Tuesday, July 31, 2018

APA BEDANYA “MAKRUH” DENGAN “KHILAFUL AULA”?

APA BEDANYA “MAKRUH” DENGAN “KHILAFUL AULA”?

Oleh; Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
***

Istilah “makruh” sedikit berbeda dengan istilah “khilaful aula” (خلاف الأولى). Makruh adalah status hukum yang muncul jika orang melanggar sebuah larangan yang dinyatakan oleh dalil dengan larangan yang lugas dan definitif , tetapi bukan larangan yang bersifat keras/ disertai ancaman siksa/murka Allah. Contohnya makan dengan tangan kiri. Rasulullah ﷺ melarang makan dengan tangan kiri sebagaimana dinyatakan dalam hadis ini,

عَنْ جَابِرٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَأْكُلُوا بِالشِّمَالِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِالشِّمَالِ

“Dari Jabir, dari Rasulullah , beliau bersabda, ‘Janganlah kalian makan dengan tangan kiri karena setan itu makan dengan tangan kiri’” (H.R.Muslim).

Dalam hadis di atas, cukup jelas dan lugas bahwa Rasulullah ﷺ melarang makan dengan tangan kiri. Hanya saja, larangan ini tidak disertai keterangan larangan yang bersifat keras dan tegas, baik dalam hadis ini maupun yang lain. Oleh karena itu, jika larangan tersebut dilanggar, yakni makan dengan tangan kiri, para ulama memfatwakan hukumnya makruh. Hal ini bereda dengan haram, karena haram itu adalah status hukum yang muncul jika orang melanggar sebuah larangan yang dinyatakan oleh dalil dengan larangan yang bersifat keras nan tegas. Contohnya Allah melarang zina. Perbuatan melanggar larangan ini , yakni melakukan zina status hukumnya haram karena ada ancaman siksa yang jelas dalam hadis terhadap pelaku zina.

Adapun “khilaful aula”, maka pengertiannya adalah status hukum yang muncul jika orang melanggar hal yang disunnahkan. Semua hal yang sifatnya bertentangan dengan yang disunnahkan maka disebut “khilaful aula” tanpa membedakan apakah bersifat “positif” (melakukan aksi) maupun “negatif” (meninggalkan aksi).

Contoh yang melakukan aksi adalah sebagai berikut.

Rasulullah ﷺ mencontohkan saat berhaji beliau tidak berpuasa Arofah. Dengan demikian, orang yang berhaji dan wukuf di Arofah disunnahkan tidak berpuasa untuk mencontoh Rasulullah ﷺ. Jika ada yang melanggar dan malah berpuasa di hari itu, maka status perbuatannya adalah “khilaful aula”, bukan makruh.

Contoh yang meninggalkan aksi adalah sebagai berikut.

Rasulullah ﷺ memerintahkan dan menganjurkan salat dhuha dan qiyamul lail. Jika orang tidak melakukan salat dhuha dan tidak qiyamul lail, maka status hukumnya ini dinamakan “khilaful aula”, bukan makruh.

Baik “makruh” maupun “khilaful aula” jika dilakukan maka tidak ada ancaman siksa, hanya saja makruh lebih berat, sementara “khilaful aula” lebih ringan. Az-Zarkasyi memberi contoh pembedaan istilah antara makruh dan “khilaful aula” sebagai berikut,

وَالصَّحِيحُ: أَنَّ صَوْمَ عَرَفَةَ لِلْحَاجِّ خِلَافُ الْأَوْلَى لَا مَكْرُوهٌ

“Pendapat yang paling kuat adalah, berpuasa Arofah bagi orang yang berhaji adalah khilaful aula, bukan makruh” (Al-Bahru Al-Muhith fi Ushul Al-Fiqh, juz 1 hlm 231).

Posisi “khilaful aula” itu terletak di antara makruh dengan mubah. Kata Az-Zarkasyi, “khilaful aula” itu masih masuk rincian makruh, jadi bukan kategori baru dari “ahkam khomsah” (الأحكام الخمسة) yang telah dikenal (wajib, sunnah, mubah makruh, dan haram).

