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ‘Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.” (Q.S 7: 74). (PH)

Bersambung ke

Kisah Nabi Shaleh (2): Bangsa Pemahat Batu Karang

Kaum Tsamud merupakan salah satu suku bangsa Arab terbesar yang telah punah. Sebaimana telah disebut pada seri sebelumnya, mereka adalah keturunan dari Tsamud bin Gether bin Aram bin Sem bin Nuh. Dengan demikian silsilah keturunan mereka bertemu dengan Kaum Ad pada kakek yang sama, yaitu Aram. Mereka bermukim di satu wilayah yang bernama al-Hijr, yaitu satu daerah di Hijaz (Saudi Arabia sekarang).[1]

Tempat itu juga dinamai Madain Shalih — karena Nabi Shaleh AS adalah Nabi yang diutus kepada mereka. Di sana hingga kini terdapat banyak peninggalan, antara lain berupa reruntuhan bangunan kota lama, yang merupakan sisa-sisa dari kaum Tsamud. Selain itu, di sana ditemukan juga pahatan-pahatan indah serta kuburan-kuburan, dan aneka tulisan dengan berbagai aksara Arab, Aramiya, Yunani, dan Romawi.[2]

Suatu waktu, Amr bin Kharijah, salah satu sahabat Rasulullah, ditanya, “Ceritakanlah kepada kami kisah tentang Tsamud.”

Amr bin Kharijah menjawab, “Aku akan menceritakan kepada kalian apa yang dikatakan oleh Rasulullah tentang Tsamud.

“Tsamud adalah umat (Nabi) Shaleh yang telah Allah karuniakan umur yang panjang di dunia ini, dan Dia membuat daya tahan mereka begitu kuat. Karena begitu kuatnya, sehingga suatu waktu, ketika salah satu dari mereka mulai membangun rumah dari lumpur kering dan (rumah) itu roboh menimpanya, orang itu masih selamat.

“Ketika mereka melihat kejadian itu, (karena tahu memiliki tubuh yang sangat kuat) mereka menggunakan keterampilan mereka untuk membuat rumah dari gunung. Mereka menatah gunung-gunung, memotongnya, dan melubanginya, dan mereka hidup dengan nyaman di dalamnya.”[3]

Allah SWT berfirman, “Dia menempatkan kamu (Kaum Tsamud) di bumi; kamu membuat pada dataran-dataran rendahnya jadi bangunan-bangunan besar, dan kamu pahat gunung-gunungnya menjadi rumah-rumah.” (Q.S 7: 74)

Terkait ayat di atas, di dalam Tafsir Al-Mishbah, tempat tinggal mereka digambarkan begitu indah, luas, dan nyaman. Rumah mereka tahan baik terhadap cuaca dingin maupun panas. Selain itu, mereka juga diberikan lahan yang dapat digunakan untuk bercocok tanam pada musim panas.[4]

Pada masa kini, dalam sebuah laporan perjalanan, bekas tempat tinggal Kaum Tsamud digambarkan, “Memasuki daerah Madain Saleh yang berpasir, gunung berbatu sudah mulai terlihat seolah menyambut pengunjung. Batu-batu super besar itu berdiri tegak memisah dan ada pula yang menyatu berbentuk bukit.

“Di tiap sudut batunya, terdapat tekstur dalam ragam bentuk. Juga goresan garis-garis dalam bidang, menghadirkan volume cekung, cembung dan datar bahkan lubang yang tembus ke sisi lainnya.

“Tak hanya itu, di sebagian besar batu itu juga terdapat pintu beserta ruangan kecil. Di dalam ruangan yang menyerupai kamar, ada bangku dari batu dengan goresan-goresan pahat tak beraturan di dindingnya. Di situs bersejarah ini disebutkan memiliki 132 kamar dan kuburan.”[5]

Pada masa bangsa ini hidup, karena keahlian dan kepandaian mereka, hasil ukiran yang dibuat oleh mereka, dijadikan sebagai barang dagangan dengan komoditas lainnya. Sebagian lagi dibuat untuk menjadi hiasan di rumah-rumah mereka.

Produk utama Kaum Tsamud adalah barang pecah-belah (tembikar) yang unik, dan memiliki nilai seni yang berkualitas tinggi, sedangkan produk lainnya berupa kemenyan dan rempah-rempah. Dari hasil perdagangan yang mereka lakukan, mereka menjadi kaya raya, dan sehingga memungkinkan mereka untuk membangun istana, rumah yang dipahat, dan makam-makam pada batu karang.[6]

Pada tahun 2008, UNESCO mengesahkan Madain Salih, atau yang mereka sebut dengan The archaeological site of Al-Hijr, sebagai salah satu situs warisan dunia (World Heritage Site). Di dalam website UNESCO, Madain Salih dikatakan sebagai situs utama peninggalan peradaban Nabatea, pada bagian selatan dari zona pengaruhnya. Bangunan dan arsitektur peninggalan bangsa ini dipahat langsung di batu karang.  

Berdasarkan gaya arsitekturnya, tempat ini dianggap sebagai tempat bertemunya berbagai peradaban, seperti Asyur, Mesir, Fenisia, dan Helenistik. Selain itu, di sana juga ditemukan kehadiran epigrafi dari beberapa bahasa kuno seperti Lihyanite, Thamudic, Nabataean, Yunani, dan Latin.

