Monday, August 19, 2024

Majelis Bukhoren

Majelis Bukhoren

Amaliyah atau laku ini adalah ngaji Kitab Shohih Bukhori. Diadakan oleh Kraton Yogyakarta Hadiningrat. Telah digelar sejak masa Sri Sultan Hamengkubuwono I (1755).

Setiap pehadir akan dibagikan kurasan atau jilidan berisi 4 lembar atau 8 halaman. Kurasan itu diambilkan dari petikan lembaran Shohih Bukhori yang akan dingajikan. Setiap orang mendapatkan kurasan yang berbeda-beda.

Setelah bertawassul mengirim doa untuk para leluhur Mataram Islam, barulah setiap orang dipersilahkan nderes kurasan yang dijatahkan untuknya.

Pada bagian nderes hadis inilah yang paling unik di majelis ini. Jadi setiap orang merapalkan hadis. Seperti merapalkan ayat quran dalam majelis  muqoddaman yang dikerjakan dengan menderes setiap juz dari quran yang dijatahkan.

Selepas itu Pengulu Kraton mempersilakan hadirin untuk mengulas beberapa hadis yang paling menarik atau paling berkaitan dengan keadaan kekinian. Bisa juga tidak berkaitan. Jika tidak, setiap orang diperkenankan untuk bertanya atau mempertanyakan maksud dari hadis tertentu. Hingga mendapatkan jawaban dari seseorang sepuh yang dianggap paling alim dan otoritatif menjawab.

Salamun ngalaikum thibtum ya Ahla Mataram..

3 DEBAT IBN TAIMIYAH

3 DEBAT IBN TAIMIYAH

Syaikh Ibn Taimiyah beberapa kali melakukan debat dengan ulama' Asy'ariyah. Tapi menurut saya, ada tiga kisah debat beliau yang paling berkesan dalam catatan sejarah dan boleh dikatakan menampakkan pemikiran beliau yang sebenarnya.

I. DEBAT DENGAN IMAM IBN ATHAILLAH:

Saat itu, tersebar dakwaan bahwa Ibn Taimiyah mengkafirkan pelaku istighotsah dengan Nabi dan beberapa masalah lain. Tapi saat diadakan majlis debat dengan Ibn Athaillah as-Sakandari al-Maliki, Ibn Taimiyah berkata, istighotsah dengan Nabi yang sehingga jatuh kafir adalah ketika dengan niatan beribadah kepada Nabi. Ibn Taimiyah juga memperbolehkan tawassul dan berharap syafaat dari Nabi. Setelah pernyataan itu, debat tidak jadi dilanjutkan, sebab ternyata sebagian issu yang berkembang tidak sesuai dengan kenyataan. Kisah ini ditulis oleh murid Ibn Taimiyah sendiri, yaitu Ibn Abdil Hadi dalam al-Uqud ad-Durriyah (I/267) dan beberapa ulama' lain.

Dari pernyataan diatas, dipastikan bahwa pemahaman beliau tentang Istighotsah, tawassul dan berharap syafaat Nabi sangat kontras dengan yang diyakini Salafi Wahabi, pengikutnya, dimana yang sudah masyhur, mayoritas dari mereka mengkafirkan pelaku istighotsah, tawassul dan berharap syafaat Nabi secara mutlak setelah kewafatan beliau.

II. DEBAT DENGAN PARA ULAMA' DAN QADHI:

Dalam kisah debat dengan beberapa ulama' dan qadhi, Ibn Taimiyah menyatakan taubat dan kembali ke akidah imam al-Asy'ari sebagaimana kisah al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqallani dalam ad-Durar al-Kaminah (I/148), Imam al-Maqrizi dalam as-Suluk Li Ma'rifah Duwal al-Muluk (II/391) dan ulama' yang menyaksikan kejadian, yakni Imam Syihabuddin an-Nuwairi dalam Nihayatul Arab (XXXII/115).

Musykilnya, setelah kisah taubat tersebut, Ibn Taimiyah masih meyakini akidah lama. Hal itu dibuktikan dengan Ibn Qayyim yang berguru kepada beliau setelah peristiwa taubat tersebut. Dan siapapun tahu, akidah beliau adalah "copy paste" dari akidah sang guru. Karena itu, banyak yang beranggapan bahwa taubat beliau adalah taqiyah. Tapi bagi Salafi Wahabi, kisah taubat tersebut adalah dusta atau hoax sebab kisah tersebut tidak dikisahkan oleh az-Zahabi, Ibn Abdil Hadi, dan Imam Ibn Katsir yang merupakan murid Ibn Taimiyah. Wallahu A'lam.

