Sunday, January 26, 2020

CAHAYA KEBERKAHAN MBAH ARWANI DI PULAU DEWATA

oleh:Nuruddin Udien Hidayat

CAHAYA KEBERKAHAN MBAH ARWANI DI PULAU DEWATA
Di tengah hingar-bingar Bali dengan berbagai pesonanya. Terdapat pondok pesantren tahfidz yang sudah lama berdiri. Bahkan perkembangannya semakin pesat, bermula dari langgar, sepetak kamar asrama dan sekarang memiliki lembaga pendidikan berbasis pondok mulai Paud hingga Perguruan Tinggi.
Kami Bersama rombongan ziarah Bali MA TBS berkesempatan sowan ke pondok tersebut.
Pendiri sekaligus pengasuhnya adalah KH. Noor Hadi. Beliau lama nyantri sekaligus menjadi abdi ndalem Mbah Arwani Kudus.
"saya mondok di kudus mulai 1966, sangking lamanya sampai yai lupa,kalau saya itu santri", ungkap beliau.
Suatu hari beliau didawuhi sama Mbah Arwani:, "Nur, Aku duwe omah Apik, Yo pondok iku. Njalukko sanad neng pengurus terus pamit. Saiki Gawehho omah dewe yo, tapi neng Bali. Iki kanggo sangu, engko bakal dicukupi pengeran. Pondokmu tak jenengno Roudlotul Huffadz, lirkadiyo wangine koyok Roudlotul Jannah",
Sambil matanya berkaca-kaca beliau melanjutnya ceritanya.
Akhirnya KH Nur Hadi memutuskan merantau ke daerah Tabanan Bali.
Alangkahnya kagetnya beliau, ternyata di Bali untuk membuat mushola 3x3 meter saja, harus meminta ijin gubernur dan harus disertai 100 tanda tanga warga sekitar, itupun kalau tidak menyalahi aturan adat.
Belum lagi harga tanahnya yang selangit. Yakni 10 meter saja mencapai 2 Milyar. Apalagi untuk membangun Masjid dan Pondok.
"kulo namung saget nangis lan wadul kalih mbah Arwani, nanging boten wantun matur langsung, jadi namung lewat do'a bakdo qiyam lail", tangkasnya.
Tapi anehnya, keesokkan harinya ada orang datang, mengaku utusan dari Kudus dan menawarkan sejumlah uang yang sama persis jumlahnya untuk beli tanah itu.
"Masyallah dibayar lunas kalih Mbah Arwani, padahal saya tidak berani matur langsung". Imbuh beliau.
Sampai sekarang, jika beliau mendapati kesulitan apapun selalu mengadu pada Mbah Arwani.
"Kulo yakin mbh arwani teseh gesang, teseh saget rawuh. Kulo boten nate melanggar perintah guru, selami hidup, nopo malih nku mbh arwani". Tambahnya.
Suatu ketika KH Nur Hadi mencoba mencari tambahan penghasilan dengan berjualan di pasar bersama isteri. Padahal semasa hidup Mbah Arwani berpesan, "Le...mbesuk ojo dodolan neng pasar".
Akhirnya sepulang dari pasar, semua orang yang dilihat beliau sepanjang jalan ternyata sangat mirip dengan wajah Mbh Arwani.
"Menawi kulo diemotke", katanya.
"Kulo nate boten pecinan, tindakan ke suatu acara. Seketika Mbah Arwani Rawuh, Le,,, nek sirahe rak dipecini ngalamat qur'ane ilang".
Akhirnya kemanapun beliau pergi pasti pecinan, sampai bertemu presiden sekalipun.
"Kulo sampun ketemu kalih sedanten presiden mulai pak Harto sampai pak Jokowi. Cuma satu presiden yang menolak saya temui, yaitu gus dur".
Saat saya kesana malah gus dur marah, "lapo kuwe rene Nur, ngurusi pondokmu ae... Negoro tak urusane aku.. "
Spontan KH Nur pun berbalik tanya, "lho kok jenengan perso nek kulo gus, padahal kulo dereng matur Nopo2.,,, "yo ambune wes ketoro nek kuwe Nur, wes muliho wiridan neng pondokmu dewe".... Kata beliau mencerikan gus dur.
Salain itu, beliau juga sempat dikucilkan oleh pemerintah setempat. Gara-gara melarang santri untuk mengikuti MTQ.
"kulo kedah nderek wasiat dawuhnya guru kulo Mbh Arwani, daripda boten didaku satrine dunia akhirat", imbuh Rois Syuriah PWNU provinsi Bali itu.
Tantangan di Bali juga dalam hal sihir ataupun santet.
"Dalam mimpi kulo, mbh Arwani nyapu teng ngajeng Pondok, tapi yang dibersihkan ada paku, beling dan batu yang tajam. Tak resik ane Le..... Ojo lali ambi dongane.... " tambah beliau.
"Kulo ngestoaken dawuh yai. Sampek sakniki Kulo nek bten nderes langsung dipun dangu mbh arwani.. Le, nderes. ...."
Sekarang masjid di Tabanan merupakan salah satu masjid yang diperbolehkan adzan dengan mikrofon. Pondok yang mempunyai madrasah sampai univertas. Semula hanya 10 anggota keluarga, namung sekarang kawasannya ramai dan mayoritas muslim."sedanten niku barokahnya mbh Arwani, kulo sambatnya ke beliau walau pun sedo, Kulo ngrasa jahil, tp yai ingkang dawuhi kulo lampahi".
Selain itu, ternyata yang mengawali adanya ziarah wali 7 di Bali adalah KH Nur Hadi.
"Daripda datang ke Bali hanya untuk berlibur, kulo berusaha mengimbangi dg hal positif. Kulo mengumpulkan 7 makam orang sholih, kersane di ziarohi. Tapi kulo boten ngarani niku wali. Soale ingkang ngertos wali kan wali pyambak, lha kulo boten wali ngeh boten ngertos... Tapi sakniki saget syiar" tambah pengasuh pondok tersebut.
"Estu le, nderekke gurumu. Boten usah mamang, pengeran bakal nyukupi, nulung..." tutup beliau.
Foto: KH Nur Hadi ketika menyampaikan mauidhoh, didampingi KH Hasan Fauzi.