Istilah lain “khilaful aula” adalah “tarkul aula” (ترك الأولى) atau “la yanbaghi” (لا ينبغي). Kata Al-Juwaini, istilah ini diciptakan oleh ulama mutaakhirin. As-Suyuthi dalam “Al-Hawi li Al-Fatawi” juga menulis yang memberi kesan bahwa istilah ini diciptakan pertama kali di zaman Al-Juwaini atau sebelumnya sedikit, kemudian diikuti oleh ulama belakangan. Taqiyyuddin As-Subki malah menegaskan bahwa Al-Juwaini-lah yang pertama kali menciptakannya. Dalam catatan terdahulu saya sempat menyinggung bahwa An-Nawawi juga menggunakan istilah “khilaful aula” ini saat menulis hukum mengelap air setelah wudhu. Kata Al-‘Abbadi, ulama mutaqoddimin tidak pernah memakai istilah “khilaful aula”.

Kajian serius tentang topik ini ditulis oleh Abdur Rozzaq dalam tesisnya tahun 1432 H/2011 di bawah judul “Khilafu Al-Aula ‘Inda Al-Ushuliyyin”.

رحم الله علماءنا رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي اعلماء الصالحين

Versi Situs: http://irtaqi.net/2018/07/31/apa-bedanya-makruh-dengan-khilaful-aula/

***
19 Dzulqo’dah 1439 H

Monday, July 30, 2018

USAHA BAPAK (2) KH. ABDUL HANNAN MAKSUM

USAHA BAPAK (2)

Setelah 6 tahun menyelesaikan sekolah dipondok kencong, bapak pamit kekiai zam pengen pindah ke pondok ploso untuk mendalami ilmu nahwu. karena bapak memang sangat mencintai ilmu alat. prinsip bapak: “mboh iso mboh ora penting seneng(entah bisa ataupun tidak yang penting suka).”

Tapi ternyata ternyata niat baik ini tidak diperbolehkan oleh yai zam, dawuh yai: “wes mboten usah.lek pengen mendalami ilmu alat, sampean mbenjeng mulang alfiyah(gak usah kesana, kalau pengen mendalami ilmu alat kamu besok ngajar alfiyah)”.

Bapak sedikit kaget pada awalnya, tapi siap melaksanakan apapun dawuh sang kiai. karena bapak baru lulus, dan baru usia 19 tahun tapi langsung disuruh ngajar Alfiyah yang notabene pelajaran kelas menengah sedikit atas dipondok.

Ketika dijalani, bapak merasakan kebenaran dawuh kiai. “lek ngulang tambahe cepet. meskipun aku akeh ora faham e(dengan mengajar banyak kemajuan dalam pemahaman ilmu alat, meskipun tetap saja lebih banyak yang tidak saya fahami)”.

Bapak mengakui bahwasannya bimbingan guru sangat mempengaruhi kesuksesan santri. tak hanya dalam belajar agama, tapi juga dalam belajar hidup.

Bukan hanya dalam belajar, dimana bapak diberi beberapa wejangan agar ilmunya “laku”. Tapi kiai zam juga memikirkan masa depan bapak, termasuk jodoh.

Bapak dinikahkan dengan ibuk saat usia 27 tahun. disaat bapak masih cinta-cintanya menimba ilmu.

Setelah menikah, abah menetap dirumah mertua sekitar 11 bulan. Meskipun sebenarnya sebelum menikah bapak sudah mengistikhorohi rumah dan tanah mertua hasilnya kurang bagus, tapi tetap berusaha tinggal. Hingga akhirnya setelah sebelas bulan ada beberapa hal yang memaksa untuk pindah. Salah satu penyebabnya adalah mertua yang kadang ikut mengatur santri.

Dalam pengetahuan bapak, bila ada DUA KEPALA dalam satu pondok maka akan RUSAK.

Dengan izin rahasia dari gurunya, bapak pindah kesebelah utara dari rumah mertua. Yaitu disebelah masjid yang sekarang menjadi rumah kami. Disana bapak membangun gubuk ukuran 3,4 meter sebagai tempat istirahat dan menemui tamu, berangkat subuh untuk mengimami dan mengajar hingga malam hari sekitar jam 10 an.

Terus begitu, jalan kaki bolak-balik dari rumah mertua ke masjid untuk mengajar santri selama beberapa tahun.

