"Dari Rumah Beralih Jadi Pesantren"
Pasca lulus (baca: resign) dari Yanbu'ul Qur'an Boarding School 1 Pati, setelah sekitar lima tahun-an berkhidmah merintis dari awal, saya mulai berencana membangun rumah, dengan niatan utama menjalankan kewajiban menafkahi keluarga, hurmat tamu dan untuk ngaji. Bulan Dzul Hijjah 1443 H saya mulai. Pertengahan Sya'ban 1444, selesai ngatepi. Istilahnya, di kampung saya, selametan tongcit atau munggah molo atau munggah kenteng. Selang semingguan, pasca selametan munggah kenteng, saya sowan Abah Zaky Fuad Abdillah Salam, bersama dengan Panitia Haul KH Abdullah Salam dan Reuni Lintas Angkatan KABILAH (Keluarga Alumni Pesantren Bani Abdillah). Pisowanan inilah yang mengubah niat awal saya, dari yang awalnya gedung ini mau dibuat rumah, beralih jadi Pesantren.
Saya sowan bersama teman-teman Panitia Haul dan Pengurus Alumni, dengan niatan mau memohon restu atas pelaksanaan acara Haul KH Abdullah Salam dan Reuni KABILAH kepada Abah Zaky. Di ndalem sudah ada tamu yang sowan Abah Zaky. Topik pembicaraan tamu tersebut dengan Abah Zaky adalah seputar bangun rumah.
"Bapak (KH Abdullah Salam) niku, riyen nalikane kula bangun griya, wanti-wanti sak estu, ampun ngantos griya sing kula bangun niku pancer pengimaman Musholla."
"Bapak mewanti-wanti dengan sungguh-sungguh, supaya ketika saya bangun rumah, jangan sampai pas ngepasi pengimaman Mushola."
Abah Zaky Dhawuh kepada tamu tadi.
Beliau melanjutkan,
"Dulu saya tidak tahu, mengapa Bapak mewanti-wanti saya seperti itu. Ya saya manut saja. Setelah saya renungi, saya menemukan jawabannya. Dulu, saat saya masih tinggal satu rumah dengan Bapak, kamar saya itu letaknya di sebelah barat kamar Bapak. Jadi, ketika Mbah Dullah shalat, itu menghadap ke kamar yang saya tempati. Kemudian saya beberapa kali bertemu dengan Kiai Fayumi Munji (Mbah Fayumi, selain terkenal sebagai Ahli Fiqih, beliau juga masyhur sebagai Ahli Falak, baik yang sifatnya Ilmu Falak Dhahir juga Ilmu Falak Batin). Setiap kali bertemu, Mbah Fayumi selalu ngguyoni dan nggasaki: Gus, sampean kalau masih tinggal di situ terus, sampean tidak akan punya keturunan Gus. Sebab, sampean itu dishalati Mbah Dullah terus. Apalagi Mbah Dullah itu wali, kalau beliau shalat menghadap kamar sampean, panas Gus."
Mendengar dhawuh Abah Zaky kepada tamu tadi, pikiran saya langsung tertuju ke rumah yang baru saja selesai selametan munggah tongcit/molo/kenteng. Rumah saya tepat pas di depan Musholla, meskipun ada jeda jalan gang menuju TPQ Al Mubarok yang berada di belakang rumah. Hati saya pun meletup-letup ingin menanyakan tentang hal ini kepada Abah Zaky, tetapi saya tahan. Saya masih menyimak dhawuh dan nasehat Abah Zaky.
Abah Zaky melanjutkan, sambil sesekali menghisap batang Dji Sam Soe,
"Dan memang, yang saya rasakan selama tinggal 5 tahun di rumah Mbah Dullah, itu tidak tahu kenapa, rasanya sumpek, padahal saya waktu itu ya tidak pernah mikir yang berat-berat. Ternyata, setelah saya renungi, alasan Mbah Dullah mewanti-wanti saya membangun rumah tepat di depan Musholla Thoriqoh itu jawabannya justru saya temukan dari dhawuh-nya Mbah Fayumi tadi. Ya, diibaratkan itu kita seperti dishalati, rasanya panas, sebab orang shalat menghadap kamar atau rumah kita. Selama 5 tahun itu juga, saya belum kunjung punya keturunan. Setelah pindah rumah, Alhamdulillah mulai diberikan keturunan Gusti Allah. Setelah tahu hikmahnya dari Mbah Fayumi itu, saya sering mengamati. Banyak sekali, walaupun tidak semuanya, rumah-rumah yang letaknya tepat di depan Musholla/Masjid, permasalahan dan ujian yang menimpa penguni rumah itu rata-rata berat."