Saturday, January 25, 2020

Kisah Abu Nawas Dishalati Imam Syafi’i

BincangSyariah.Com – Konon, Abu Nawas dikenal sebagai orang yang gemar berbuat maksiat dan agak gila. Dia gemar minum khamer hingga dia mendapat julukan Penyair Khamer. Salah satunya, Abu Nawas pernah membuat syair seperti ini seperti dikutip dari Dalil al-Muhtaj ilaa Syarh al-Minhaaj karya Rajab Muhammad Nuri Musyawwih,

“Biarkan masjid diramaikan oleh orang-orang yang rajin ibadah
Kita di sini saja, bersama para peminum khamer, dan saling menuangkan
Tuhanmu tidak pernah berkata, ‘Celakalah para pemabuk.’
Tapi Dia pernah berkata, ‘Celakalah orang-orang yang shalat.'”

Gara-gara syairnya ini, Khalifah Harun Ar-Rasyid marah dan ingin memenggal leher Abu Nawas. Tapi, ada orang yang mengatakan kepada Ar-Rasyid: “Wahai Amirul Mukminin, para penyair mengatakan apa-apa yang tidak mereka lakukan. Maafkanlah dia (Abu Nawas).”

Menurut satu riwayat, ketika Abu Nawas meninggal dunia, Imam Syafi’i tidak mau menshalati jenazahnya. Namun, ketika jasad Abu Nawas hendak dimandikan, di kantong baju Abu Nawas ditemukan secarik kertas bertuliskan syair berikut ini:

***Wahai Tuhanku, dosa-dosaku terlalu besar dan banyak *** Tapi aku tahu bahwa ampunan-Mu lebih besar
***Jika hanya orang baik yang boleh berharap kepada-Mu *** kepada siapa pelaku maksiat akan berlindung dan memohon ampunan?
Aku berdoa kepada-Mu, seperti yang Engkau perintahkan *** dengan segala kerendahan dan kehinaanku
*** Jika Kau tampik tanganku, lantas siapa yang memiliki kasih-sayang? *** Hanya harapan yang ada padaku ketika aku berhubungan dengan-Mu
Dan keindahan ampunan-Mu
Dan aku pasrah setelah ini”…

Setelah membaca syair tersebut, Imam Syafi’i menangis sejadi-jadinya. Abu Nawas langsung dishalati beliau bersama orang-orang yang hadir.

Wednesday, January 15, 2020

Seorang Majusi yang Masuk Islam karena Hasan al-Basri

Seorang Majusi yang Masuk Islam karena Hasan al-Basri

Hasan al-Basri memiliki seorang tetangga yang bernama Simeon, dia adalah seorang pemuja api. Suatu hari Simeon jatuh sakit dan ajalnya hampir tiba. Sahabat-sahabat meminta Hasan untuk bersedia menjenguknya. Akhirnya Hasan datang ke kediaman Simeon, dan dia mendapatkannya tengah terbaring di tempat tidur. Hasan melihat tubuh Simeon telah menghitam karena api dan asap.

“Takutlah engkau terhadap Allah,” ujar Hasan menasihatinya. “Engkau telah menghabiskan seluruh hidupmu di tengah api dan asap. Terimalah Islam, semoga Allah mengampunimu.”

“Ada tiga hal yang menahanku untuk menjadi seorang Muslim,” jawab pemuja api itu. “Yang pertama adalah, bahwa engkau berbicara buruk tentang dunia, namun siang dan malam engkau mengejar-ngejar hal-hal duniawi.

“Kedua, engkau mengatakan bahwa kematian adalah kenyataan yang harus dihadapi, namun engkau tidak melakukan persiapan untuk kematian.

“Yang ketiga, engkau mengatakan bahwa wajah Tuhan akan terlihat, namun hari ini engkau melakukan segala sesuatu yang bertentangan dengan keridhoan-Nya,” kata Simeon melanjutkan.

“Ini adalah bukti dari mereka yang benar-benar mengetahui,” jawab Hasan. “Sekarang, jika seorang Muslim bertindak seperti yang engkau gambarkan, apa yang akan engkau katakan? Mereka mengakui keesaan Allah; padahal engkau telah menghabiskan hidupmu dalam penyembahan api.

“Engkau yang telah menyembah api selama tujuh puluh tahun, dan aku yang tidak pernah menyembah api — katakanlah kita berdua akan masuk Neraka. Neraka akan membakar baik engkau maupun aku. Allah tidak akan mempedulikanmu; tetapi jika Allah menghendaki, api tidak akan berani membakar satu helai rambutpun dari tubuhku.

“Karena api adalah sesuatu yang diciptakan oleh Allah; dan makhluk itu tunduk pada perintah Pencipta. Baiklah sekarang, engkau yang telah menyembah api selama tujuh puluh tahun; mari kita berdua meletakkan tangan ke dalam api, maka engkau akan melihat dengan mata kepala sendiri ketidakberdayaan api dan Kemahakuasaan Allah.”