Setelah tiga tahun berjalan, barulah mertua bapak memahami kenapa bapak berkeras memutuskan pindah. Entah siapa yang menjelaskan, bapak pun tak tahu. Justru setelah faham, sang mertua yang sebelumnya bertahun-tahun menentang keras lalu berbalik mendukung dengan memberikan rumah warisan dari kakeknya ibuk dan sebidang tanah: “Iki tak kekno sampean, dudu bojone sampean(ini saya berikan kepadamu, bukan istrimu _yang notabene anak kandungnya kakek)”.

Dengan tinggal dirumah pemberian mertua, bapak tetap ngaji dimasjid seperti biasa. Hanya, sekarang sudah lebih dekat jaraknya.

Namun, setahun dirumah kakek buyut ternyata dirasa jaraknya masih kurang dekat juga, pelan-pelan bapak mengumpulkan uang untuk membangun rumah. Sedikit demi sedikit, dari hasil usaha tani dan yang lainnya. Disebelah masjid. Agar lebih dekat dengan santri-santri.

Ditahun keempat setelah pindah dirumah kakek, pembangunan rumah baru sudah hampir selesai. Meskipun masih belum ada pintu dan masih belum sempurna, tetap diputuskan untuk pindah kerumah baru.

Bapak bahkan bercerita, harus menyewakan sawah pemberian kakek untuk membeli pintu.

Dirumah baru inilah bapak mulai benar benar bisa menata ekonomi secara penuh dan juga menemani santri lebih dekat.

(Bersambung)

#salamKWAGEAN

Thursday, July 26, 2018

Kisah sowan nya Kyai Asrori Al Ishaqy kpd Shohibul Fadhilah wal Karomah Al Masyhur bi Waliyillah Simbah KH ABDUL HAMID UTSMAN, MAGELANG..

Kisah sowan nya Kyai Asrori Al Ishaqy kpd Shohibul Fadhilah wal Karomah Al Masyhur bi Waliyillah Simbah KH ABDUL HAMID UTSMAN, MAGELANG..

Mbah Yai Hamid adalah seorang Waliyullah besar di Magelang, banyak murid beliau dari kalangan Kyai maupun Habaib.. Salah satu nya adalah Waliyullah KH Hasan Asy'ari (Mbah Mangli)

Saat itu Romo Yai tiba" mengajak cak poyo utk sowan berangkat sowan ke Mbah Hamid,
Tiba di kajoran, Magelang, ndalem Mbah Hamid, pas ba'da subuh.. Sedangkan Mbah Hamid sendiri masih di masjid..
Saat itu ada seorang murid Kyai Hamid yg menemui beliau, dan berkata :
"Klo Mbah Hamid setelah ini datang, berarti beliau berkenan menerima tamu, klo sampai siang blm dtg berarti beliau tdk berkenan"..dan murid mempersilahkan Romo Yai utk istrhat di kamar, sdgkan cak poyo menunggu beliau di depan kamar sembari menunggu kedatangan Mbah Hamid..

Tak lama.. Sekitar jam 6 pagi, sontan Mbah Hamid datang bertanya siapa yg datang,
Di jawab santri.. "Kyai Asrori dari Surabaya"
Melihat Mbah Hamid datang cak poyo berdiri dan Salim sungkem kpd Mbah Hamid..
Ketika Mbah Hamid sdh datang, cak poyo ber inisiatif utk mengetuk pintu dan memberi tahu kpd Romo Yai akan kedatangan Kyai Hamid, dan ketika akan mengetuk pintu, tangan cak poyo di tahan sama Mbah Hamid, dan berkata : "biarkan, saya saja yg menunggu.. Kamu silahkan duduk! "
Bercengkrama lah beliau berdua, hingga tak terasa sampai hingga mau jam 9 lamanya Romo Yai tak kunjung keluar..

Terdengar suara pintu dari kamar, ternyata beliau Kyai Asrori keluar tepat jam 9..
Sama mbah Hamid, Romo Yai di ciumi dari ujung kepala sampai ke bawah, hingga sampai mau ke lutut di tahan sama Romo Yai.. Mbah Hamid memeluk Romo Yai sampai menangis, ckup lama beliau menangis, sampai dlm berpelukan itu, Mbah Hamid dawuh kpd cak poyo..
"SAYANGI DIA, JAGALAH DIA DAN BANTU PERJUANGANNYA, DI DUNIA INI HANYA ADA SATU ORANG SEPERTI DIA (KYAI ASRORI) "

Semoga Allah meridhoi beliau nya, mengangkat beliau berdua di Surga yg tinggi, dg para Guru dan dg RASULULLAH SAW..