Tempat ini telah menjadi saksi dari berkembangnya teknik pertanian Nabatea yang menggunakan sejumlah besar sumur buatan di tanah berbatu. Sumur-sumur ini bahkan sampai sekarang masih dapat digunakan. Situs ini adalah contoh luar biasa dari pencapaian arsitektur dan keahlian hidrolik peradaban Nabataean. Pada masanya, Al-Hijr menjadi saksi perdagangan karavan internasional pada akhir masa peradaban kuno dunia.[7]  

Mari kita kembali kepada kisah Kaum Tsamud di masa Nabi Shaleh. Pada awalnya mereka dapat menarik pelajaran berharga dari pengalaman buruk yang menimpa Kaum Ad, karena itu mereka beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada masa itulah mereka pun berhasil membangun peradaban yang cukup megah, namun keberhasilan itu menjadikan mereka lengah, sehingga mereka kembali menyembah berhala yang serupa dengan berhala yang disembah oleh Kaum Ad. Ketika itulah Allah kemudian mengutus Nabi Shaleh untuk mengingatkan mereka agar tidak mempersekutukan Allah.[8](PH)

Bersambunke:

Sunday, September 8, 2019

INILAH NAMA-NAMA 313 UTUSAN ALLAH (RASUL ALLAH)

INILAH NAMA-NAMA 313 UTUSAN ALLAH  (RASUL ALLAH)

Telah kita ketahui bersama bahwa nama2 rasul yg wajib kita hafal dan ketahui ada 25. Sedangkan jumlah keseluruhan para rasul ada 313. Mungkin ini yang tidak banyak diketahui orang, yakni tentang nama2 para rasul yg berjumlah 313.

Al-Alim al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani (kelahiran Tanara, Serang, Banten tahun 1813 M dan wafat di Mekkah tahun 1897 M), dalam kitabnya yg berjudul ats-Tsamaru al-Yani’ah fi Riyadh al-Badi’ah menjelaskan:

فمن كتب اسمائهم ووضعهم فى بيته او قراها اوحملها تعظيما لهم وتكريما لذواتهم واحتراما لنبوتهم واستمدادا من هممهم العالية واستغاثة بارواحهم المقدسة سهل عليه امورالدنيا والاخرة وفتح عليه ابواب الخيرات ونزول الرحمة والبركات ودفع عنه الشرور , وقال صلى الله عليه وسلم حياتهم ومماتهم سواء فهم متصرفون في الارض والسماء.

“Barangsiapa yang menulis nama2 rasul dan meletakkannya di rumah atau membacanya atau membawanya dengan mengagungkan mereka, memuliakan keberadaan mereka, menghormati kenabian mereka, berharap dari keinginan mereka yg tinggi dan beristighatsah dengan ruh2 mereka yg suci, maka akan dimudahkan oleh Allah Swt. segala urusan di dunia dan akhirat. Dan akan dibukakan pintu2 kebaikan dan diturunkan rahmat, keberkahan serta menolak segala kejelekan. Rasulullah Saw. bersabda: “Hidup dan matinya mereka (para rasul) itu sama saja, tetap beraktivitas (hidup) di bumi dan di langit.”

والمشهور ان المرسلين ثلاثمائة وثلاثا عشر كما في حديث ابي ذر وهاهي اسماؤهم على ماروى عن انس : ادم , شيث, انوش, قيناق, مهيائيل, اختوخ, ادريس, متوشلخ, نوح, هود, عبهف, مرداريم, شارع, صالح, ارفخشذ, صفوان, حنظلة, لوط, عصان, ابراهيم, اسمعيل, اسحق, يعقوب, يوسف, شمائيل, شعيب, موسى, لوطان, يعوا, هرون, كليل, يوشع, دانيال, بونش, بليا, ارميا, يونس, الياس, سليمان, داود, اليسع, ايوب, اوس, ذانين, الهميع, ثابت, غابر, هميلان, ذوالكفل, عزير, عزقلان, عزان, الوون, زاين, عازم, هريد, شاذن, سعد, غالب, شماس, شمعون, فياض, قضا, سارم, عيناض, سايم, عوضون, بيوزر, كزول, باسل, باسان, لاخين, غلضات, رسوغ, رشعين, المون, لوغ,برسوا, الاظيم, رشاد, شريب, هيبل, ميلان, عمران, هرييب, جريت, شماع, صريخ, سفان, قبيل, ضعضع, عيصون, عيصف, صديف, برواء,حاصيم, هيان, عاصم, وجان, مصداع, عاريس, شرحبيل, خربيل, حزقيل, اشموئيل, غمصان, كببر, سباط, عباد بثلخ, ريهان, عمدان, مرقان, حنان, لوحنا, ولام, بعيول, بصاص, هبان, افليق, قازيم, نصير, اوريس, مضعس, جذيمة, شروحيل, معنائيل, مدرك, حارم, بارغ هرميل, جابد, زرقان, اصفون, برجاج, ناوى, هزرابن اشبيل, عطاف, مهيل, زنجيل, شمطان, القوم, حوبلد, صالح, سانوخ, راميل, زاميل, قاسم, باييل, بازل, كبلان, باتر, حاجم, جاوح, جامر, حاجن, راسل, واسم, رادن, سادم, شوشا, جازان, صاحد, صحبان, كلوان, صاعد,غفران, غاير, لاحون, بلدخ, هيدان, لاوى, هيراء, ناصى, حانك, حافيخ, كاشيخ, لافث, نايم, حاشم, هجام, ميزاد,اسيمان, رحيلا, لاطف, برطفون, ابان, عورائض, مهمتصر, عانين, نماخ, هندويل, مبصل, مضعتام, طميل, طابيح, مهمم حجرم, عدون, منبد, بارون, روان, معبن, مزاحم, يانيد, لامى, فردان,جابر, سالوم, عيص, هربان, جابوك, عابوج, مينات, قانوح, دربان, صاخم, حارض, حراض, حرقيا, نعمان, ازميل, مزحم, ميداس, يانوح, يونس, ساسان, فريم, فريوش, صحيب, ركن, عامر, سحنق, زاخون, حينيم, عياب, صباح, عرفون, مخلاد, مرحم, صانيد, غالب, عبدالله, ادرزين, عدسار, زهران, بايع, نظير, هورين, كايواشيم, فتوان, عابون, رباخ, صابح, مسلون, حجان, روبال, رابون, معيلا, سايعان, ارجيل, بيغين, متضح, رحين, محراس, ساخين, حرفان, مهمون, حوضان, البؤن, وعد, رخيول, بيغان, بتيحور, حوظبان, عامل, زحرام, عيس, صبيح, يطبع, جارح, صهيب, صبحان, كلمان, يوخى, سميون, عرضون, حوحر, يلبق, بارع, عائيل, كنعان, حفدون, حسمان, يسمع, عرفور, عرمين, فضحان, صفا, شمعون, رصاص, اقلبون, شاخم, خائيل, احيال, هياج, زكريا, يحيى, جرجيس, عيسى بن مريم, محمد صلى الله عليه وسلم عليهم اجمعين .