Setelah berkata demikian Hasan memasukkan tangannya ke dalam api dan mendiamkannya di sana. Setelah beberapa lama, tidak ada satu bagianpun dari tangannya yang terbakar. Ketika Simeon menyaksikannya, dia terkaget-kaget.

“Selama tujuh puluh tahun aku telah menyembah api,” erangnya. “Sekarang hanya satu atau dua nafas yang tersisa untukku. Apa yang harus aku lakukan?”

“Jadilah seorang Muslim,” jawab Hasan.

“Jika engkau mau memberiku surat keterangan tertulis bahwa Allah tidak akan menghukumku, maka aku akan memeluk Islam. Tetapi sampai aku belum memiliki surat keterangan tertulis itu, aku tidak akan memeluk Islam,” kata Simeon.

Hasan menyetujuinya dan dia menuliskan surat itu.

“Sekarang aku meminta dihadirkan saksi-saksi dari Basra untuk mengesahkan surat ini,” kata Simeon.

Setelah para saksi tiba, mereka mengesahkan dokumen itu. Tak lama kemudian Simeon berurai air mata dan dia menyatakan bahwa dirinya adalah seorang Muslim.

Dia kemudian menyampaikan wasiat terakhirnya kepada Hasan, “Ketika aku mati, mintalah mereka memandikanku, kemudian aku ingin engkau sendiri yang meletakkan tubuhku ke dalam bumi dengan tanganmu sendiri, dan selipkan surat ini di tanganku. Surat ini akan menjadi bukti bahwa aku seorang Muslim.”

Setelah berwasiat kepada Hasan, Simeon bersyahadat dan menghembuskan nafas terakhirnya. Mereka lalu memandikan dan men-shalat-kan jenazahnya, dan menguburkannya dengan surat yang diselipkan di tangannya. Malam itu, sebelum tidur Hasan merenungkan apa yang telah dilakukannya.

“Bagaimana aku bisa membantu orang yang akan mati, sedangkan aku sendiri akan mati? Aku sendiri tidak dapat menentukan nasibku, mengapa aku memberanikan diri untuk memastikan bagaimana seharusnya Allah bertindak?”

Dengan pemikiran ini dia tertidur. Di dalam mimpi dia melihat Simeon yang bercahaya seperti pelita; di atas kepalanya terdapat sebuah mahkota, dia mengenakan jubah yang indah dan berjalan sambil tersenyum di taman Firdaus.

“Bagaimana kabarmu Simeon?” tanya Hasan.

“Mengapa engkau bertanya? Engkau dapat melihatnya sendiri,” jawab Simeon. “Allah yang Mahakuasa atas karunia-Nya membawaku di dekat hadirat-Nya dan dengan keramahan menunjukkan wajah-Nya kepadaku. Nikmat yang Dia berikan kepadaku melampaui semua penggambaran. Engkau telah memberiku surat; sekarang ambillah suratmu. Aku tidak membutuhkannya lagi.”

Ketika Hasan terbangun, dia melihat surat itu ada di tangannya. “Ya Allah!” serunya, “Aku tahu benar apa yang Engkau lakukan tidak membutuhkan alasan, kecuali hanya karena kasih-Mu. Siapakah yang akan menderita kerugian di hadapan pintu-Mu?

“Engkau telah mengizinkan seseorang yang menyembah api selama tujuh puluh tahun untuk berada di dekat-Mu, semata-mata hanya karena satu kalimat. Lalu bagaimana mungkin Engkau akan menolak orang yang beriman selama tujuh puluh tahun?”

[Dikutip dari Kitab Tadzkirat al-Auliya’ karya Farid al-Din Attar].

Monday, January 13, 2020

Mbah Priok; Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad

Mbah Priok; Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad

Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddadlahir di di Ulu, Palembang, Sumatera selatan, pada tahun 1291 H / 1870 M. Semasa kecil beliau mengaji kepada kakek dan ayahnya di Palembang. Saat remaja, beliau mengembara selama babarapa tahun ke Hadramaut, Yaman, untuk belajar agama, sekaligus menelusuri jejak leluhurnya, Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, Shohib Ratib Haddad, yang hingga kini masih dibaca sebagian besar kaum muslimin Indonesia. Beliau menetap beberapa tahun lamanya, setelah itu kembali ke tempat kelahirannya, di Ulu, Palembang

Ketika petani Banten, dibantu para Ulama, memberontak kepada kompeni Belanda (tahun 1880), banyak ulama melarikan diri ke Palembang; dan disana mereka mendapat perlindungan dari Habib Hasan. Tentu saja pemerintah kolonial tidak senang. Dan sejak itu, beliau selalu diincar oleh mata-mata Belanda.

Pada tahun 1899, ketika usianya 29 tahun, beliau berkunjung ke Jawa, ditemani saudaranya, Habib Ali Al-Haddad, dan tiga orang pembantunya, untuk berziarah ke makam Habib Husein Al Aydrus di Luar Batang, Jakarta Utara,Sunan Gunung Jati di Cirebon dan Sunan Ampel di Surabaya. Dalam perjalanan menggunakan perahu layar itu, beliau banyak menghadapi gangguan dan rintangan. Mata-mata kompeni Belanda selalu saja mengincarnya. Sebelum sampai di Batavia, perahunya di bombardier oleh Belanda. Tapi Alhamdulillah, seluruh rombongan hingga dapat melanjutkan perjalanan sampai di Batavia.