III. DEBAT DENGAN IMAM AL-BAJI:

Saat hendak berdebat dengan singa Ahlussunnah wal Jama'ah, Imam Alauddin al-Baji, Syaikh Ibn Taimiyah tiba-tiba merendah, menghormat, atau tidak berani. Saat diminta Imam al-Baji untuk memulai debatnya, Ibn Taimiyah berkata: "Orang sepertiku tidak layak berbicara didepan Anda. Bahkan selayaknya aku mengambil faidah dari Anda".

Bahkan saat kali berjumpa, Ibn Taimiyah memuji habis al-Baji. Al-Baji pun berkata: "Jangan memujiku berlebihan! Yang ada di sini hanyalah kebenaran". Dan setelah itu, Ibn Taimiyah dengan suka rela mau merubah 14 masalah dalam kitab yang pernah beliau tulis.

Kisah ini diceritakan oleh Tajuddin as-Subki dalam Thabaqot Syafi'iyah (X/342), Ibn Hajar dalam ad-Durar al-Kaminah (IV/120) dan Ibn Qadhi Syuhbah dalam Thabaqat Syafi'iyah (II/225). Sementara dalam kisah Imam Ibn Katsir, Ibn Taimiyah enggan berjumpa untuk debat dengan Imam Alauddin al-Baji (al-Bidayah wan Nihayah XIV/47).

Kisah mindernya Ibn Taimiyah diatas menampar muka pengikut beliau yang dalam banyak tulisan digambarkan beliau adalah seseorang yang gagah berani melawan Asy'ariyah dan bahkan tidak pernah mundur dalam medan debat.

[Posting ulang]

Friday, August 2, 2024

Catatan sejarah pendirian NU

Beberapa Catatan Penting Sejarah pendirian NU dalam Kesaksian Kiai As'ad Syamsul Arifin.

Tulisan panjang di bawah ini, saya resume dari pidato Kiai As'ad Syamsul Arifin yang berbahasa Madura tentang proses pendirian Nahdlatul Ulama.

--Audiensi para Kiai kepada Kiai Muntaha, Menantu Kiai Khalil Bangkalan tentang adanya gerakan anti ulama salaf.

Kira-kira pada tahun 1920, Kiai Muntaha Bangkalan, menantu Kiai Khalil, kedatangan tamu terdiri dari 66 ulama seluruh Indonesia. Tujuan mereka adalah agar Kiai Muntaha berkenan untuk menjadi “penyambung lidah” antara mereka dengan Kiai Khalil, mahaguru ulama Nusantara itu.  

Kepada Kiai Muntaha, para kiai itu bercerita bahwa saat ini ada pihak yang sangat anti pada ulama salaf, tidak senang dengan karya ulama salaf dan menurut mereka yang bisa diikuti hanya al-Quran dan Hadis saja. Isu inilah yang hendak dikonsultasikan ke Kiai Khalil.

--Pertemuan Para Kiai di kediaman Kiai Alwi Abd. Aziz, Kawatan, Surabaya.

Pada tahun 1921 atau 1922, ulama se-Jawa terdiri dari 46 orang berkumpul di Kawatan Surabaya, kediaman Kiai Alwi Abd. Aziz membahas terkait pendirian Jam’iyah. Beberapa nama yang disebut Kiai As’ad di antaranya; Kiai Syamsul Arifin, Sukorejo, Kiai Hasan, Genggong, Kiai Sidogiri (entah siapa yg dimaksud), Kiai Saleh Lateng, Kiai Asnawi Kudus, Kiai Tahir Bungkuk, kiai-kiai dari Jombang.

Pertemuan ini tidak menghasilkan apa-apa kecuali hanya beberapa ide-ide misalnya seperti, tidak perlu membuat organisasi baru, cukup organisasi yang ada saja direvitalisasi. Ada juga usulan untuk segera melahirkan organisasi baru.

Kebuntuan berfikir ini terus berlangsung sampai awal-awal tahun 1923. Di sisi lain, gerakan wahabisme sudah mulai merajalela di mana-mana. Dan mereka gencar menolak amaliyah-amaliyah orang pesantren, seperti tabarruk, tawassul dan lain.