“Dan menurut pendapat yg masyhur, sesungguhnya para rasul itu berjumlah 313, seperti yg disebutkan dalam hadits riwayat Abu Dzar Ra. Dan inilah nama2 rasul itu seperti yg diriwayatkan dari sahabat Anas Ra.:

1. Adam As.
2. Tsits As.
3. Anuwsy As.
4. Qiynaaq As.
5. Mahyaa’iyl As.
6. Akhnuwkh As.
7. Idris As.
8. Mutawatsilakh As.
9. Nuh As.
10. Hud As.
11. Abhaf As.
12. Murdaaziyman As.
13. Tsari’ As.
14. Sholeh As.
15. Arfakhtsyad As.
16. Shofwaan As.
17. Handholah As.
18. Luth As.
19. Ishoon As.
20. Ibrahim As.
21. Isma’il As.
22. Ishaq As.
23. Ya’qub As.
24. Yusuf As.
25. Tsama’il As.
26. Su’aib As.
27. Musa As.
28. Luthoon As.
29. Ya’wa As.
30. Harun As.
31. Kaylun As.
32. Yusya’ As.
33. Daaniyaal As.
34. Bunasy As.
35. Balyaa As.
36. Armiyaa As.
37. Yunus As.
38. Ilyas As.
39. Sulaiman As.
40. Daud As.
41. Ilyasa’ As.
42. Ayub As.
43. Aus As.
44. Dzanin As.
45. Alhami’ As.
46. Tsabits As.
47. Ghobir As.
48. Hamilan As.
49. Dzulkifli As.
50. Uzair As.
51. Azkolan As.
52. Izan As.
53. Alwun As.
54. Zayin As.
55. Aazim As.
56. Harbad As.
57. Syadzun As.
58. Sa’ad As.
59. Gholib As.
60. Syamaas As.
61. Syam’un As.
62. Fiyaadh As.
63. Qidhon As.
64. Saarom As.
65. Ghinadh As.
66. Saanim As.
67. Ardhun As.
68. Babuzir As.
69. Kazkol As.
70. Baasil As.
71. Baasan As.
72. Lakhin As.
73. Ilshots As.
74. Rasugh As.
75. Rusy’in As.
76. Alamun As.
77. Lawqhun As.
78. Barsuwa As.
79. Al-‘Adzim As.
80. Ratsaad As.
81. Syarib As.
82. Habil As.
83. Mublan As.
84. Imron As.
85. Harib As.
86. Jurits As.
87. Tsima’ As.
88. Dhorikh As.
89. Sifaan As.
90. Qubayl As.
91. Dhofdho As.
92. Ishoon As.
93. Ishof As.
94. Shodif As.
95. Barwa’ As.
96. Haashiim As.
97. Hiyaan As.
98. Aashim As.
99. Wijaan As.
100. Mishda’ As.
101. Aaris As.
102. Syarhabil As.
103. Harbiil As.
104. Hazqiil As.
105. Asymu’il As.
106. Imshon As.
107. Kabiir As.
108. Saabath As.
109. Ibaad As.
110. Basylakh As.
111. Rihaan As.
112. Imdan As.
113. Mirqoon As.
114. Hanaan As.
115. Lawhaan As.
116. Walum As.
117. Ba’yul As.
118. Bishosh As.
119. Hibaan As.
120. Afliq As.
121. Qoozim As.
122. Ludhoyr As.
123. Wariisa As.
124. Midh’as As.
125. Hudzamah As.
126. Syarwahil As.
127. Ma’n’il As.
128. Mudrik As.
129. Hariim As.
130. Baarigh As.
131. Harmiil As.
132. Jaabadz As.
133. Dzarqon As.
134. Ushfun As.
135. Barjaaj As.
136. Naawi As.
137. Hazruyiin As.
138. Isybiil As.
139. Ithoof As.
140. Mahiil As.
141. Zanjiil As.
142. Tsamithon As.
143. Alqowm As.
144. Hawbalad As.
145. Solih As.
146. Saanukh As.
147. Raamiil As.
148. Zaamiil As.
149. Qoosim As.
150. Baayil As.
151. Yaazil As.
152. Kablaan As.
153. Baatir As.
154. Haajim As.
155. Jaawih As.
156. Jaamir As.
157. Haajin As.
158. Raasil As.
159. Waasim As.
160. Raadan As.
161. Saadim As.
162. Syu’tsan As.
163. Jaazaan As.
164. Shoohid As.
165. Shohban As.
166. Kalwan As.
167. Shoo’id As.
168. Ghifron As.
169. Ghooyir As.
170. Lahuun As.
171. Baldakh As.
172. Haydaan As.
173. Lawii As.
174. Habro’a As.
175. Naashii As.
176. Haafik As.
177. Khoofikh As.
178. Kaashikh As.
179. Laafats As.
180. Naayim As.
181. Haasyim As.
182. Hajaam As.
183. Miyzad As.
184. Isyamaan As.
185. Rahiilan As.
186. Lathif As.
187. Barthofun As.
188. A’ban As.
189. Awroidh As.
190. Muhmuthshir As.
191. Aaniin As.
192. Namakh As.
193. Hunudwal As.
194. Mibshol As.
195. Mudh’ataam As.
196. Thomil As.
197. Thoobikh As.
198. Muhmam As.
199. Hajrom As.
200. Adawan As.
201. Munbidz As.
202. Baarun As.
203. Raawan As.
204. Mu’biin As.
205. Muzaahiim As.
206. Yaniidz As.
207. Lamii As.
208. Firdaan As.
209. Jaabir As.
210. Saalum As.
211. Asyh As.
212. Harooban As.
213. Jaabuk As.
214. Aabuj As.
215. Miynats As.
216. Qoonukh As.
217. Dirbaan As.
218. Shokhim As.
219. Haaridh As.
220. Haarodh As.
221. Harqiil As.
222. Nu’man As.
223. Azmiil As.
224. Murohhim As.
225. Midaas As.
226. Yanuuh As.
227. Yunus As.
228. Saasaan As.
229. Furyum As.
230. Farbusy As.
231. Shohib As.
232. Ruknu As.
233. Aamir As.
234. Sahnaq As.
235. Zakhun As.
236. Hiinyam As.
237. Iyaab As.
238. Shibah As.
239. Arofun As.
240. Mikhlad As.
241. Marhum As.
242. Shonid As.
243. Gholib As.
244. Abdullah As.
245. Adruzin As.
246. Idasaan As.
247. Zahron As.
248. Bayi’ As.
249. Nudzoyr As.
250. Hawziban As.
251. Kaayiwuasyim As.
252. Fatwan As.
253. Aabun As.
254. Rabakh As.
255. Shoobih As.
256. Musalun As.
257. Hijaan As.
258. Rawbal As.
259. Rabuun As.
260. Mu’iilan As.
261. Saabi’an As.
262. Arjiil As.
263. Bayaghiin As.
264. Mutadhih As.
265. Rahiin As.
266. Mihros As.
267. Saahin As.
268. Hirfaan As.
269. Mahmuun As.
270. Hawdhoon As.
271. Alba’uts As.
272. Wa’id As.
273. Rahbul As.
274. Biyghon As.
275. Batiihun As.
276. Hathobaan As.
277. Aamil As.
278. Zahirom As.
279. Iysaa As.
280. Shobiyh As.
281. Yathbu’ As.
282. Jaarih As.
283. Shohiyb As.
284. Shihats As.
285. Kalamaan As.
286. Bawumii As.
287. Syumyawun As.
288. Arodhun As.
289. Hawkhor As.
290. Yaliyq As.
291. Bari’ As.
292. Aa’iil As.
293. Kan’aan As.
294. Hifdun As.
295. Hismaan As.
296. Yasma’ As.
297. Arifur As.
298. Aromin As.
299. Fadh’an As.
300. Fadhhan As.
301. Shoqhoon As.
302. Syam’un As.
303. Rishosh As.
304. Aqlibuun As.
305. Saakhim As.
306. Khoo’iil As.
307. Ikhyaal As.
308. Hiyaaj As.
309. Zakariya As.
310. Yahya As.
311. Jurhas As.
312. Isa As.
313. Muhammad Saw.