Dalam perjalanan yang memakan waktu kurang lebih dua bulan itu, mereka sempat singgah di beberapa tempat. Hingga pada sebuah perjalanan, perahu mereka dihantam badai. Perahu terguncang, semua perbekalan tumpah ke laut. Untunglah masih tersisa sebagian peralatan dapur, antara lain periuk, dan beberapa liter beras. Untuk menanak nasi, mereka menggunakan beberapa potong kayu kapal sebagai bahan bakar. Beberapa hari kemudian, mereka kembali dihantam badai. Kali ini lebih besar. Perahu pecah, bahkan tenggelam, hingga tiga orang pengikutnya meninggal dunia. Dengan susah payah kedua Habib itu menyelamatkan diri dengan mengapung menggunakan beberapa batang kayu sisa perahu. Karena tidak makan selama 10 hari, akhirnya Habib Hasan jatuh sakit, dan selang beberapa lama kemudian beliaupun wafat.

Sementara Habib Ali Al-Haddad masih lemah, duduk di perahu bersama jenazah Habib Hasan, perahu terdorong oleh ombak-ombak kecil dan ikan lumba-lumba, sehingga terdampar di pantai utara Batavia. Para nelayan yang menemukannya segera menolong dan memakamkan jenazah Habib Hasan. Kayu dayung yang sudah patah digunakan sebagai nisan dibagian kepala; sementara di bagian kaki ditancapkan nisan dari sebatang kayu sebesar kaki anak-anak. Sementara periuk nasinya ditaruh disisi makam. Sebagai pertanda, di atas makamnya ditanam bunga tanjung. Masyarakat disekitar daerah itu melihat kuburan yang ada periuknya itu di malam hari selalu bercahaya. Lama-kelamaan masyarakat menamakan daerah tersebut Tanjung periuk. Sesuai yang mereka lihat di makam Habib Hasan, yairtu bunga tanjung dan periuk.

Konon, periuk tersebut lama-lama bergeser dan akhirnya sampai ke laut.
Banyak orang yang bercerita bahwa, tiga atau empat tahun sekali, periuk tersebut di laut dengan ukuran kurang lebih sebesar rumah. Diantara orang yang menyaksikan kejadian itu adalah anggota TNI Angkatan Laut, sersan mayor Ismail. Tatkala bertugas di tengah malam, ia melihat langsung periuk tersebut.

Karena kejadian itulah, banyak orang menyebut daerah itu : Tanjung Periuk.
Sebenarnya tempat makam yang sekarang adalah makam pindahan dari makam asli. Awalnya ketika Belanda akan menggusur makam Habib Hasan, mereka tidak mampu, karena kuli-kuli yang diperintahkan untuk menggali menghilang secara misterius. Setiap malam mereka melihat orang berjubah putih yang sedang berdzikir dengan kemilau cahaya nan gemilang selalu duduk dekat nisan periuk itu. Akhirnya adik Habib Hasan, yaitu Habib Zein bin Muhammad Al-Haddad, dipanggil dari Palembang khusus untuk memimpin doa agar jasad Habib Hasan mudah dipindahkan. Berkat izin Allah swt, jenazah Habib Hasan yang masih utuh, kain kafannya juga utuh tanpa ada kerusakan sedikitpun, dipindahkan ke makam sekarang di kawasan Dobo, tidak jauh dari seksi satu sekarang.

Salah satu karomah Habib Hasan adalah suatu saat pernah orang mengancam Habib Hasan dengan singa, beliau lalu membalasnya dengan mengirim katak. Katak ini dengan cerdik lalu menaiki kepala singa dan mengencingi matanya. Singa kelabakan dan akhirnya lari terbirit-birit.

Ada kisah lain beliau dari
Sumber MT Ashalatu ‘Alan Nabi

Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan Bin Muhammad Al Haddad R.A kurang lebih 23 tahun dimaqamkan, pemerintah belanda pada saat itu bermaksud membangun pelabuhan di daerah itu. Pada saat pembangunan berlangsung banyak sekali kejadian yang menimpa ratusan pekerja (kuli) dan opsir belanda sampai meninggal dunia. Pemerintah belanda menjadi bingung dan heran atas kejadian tersebut dan akhirnya menghentikan pembangunan yang sedang dilaksanakan.

Rupanya pemerintah belanda masih ingin melanjutkan pembangunan pelabuhan tersebut dengan cara pengekeran dari seberang (sekarang dok namanya), alangkah terkejutnya mereka saat itu ketika melihat ada orang berjubah putih sedang duduk dan memegang tasbih di atas maqam. Maka dipanggil beberapa orang mandor untuk membicarakan peristiwa tersebut. Setelah berembuk diputuskan mencari orang yang berilmu yang dapat berkomunikasi dengan orang yang berjubah putih yang bukan lain adalah Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan Bin Muhammad Al Haddad R.A. setelah berhasil bertemu orang berilmu yang dimaksud (seorang kyai) untuk melakukan khatwal, alhasil diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1.Apabila daerah (tanah) ini dijadikan pelabuhan oleh pemerintah  belanda tolong sebelumnya pindahkanlah saya terlebih dulu dari tempat ini.
2.Untuk memindahkan saya, tolong hendaknya hubungi terlebih dulu adik saya yang bernama Al Arif Billah Al Habib Zein Bin Muhammad Al Haddad R.A yang bertempat tinggal di Ulu Palembang, Sumatera Selatan.

Akhirnya pemerintah belanda menyetujui permintaan Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan Bin Muhammad Al Haddad R.A (dalam khatwalnya) kemudian dengan menggunakan kapal laut mengirim utusannya termasuk orang yang berilmu tadi untuk mencari Al Arif Billah Al Habib Zein Bin Muhammad Al Haddad R.A yang bertempat tinggal di Ulu, Palembang.