#Sumber_dan_saksi_sejarah :
"Abah Chusnul Hadi" atau yg akrab di panggil cak poyo.. "

Wednesday, July 25, 2018

Tentang Dollar

Tentang Dollar

Pagi ini saya baca beberapa media online, ada yang menarik: Menko Ekonomi, Darmin Nasution, menjelaskan awal mula mata uang dolar AS (USD) dijadikan sebagai mata uang global. Intinya sih, karena USD kini sudah menjadi mata uang global, semua butuh, AS bisa semaunya cetak uang.

"Tapi AS bisa mencetak uang banyak-banyak tidak inflasi. Kenapa? Karena orang lain perlu dolar AS bukan cuma negaranya. Sehingga pada waktu dia menjalankan kebijakan menyelamatkan ekonomi dari krisis tahun 2007, 2008. Itu bank sentralnya membeli segala macam kredit macet yang enggak karu-karuan dan 2 hingga 3 tahun kemudian krisis sembuh," kata Pak Darmin. [https://www.liputan6.com/bisnis/read/3599213/cerita-menko-darmin-soal-sejarah-dolar-as-jadi-mata-uang-global.  Yang di sini agak lebih panjang beritanya: https://kuwera.id/data-berita/data-berita/kemenko-perekonomian/menteri-darmin-nasution-ungkap-sejarah-dolar-menguasai-dunia ]

-----------

Nah, saya lengkapi ya, copas dari tulisan saya tahun 2010 (8 tahun yang lalu).

Begini: pertanyaan kritisnya: siapa sih yang cetak USD? Pemerintah AS? Nope. Yang cetak adalah The Fed (Federal Reserve).

Ironisnya, ternyata The Fed bukan bank milik pemerintah AS.  Bank itu murni bank swasta, bahkan dimiliki bukan oleh orang AS, melainkan klan konglomerat Yahudi-Zionis, bernama Rothschild dan rekan-rekannya (antara lain: Rothschild Bank of London, Rothschild Bank of Berlin, Warburg Bank of Hamburg, Warburg Bank of Amsterdam, Israel Moses Seif Bank of Italy, Lazard Brothers of Paris, Citibank, Goldman & Sach of New York, Lehman & Brothers of New York, Chase Manhattan Bank of New York, dan Kuhn & Loeb Bank of New York.)

Awalnya pada 1837-1862  AS punya bank pemerintah yang mencetak uang (sertifikat emas/perak). Secara bertahap, uang kertas diperkenalkan kepada masyarakat dan menjadi alat tukar pengganti koin emas/perak. Lalu, pada tahun 1913, Rothschild dkk membentuk The Fed.

The Fed memiliki cadangan emas yang sangat banyak, sehingga mampu meminjamkan uang yang sangat besar kepada pemerintah AS. Kandidat-kandidat presiden AS dibiayai kampanye mereka oleh The Fed, dan setelah berkuasa, para presiden itu mengeluarkan keputusan/UU yang menguntungkan The Fed.

Dimulai dari Presiden Woodrow Wilson, pada tahun 1914 menandatangani keputusan memberikan hak cetak mata uang AS kepada The Fed. Pemerintah mendapatkan uang kertas produksi The Fed dalam bentuk hutang yang harus dibayar kembali beserta bunganya. Rakyat AS dipaksa membayar pajak untuk membayar bunga tersebut.

Kelak Wilson menyesali keputusannya ini dan berkata, “Saya adalah orang yang paling tidak bahagia. Saya telah menghancurkan negara saya. Sebuah bangsa industri yang besar ini dikontrol oleh sistem kredit. Sistem kredit kita terkonsentrasi. Pertumbuhan bangsa ini dan seluruh aktivitas kita berada di tangan segelintir orang. Kita telah menjadi pemerintah yang paling diatur, dikontrol, dan didominasi di dunia modern. [Kita] tidak lagi pemerintah yang memiliki pandangan yang bebas, pemerintah yang diakui, yang dipilih oleh suara mayoritas, melainkan pemerintah yang dikontrol oleh opini dan paksaan sekelompok kecil orang yang mendominasi.”