# Alhasil, menurut dgn konteks kekinian, kalau kita posting ataupun share status 313 nama2 rasul ini insya Allah juga akan mendapatkan keutamaan sebagaimana mereka yg meletakkannya di rumah atau membacanya atau membawanya dgn mengagungkan mereka, memuliakan keberadaan mereka, menghormati kenabian mereka, berharap dari keinginan mereka yg tinggi dan beristighatsah dengan ruh2 mereka yg suci, sebagaiman disebutkan di atas. Aamiin.

صَلَوَاتُ اللهِ وَ سَلاَمُهُ عَلَيْهِمْ اَ جْمَعِيْنَ…شء لله لهم الفاتحة

اَللّٰـهُمَّ إِ نِّـى أَ سْـأَ لُكَ وَ أَ تَـوَجَّـهُ إِ لَـيْكَ بِحَبِـيْـبِكَ اْلـمُصْطَفَ عِـنْدَ كَ يَا حَبِـيْـبَنَا يَا مُحَـمَّدُ إِ نَّا نَتَوَسَّلُ بِكَ إِ لَى رَ بِكَ فَا شْـفَعْ لَنَا عِنْدَ اْلـمَوْ لَى اْلعَظِيْم يَا نِعْمَ الرَّسُـوْلُ الـطَّا هِرُ اَللّٰـهُمَّ شَفِـعْـهُ فِـيْنَا بِـجَا هِـهِ عِنْدَ كَ … ﴿٣﴾

اَللّٰـهُمَّ إِ نِّـى أَ سْـأَ لُكَ وَ أَ تَوَجَّـهُ إِ لَـيْكَ جَمِـيْعِ اْلأَ نْـبِيَآءِ الْمُطَهَّـرِيْنَ وَا الرَّسُوْلِ الْمُرْسَلِيْنَ وَجَمِيْعِ الْمَلاَئِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ وَجَمِـيْعِ أَوْلِـيَآ ئِكَ فِى مَشَارِقِ اْلأَرْضِ وَمَغَا رِ بِهَا فِى بَـرِّهَا وَبَحْرِهَا مِنْ أَوْلِـيَآ ءِ اْلأَ بْدَا لِ وَاْلأَ وْ تَا دِ وَ اْلأَ قْطَا بِ وَجَمِـيْعِ أَ هْلِ طَـرِيِـقَةِ اْلأَكْمَلِـيَّةِ وَمِنْ أَ هْلِ سِلْسِلَـتِهِمْ مِنْ اَ وَّلِ السَّـنَدِ إِ لَى أَ خِرِ هِ الَّذِ يْنَ قَـدْ ذَكَرْنَا هُمْ فِى حُصُوْصِ الْفَـاتِحَةِ خُصُوْصًا بِكَرَا مَـةِ وَبَـرَكَةِ سَـيِّدِ نَا مُحَمَّدٍ صَلَى اللهُ عَلَـيْهِ وَسَلَّـم وَسَـيِّدِ نَا الْخِضِر عَلَـيْهِ السَّلاَ مْ وَ الشَّيْخ مُحِيْ الدِّ يْنِ عَـبْدُ اْلـقَا دِ رِ الْجَـيْلاَ نِـى وَ الشَّيْخِ مُحَمَّد سِرَاجِ اْلـعَارِفِ وَ الشَّيْخِ صَا لِحْ سَيْفُ الدِّ يْنِ خُصُوْصًا بِجُوْدِ كَ وَ فَضْـلِكَ وَكَرَا مَتِكَ إِ خْتَـصْنِى بِـرِضَا كَ وَ مَغْـفِرَتِكَ وَكَرَا مَتِكَ فِى الدُّ نْيَا وَ اْلأَ خِرَ ةِ … ﴿٣﴾

Monday, September 2, 2019

Asal Mula Gelar 'Raja Para Wali' untuk Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

Kitab Al-Fawaid al-Mukhtarah (Yaman: Dar al-Ilmi wa ad-Da`wah, 2018) karya Habib Ali Hasan Baharun merupakan bunga rampai dari perkataan-perkataan gurunya, yaitu Habib Zain bin Ibrahim bin Smith. Kitab tersebut berisi tentang wejangan-wejangan para ulama, wali, habaib, dan termasuk kisah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam perjalanannya memperoleh gelar sulthanul auliya (raja dari seluruh para wali).

