KH ABDUL KARIM TEBUWUNG DUKUN GRESIK
KH. Abdul Karim Tebuwung (lahir di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Senin Wage 11 Syawal 1245 H (5 April 1830), meninggal di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Selasa Legi, 28 Dzulhijah 1313 H (9 Juni 1896) pada umur 66 tahun, dimakamkan di Tebuwung, Dukun, Gresik) adalah salah seorang ulama kharismatik keturunan Sunan Drajat yg merupakan pendiri Pondok Pesantren Tebuwung Dukun Gresik yg sekarang dikenal Pondok Pesantren Al-Karimi. Masa kecilnya bernama Raden Karmadin.
Keluarga
Ayahnya bernama Kyai Abdul Qohar (Raden Kair) merupakan anggota Laskar Pangeran Diponegoro yg ditugaskan di Sumenep pada masa pemerintahan Sultan Abdur Rahman Pakunatadiningrat I . KH. Abdul Karim adalah putra kedua dari 2 bersaudara. Ibunya bernama Sawilah. Kakaknya bernama : Raden Ayu Muqiroh.
Berdasarkan silsilah KH. Abdul Karim adalah keturunan Sunan Drajat dgn Ratnayu Condrosekar, puteri kediri. Sunan Drajat dgn Ratnayu Condrosekar memilki tiga anak, yaitu : Raden Arif, Raden Ishaq, dan Raden Sidiq. Dari Raden Sidiq menunkan KH. Abdul Karim.
Silsilah beliau adalah Abdul Karim bin Abdul Qoh-har bin Darus bin Qinan bin Ali Mas’udi bin Ahmad Rifa’i bin Bisyri bin Ahmad Dahlan bin Muhammad Ali bin Abdul Hamid bin Shiddiq bin Sunan Drajat (R.Qosim) bin Sunan Ampel (R. Rahmatullah) bin Ibrahim Asmaraqondi bin Jamaludin al-Akbar bin Ahmad Syâh Jalâlul Amir bin S. Abdullâh Khân bin S. Abdul Malik Azmat
Beliau menikah dgn istri pertama Mas Amirah keturunan dari Jaka Tingkir dan dhn istri kedua Nyai Khodijah
KH. Abdul Karim dikaruniai anak sebelas, yaitu :
Dari istri pertama :
Fathimah, meninggal diusia balita
KH Muhammad (Ahmad Zahid) Tebuwung
KH. Ishaq Surabaya
Nyai Maimunah Ujung Pangkah
Nyai Shofiyah Sidayu
Nyai Atiqoh Mentaras
Dari istri yang kedua
KH. Musthofa
Nyai Alimah
Nyai Muthiah
Nyai Zainab
KH. Murtadlo
Pendidikan
Dalam usia 2 tahun ayahanda beliau tercinta wafat. Nyai Syawilah kemudian dinikahi Kiai Asnawi, adik dari Kiai Abdul Qahar dan hijrah ke Kauman Sidayu Gresik. Kiai Asnawi mendidik anak tirinya dan sekaligus keponakan ini penuh dengan kesabaran dan penuh cinta kasih. Apalagi beliau tidak dianugerahi anak. Dilihat dari nur yg ada di dahi Karmadin ada tanda2 untuk menjadi waliyullah seperti datuk beliau, Sunan Drajat dan Sunan Ampel.
Kiai Asnawi mengajari mulai dari kecil untuk salat berjemaah dan memperbanyak puasa. Kiai Asnawi memegang ilmu kesunandrajatan dari ayah beliau, Kiai Qinan. Karmadin pun disiapkan mulai sejak dini untuk menjadi waliyullah dan ulama. Dikenalkan bagaimana riyadhah nyirih, mutih, ngebeleng, pati geni, polopendem dan lain2. Agar Karmadin tidak terlalu manja dan bisa bergaul, Kiai Asnawi menyuruh mengaji ke Kiai Mustahal Sidayu, yg masih keturunan Jaka Tingkir.