Mendengar dhawuh Abah Zaky itu, pikiran saya menerawang ke beberapa rumah yang saya tahu letaknya di belakang Masjid/Musholla pas, dimana orang-orang yang jamaah shalatnya menghadap ke rumah itu. Yang saya temukan memang demikian. Ada kasus, satu rumah yang masalah keluarganya carut marut, antara lain seperti: gangguan jiwa pada beberapa anggota keluarga, persoalan ekonomi dlsb. Tentu ilmu ini sifatnya adalah Ilmu Titen, yang diambil kaidah/teorinya dari hasil observasi beberapa kali. Dan setiap kaidah tentu ada pengecualian-pengecualian, لكل قاعدة مستثنيات. Apalagi yang ndhawuhi Abah Zaky tadi merupakan Pakar Ilmu Falak lahir batin, yang pernah saya dengar riwayat, Mbah Kiai Sahal saat masih hidup, ketika ada hal-hal dan persoalan yang berkaitan dengan Ilmu Falak baik yang sifatnya ilmu Dhahir maupun ilmu Bathin, selalu merujuk kepada Mbah Kiai Fayumi Munji. Marasepah saya adalah santri Mbah Fayumi, dan beliau membenarkan hal tersebut.
Setelah obrolan dengan tamu tadi selesai, kami atas nama Panitia Haul Mbah KH Abdullah Salam & Pengurus Alumni menghaturkan hajat kami kepada Abah Zaky. Kemudian, setelah pembahasan tentang acara Haul selesai, saya secara pribadi matur kepada Abah Zaky.
"Abah, nuwun sewu, kaleresan semingguan niki dalem nembe selesai ngatepi rumah, dilalah rumah yang saya bangun itu pas tepat di depan Musholla, nyuwun dhawuh saenipun pripun Abah?"
Abah Zaky menjawab,
"Nggih, saenipun memang ampun dipun damel rumah hunian, Kang. Mangkeh amprat. Dipun damel kagem ngaos mawon. Dipun damel Pondok Pesantren nggih boten napa-napa."
Mendengar nasehat dari Abah Zaky tersebut, saya hanya bisa sam'an wa tha'atan. Bagaimana pun, beliau adalah sosok Guru, Murabbi dan Mursyid bagi saya, yang harus saya patuhi dhawuhnya dan tiru lakunya.
Pulang dari Kajen, saya pun menata hati, belajar mengikhlaskan, bahwa bangunan yang rencananya akan saya jadikan rumah hunian, tidak jadi saya tempati. Di satu sisi merasa berat, tapi disisi lain, saya bersyukur, sebab mendapatkan ilmu dan nasehat di saat yang tepat. Latihan lileh, ben bisa lillah. Kemudian saya menjelaskan kepada Istri tentang hal tersebut. Alhamdulillah, istri pun bisa memahami, mengikhlaskan dan merelakan. Padahal, dana yang dikeluarkan sudah cukup banyak, menguras seluruh tabungan yang sudah ditabung bertahun-tahun oleh Bundaharanya anak-anak yang menjadi Menteri Keuangan di keluarga kami. Mendengar istri bisa mengikhlaskan, hati saya jadi lega. Semoga keikhlasan untuk melepaskan ini jadi kunci pembuka kemudaahan supaya ke depan bisa buat rumah sendiri untuk keluarga.
Selang beberapa hari kemudian, ada dua anak dari Jepara, yang masih kerabat dekat, datang ke rumah, pengen ikut ngaji. Kemarin ada anak dari Papua mendaftar ngaji. Padahal, saya belum membuka pesantren, meskipun banyak Guru-guru yang sudah ngutus bahkan mewajibkan untuk membuka pesantren, tetapi saya belum bisa, karena merasa masih belum pantas. Akhirnya, saya pun bilang, kalau ngaji di sini, ya manggoné sak nggon nggon.
Teringat dhawuh guru kami, Mbah Kiai Nafi', supaya kalau ada anak-anak ngaji datang ke rumah, harus dilayani dan dihormati, soal rezeki mereka akan datang dengan sendiri.
Teringat dhawuh Mbah Kiai Abdullah Salam, yang disampaikan oleh Alumni PMH Pusat, bahwa Mbah Dullah pernah ngendika kepada salah satu santrinya yang mau diambil menantu orang kaya dan akan dibangunkan pesantren, lalu beliau dhawuh: Wong Ngalim aja gelem dituku Wong Sugih.
Teringat juga dhawuh Mbah Kiai Abdullah Salam, kepada salah satu santrinya yang matur ingin menghafalkan Al Qur'an, malah ditanya beliau: Kowe Wani Apa? Sebagai peringatan bahwa niat untuk menghafal Al Qur'an bukan untuk bangga-banggaan, pamer-pameran, dan prosesnya membutuhkan perjuangan baik harta, waktu, tenaga yang betul-betul harus dicurahkan.