Di waktu menimba ilmu, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani berteman dengan dua orang yang bisa dibilang cukup cerdas dan pandai yaitu Ibnu Saqa dan Ibnu Abi `Asrun. Pertemanan itu berlanjut hingga mereka bertiga ingin mengunjungi seorang wali berpangkat wali al-ghouts, rumah wali tersebut cukup jauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Mungkin lebih tepatnya bisa dikatakan pelosok banget. Tapi, keinginan mereka untuk bertemu sang wali tidak terhalang walau jarak yang demikian jauh dan sudah barang tentu kunjungan mereka tak lepas dari maksud dan tujuan.

Dalam perjalanan, mereka saling bertanya satu sama lain terkait tujuan dan niat masing-masing. Dengan polosnya Ibnu Abi `Usrun memulai pertanyaan kepada Ibnu Saqa.

“Hei Saqa, kamu mau ngapain bertemu wali itu?” 

“Aku akan mengajukan sebuah pertanyaan yang begitu sulit, hingga ia bingung dan tidak mampu untuk menjawabnya, ha.. ha.. Aku ini kan orang cerdas, jadi, sudah sepatutnya menguji kedalaman ilmu seorang wali,” jawabnya. 

Tak menunggu lama Ibnu Abi `Asrun pun mengatakan maksudnya. 

“Kalau aku ingin bertanya tentang sesuatu yang aku yakin dia tidak mampu untuk menjawabnya,” tuturnya.

Pada hakikatnya tujuan dari keduanya sama yakni ingin menguji ketinggian ilmu dari seorang wali. Mungkin karena Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tidak segera mengutarakan niatnya, akhirnya mereka berdua bertanya.

“Qadir, kamu mau mengajukan pertanyaan seperti kami atau ada hal lain?” 

“Saya tidak mau bertanya apa-apa?” jawabnya. 

Lalu mereka pun bertanya lagi. 

“Lho, terus kamu ini mau apa? Hanya mau mengikuti kami?” 

“Saya itu gak punya pertanyaan yang mau diajukan. Saya hanya ingin sowan saja dan mengharap berkah darinya. Itu saja cukup kok, karena orang seperti ini biasanya hanya disibukkan dengan kekasihnya yaitu Allah SWT,” jelas Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.

Dari dialog mereka, kita sudah bisa melihat sifat dan sikap mereka terhadap kekasih Allah SWT. Kesombongan dan rendah diri manusia, juga bisa diukur dengan sebuah perkataan. Kesombongan terhadap orang lain terjadi ketika kita memposisikan diri kita lebih tinggi atau lebih hebat daripada orang lain. Sementara, orang yang rendah hati tetap memposisikan dirinya sebagai penerima anugrah ilahi yang tidak sempurna dan lemah. Dia merasa memperoleh segala sesuatunya karena karunia Allah bukan karena kegagahan dan kehebatannya.

Sesampainya di kediaman wali al-ghouts, mereka mengetuk pintu rumahnya. Tapi, sang wali tak kunjung membuka pintu, malahan ia memperlambat jalannya. Kemudian, wali tersebut keluar dalam keadaan marah seraya bertanya. 

“Siapa di antara kalian yang bernama Ibnu Saqa?” 

“Saya, wahai Syekh,” jawab Ibnu Saqa. 

Tak banyak bicara, wali itu pun langsung menebak pertanyaan Ibnu Saqa dan langsung memberikan jawabannya secara detail, begitu pula dengan pertanyaan dan jawaban Ibnu Abi `Asrun dan langsung mengusir mereka berdua dari hadapannya. Sebelum mereka berdua beranjak dari kediamannya, wali itu  meng-kasyaf (membaca lewat batin) mereka berdua dengan karamahnya. 

“Hai Ibnu Saqa, dalam pandangan batinku, aku melihat ada api kekufuran yang menyala dalam tulang rusukmu. Dan kamu Ibnu Abi `Asrun, sesungguhnya aku melihat dunia berjatuhan menimpa tubuhmu.”

Sampai pada giliran Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, wali al-ghouts hanya memandang sekujur tubuhnya, dan tak lama kemudian, ia pun berkata.

“Wahai anakku, Abdul Qadir, aku tahu tujuan kamu ke sini hanya ingin berkah dariku, dan insyaallah tujuan baikmu akan tercapai.” 

Sebelum menyuruh pergi Abdul Qadir, ia berkata, “Aku melihat kamu berkata padaku, ‘kakiku ini berada di leher seluruh para wali di dunia ini’, sekarang pergilah anakku!”

Selang beberapa hari dari kejadian aneh itu, Ibnu Saqa dipanggil oleh raja di negerinya dan diperintahkan untuk pergi menemui ulama Nasrani agar ia berdebat dengan para ulama pentolan-pentolan Nasrani. Dalam perjalanan menuju ulama Nasrani, ia bertemu dengan seorang gadis cantik keturunan Nasrani dan jatuh cinta kepadanya. Namun, hubungan cinta mereka berdua tidak direstui. Tanpa pikir panjang akhirnya dia menemui ayahnya dan menyampakan bahwa dia sungguh mencintainya dan siap berkorban apa pun. 