Al Arif Billah Al Habib Zein Bin Muhammad Al Haddad R.A sangat mudah ditemukan di Palembang, sehingga dibawalah langsung ke Pulau Jawa untuk membuktikan kebenarannya. Al Arif Billah Al Habib Zein Bin Muhammad Al Haddad R.A dalam khatwalnya membenarkan “Ini adalah maqam saudaraku Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan Bin Muhammad Al Haddad R.A yang sudah lama tidak ada kabarnya.”

Selama kurang lebih 15 hari lamanya Al Arif Billah Al Habib Zein Bin Muhammad Al Haddad R.A menetap untuk melihat suasana dan akhirnya Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan Bin Muhammad Al Haddad R.A dipindahkan di jalan Dobo yang masih terbuka dan luas. Dalam proses pemindahan jasad Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan Bin Muhammad Al Haddad R.A masih dalam keadaan utuh disertai aroma yang sangat wangi, sifatnya masih melekat dan kelopak matanya bergetar seperti orang hidup.

Setelah itu Al Arif Billah Al Habib Zein Bin Muhammad Al Haddad R.A meminta kepada pemerintah belanda agar maqam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan Bin Muhammad Al Haddad R.A itu dipagar dengan kawat yang rapih dan baik serta diurus oleh beberapa orang pekerja. Pemerintah belanda pun memenuhi permintaan Al Arif Billah Al Habib Zein Bin Muhammad Al Haddad R.A.

Setelah permintaan dipenuhi Al Arif Billah Al Habib Zein Bin Muhammad Al Haddad R.A meminta waktu 2 sampai 3 bulan lamanya untuk menjemput keluarga beliau yang berada di Ulu, Palembang. Untuk kelancaran penjemputan itu, pemerintah belanda memberikan fasilitas. Dalam kurun waktu yang dijanjikan Al Arif Billah Al Habib Zein Bin Muhammad Al Haddad R.A kembali ke Pulau Jawa dengan membawa serta keluarga beliau.

Dalam pemindahan jenazah Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan Bin Muhammad Al Hadda R.A tersebut banyak orang yang menyaksikan diantaranya :
1.Al Habib Muhammad Bin Abdulloh Al Habsy R.A
2.Al Habib Ahmad Dinag Al Qodri R.A, dari gang 28
3.K.H Ibrahim dari gang 11
4.Bapak Hasan yang masih muda sekali saat itu
5.Dan banyak lagi yang menyaksikan termasuk pemerintah belanda

Kemudian Bapak Hasan menjadi penguru maqam Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan Bin Muhammad Al Hadda R.A. Saat ini semua saksi pemindahan tersebut sudah meninggal. Merekalah yang menyaksikan dan mengatakan jasad Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan Bin Muhammad Al Hadda R.A masih utuh dan kain kafannya masih mulus dan baik, selain itu wangi sekali harumnya.

Dipemakaman itulah dikebumikan kembali jasad Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan Bin Muhammad Al Hadad R.A yang sekarang ini pelabuhan PTK (terminal peti kemas) Koja Utara, Kecamatan Koja, Tanjung Priuk – Jakarta Utara.

Setelah pemindahan maqam banyak orang yang berziarah ke maqam Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan Bin Muhammad Al Hadda R.A sebagaimana yang diceritakan oleh putera Al Arif Billah Al Habib Zein Bin Muhammad Al Haddad R.A yaitu Al Arif Billah Al Habib Ahmad Bin Zein Al Haddad R.A.

Pada Tahun 1841 Al Arif Billah Al Habib Zein Bin Muhammad Al Haddad R.A di gang 12 kelurahan Koja Utara kedatangan tamu yaitu Al Arif Billah Al Habib Ali Al Haddad R.A (orang yang selamat dalam perjalanan dari Ulu, Palembang ke Pulau Jawa) dan beliau menceritakan kejadian yang dialaminya bersama Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan Bin Muhammad Al Hadad R.A beserta 3 orang azami. Cerita tersebut disaksikan Al Arif Billah Al Habib Ahmad Bin Zein Al Haddad R.A. Dari cerita itulah maka dijadikannya Maqib Maqom Kramat Situs Sejarah Tanjung Priuk (dalam pelabuhan peti kemas (TPK) Koja, Tanjung Priuk, Jakarta Utara). Alfatihah

Sumber :

( Al – Kisah No. 07 / Tahun III / 28 Maret – 10 April 2005 & No. 08 / Tahun IV / 10-23 April 2006 )

KH ABDUL KARIM TEBUWUNG DUKUN GRESIK

KH ABDUL KARIM TEBUWUNG DUKUN GRESIK

KH. Abdul Karim Tebuwung (lahir di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Senin Wage 11 Syawal 1245 H (5 April 1830), meninggal di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Selasa Legi, 28 Dzulhijah 1313 H (9 Juni 1896) pada umur 66 tahun, dimakamkan di Tebuwung, Dukun, Gresik) adalah salah seorang ulama kharismatik keturunan Sunan Drajat yg merupakan pendiri Pondok Pesantren Tebuwung Dukun Gresik yg sekarang dikenal Pondok Pesantren Al-Karimi. Masa kecilnya bernama Raden Karmadin.

Keluarga

Ayahnya bernama Kyai Abdul Qohar (Raden Kair) merupakan anggota Laskar Pangeran Diponegoro yg ditugaskan di Sumenep pada masa pemerintahan Sultan Abdur Rahman Pakunatadiningrat I .  KH. Abdul Karim adalah putra kedua dari 2 bersaudara. Ibunya bernama Sawilah. Kakaknya bernama : Raden Ayu Muqiroh.