Di sini beliau konon bertemu dgn Abdul Jabar Maskumambang. Setelah dikira cukup, kiai Asnawi menganjurkan belajar ilmu kewalian kepada Mbah Suto (kiai Maulani) di Sendang Duwur Paciran. Mulai dari pesantren inilah Karmadin riyadhah puasa makan Karak (nasih basi yang dikeringkan). Karak dimasukkan ketupat lalu digantung, dibuka sedikit, ditarik ketika buka puasa sehingga hanya makan sesuai dengan keluarnya. Keluar 3 dimakan 3, keluar 4 dimakan 4 dan seterusnya
Mbah Suto yg makrifatullah, melihat potensi batin yg ada dalam diri Karmadin. Beliaupun mengetes kehebatan Karmadin. Semua santri dikumpulkan. “ Wahai para santriku semua berendamlah di dalam sendang (sungai) ini. Barangsiapa yg kuat berendam paling lama, akan saya doakan agar dia dan keturunannya menjadi ulama yg agung dan memiliki keturunan yg banyak, “ kata Mbah Suto di malam hari.
Para santri berendam semua. Ada yg bertahan 5 menit. Ada yg bertahan 10. Sambil berdzikir, berdoa dan memandang ke sungai, Mbah Suto melihat satu persatu santrinya. Setelah sekian lama dan dicek, Karmadin belum keluar dari air. Mbah Suto dgn keilmuan mengangkat Karmadin dari dalam air dan dalam keadaan sehat wal afiat. Beliau kemudian mendoakannya dan menurunkan ilmu kewalian kepada Karmadin. Setelah dirasakan cukup khidmah di pesantren Mbah Suto, Karmadin berkelana belajar ilmu makrifat ke Tayu Pati.
Kendati ilmu syariat dan makrifatullah yg sudah dipelajari dan diamalkan sudah banyak, rasa haus dan hirah akan ilmu syariat dan makrifat mendorongnya untuk memuntut ilmu ke tanah Hijaz. Perjalanan dari Nusantara menuju Jedah berlangsung selama berbulan2. Setelah menjalankan ibadah haji, Karmadin berganti nama Abdul Karim dan tidak langsung pulang ke tanah air. Abdul Karim tinggal di komunitas orang2 Jawi (Jâwiyyîn) atau perkampungan yg dikenal dgn sebutan “Pemukim Jawah” (Bilâd al-Jâwah). Sebutan jawah atau jawi ini tidak selalu merujuk pada orang2 dari pulau Jawa, namun juga pada orangw dari Nusantara bahkan Asia Tenggara.
Dalam hal lain kita juga mengenal huruf jawi atau arab pegon, suatu modifikasi aksara Arab untuk menuliskan bahasa lokal yg dikembangkan komunitas ini. Koloni Jawi ini termasuk yg terbesar dari semua bangsa yg berada di Makkah. Setiap jemaah haji yg sudah sampai di sana berubah setelah berhaji, ingin menimba ilmu kepada syekh2 di Makkah.
Guru-guru
Guru-guru KH. Abdul Karim Tebuwung antara lain:
Syekh Ahmad Khatib asy-Syambasi
Syekh Ahmad Zaini Dahlan
Syekh Abdul Ghani al-Bimawi
Syekh Yusuf Sumbulaweni
Syekh Abdul Hamid Daghestani
Syekh Sayyid Ahmad Nahrawi
Syekh Ahmad Dimyati
Syekh Muhammad Khatib Duma al-Hambali
Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Maliki
Dan lain sebagainya
Sedangkan teman2 beliau semasa menimba ilmu di Makkah, antara lain:
Syekh Nawawi al-Bantani
Syekh muhammad bin Abdullah as-Sukahimi
Syekh Muhammad Shaleh Darat
Syekh Ahmad Khothib bin Abdul Lathif al-Minangkabau
Sayyid Utsaman bin Yahya Betawi
Syekh Kholil bin Abdul Lathif, Bangkalan
Syekh Abu Bakar Syatho
dan lain2.
Perjuangan
Setelah beberapa tahun lamanya di kota makkah beliau pulang ke kota Sidayu. Tidak lama kemudian menikah dgn Nyai Mas Amirah binti Raden Cokromenggolo. Di Sidayu bersama istri tercinta, berdakwah sambil berdagang hingga dikenal sbg pedagang sukses.
Kedua pasangan ini dikarunia Allah SWT, putri cantik yg bernama Fathimah. Saking cintanya kepada putrinya, Fathimah diberi perhiasan emas yg banyak untuk dijadikan gelang, kalung dan cincin hingga kemudian musibah terjadi, Fathimah dimutilasi oleh pembantunya sendiri, dgn cara disembelih dan semua perhiasan diambil.