Catatan Manuskrip Sunan Ampel

Setelah menceritakan kisah di atas, Kiai As’ad mengisahkan bahwa ada seorang kiai menyampaikan sebuah sejarah pada Kiai Khalil yang didasarkan pada tulisan Sunan Ampel. Isinya adalah; ketika Sunan Ampel ngaji dan berada di Madinah, Sunan Ampel pernah bermimpi nabi dan nabi berpesan agar Islam Ahlussunnah Waljamaah dibawa hijrah ke Indonesia, sebab di tanah asalnya ia sudah tidak berdaya. Dan perlu diketahui bahwa di zaman itu belum ada wahabi.

--Istikharah di Maqbarah Walisongo dan Nabi Muhammad Saw.

Temuan manuskrip tersebut justru membuat para kiai merasa berat, belum menemukan solusi.

Ketika kondisi seperti ini, ada 4 kiai ditugaskan untuk istikharah di maqbarah para sunan selama 40 hari. Ada juga yang ditugaskan untuk istikharah di Madinah, maqbarah Nabi Muhammad Saw.

Di akhir, tahun 1923, semua petugas istikharah melakukan pertemuan untuk melaporkan hasil istikharah mereka. Dan menurut Kiai As’ad, laporan ini tertulis dan naskahnya ada. Kiai As’ad tidak memastikan, siapa yang menyimpan hasil pertemuan ini. “Insyaallah, badha (ada)...”, ujar Kiai As’ad.

--1924 Kiai As’ad dipanggil Kiai Khalil Bangkalan

Karena belum menemukan jalan keluar, pada tahun 1924 Kiai As’ad yang saat itu sedang belajar di Bangkalan dipanggil oleh Kiai Khalil. Kiai Khalil berkata pada Kiai As’ad:

“Lagguna be’en entar ka Hasyim Asy’ari, Jombang”, “Besok pergi ke Hasyim Asy’ari, Jombang..”. Dalam perjalanan ke Jombang ini, Kiai Khalil menitipkan tongkat dan sebuah ayat yang berbunyi:

وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَامُوسَى (17) قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى (18) قَالَ أَلْقِهَا يَامُوسَى (19) فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى (20) قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى (21)

"Dan apakah yang ada di tangan kananmu, wahai Musa?", (17) Dia (Musa) berkata, "Ini adalah tongkatku, aku bertumpu padanya, dan aku merontokkan (daun-daun) dengannya untuk (makanan) kambingku, dan bagiku masih ada lagi manfaat yang lain." (18), Dia (Allah) berfirman, "Lemparkanlah ia, wahai Musa!" (19), Lalu (Musa) melemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. (20) Dia (Allah) berfirman, "Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula, (21)”. (Qs. Thaha: 17-21)

Singkat cerita, sesampainya di Jombang Kiai As’ad ditemui langsung oleh Kiai Hasyim Asy’ari. Pada momen ini, Kiai Hasyim bertanya latar belakang Kiai As’ad dan ternyata, Kiai As’ad memiliki hubungan keluarga dengan Kiai Hasyim lewat jalur ibu beliau yang bernama Nyai Maimunah (maqbarah ibunda Kiai As’ad ada di Talangsiring Pamekasan).

Setelah itu, Kiai As’ad menyampaikan titipan Kiai Khalil berupa tongkat. Bagaimana respons Kia Hasyim? Kata Kiai As’ad, ketika pertama kali mendengar ada titipan tongkat, Kiai Hasyim kaget penuh heran bertanya-tanya.

Dan beliau tidak segera menerima tongkat tersebut. Lalu Kiai As’ad meneruskan obrolan dengan membacakan surat Thaha di atas yang dibacakan oleh Kiai Khalil.

Setelah selesai membacakan surat tersebut, dengan penuh haru Kiai Hasyim Asy’ari merespons:

“Alhamdulillah, cong, engkok tolos mabadha jam’iyah Ulama, tolos mabadha jam’iyah ulama, tolos engkok, kalabhan tongket reya, areya tongket nabi Musa ebaghi ka engkok bhik Kiai Khalil”... artinya, “Alhamdulillah, nak, saya jadi mendirikan Jam’iyah Ulama, jadi mendirikan Jam’iyah Ulama, saya jadi mendirikan dengan (isyarah) tongkat ini. Ini tongkat nabi Musa diberikan ke saya oleh Kiai Khalil”...

