Thursday, February 9, 2023

KIAI MASDUQI (KAKAK RAIS AMM PBNU) BERKISAH TENTANG MBAH WAHAB MENANGKAP JIN DAN MBAH HAMID MENGAMINI DOANYA DARI ATAP

KIAI MASDUQI (KAKAK RAIS AMM PBNU) BERKISAH TENTANG MBAH WAHAB MENANGKAP JIN DAN MBAH HAMID MENGAMINI DOANYA DARI ATAP

Kemarin sore saya dan istri takziah tujuh harinya Nyai Muzayyanah (istri dari Kiai Adib bin Wahab Chasbullah) di Surabaya. Kami bertemu dengan Ning Diah (putri Kiai Masduqi Abdul Ghoni) dan Ning Hanna (putri Kiai Jazuli Bangkalan). Selanjutnya  Kami diantar ke Ndalem Kiai Masduqi di Rangkah.

Kiai Masduqi (78 tahun) adalah putra ketiga dari Kiai Abdul Ghoni. Beliau merupakan kakak kandung dari Rais Amm PBNU, Kiai Miftachul Akhyar.

Kami ditemui oleh Kiai Masduqi dengan ditemani Gus Haq (putra Kiai Masduqi), Ning Hanna dan Ning Diah beserta beberapa putri menantu beliau yang lain.

Kiai Masduqi yang sangat tawadlu sekali ini berkisah bahwa beliau Mondok di Tambakberas saat masih kecil dan masih ngompolan, yakni sekitar usia  8 tahun. Beliau  mondok di Tambakberas  selama 10 tahun mulai dari tahun 1953 dan hingga ketika gunung Agung meletus, tahun 1963.

Beliau saat ini adalah penerus pesantren abahnya yang bernama Pondok Pesantren Tahsinul Akhlaq Bahrul Ulum yang beralamat di Rangkah Surabaya. Rumah abah beliau (saat ini ditempati beliau) dahulu menjadi tempat persinggahan  para kiai seperti Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Hamid Chasbullah dan Kiai Romli, Mbah Ud dan lain lain. Beliau yang saat itu masih kecil masih teringat ucapan Kiai Abdul Ghoni (ayahanda beliau) bahwa Mbah Hamid Chasbullah waktu berkunjung setelah selesai acara haul Syaikh Abdul Qodir Al Jailani membawa buah tangan berupa roti kalengan.

Ketika saya tanya tentang amalan ijazah doa dari Masyayikh Tambakberas, beliau
berkata mendapatkan doa dari Mbah Wahab berupa "Huwal Habib" yang  dibaca 100 kali. Katanya,  banyak masalah yang para santri disuruh oleh Mbah Wahab agar mewiridkan "Huwal Habib". Kiai Masduqi juga sering mendengar Mbah Wahab mengajari santri dengan membaca doa "Ya Arhamarrohimin...".

Hal lain yang beliau ingat dari Mbah Wahab adalah saat Mbah Wahab mengambil jin di beberapa tempat sekitar pondok seperti di menara masjid dan lainnya. Saat itu Kiai Sholeh Hamid disuruh mengangkat jin, tapi Kiai Sholeh berkata "Tidak kuat Wak Aji (panggilan untuk Mbah Wahab dari para keponakannya)." Lalu Kiai Sholeh diajari agar menggendongnya. Setelah itu baru kuat membawa jin untuk dipindah.

Kiai Masduqi masih menangi (bertemu) Mbah Hamid yang wafat tahun 1956. Beliau sempat ngaji Alquran ke Mbah Hamid sampai ayat yang beliau sebut "Sayaqulus.. ." (awal juz 2).  Lalu oleh orang tuanya diminta pulang dulu. Saat beliau pulang pada bulan Ramadhan hari kedelapan itulah  Mbah Hamid wafat. Pada bulan Syawal Kiai Masduqi kembali mondok lagi.

Beliau berulangkali bilang Kiai Hamid Chasbullah itu wali, tamunya juga para wali seperti Kiai Sahlan, Sidoarjo, Kiai Toha Wonokromo dan lain lain.

Kiai Masduqi termasuk santri yang ikut ndalem dengan membantu menjualkan makanan blendung buatan Mbah Den (istri Mbah Hamid) untuk  para santri. Blendung adalah jagung tua yang biasanya direndam dengan air gamping, lalu digodok, dan setelah masak ditaburi parutan kelapa. Orang Nganjuk dan sekitarnya menyebutnya grontol.

Beliau juga berkisah tentang "ngawang" (terbangnya) Mbah Hamid Chasbullah. Setelah lama di pondok, pada suatu malam, Kiai Masduqi 'telek-telek" atau merenungi bahwa nanti kalau pulang dan beliau merasa belum bisa apa-apa, maka pasti akan ditanya tentang ngajinya oleh abahnya (Kiai Abdul Ghoni). Abahnya begitu tegas dan bisa menyabet manakala putranya tidak bisa ngaji.

Maka saat itu di tengah malam, Kiai Masduqi "nyawang" (melihat) atap atau "wuwung" di pondok induk. Tanpa disangka, beliau melihat Mbah Hamid (yang saat itu sudah wafat) "ngawang" atau terbang di atas wuwung pondok sambil berkata, "Aminono aku tak ndongo (ucapkan amin, saya mau berdoa)". Benar, secara secepat kilat beliau mengaminkan doa Mbah Hamid.

Terakhir, sekali lagi beliau sangat tawadlu'. Semisal saat saya minta barokah doa, bolak balik beliau mengelak menolak  tidak berkenan. Saya tidak putus harapan, maka akhirnya beliau dawuh akan membaca Fatihah tapi saya nanti diminta berdoa. Benar, selesai membaca Fatihah, saya diminta berdoa. Dengan mengharapkan berkah  "amin"nya Kiai Masduqi, maka saya berdoa pendek dengan membaca sholawat Nurudzati dan doa sapujagat.

Tidak hanya itu, saat saya pamitan dan mau ziarah ke makam Kiai Abdul Ghoni, beliau malah mau mengantar. Tentu kami cegah karena sehabis hujan. Sebelumnya saya mau "menyalami" beliau, tapi justru saya yang "disalami". Awalnya sama sama menolak, tapi karena sama-sama kekeuh, akhirnya sama sama menerima.

Semoga kiai sepuh yang andap ashor terus sehat dan panjang usia sehingga bisa jadi panutan.

No comments:

Post a Comment