Pada tahun 1933, menyusul terjadinya krisis moneter, Presiden Roosevelt yang juga kampanyenya didanai The Fed, melakukan aksi penyitaan emas rakyat dan menyerahkannya kepada The Fed sehingga dollar benar-benar menjadi mata uang AS dan uang emas/perak tidak digunakan lagi.

Tentu tidak semua presiden AS sebodoh Wilson atau Roosevelt, sehingga mau menukar kedaulatan negara dengan uang bantuan kampanye. Presiden F Kennedy pernah berusaha melepaskan AS dari jeratan The Fed dengan membuat rencana penerbitan mata uang sendiri. Namun, sebelum rencananya terlaksana, dia sudah mati dibunuh.

Presiden-presiden sebelumnya, dan para politisi dan ekonom AS pun sudah banyak yang memperingatkan bahaya penyerahan hak cetak dollar dan hak pendistribusiannya kepada bankir swasta; namun suara-suara itu lenyap begitu saja, seiring dengan terus berlanjutnya proses indoktrinasi sistem ekonomi uang kertas di kalangan akademisi seluruh dunia.

Situasi ini dijelaskan sendiri oleh Rothschild pada tahun 1863, “Sedikit orang yang memahami sistem ini sangat tertarik pada keuntungan sistem ini atau sangat memiliki ketergantungan pada sistem ini, sehingga tidak akan ada perlawanan dari mereka.”

Meluasnya penggunaan dollar di dunia, dan dijadikannya dollar sebagai standar mata uang dunia (contoh: harga2 di Indonesia selalui dikaitkan dengan dollar, dollar naik, harga barang di Indonesia juga naik) membuat The Fed kini pada hakikatnya adalah penjajah dunia, termasuk rakyat AS sendiri. The Fed leluasa mencetak dollar, dan rakyat sedunia memberikan kekayaan alam dan keringat mereka untuk ditukar dengan dollar.

Pertanyaan kritis kedua: kenapa sih orang-orang kayak Rothschild ini meraup duit sebanyak-banyaknya, ratusan tahun, ga puas-puas? Kemana duitnya pergi?

Rothschild adalah Yahudi-Zionis yang punya impian untuk membangun Israel Raya. Israel mengenang  Baron Edmond James (Avrahim Binyamin) de Rothschild (1845-1934) sebagai “Father of the Settlement”. Dialah yang pertama kali memulai proyek permukiman Israel dengan membeli tanah-tanah di Palestina untuk kemudian dihuni oleh imigran-imigran Yahudi dari berbagai penjuru dunia.

Impian Edmond Rothschild ini diteruskan oleh keturunannya (bahkan, darah klan Rothschild tetap ‘murni’ hingga sekarang karena ada aturan ketat tentang pernikahan dalam keluarga itu).  Ketika jumlah penduduk Yahudi sudah cukup signifikan, dengan uangnya, klan Rothschild menggunakan segala macam cara untuk menekan wakil-wakil negara-negara anggota PBB sampai mereka akhirnya pada tahun 1947 menyetujui Resolusi 181 yang merampas 56,5% wilayah Palestina untuk dijadikan negara Israel.

Hingga kini, biaya operasional Israel masih terus disuplai oleh AS (dan siapa sesungguhnya pemilik uang di AS, dan bagaimana uang itu dikeruk, sudah terjawab di uraian di atas).

Oya, ingat juga fakta bahwa Deklarasi Balfour 1917 [berisi janji Inggris untuk menyiapkan tanah air bagi kaum Yahudi] disampaikan secara resmi oleh Menlu Inggris kepada Walter Rothschild (anak Edmond Rothschild).

Jasa Edmond Rothschild diabadikan dalam uang koin emas Israel yang dimanai “Koin Hari Kemerdekaan” seperti terlihat di foto ini:
-Bagian depan: foto Baron Rothschild bertulisan aksara Hebrew “Father of the Jewish Settlement”.
-Bagian belakang: lambang negara Israel dengan tulisan di bawahnya “Baron Edmond de Rothschild”, “1845-1934” (masa hidup Edmond Rothschild), “Centenary of His First Settlement Activities in Eretz Israel”. Kata “Israel” ditulis dalam huruf Hebrew, