Adalah salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Republik Indonesia pasca kemerdekaan; Gerakan September Tiga Puluh atau biasa disebut Gestapu dan G30S/PKI. Peristiwa yang kita peringati dengan pengibaran bendera setengah tiang ini begitu dahsyat, hingga mengubah haluan bernegara kita, melahirkan Pahlawan Revolusi, dan menjadi saksi kesaktian Pancasila. G30S/PKI (baca; pengkhianatan PKI ini) telah menjadi trauma bangsa yang akan terus diingat dalam memori kolektif berlintas-lintas generasi selama Republik ini masih berdiri.
Oleh karena amat penting, Gestapu akan selalu menarik untuk dibahas walau berulang-ulang sekalipun, di samping memang tragedi ini meninggalkan banyak pertanyaan yang menggugah rasa ingin tahu, dan bahkan sebagian diantaranya masih terselimuti kabut misteri hingga kini. Mengapa tujuh Jenderal itu dibunuh? Bagaimana kronologinya? Siapa dalang dibaliknya? benarkah hanya PKI?. Layaknya sebuah kisah detektif misteri, saat membacanya kita akan dibuat tegang dan penasaran sampai ke alam mimpi.
Sumbangsih terbesar dalam menguak tabir misteri tersebut berasal dari Magnum Opusnya Prof. Salim Haji Said, sebuah buku berjudul Dari Gestapu ke Reformasi. Tulisan ini sekedar ikhtiar membuat ikhtisar dari buku tersebut, namun karena tidak memungkinkan untuk merekonstruksi secara utuh dalam berlembar halaman saja, penulis hanya akan mengambil sudut pembahasan dari latar belakang dan hubungan-hubungan para tokoh atau pihak sentral peristiwa tersebut dengan Bung Karno sebagai pusaran intrik, dan mencoba menjawab pertanyaan mengapa peristiwa Gestapu ini dapat terjadi dan siapa sutradara dibaliknya.
Gestapu adalah sebuah penghujung dari rangkaian konflik politik dan gesekan antara Angkatan Darat melawan PKI di kanan-kiri Bung Karno, konflik ini adalah awal mula sejarah ini mesti diceritakan, karenanya penulis akan mulai dari situ sambil berharap pembaca untuk sedikit bersabar.
Angkatan Darat yang Anti Komunis PKI
Perlu dipahami sebelumnya, tidak seperti sekarang, ketika supremasi sipil dapat ditegakkan, pada November 1958, setahun sebelum Dekret Presiden yang menandai perubahan Ideologi Politik Negara dari Demokrasi Liberal menjadi Demokrasi Terpimpin, Angkatan Bersenjata (ABRI) telah dimasukkan ke dalam Golongan Karya yang artinya mereka punya hak di kabinet dan parlemen, atau kita kenal kemudian sebagai dwifungsi ABRI (fungsi pertahanan Negara dan fungsi politik/partai). Dwifungsi ABRI ini kemudian ditinggalkan sejak Reformasi sampai sekarang ini.
Dengan kewenangan berpolitiknya ini, Angkatan Darat yang merupakan bagian utama ABRI memosisikan diri sebagai partai tandingan dan satu-satunya bagi PKI, dikarenakan Partai besar lainnya, Masyumi dan PSI, dibubarkan oleh Bung Karno pada 1960 dengan tuduhan keterlibatan atas pemberontakan PRRI/Permesta, dan sedangkan Angkatan Udara dan Angkatan Laut hanya sendiko dawuh saja pada Presiden Sukarno yang menganakemaskan PKI.
Selanjutnya, berdasarkan cara Angkatan Darat berkonfrontasi dengan PKI, dalam tubuh organisasi militer tersebut terdapat tiga kubu yang berbeda, Yaitu kubu KSAB (Kepala Staf Angkatan Bersenjata) Jenderal TNI Abdul Haris Nasution, KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat) Jenderal TNI A. Yani, dan Pangkostrad Mayor Jenderal TNI Soeharto.