Akhirnya terbukti perkataan wali al-ghouts bahwa ada api yang menyala dalam tulang rusuknya dan benar, ia telah menggadaikan agamanya dengan agama Nasrani. 

Sedangkan Ibnu Abi `Asrun, diberi jabatan oleh raja di negerinya untuk mengurusi harta wakaf dan sedekah dan jabatan itu datang terus menerus dari seluruh penjuru kota tersebut. Kemudian dia sadar bahwa ini merupakan doa dari wali al-ghouts. 

Sementara Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mendapatkan maqam tertinggi dari Allah SWT berkat sikap rendah dirinya kepada seorang wali dan beliau diangkat menjadi raja dari seluruh para wali di muka bumi. 

Pada saat mengajar muridnya, dia pun berkata seperti apa yang dikatakan wali al-ghouts, “kakiku ini berada di atas lehernya seluruh para wali,” dan perkataannya didengar oleh seluruh wali di penjuru dunia, lalu mereka berikrar “sami`na wa atha`na.”

Ada sedikit hikmah yang bisa kita ambil pelajaran dari kejadian ini, bahwa siapa pun kita tidaklah pantas mengedepankan kelebihan karena di atas langit masih ada langit. Sikap rendah diri haruslah menjadi prioritas utama setiap manusia, mengingat ilmu tidak lebih diutamakan daripada akhlak. Sebagaimana perkataan Sayyid Muhammad Alwi Al- Maliki, “Al-Adab qabla al-`Ilmi (adab lebih didahulukan daripada ilmu).” Wallahu a’lamu bish-shawab.

 

 

Hilmi Ridho, santri Ma`had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi`iyah Sukorejo
Jl. KHR. Syamsul Arifin, Sukorejo, Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur Email: hilmikamila241@gmail.com

Thursday, August 29, 2019

Gitar dan wali

Suatu hari, al-Habib Saggaf bin Abu Bakar Assegaf bermain gitar gambus dengan sya'ir-sya'ir arabnya. Tiba-tiba al-Quthub al-Fard al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf (Gresik) Sang Abah menegur beliau sang anak.
"Yek, kapan kau bermunajat kepada Allah kalau kau main gitar terus?"

Seketika itu juga Sang Abah menyimpan gitar gambus Waladnya tersebut dilemarinya. Semenjak itu al-Habib Saggaf tidak pernah bermain gitar lagi. Namun kemudian selang satu bulan, ketika al-Quthb al-Fard al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf sedang Qiyamullail (sholat malam), beliau mendengar suara tangisan yg sangat memilukan hati, kemudian dicarinya suara tersebut. Ternyata suara itu dari dalam almari dimana gitar sang Putra yaitu al-Habib Saggaf disimpan, menangis tersedu-sedu.

Al Quthb Habib Abu Bakar Assegaf bertanya (tentunya hal ini bisa saja terjadi kalau Allah SWT menghendaki untuk membuktikan derajat kewalian beliau) :
"Wahai gitar, kenapa engkau menangis?"

Si Gitar menjawab:
"Wahai Habib, kenapa aku tidak boleh di ajak bersenandung memuji Allah dan Nabi-Nya bersama anakmu?"

Semenjak itu dan setelah peristiwa menangisnya gitar gambus milik al-Habib Saggaf sang Putra tercintanya, al-Habib Saggaf di persilahkan oleh sang Abah utuk bermain gitar gambus lagi. Dan dari beliaulah Musik Gambus dan Jalsah yg sangat Populer hingga sekarang ini yg sering kita dengarkan, dan para Yek (para habib muda) berdendang dalam Balutan Mahabbah ilAlloh wa Rasulihi.

Kuteringat juga kisah tentang rebana Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani saat didendangkan sambil thawaf di Ka'bah. Ketika diketahui pihak Askar kerajaan Saudi, Askar itupun menangkap beliau. Tapi anehnya rebana yg jatuh itu terbang sendiri mengitari Ka'bah.

اَللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Gitar dan wali

Suatu hari, al-Habib Saggaf bin Abu Bakar Assegaf bermain gitar gambus dengan sya'ir-sya'ir arabnya. Tiba-tiba al-Quthub al-Fard al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf (Gresik) Sang Abah menegur beliau sang anak.
"Yek, kapan kau bermunajat kepada Allah kalau kau main gitar terus?"

Seketika itu juga Sang Abah menyimpan gitar gambus Waladnya tersebut dilemarinya. Semenjak itu al-Habib Saggaf tidak pernah bermain gitar lagi. Namun kemudian selang satu bulan, ketika al-Quthb al-Fard al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf sedang Qiyamullail (sholat malam), beliau mendengar suara tangisan yg sangat memilukan hati, kemudian dicarinya suara tersebut. Ternyata suara itu dari dalam almari dimana gitar sang Putra yaitu al-Habib Saggaf disimpan, menangis tersedu-sedu.

Al Quthb Habib Abu Bakar Assegaf bertanya (tentunya hal ini bisa saja terjadi kalau Allah SWT menghendaki untuk membuktikan derajat kewalian beliau) :
"Wahai gitar, kenapa engkau menangis?"

Si Gitar menjawab:
"Wahai Habib, kenapa aku tidak boleh di ajak bersenandung memuji Allah dan Nabi-Nya bersama anakmu?"

Semenjak itu dan setelah peristiwa menangisnya gitar gambus milik al-Habib Saggaf sang Putra tercintanya, al-Habib Saggaf di persilahkan oleh sang Abah utuk bermain gitar gambus lagi. Dan dari beliaulah Musik Gambus dan Jalsah yg sangat Populer hingga sekarang ini yg sering kita dengarkan, dan para Yek (para habib muda) berdendang dalam Balutan Mahabbah ilAlloh wa Rasulihi.

Kuteringat juga kisah tentang rebana Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani saat didendangkan sambil thawaf di Ka'bah. Ketika diketahui pihak Askar kerajaan Saudi, Askar itupun menangkap beliau. Tapi anehnya rebana yg jatuh itu terbang sendiri mengitari Ka'bah.

اَللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Tuesday, August 27, 2019

PESAN MBAH KIAI USMAN KEPADA KIAI HASYIM ASY'ARI, KIAI WAHAB CHASBULLAH, DAN KIAI BISRI SYANSURI


****
*PESAN MBAH KIAI USMAN KEPADA KIAI HASYIM ASY'ARI, KIAI WAHAB CHASBULLAH,  DAN KIAI BISRI SYANSURI*

Sore itu saya bertemu dengan Mbah Fatih (lahir 1949). Mbah Fatih silsilahnya dari ayah dan ibu sambung ke Mbah Usman. Dari jalur ayah: Fatih bin Mujib bin Aqib bin Tandur bin Usman. Dari jalur ibu: Fatih bin Mulaikah binti Mustojidah binti Tandur bin Usman.

Mbah Fatih yang tinggal di Gedang sejak tahun 1970-an menyimpan kisah klasik yang menarik, termasuk kisah yang didapat dari Kiai Wahab. 

Suatu saat di tahun 1969, Mbah Fatih didatangi santrinya Mbah Wahab yang bernama Kang Muhaini (penghuni pondok horor). Intinya Mbah Fatih disuruh datang ke ndalem Mbah Wahab. Sesampai di ndalem, Mbah Fatih disuruh makan lalu Mbah Wahab dawuh, "Insya Allah aku tahun 71 ditimbali Allah. Nek aku kapundut besok, bakale kiamat akhlak" (Insya Allah saya meninggal tahun 1971. Nanti sepeninggalku akan terjadi kerusakan akhlak yang semakin marajalela). Masalah Mbah Kiai Wahab mengetahui akan wafatnya ini ada dua kisah lain dan dari sumber lain yang dimuat di edisi 2019 dari buku TMSMU "Tambakberas: Menelisik Sejarah, Memetik Uswah".

Di saat yang lain, Mbah Fatih dapat cerita dari Kiai Wahab tentang perang melawan penjajah, tepatnya saat resolusi jihad. Sebelum pencetusan resolusi jihad, Kiai Hasyim,  Kiai Wahab dan Kiai Bisri ziarah ke makam Mbah Kiai Usman di Gedang (100 meter dari rumah saya). Sedikit informasi, Mbah Kiai Usman adalah menantu Mbah Kiai Sechah, pendiri pondok Tambakberas. Mbah Kiai Usman mempunyai menantu yang bernama Mbah Kiai Asy'ari (ayah Kiai Hasyim Asy'ari). Adapun Kiai Bisri diambil menantu Mbah Kiai Chasbullah. Mbah Kiai Chasbulllah ayah Kiai Wahab. Walhasil seluruh kiai di atas mempunyai relasi saudara.

Saat di makam Mbah Usman itulah secara metafisik, beliau bertiga diberi sorban oleh Mbah Kiai Usman. Mbah Kiai Usman juga bepesan, "Kalau berperang, jangan hanya ditujukan untuk membela umat Islam,  tapi belonono (belalah) umatnya Allah." Kata Mbah Fatih, seluruh manusia entah agama apapun adalah umatnya Allah yang perlu juga diperhatikan.

Tentu pesan Mbah Kiai Usman ini menarik. Pertama, dari sisi pandangan dasar bahwa ulama adalah pewaris Nabi yang bermisi membawa rahmat bagi seluruh alam,  termasuk manusia. Misi ini relevan dengan hadis yang disebut al-musalsal bil awwaliyah:
«اِرْحَموا مَنْ في الأَرْضِ يَرْحَمُكُم مَنْ في السَّماء»
"Sayangilah semua yang ada di bumi, maka semua yang ada di langit akan menyayangimu.”

Kedua, menarik dari kenyataan di area makam Mbah Usman dimana ada makam nonmuslim atau Hindu yakni istri Ronggolawe (lihat gambar). Dalam tuturan Mbah Fatih, saat haflah pondok Bahrul Ulum Tambakberas tahun 2003-an, seperti biasa ada khataman di makam para kiai Tambakberas,  salah satunya di makam Mbah Kiai Usman. Saat itu ada orang (katanya dari Bali) datang dan mempunyai catatan buku bahwa makam istri Ronggolawe juga ada di area makam Mbah Usman. Setelah dicari ada tumpukan batu bata lawas lalu diperbaiki. Makam istri Ronggolawe hanya berjarak 10 meteran dengan makam Mbah Kiai Usman, dan berdampingan dengan makam istri Mbah Kiai Usman dan istri Mbah Kiai Said.

Artinya Mbah Usman yang wafat belakangan dibanding istri Ronggolawe tidak berpesan agar dimakamkan di makam lain,  semisal makam utara dimana ada Makam Mbah Sechah. Maka dapat disimpulkan bahwa Mbah Kiai Usman memang pribadi yang penyayang kepada seluruh hamba.

Nampaknya Gus Dur sebagai cicit Mbah Kiai Usman mengamalkan ajaran leluhurnya itu. Buktinya sangat banyak. Di sini saya contohkan yang terkait dengan Mbah Fatih.Tahun 2001 Mbah Fatih dipesani Gus Dur yang saat itu juga ada Kiai Hasib Wahab, Kiai Fadlullah dll,  Gus Dur berkata,  "Dik, ramuten makam iki,  tapi gak onok bisyarohe." intinya Mbah Fatih disuruh merawat makam Mbah Kiai Usman tapi Gus Dur menegaskan tidak ada gajinya. Sekalipun demikian, Gus Dur sangat perhatian. Suatu pagi Pak Yani (sopir Gus Dur) bilang ke Mbah Fatih bahwa sepulang dari meresmikan kantor PKB di Surabaya, Gus Dur malamnya akan ziarah ke makam Mbah Kiai Usman tapi tidak usah diworo-woro (disebarkan info kedatangannya).