Dari peristiwa ini Nyai Mas Amirah berwasiat agar keturunannya tidak memakai perhiasan yg berlebihan. Semakin lama KH. Abdul Karim dan Nyai Mas Amirah semakin dikenal orang. Kemasyurahannya bukan hanya lantaran guru agama dan pedagang yg berhasil, melainkan dikenal juga sebagai tokoh muda ahli agama yg arif dan bijaksana serta disegani, baik oleh penduduk maupun pemerintah belanda. Pemerintah Belanda bermaksud mengangkat beliau menjadi qodhi di kadipaten Sidayu, namum beliau menolak dgn halus . Pada saat itu, Sidayu di Pimpin Kanjeng Sepuh Sedayu (Raden Adipati Aria Soeryo adiningrat (Bupati Sidayu 1817-1855).
Pada tahun 1862 Pak Utsman (Warjo) Kepala desa Tebuwung, Dukun Gresik tengah mencari seorang ulama’ yg sanggup membina masyarakatnya serta mau tinggal di desanya. Pak Utsman masih sepupu Nyai Mas Amirah. Ibu Nyai Mas Amirah berasal dari Tebuwung. Pak Utsman kemudian bermusyawarah dgn Nyai Mas Amirah dan KH. Abdul Karim. Mereka semua kemudian menghadap ke Kanjeng Sepuh Sidayu.
KH Abdul Karim diperintahkan untuk membina masyarakat Tebuwung dan sekitarnya yg pada saat itu mengikuti agama kapitayan, Hindu dan Budha. Dalam rangka melakukan puja bakti kepada sanghyang Tunggal, penganut kapitayan menyediakan sesaji berupa Tum-peng, Tu-mpi (kue dari tepung), Tu-mbu (keranjang persegi dari anyaman bambu untuk tempat bunga), Tu-ak (arak), Tu-kung (sejenis ayam) untuk dipersembahkan kepada sanghyang Tu-nggal yg daya gaib-Nya tersembunyi pada segala sesuatu yg diyakini memiliki kekuatan gaib, Tu-ngkup, Tu-nda, wa-tu, Tu-gu, Tu-nggak, Tu-k, Tu-ban, Tu-rumbukan.
KH Abdul Karim meninggalkan kota Sidayu menuju Desa Tebuwung. Anak2nya perempuannya semua diajak, selain kedua putra beliau, Muhammad Zahid dan Ishaq masih menuntut ilmu di Makkah. Mengingat beratnya tantangan di desa Tebuwung, kedua putra beliau dianjurkan untuk pulang untuk membantu perjuangan. KH. Abdul Karim, Nyai Mas Amirah, putra-putri beliau semua riyadhoh puasa mutih, patigeni, ngebeleng dan lain2.
Dalam suatu malam KH. Abdul Karim melihat ada sinar di Pemakaman di Suban Tebuwung. Beliau kemudian bermunajat dan berdoa. Beliau diberi petunjuk Allah bahwa yg ada sinarnya itu adalah makam Nyai Syarifah (Nyai Ayu), adik Sunan Kalijaga, Istri Sunan Ngudung, ibunda Sunan Kudus.
Saat itu orang meninggal di Tebuwung tidak dikubur, tapi dibuang ke dalam gua. Di dekat Gua itu tempat penyembahan masyarakat Tebuwung, Sedangkan di Tengah2 desa menjadi tempat lokalisasi. KH. Abdul Karim sekeluarga dan dibantu Pak Utsam sekeluarga kemudian mendirikan masjid di dekat Maqom Nyai Syarifah, + 1 km dari pesantren. Di masjid yg baru ini masyarakat Tebuwung yg sudah masuk Islam diajak oleh KH. Abdul Karim untuk membaca Maulid Nabi (asroqolan), mendzikir Jailaniyyah ( Dulkadiran), baca wirdul lathif dan lain2.
Pak Utsaman dan sekeluarga kemudian menyerahkan lahan untuk pendirian Pesantren Tebuwung. KH. Abdul Karim kemudian menikahkan Muhammad Zahid dgn Fathimah yg masih keturunan Sulthan Abdurrahman Pakunatadingrat dan Bindarasaod Sumenep Madura Dakwah beliau kemudian diterima masyarakat sekeling Tebuwung, dan kemudian berdatanganlah para santri dari Gresik, Surabaya, Madura, Banten, dan lain2.
Diantaranya KH. Munawwar, Sidayu. Setiap malam jumat wage, masyarakat Tebuwung diajak membikin apem dan sesudah maghrib diajak istighotsah yg berpindah2, dari rumah ke rumah. Setiap tahun diadakan Haul Nyai Syarifah.
Pernah di Tebuwung di landa Pacekelik yg memprihatinkan sehigga terjadi kelaparan, baik para santri atau masyarakat. Kondisi ini membuat prihatin Nyai Mas Amirah. Putri saudagar kain ini, memintak ridho suami untuk kembali berdagang garmen. Untuk itu, Nyai Mas Amirah menyuruh suaminya untuk menikahi temannya, Khodijah. Permintaannya pun dikabulkan. Bisnis garmen Nyai Mas Amirah membawa keuntungan yg luar biasa sehingga beliau dikenal sebagai orang terkaya di kadipaten Sidayu. Hasil keuntungan digunakan untuk menopang Pesantren dan Perjuangan melawan kolonial Belanda.
KH. Abdul Karim dikenal sebagai ahli Hikmah yg kramat, kitab Syamsul Ma’arif dan kitab hikmah lain dikuasasi dengan baik. Sehingga Pesantren Tebuwung dikenal sebagai Pusat ilmu Hikmah. Pada hari Selasa legi 27 Dzul Hijjah 1313/ 9 Juni 1896, KH. Abdul Karim Wafat dan digantikan putra beliau KH. Muhammad Zahid (1896-1913 M)
Amaliyah
Diantara amaliyah yang dijalankan KH. Abdul Karim dalam membangun Pesantren dan Masyarakat, antara lain :
1. Shalat Berjemaah
2. Baca Jailaniyyah (Yasin, Waqih, al_mulk, dll) setiap ba’da maghrib dan waktu hajat
3. Baca wirdhul lathif, bakda subuh dan wirid lain hingga terbit matahari
4. Baca ayat lima dan ayat tujuh setiap hari
5. Wirid Nurun Nubuwat
6. Baca Maulid Nabi setiap Malam Jum’at
7. Baca Burdah Malam selasa
8. Mengajarkan keluarganya dan Masyarakat untuk puasa nyirih 41 hari dan ditutup malam hari raya idul adha
9. Mencintai ahlul bait dan ahlul ilmu
10. Mengasuh Anak Yatim
11. Mengelilingi kampung-kampung untuk mendoakan mereka agar diberi hidayah
12. Menziarah makam para wali dan ulama
13. Menanggalkan segala gelar keradenan dan tidak sombong karena keturunan Sunan Drajat
14. Menanggalkan segala gelar keradenan
15. Dan lain-lain
Kiprah Keturunan
Keturunan KH. Abdul Karim banyak berdakwah melalui pesantren, antara lain:
Pesantren al-Karimi, Tebuwung Dukun Gresik, diasuh oleh KH. Abdul Muhsi keturunan KH. Murtadho
Pesantren Al-Muniroh, Ujung Pangakah diasuh oleh keturunan Nyai Maimunan binti Abdul Karim
Pesantren Tarbiyatut Tholabah Kranji diasuh oleh keturunan KH. Musthofa
Pesantren Qomarudin Bungah, di asuh oleh KH. Iklil dari jalur KH. Musthofa
Pesantren al-Amin, Tunggul diasuh oleh KH. Abdul Fattah, dari jalur KH. Musthofa
Pesantren Al-Hidayah, Tarik Krian Sidoarjo, di asuh oleh KH. Muhammad Taufiq, keturunan KH. Muhammad Zahid
Pesantren al-Islah, Rengel Tuban, diasuh oleh KH. Muhammad Ishomuddin, keturunan KH. Muhammad Zahid
Pesantren Sunan Drajat al-Qosimiyyah, Parung, Bogor, diasuh oleh KH. Muhamad Munawwir al-Qosimi, keturunan KH. Muhammad Zahid
Dan lain2.
Referensi
1. "KH. Abdul Karim Tebuwung". Diakses tanggal 28 Agustus 2019.
2. Sejarah Sunan Drajat. Surabaya: Tim Peneliti dan Penyusunan Buku Sejarah Sunan Drajat. 1998. hlm. 143.
3. A. Steenbrink, Karel (1984). Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang. hlm. 246.
4. Zaini Dahlan, Ahmad (2017). Catatan Pemikiran Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan Tentang Wahabisme. Jakarta: Wali Pustaka. hlm. 10.
5. "MASJID KANJENG SEPUH". Diakses tanggal 28 Agustus 2019.
6. Sunyoto, Agus (2011). Wali Songo Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan. Tangerang: Transpustaka. hlm. 12.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Abdul_Karim_Tebuwung
No comments:
Post a Comment