Sebagai Perwira yang amat senior dan pernah menjadi Wakil Panglima Besar Soedirman, Jenderal AH. Nasution sangat lantang menyerang PKI sekaligus mengkritik Sukarno yang semakin mesra dengan PKI, hal ini merupakan alasan mengapa Bung Karno Pada tahun 1962 “menyingkirkannya” dengan mengangkatnya dari KSAD menjadi KSAB agar tidak memiliki garis komando ke tubuh Angkatan Darat, menggantinya dengan Jenderal Yani yang Sukarno kira “mudah dikendalikan” namun ternyata juga tidak.
Jenderal Yani merupakan perwira yang anti komunis namun setia kepada Bung Karno, kesetiaan ini bahkan pernah akan ditunjukkan olehnya dengan mendaulat (menculik dan mencopot jabatan) Jenderal Nasution, namun atas bujukan perwira-perwira senior lainnya, rencana itu urung dilaksanakan. Ketidaksukaannya terhadap komunis pernah ia ungkapkan dalam pidato berbahasa Belanda dihadapan para perwiranya yang artinya “Bung Besar boleh memiliki banyak kekasih lain siapapun itu, namun kalau Bung Besar bermain mata dengan Komunis, maka dia harus berhadapan dengan Angkatan Darat”.
Adapun Mayjen Soeharto adalah Panglima Kostrad (Komando Setrategis Angkatan Darat), waktu itu tidak banyak yang mengenalnya. Sebelum Gestapu, sikap kelompok Soeharto terhadap PKI sulit untuk dicium, kendati demikian, tidak diragukan tentang sikap anti komunisnya sebab Pangdam Diponegoro Brigjen Soeharto (pangkatnya waktu itu) pernah dimarahi oleh Sukarno karena berani mengingatkan Sang Presiden mengenai bahaya komunis. Ini terjadi setelah kemenangan PKI pada pemilu daerah Jateng dan Jatim pada 1957. Dia juga yang meredam pemberontakan PKI pimpinan Muso di Madiun tahun 1948 atas perintah Panglima Besar Jenderal Soedirman. Soeharto sebetulnya lebih senior dari A. Yani ketika keduanya masih di Kodim Diponegoro, namun ia tidak disenangi oleh Sukarno sehingga karirnya terhambat.
Kedekatan Bung Karno dengan PKI dan Kerancuan Doktrin Nasakom
Kedekatan Sukarno pada PKI nampak dari banyaknya anggota partai palu arit itu yang masuk ke dalam jajaran pemerintahan, kebijakannya juga semakin meminggirkan organisasi atau komunitas yang secara terang mengaku anti komunis, Misalnya membredel banyak media cetak anti komunis - di tengah maraknya surat kabar milik PKI seperti Harian Rakyat - dan melarang Manifes Kebudayaan yaitu perkumpulan seniman-seniman senior untuk menandatangi pernyataan anti komunis, Pelarangan ini menyebabkan seniman-seniman tersebut mengalami persekusi dan diskriminasi di berbagai tempat.
Dalam setiap pidato, khususnya pasca Dekret Presiden 59, Bung Karno selalu mengidentifikasikan dirinya sebagai Pemimpin Besar Revolusi dan penyambung lidah rakyat, dan senantiasa mengampanyekan semangat kerukunan baru yaitu Nasakom, Nasionalis Agamis dan Komunis. Nasakom ini juga merupakan jargon kampanye Presiden di kancah politik internasional, menjadi bagian implementasi gerakan Non-Blok atau politik bebas aktif. Sukarno berharap diterima oleh negara-negara dunia ketiga (yang sebagian besar bermazhab Komunis) dan kemudian muncul sebagai pemimpin kekuatan tandingan baru bagi dua Negara Adi Daya di masa Perang Dingin, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Di kemudian hari setelah peristiwa Gestapu, ambisi Sukarno inilah yang menjadi sebab keengganannya membubarkan PKI.
Namun persatuan berdasarkan Nasakom ini menuai polemik, sebuah keliru besar meyakini gagasan ini dapat merukunkan bangsa, sudah maklum diketahui bahwa Komunisme tidak mengakui adanya Tuhan (Atheis) dan menganggap Agama adalah candu, lantas bagaimana mungkin Agamis dan Komunis dapat dirukunkan kalau seseorang menjadi Agamis sama dengan menjadi anti komunis sebab komunis tidak mengakui adanya Tuhan, Sedangkan menjadi Komunis sama artinya menjadi anti Agama karena Agama adalah candu menurut mereka?.
Ironisnya kemudian, Orang-orang Komunis PKI yang terang-terangan menyerang kelompok Agamis di biarkan begitu saja oleh Sukarno, sedang orang-orang Nasionalis apalagi Agamis yang vokal menentang pemikiran Komunis justru dianggap anti Nasakom, dan tidak paham semangat Revolusi oleh Sukarno, Sang Pemimpin Besar Revolusi.
Apa yang terjadi di atas tak lepas karena bagi Sukarno sendiri, PKI bukan hanya salah satu pilar Nasakom, melainkan juga sebuah kekuatan politik yang dimanfaatkannya mengimbangi Angkatan Darat, Sukarno yang tidak lagi memiliki partai sadar betul akan mudah menjadi “sandera” para Jenderal jika tidak memiliki kekuatan pengimbang yang berdiri dibelakangnya.
Ketidakpercayaan Presiden Sukarno terhadap Angkatan Darat
Oleh karena kecenderungan Presiden kepada PKI, dan semangat Nasakom-nya yang rancu, Angkatan Darat yang Anti komunis dianggap Presiden Sukarno sebagai anak revolusi yang membangkang terhadap Pemimpin Besar Revolusi, bukan hanya terhadap Kubu KSAB Jenderal Nasution, namun juga kapada KSAD Jenderal A. Yani.
Selain itu, sikap Jenderal Yani yang terkesan “setengah-setengah” dengan tidak mengirimkan kekuatan penuh militernya ke perbatasan serawak, ketika Sukarno menggaungkan Ganyang Malaysia sebagai program anti-Nekolimnya (Neo Kolonialisme Imperialisme), membuat Sukarno semakin tidak mempercayainya, padahal dalam sebuah kesempatan dihadapan para perwira senior, Jenderal Yani mengaku cemas andai kekuatan penuh TNI AD dikirim ke serawak, tidak ada cukup pasukan di Pulau Jawa untuk menghadapi PKI jika terjadi perebutan kekuasaan, “Saya tidak ingin RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat, sekarang disebut Kopassus) terlibat dalam konfrontasi - dengan Malaysia -” kata Yani. “Saya tidak punya pasukan lain”, tambahnya.
Hal ini semakin diperparah oleh beredarnya Dokumen Gilchrist, sebuah Dokumen rahasia yang dicetak dalam lembaran kertas bertanda kedutaan Besar Inggris di Jakarta, yang isinya menyebutkan adanya Dewan Jenderal di Republik Indonesia yang berencana melakukan kudeta. Oleh PKI Dokumen ini dijadikan isu utama untuk menyerang para Jenderal dan menuduh mereka bekerjasama dengan CIA, sembari terus membisiki Sukarno untuk melakukan tindakan tegas pada para Jenderal tersebut. Di kemudian hari terungkap bahwa Dokumen tersebut palsu, dibuat oleh Ladislav Bittman, seorang intel Cekoslowakia yang bekerja untuk dinas rahasia Uni Soviet, KGB.
Gestapu, Skenario Awal dan Kegagalannya
Presiden yang makin kewalahan menghadapi Angkatan Darat - dicurigai akan melakukan tindakan subversif, terus menolak Nasakom dan tidak secara serius melakukan konfrontasi dengan Malaysia malahan sibuk mengatur barisan kaum anti komunis - mendorong sang Presiden tiba pada kesimpulan untuk tidak punya pilihan lain, kecuali mencopot Jenderal Yani. Namun karena Presiden tidak cukup percaya diri dapat melakukan pencopotan dengan cara biasa - karena sistem pergantian komandan belum tercipta dan mengingat solidnya loyalitas tentara dengan komandannya, Jenderal Yani – opsi pencopotan dengan cara daulat dalam bentuk penculikan menjadi keputusan Presiden.
Sebuah tradisi pada zaman revolusi, adalah daulat, mendaulat dan pendaulatan yang sering muncul dalam bentuk penculikan seorang tokoh politik untuk tujuan tertentu. Yang paling mencolok tentu penculikan Sukarno Hatta oleh pemuda secara “sedikit memaksa” menuju Rengas Dengklok agar didaulat mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan. Dari sini dapat dipahami, rencana penculikan Para Jenderal yang menjadi skenario Presiden adalah mencopot jabatannya dan menggantinya dengan perwira yang loyal terhadap visi Nasakom dan Anti Nekolim-nya, bukan untuk sebuah pembantaian.
Tugas ini dibebankan pada Komandan Cakrabirawa (saat ini dinamai Paspampres), pengawal presiden sendiri yaitu Letkol Untung, dan dibantu oleh Kononel Latif, dan Brigjen TNI Supardji. Namun kemudian rencana gubahan Presiden tersebut menjadi seperti ember Muhafadzoh kalian (bocor maksude, rek), terdengar oleh Kepala Biro Khusus PKI, Syam Kamaruzaman. Ini dapat mudah dimaklumi sebab Letkol Untung merupakan perwira beraliran kiri yang sudah lama menjadi tentara binaan Syam, yang PKI biasa sebut sebagai “perwira berpikiran maju”.
Ketua Umum PKI, DN. Aidit yang sudah lama berambisi menyingkirkan saingan politiknya, ketika mendengar info rencana Presiden tersebut dari Syam, segera menyusun rencana untuk menumpang ke dalam operasi tersebut, dengan menargetkan bukan hanya KSAD Jenderal A. Yani, namun ketujuh Jenderal yang memobilisasi kekuatan anti komunis. Sebab itu, dapat mudah kita ketahui kenapa Mayjen Soeharto tidak dijadikan target operasi oleh PKI, mengingat sikapnya yang seolah tidak nampak menjadi ancaman bagi PKI.
Tentunya rencana Aidit itu bukan pula berupa pembantaian, sebab membunuh para Jenderal hanya akan menjadi alasan bagi tentara dan kekuatan anti komunis lainnya untuk beramai-ramai mengeroyok dan menghancurkan PKI, seperti terbukti kemudian. Oleh karenanya, ketika skenario awal Gestapu baik dari Sukarno maupun Aidit adalah penculikan saja, maka Gestapu yang menjadi ajang pembantaian para Jenderal tersebut “hanya” dapat dipahami sebagai sebuah operasi militer yang gagal (atau disengaja untuk digagalkan) dan berakhir pada pembunuhan.
Penyebab kegagalan ini tidak lain karena Aidit menugaskan Syam, seorang sipil yang tidak memilik pengalaman militer - meski mengaku pernah mengenyam pelatihan militer di Tiongkok namun kemudian tidak ditemukan buktinya - untuk menjadi kepala operasi strategis militer yang tentunya membutuhkan kecakapan di bidangnya. Bukti kacaunya operasi Gestapu diantaranya adalah para perwira yang terjun untuk menculik Jenderal Nasution, tidak mampu mengenali wajahnya sehingga kemudian Kapten Pierre Tendean yang merupakan ajudan Jenderal Nasution harus meregang nyawa karena salah sasaran.