Teringat juga dhawuh Mbah Kiai Jamal Tambakberas Jombang, jika ada orang datang ke rumah, minta diajar ngaji, jangan ditolak, sebab itu tandanya Gusti Allah mau menaikkan derajat sampean menjadi Maqam Mu'allim/Pengajar, seperti Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang diutus untuk menjadi Mu'allim.
Teringat juga dhawuh Mbah Kiai Mustofa Bisri kepada salah satu Kiai Muda Kajen, yang ditinggal wafat Abahnya, aja kesusu kepengen dadi al Mukarrom.
Teringat juga dhawuh Gus Baha' di acara Tahlilan Bunyai Nafisah Sahal, bahwa Ulama dulu menganggap santri-santri itu adalah kanca ngaji yang membantu mereka untuk selalu Muthala'ah, Mudzakarah dan Belajar.
Teringat juga dhawuh Kiai Ubab Maimoen Zubair dalam salah satu ceramah beliau yang terekam di YouTube, supaya Pesantren-pesantren yang ada jangan menjadikan santri sebagai komoditi, lahan bisnis, yang selalu dihitung angka dari tiap kepalanya.
Teringat juga Qaidah Fiqhiyyah, الفضيلة المتعلقة بذات العبادة أولى من الفضيلة المتعلقة بمكانها, Keutamaan yang berkaitan dengan Dzatnya suatu Ibadah itu lebih utama daripada keutamaan yang berkaitan dengan tempatnya. Penting Ngajiné yang istiqamah, soal Sarpras Gedungé dipikir sambil jalan.
Bismillah, nyuwun tambahing do'a saha pangestu para Kiai, Guru dan teman-teman, mulai tahun ini, secara resmi insya Allah saya akan membuka Pesantren. Bukan untuk menjadi Kiai-nya, tetapi berusaha menjadi Abdi Ndalem, yang melayani kanca-kanca santri yang datang untuk mengaji. Rencananya, Pesantren Al Qur'an ini punya dua program inti: Hifdzul Qur'an dan Hifdzul Matan. Hifdzul Qur'an bagi teman-teman yang punya potensi untuk menghafal Al-Qur'an dan menjaganya sepanjang hayat. Hifdzul Matan (menghafal kitab-kitab matan) bagi teman-teman yang tidak mampu menghafal Al-Qur'an dan menjaganya sepanjang hayat. Sebab, Al Qur'an itu selain شافع مشفع juga ماحل مصدق, selain حاجة لك juga bisa jadi حجة عليك, selain bisa berpotensi menjadi Syafaat bagi orang-orang yang mampu menjaga, juga berpotensi menjadi La'nat bagi orang-orang yang melupakan dan melalaikannya. Artinya: 1 Tidak semua orang wajib menghafalkan Al Qur'an, tetapi jika berpotensi untuk menghafal dan mampu menjaganya sepanjang hayat, maka dianjurkan untuk menghafalkan. 2. Menjadi Shahibul Qur'an yang berhak atas Syafaatnya Al Qur'an tidak melulu harus dari jalan menghafal Al Qur'an. 3. Menghafal Al-Qur'an kalau melupakan dan melalaikan bisa dosa. Tetapi menghafal Matan, jika lupa, tidak apa-apa. 4. Menghafal Al-Qur'an hukumnya Fardhu Kifayah, kalau sudah ada yang melakukan sudah gugur kewajiban. Tetapi jika sudah kadung menceburkan diri dalam Hifdzul Qur'an, maka menjaga Al Qur'an sepanjang hayat merupakan Fardhu 'Ain yang tidak bisa diwakili oleh orang lain.
Pesantren ini namanya: Ma'had Al Qur'an Al Mubarok/ Pesantren Al Qur'an Al Mubarok. Khusus laki-laki dan untuk anak-anak tingkatan SD. Insya Allah besok Rabu, saya akan mulai membuka pendaftaran. Pada prinsipnya, Pesantren merupakan pendidikan bagi masyarakat akar rumput. Maka biaya Pesantren harus terjangkau oleh masyarakat akar rumput. Maka saya pun punya cita-cita, bangun Pesantren yang biayanya murah dan terjangkau masyarakat akar rumput, tetapi berkualitas, bisa menggratiskan santri-santri yang tidak mampu dengan tanpa harus mempekerjakan mereka, tidak menjadikan santri sebagai komoditi dan Pesantren sebagai lahan bisnis. Bismillah, semoga Gusti Allah tansah paring bimbingan, tuntunan, berkah, manfaat, istiqamah, dipernahke dan digenahke sedayanipun.
No comments:
Post a Comment