Pada waktu itu, menurut Kiai As’ad belum ada nama Nahdlatul Ulama. Kiai Hasyim menggunakan term “Jam’iyah Ulama...”. Kemudian Kiai As’ad pamit dan sebelum pamit beliau minta didoakan pada Kiai Hasyim. Dan sebelum benar-benar pergi, Kiai Hasyim sekali lagi menitipkan salam untuk Syaikhana Khalil, berupa kabar bahwa sebentar lagi akan didirikan Jam’iyah ulama.

--Kiai As’ad kembali Dipanggil Kiai Khalil

Pada akhir tahun 1924, Kiai As’ad dipanggil kembali oleh Kiai Khalil. Pada waktu, Kiai As’ad masih sebagai santri di Bangkalan. Panggilan yang kedua ini Kiai As’ad ditugas untuk kembali ke Tebuireng.

Jika sebelumnya membawa tongkat misi kali ini diperintah membawa tasbih. Bukan hanya tasbih, Kiai Khalil juga menitipkan dua asmaul husna; Ya Jabbar, Ya Qahhar. Satu bacaan satu putaran, begitupula bacaan satunya. Lalu Kiai As’ad menjulurkan kepalanya agar tasbih yang dimaksud dikalungkan saja.

Sebagaimana kisah pertama, bahwa selama perjalanan beliau menjadi sorotan banyak mata; ada yang meledek sebagai orang gila sebab ia masih muda tetapi sudah pakai tongkat dan kedua kalinya berkalung tasbih, ada juga yang menganggap beliau wali karena penampilannya aneh.

Yang menarik disampaikan juga bahwa; selama menjalankan tugas-tugas berat ini, Kiai As’ad berpuasa sepanjang Bangkalan-Tebuireng; ia tidak makan, tidak minum, tidak merokok bahkan selama perjalan beliau tidak berbicara pada siapapun. Jadi beliau “puasa” bicara. Karena sedang membawa amanat kiai. Kata Kiai As’ad, “Sebelum bertemu dengan Kiai Hasyim saya tidak akan berbicara dengan siapapun”.

Sesampainya di Tebuireng, Kiai As’ad melaporkan amanatnya berupa titipan tasbih. Kiai Hasyim dawuh:

“Masyaallah, masyaallah, engkok ekemani ongghu bhik ghuru...”, artinya, “Masyallah, masyaallah, saya disayang betul sama guru saya...”.

Dan betapa kagetnya, saat Kiai Hasyim tahu bahwa tasbih yang dimaksud ada di leher Kiai As’ad. Jadi, Kiai As’ad tidak menyentuh tasbih tersebut. Di Bangkalan dipasang langsung oleh Kiai Khalil dan di Jombang diambil langsung oleh Kiai Hasyim. Lalu Kiai As’ad membacakan dua lafadz Asmaul Husna yang juga dititipkan mengiringi tasbih tersebut. Kiai Hasyim merespons:

“Sapa se bengal ka NU ancor, karena jam’iyah ulama, ancor...” artinya, “Siapa yang berani (kurang ajar) kepada NU akan hancur, sebab (ini) adalah jam’iyah ulama”.

--1925 Kiai Khalil Bangkalan Wafat

Tahun 1925 bertepatan dengan tanggal 29 Ramadan, mahaguru ulama Nusantara, Syaikhana Khalil Bangkalan wafat. Kata Kiai As’ad, info kewafatan Kiai Khalil terjadi kehebohan luar biasa di publik luas. Umat seperti kehilangan pelita yang selama ini menyinari bumi Nusantara.

--1926 NU resmi berdiri

Bertepatan pada bulan Rajab tahun 1926 Nahdlatul Ulama resmi berdiri. Tahun ini semua kebutuhan NU sebagai organisasi disusun satu persatu. Kiai As’ad menyebut nama Kiai Dahlan, Nganjuk, sebagai sosok yang menyusun anggaran dasar rumah tangga organisasi. Lalu ada beberapa pertemuan ulama untuk mendelegasikan utusan ke Gubernur termasuk Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Tulisan lebih lengkap silahkan baca di kanal: https://arina.id/khazanah/ar-nIOFK/memahami-sejarah-berdirinya-nu-dari-kiai-as-ad-syamsul-arifin.

Penutup

Kisah di atas, adalah beberapa poin yang bisa saya tangkap dari rekaman sejarah pendirian Nahdlatul Ulama oleh Kiai As’ad Syamsul Arifin, pelaku langsung pendirian NU yang bukti kesaksiannya terekam dengan baik dan tersimpan di Youtube atau di pondok Sukorejo. 

Tabik
Ahmad Husain Fahasbu