Analisa Mengenai Keterlibatan Presiden
Siapakah sutradara Gestapu sebenarnya? Diantara pilihan jawabannya (yakni PKI Aidit, Sukarno, Suharto, atau CIA/agen asing?) tentu sampai di sini pembaca dapat menjawab; Sukarno, yang didompleng PKI. Ini mungkin berbeda dengan pengetahuan umum di masyarakat, namun apa yang tertulis adalah berdasarkan penelusuran berpuluh-puluh tahun dari seorang wartawan lapangan yang meliput secara langsung dan seorang pakar politik militer, Prof. Salim Said. Mengenai keterlibatan Sukarno ini, tentunya beliau memiliki landasan fakta dan analisa yang kuat.
Beberapa jam sebelum operasi Gestapu dilaksanakan, Presiden menerima kunjungan dari India, seorang pilot yang juga pernah menjadi utusan pribadi Perdana Menteri Jawahral Nehru, Shri Biju Patnaik. Maksud kunjungan itu adalah lobi politik India berkaitan dengan konflik India-Pakistan, menjelang akhir pertemuan, setelah Sukarno berjanji untuk tidak membantu Pakistan menyerang India, Patnaik diminta Sukarno agar meninggalkan Jakarta sebelum subuh, “sesudah itu saya akan menutup lapangan terbang”, kata sukarno. Pertanyaannya, mengapa dan buat apa lapangan Kemayoran akan ditutup oleh Sukarno setelah subuh esok harinya?
Terdapat pula satu sumber yang mengungkapkan kecurigaan terhadap Presiden di masa-masa awal pasca Gestapu, yaitu desakan dari Letkol Untung saat ditangkap untuk diperhadapkan langsung kepada Sukarno, ia percaya dan berharap Presiden akan mengerti dan memaafkan dirinya.
Lalu apakah sebenarnya Sukarno itu seorang Komunis?, sama sekali bukan. Dr. Ruslan Abdulgani, mantan Jubir Manipol Usdek dan orang dekat Bung Karno sejak zaman Revolusi menjelaskan;
“Bung Karno adalah seorang Nasionalis sejati, namun ia terlalu over confidence (percaya diri) mampu mengontrol PKI, lagi pula pengetahuan Bung Karno tentang Komunisme dasarnya adalah Komunisme masa mudanya, yakni yang mendorongnya merumuskan ideologi Nasakom, Komunisme waktu itu adalah alat melawan kolonialisme, bukan Komunisme pada zaman Perang Dingin seperti sekarang. Pada zaman perjuangan Nasional dulu, semua kekuatan dan golongan bisa diajak bersatu melawan kolonialisme, Sekarang ceritanya beda lagi, tapi Bung Karno masih tetap gandrung pada persatuan berdasarkan Nasakom”
Presiden pertama Indonesia ini memang semakin tua dan sakit-sakitan, telah kehilangan intuisi politiknya, tidak mampu membedakan mana yang menjadi ancaman bangsa dan mana yang bukan, yang mana kawan dan mana lawan, dan mudah diperdaya dan diperalat PKI yang menggerogoti bangsa dari dalam.
Akhiran
Sempitnya ruang menyebabkan tulisan ini sedikit banyak tampak menyudutkan Sukarno, dan seolah menutup mata akan keterlibatan Soeharto atau pihak asing, padahal tidaklah demikian dalam buku aslinya, oleh sebab itu, dapat menimbulkan persepsi dan kesimpulan yang berbeda antara pembaca budiman yang belum dan yang sudah mengkhatamkan buku aslinya. Banyak pula fakta-fakta menarik yang tidak sempat penulis cantumkan, termasuk yang menjadi landasan kecurigaan akan keterlibatan Soeharto, atau pihak asing, meskipun sayangnya belum memiliki cukup bukti, juga misteri dan keganjilan demi keganjilan lain yang belum dapat ditemukan jawabannya oleh Prof. Salim Said.
Pada akhirnya, merekomendasikan buku aslinya adalah sebuah keharusan.
wallahu a’lam bis showab… .
No comments:
Post a Comment