Dan betul pada malam hari yang sepi, Gus Dur ke makam dan amplop tebal tanpa dibuka oleh Gus Dur langsung diberikan ke Mbah Fatih. Uang itu ditotal Mbah Fatih sekitar 15 juta yang lalu dipakai untuk membeli lampu, sanyo dan tambahan renovasi rumah. Masih banyak kisah humanisnya Gus Dur yang tidak hanya kepada sesama muslim, tapi juga kepada non-muslim.
****
Terima kasih kepada Mbah Fatih dan kepada informan awal, mas Arif serta kepada guru dan murid MI Bahrul Ulum.

Monday, August 12, 2019

Teks qoshidah sa'duna fid dunya

Dalam sambutannya pada malam ke-6 dari wafatnya Syaikhona Maimoen Zubair, Gus Idror Maimoen, Putra bungsu Syaikhona Maimoen Zubair berkata:

"Keranten abah kawulo sampun kapundut, kawulo wantun cerito. Qoshidah Sa'duna fiddunya, menawi wonten teks-teks ingkang boten sami kalih teks-teks Al-Anwar, panci abah kawulo angsal mboten saking alam dzohir, tapi abah kawulo dipun imla' saking alam ruhani".

"Karena Abah Saya sudah dipanggil kembali oleh Yang Maha Hidup, saya baru berani bercerita. Dalam Qoshidah "Sa'duna Fid-dunya" mungkin ada teks/redaksi yang tidak sama dengan teks yang di Pondok Al-Anwar. Hal itu karena Abah mendapatkan teks itu bukan dari alam dzohir seperti ini, tetapi didikte (Imla') dari alam ruhani (ghoib)".

Inilah teksnya:

قصِيدَةُ الاِسْتِغاثةِ
بالسيدة خديجة والسيدة فاطمة رضي الله عنهما
وزادها السيد محمد علوي المالكي في أولها بهاتف سمعه في المعلاه ورواها الشيخ ميمون زبير الساراني عنه

سَعْدُنَا بِالدُّنْيَا فَوْزُنَا بِالْأُخْرَى * بِخَدِيْجَةَ الْكُبْرَى وَفَاطِمَةَ الزَّهْرَا

يَا أُهَيْلَ الْمَعْرُوْف وَالْعَطَا وَالْمَأْلُوْف* غَارَةً لِلْمَلْهُوْف إِنَّكُمْ بِهْ أَدْرَى

يَا أُهَيْلَ الْمَطْلُوْب وَالْعَطَا وَالْمَوْهُوْب* نَفْحَةً لِلْمَكْرُوْب إِنَّكُمْ بِهْ أَدْرَى

يَا أُهَيْلَ الْإِحْسَانْ وَالْعَطَا وَالْغُفْرَانْ* عَطْفَةً لِلْجِيْرَانْ إِنَّكُمْ بِهْ أَدْرَى

يَا أُهَيْلَ الْإِسْعَادْ وَالْعَطَا وَالْإِرْفَادْ* غَارَةً لِلإِسْعَادْ إِنَّكُمْ بِهْ أَدْرَى

يَا أُهَيْلَ الْإِسْعَافْ وَالْعَطَا ذِيْ هُوْ هَافْ* أَمْنَةً لِلْمُخْتَافْ إِنَّكُمْ بِهْ أَدْرَى

يَا أُهَيْلَ الْجَاهَاتْ وَالْمِنَحْ لِلْفَاقَاتْ* اَلدَّرْكْ وَالْغَارَاتْ إِنَّكُمْ بِهْ أَدْرَى

يَا أُهَيْلَ الْهِمَّاتْ يَا رِجَالَ الْعَزَمَاتْ* يَا رِجَالَ الْحَمَلَاتْ إِنَّكُمْ بِهْ أَدْرَى

يَا اهْلَ بَيْتِ الْمَخْتَارْ عَالِيِّيْنَ الْمِقْدَارْ* اِشْفَعُوْا لِلْمُحْتَارْ إِنَّكُمْ بِهْ أَدْرَى

يَا اهْلَ بَيْتِ الْهَادِيْ قُدْوَتِيْ وَاسْيَادِيْ* أَجْزِلُوْا لِيْ زَادِيْ إِنَّكُمْ بِهْ أَدْرَى

قَدْرُكُمْ رَافِعْ عَالْ وَعَطَاكُمْ هَطَّالْ* وَسَنَاكُمْ هَيَالْ أَرْسِلُوْا لِيْ نَهْرَا

أَنْتُمُوْا خَيْرُ النَّاسْ جُوْدُكُمْ يَشْفِيْ الْبَاسْ* اِشْفَعُوْا لِلْقَسَّاسْ إِنَّكُمْ بِهْ أَدْرَى

بِخَدِيْجَةَ أُمِّيْ ذِيْ تُجَلِّيْ هَمِّيْ* أَجْزِلِيْ قَسَمِيْ إِنَّكِ بِهْ أَدْرَى

وَاهْتِفِيْ بِالزَّهْرَا ذِيْ تَعَالَتْ قَدْرًا* وَتَجَلَّتْ بَدْرًا إِنَّهَا بِهْ أَدْرَى

وَأَبِيْهَا الْمُخْتَارْ وَالْمُصَاحِبْ فِيْ الْغَارْ* وَعَلِيِّ الْكَرَّارْ إِنَّهُمْ بِهْ أَدْرَى

أَهْلِ شِعْبِ الْمَعْلَاهْ وَلِلْمِنَى فِيْ عُلَاهْ* حَيُّ تِلْكَ الْمَوْلَاهْ إِنَّهُمْ بِيْ أَدْرَى

وَبِحَقِّ السِّبْطَيْن لِلنَّبِيْ نُوْرِ الْعَيْن* وَبِجَاهِ الْعَمَّيْن إِنَّهُمْ بِيْ أَدْرَى

وَبِذَاتِ الْعِلْمَيْن عَائِشَةْ نُوْرِ الْعَيْن* زَوْجِ خَيْرِ الْكَوْنَيْن إِنَّهَا بِيْ أَدْرَى

وَبَقِيَّةِ الْأَزْوَاجْ طَيِّبَاتِ اْلآرَاجْ* مُغْنِيَاتِ الْمُحْتَاجْ إِنَّهُنْ بِيْ أَدْرَى