Berdasarkan silsilah KH. Abdul Karim adalah keturunan Sunan Drajat dgn Ratnayu Condrosekar, puteri kediri. Sunan Drajat dgn Ratnayu Condrosekar memilki tiga anak, yaitu : Raden Arif, Raden Ishaq, dan Raden Sidiq. Dari Raden Sidiq menunkan KH. Abdul Karim.

Silsilah beliau adalah Abdul Karim bin Abdul Qoh-har bin Darus bin Qinan bin Ali Mas’udi bin Ahmad Rifa’i bin Bisyri bin Ahmad Dahlan bin Muhammad Ali bin Abdul Hamid bin Shiddiq bin Sunan Drajat (R.Qosim) bin Sunan Ampel (R. Rahmatullah) bin Ibrahim Asmaraqondi bin Jamaludin al-Akbar bin Ahmad Syâh Jalâlul Amir bin S. Abdullâh Khân bin S. Abdul Malik Azmat

Beliau menikah dgn istri pertama Mas Amirah keturunan dari Jaka Tingkir dan dhn istri kedua Nyai Khodijah

KH. Abdul Karim dikaruniai anak sebelas, yaitu :

Dari istri pertama :

Fathimah, meninggal diusia balita
KH Muhammad (Ahmad Zahid) Tebuwung
KH. Ishaq Surabaya
Nyai Maimunah Ujung Pangkah
Nyai Shofiyah Sidayu
Nyai Atiqoh Mentaras

Dari istri yang kedua

KH. Musthofa
Nyai Alimah
Nyai Muthiah
Nyai Zainab
KH. Murtadlo

Pendidikan

Dalam usia 2 tahun ayahanda beliau tercinta wafat. Nyai Syawilah kemudian dinikahi Kiai Asnawi, adik dari Kiai Abdul Qahar dan hijrah ke Kauman Sidayu Gresik. Kiai Asnawi mendidik anak tirinya dan sekaligus keponakan ini penuh dengan kesabaran dan penuh cinta kasih. Apalagi beliau tidak dianugerahi anak. Dilihat dari nur yg ada di dahi Karmadin ada tanda2 untuk menjadi waliyullah seperti datuk beliau, Sunan Drajat dan Sunan Ampel.

Kiai Asnawi mengajari mulai dari kecil untuk salat berjemaah dan memperbanyak puasa. Kiai Asnawi memegang ilmu kesunandrajatan dari ayah beliau, Kiai Qinan. Karmadin pun disiapkan mulai sejak dini untuk menjadi waliyullah dan ulama. Dikenalkan bagaimana riyadhah nyirih, mutih, ngebeleng, pati geni, polopendem dan lain2. Agar Karmadin tidak terlalu manja dan bisa bergaul, Kiai Asnawi menyuruh mengaji ke Kiai Mustahal Sidayu, yg masih keturunan Jaka Tingkir.

Di sini beliau konon bertemu dgn Abdul Jabar Maskumambang. Setelah dikira cukup, kiai Asnawi menganjurkan belajar ilmu kewalian kepada Mbah Suto (kiai Maulani) di Sendang Duwur Paciran. Mulai dari pesantren inilah Karmadin riyadhah puasa makan Karak (nasih basi yang dikeringkan). Karak dimasukkan ketupat lalu digantung, dibuka sedikit, ditarik ketika buka puasa sehingga hanya makan sesuai dengan keluarnya. Keluar 3 dimakan 3, keluar 4 dimakan 4 dan seterusnya

Mbah Suto yg makrifatullah, melihat potensi batin yg ada dalam diri Karmadin. Beliaupun mengetes kehebatan Karmadin. Semua santri dikumpulkan. “ Wahai para santriku semua berendamlah di dalam sendang (sungai) ini. Barangsiapa yg kuat berendam paling lama, akan saya doakan agar dia dan keturunannya menjadi ulama yg agung dan memiliki keturunan yg banyak, “ kata Mbah Suto di malam hari.

Para santri berendam semua. Ada yg bertahan 5 menit. Ada yg bertahan 10. Sambil berdzikir, berdoa dan memandang ke sungai, Mbah Suto melihat satu persatu santrinya. Setelah sekian lama dan dicek, Karmadin belum keluar dari air. Mbah Suto dgn keilmuan mengangkat Karmadin dari dalam air dan dalam keadaan sehat wal afiat. Beliau kemudian mendoakannya dan menurunkan ilmu kewalian kepada Karmadin. Setelah dirasakan cukup khidmah di pesantren Mbah Suto, Karmadin berkelana belajar ilmu makrifat ke  Tayu Pati.

Kendati ilmu syariat dan makrifatullah yg sudah dipelajari dan diamalkan sudah banyak,  rasa haus dan hirah akan ilmu syariat dan makrifat mendorongnya untuk memuntut ilmu ke tanah Hijaz. Perjalanan dari Nusantara menuju Jedah berlangsung selama berbulan2. Setelah menjalankan ibadah haji, Karmadin berganti nama Abdul Karim dan tidak langsung pulang ke tanah air. Abdul Karim tinggal di komunitas orang2 Jawi (Jâwiyyîn) atau perkampungan yg dikenal dgn sebutan  “Pemukim Jawah” (Bilâd al-Jâwah). Sebutan jawah atau jawi ini tidak selalu merujuk pada orang2 dari pulau Jawa, namun juga pada orangw dari Nusantara bahkan Asia Tenggara.

Dalam hal lain kita juga mengenal huruf jawi atau arab pegon, suatu modifikasi aksara Arab untuk menuliskan bahasa lokal yg dikembangkan komunitas ini. Koloni Jawi ini termasuk yg terbesar dari semua bangsa yg berada di Makkah. Setiap jemaah haji yg sudah sampai di sana berubah setelah berhaji, ingin menimba ilmu kepada syekh2 di Makkah.

Guru-guru

Guru-guru KH. Abdul Karim Tebuwung antara lain:

Syekh Ahmad Khatib asy-Syambasi
Syekh Ahmad Zaini Dahlan
Syekh Abdul Ghani al-Bimawi
Syekh Yusuf Sumbulaweni
Syekh Abdul Hamid Daghestani
Syekh Sayyid Ahmad Nahrawi
Syekh Ahmad Dimyati
Syekh Muhammad Khatib Duma al-Hambali
Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Maliki
Dan lain sebagainya

Sedangkan teman2 beliau semasa menimba ilmu di Makkah, antara lain:

Syekh Nawawi al-Bantani
Syekh muhammad bin Abdullah as-Sukahimi
Syekh Muhammad Shaleh Darat
Syekh Ahmad Khothib bin Abdul Lathif al-Minangkabau
Sayyid Utsaman bin Yahya Betawi
Syekh Kholil bin Abdul Lathif, Bangkalan
Syekh Abu Bakar Syatho
dan lain2.

Perjuangan

Setelah beberapa tahun lamanya di kota makkah beliau pulang ke kota Sidayu. Tidak lama kemudian menikah dgn Nyai Mas Amirah binti Raden Cokromenggolo. Di Sidayu bersama istri tercinta, berdakwah sambil berdagang hingga dikenal sbg pedagang sukses.

Kedua pasangan ini dikarunia Allah SWT, putri cantik yg bernama Fathimah. Saking cintanya kepada putrinya, Fathimah diberi perhiasan emas yg banyak untuk dijadikan gelang, kalung dan cincin hingga kemudian musibah terjadi, Fathimah dimutilasi oleh pembantunya sendiri, dgn cara disembelih dan semua perhiasan diambil.

Dari peristiwa ini Nyai Mas Amirah berwasiat agar keturunannya  tidak memakai perhiasan yg berlebihan. Semakin lama KH. Abdul Karim dan Nyai Mas Amirah semakin dikenal orang. Kemasyurahannya bukan hanya lantaran guru agama dan pedagang yg berhasil, melainkan dikenal juga sebagai tokoh muda ahli agama yg arif dan bijaksana serta disegani, baik oleh penduduk maupun pemerintah belanda. Pemerintah Belanda bermaksud mengangkat beliau menjadi qodhi di kadipaten Sidayu, namum beliau menolak dgn halus . Pada saat itu, Sidayu di Pimpin Kanjeng Sepuh Sedayu (Raden Adipati Aria Soeryo adiningrat (Bupati Sidayu 1817-1855).

Pada tahun 1862 Pak Utsman (Warjo) Kepala desa Tebuwung, Dukun Gresik  tengah mencari seorang ulama’ yg sanggup membina masyarakatnya serta mau tinggal di desanya.  Pak Utsman masih sepupu Nyai Mas Amirah. Ibu Nyai Mas Amirah berasal dari Tebuwung. Pak Utsman kemudian bermusyawarah dgn Nyai Mas Amirah  dan KH. Abdul Karim. Mereka semua kemudian menghadap ke Kanjeng Sepuh Sidayu.

KH Abdul Karim diperintahkan untuk membina masyarakat Tebuwung dan sekitarnya yg pada saat itu mengikuti agama kapitayan, Hindu dan Budha. Dalam rangka melakukan puja bakti kepada sanghyang Tunggal, penganut kapitayan menyediakan sesaji berupa Tum-peng, Tu-mpi (kue dari tepung), Tu-mbu (keranjang persegi dari anyaman bambu untuk tempat bunga), Tu-ak (arak), Tu-kung (sejenis ayam) untuk dipersembahkan kepada sanghyang Tu-nggal yg daya gaib-Nya tersembunyi pada segala sesuatu yg diyakini memiliki kekuatan gaib, Tu-ngkup, Tu-nda, wa-tu, Tu-gu, Tu-nggak, Tu-k, Tu-ban, Tu-rumbukan.

KH Abdul Karim meninggalkan kota Sidayu menuju Desa Tebuwung. Anak2nya perempuannya semua diajak, selain kedua putra beliau, Muhammad Zahid dan Ishaq masih menuntut ilmu di Makkah. Mengingat beratnya tantangan di desa Tebuwung, kedua putra beliau dianjurkan untuk pulang untuk membantu perjuangan. KH. Abdul Karim, Nyai Mas Amirah, putra-putri beliau semua riyadhoh puasa mutih, patigeni, ngebeleng dan lain2.

Dalam suatu malam KH. Abdul Karim melihat ada sinar di Pemakaman di Suban Tebuwung. Beliau kemudian bermunajat dan berdoa. Beliau diberi petunjuk Allah bahwa yg ada sinarnya itu adalah makam Nyai Syarifah (Nyai Ayu), adik Sunan Kalijaga, Istri Sunan Ngudung, ibunda Sunan Kudus.

Saat itu orang meninggal di Tebuwung tidak dikubur, tapi dibuang ke dalam gua. Di dekat Gua itu tempat penyembahan masyarakat Tebuwung, Sedangkan di Tengah2 desa menjadi tempat lokalisasi. KH. Abdul Karim sekeluarga dan dibantu Pak Utsam sekeluarga kemudian mendirikan masjid di dekat Maqom Nyai Syarifah, + 1 km dari pesantren. Di masjid yg baru ini masyarakat Tebuwung yg sudah masuk Islam diajak oleh KH. Abdul Karim untuk membaca Maulid Nabi (asroqolan), mendzikir Jailaniyyah ( Dulkadiran), baca wirdul lathif dan lain2.

Pak Utsaman dan sekeluarga kemudian menyerahkan lahan untuk pendirian Pesantren Tebuwung. KH. Abdul Karim kemudian menikahkan Muhammad Zahid dgn Fathimah yg masih keturunan Sulthan Abdurrahman Pakunatadingrat dan Bindarasaod Sumenep Madura Dakwah beliau kemudian diterima masyarakat sekeling Tebuwung, dan kemudian berdatanganlah para santri dari Gresik, Surabaya, Madura, Banten, dan lain2.
Diantaranya KH. Munawwar, Sidayu. Setiap malam jumat wage, masyarakat Tebuwung diajak membikin apem dan sesudah maghrib diajak istighotsah yg berpindah2, dari rumah ke rumah. Setiap tahun diadakan Haul Nyai Syarifah.

Pernah di Tebuwung di landa Pacekelik yg memprihatinkan sehigga terjadi kelaparan, baik para santri atau masyarakat. Kondisi ini membuat prihatin Nyai Mas Amirah. Putri saudagar kain ini, memintak ridho suami untuk kembali berdagang garmen. Untuk itu, Nyai Mas Amirah menyuruh suaminya untuk menikahi temannya, Khodijah. Permintaannya pun dikabulkan. Bisnis garmen Nyai Mas Amirah membawa keuntungan yg luar biasa sehingga beliau dikenal sebagai orang terkaya di kadipaten Sidayu. Hasil keuntungan digunakan untuk menopang Pesantren dan Perjuangan melawan kolonial Belanda.

KH. Abdul Karim dikenal sebagai ahli Hikmah yg kramat, kitab Syamsul Ma’arif dan kitab hikmah lain dikuasasi dengan baik. Sehingga Pesantren Tebuwung dikenal sebagai Pusat ilmu Hikmah. Pada hari Selasa legi 27 Dzul Hijjah 1313/ 9 Juni 1896, KH. Abdul Karim Wafat dan digantikan putra beliau KH. Muhammad Zahid (1896-1913 M)

Amaliyah

Diantara amaliyah yang dijalankan KH. Abdul Karim dalam membangun Pesantren dan Masyarakat, antara lain :

1. Shalat Berjemaah
2. Baca Jailaniyyah (Yasin, Waqih, al_mulk, dll) setiap ba’da maghrib dan waktu hajat
3. Baca wirdhul lathif, bakda subuh dan wirid lain hingga terbit matahari
4. Baca ayat lima dan ayat tujuh setiap hari
5. Wirid Nurun Nubuwat
6. Baca Maulid Nabi setiap Malam Jum’at
7. Baca Burdah Malam selasa
8. Mengajarkan keluarganya dan Masyarakat untuk puasa nyirih 41 hari dan ditutup malam hari raya idul adha
9. Mencintai ahlul bait dan ahlul ilmu
10. Mengasuh Anak Yatim
11. Mengelilingi kampung-kampung untuk mendoakan mereka agar diberi hidayah
12. Menziarah makam para wali dan ulama
13. Menanggalkan segala gelar keradenan dan tidak sombong karena keturunan Sunan Drajat
14. Menanggalkan segala gelar keradenan
15. Dan lain-lain

Kiprah Keturunan

Keturunan KH. Abdul Karim banyak berdakwah melalui pesantren, antara lain:

Pesantren al-Karimi, Tebuwung Dukun Gresik, diasuh oleh KH. Abdul Muhsi keturunan KH. Murtadho
Pesantren Al-Muniroh, Ujung Pangakah diasuh oleh keturunan Nyai Maimunan binti Abdul Karim
Pesantren Tarbiyatut Tholabah Kranji diasuh oleh keturunan KH. Musthofa
Pesantren Qomarudin Bungah,  di asuh oleh KH. Iklil dari jalur KH. Musthofa
Pesantren al-Amin, Tunggul diasuh oleh KH. Abdul Fattah, dari jalur KH. Musthofa
Pesantren Al-Hidayah, Tarik Krian Sidoarjo, di asuh oleh KH. Muhammad Taufiq, keturunan  KH. Muhammad Zahid
Pesantren al-Islah, Rengel Tuban, diasuh oleh KH. Muhammad Ishomuddin, keturunan  KH. Muhammad Zahid
Pesantren Sunan Drajat al-Qosimiyyah, Parung, Bogor, diasuh oleh KH. Muhamad Munawwir al-Qosimi, keturunan  KH. Muhammad Zahid
Dan lain2.

Referensi
1. "KH. Abdul Karim Tebuwung". Diakses tanggal 28 Agustus 2019.
2. Sejarah Sunan Drajat. Surabaya: Tim Peneliti dan Penyusunan Buku Sejarah Sunan Drajat. 1998. hlm. 143.
3. A. Steenbrink, Karel (1984). Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang. hlm. 246.
4. Zaini Dahlan, Ahmad (2017). Catatan Pemikiran Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan Tentang Wahabisme. Jakarta: Wali Pustaka. hlm. 10.
5. "MASJID KANJENG SEPUH". Diakses tanggal 28 Agustus 2019.
6. Sunyoto, Agus (2011). Wali Songo Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan. Tangerang: Transpustaka. hlm. 12.

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Abdul_Karim_Tebuwung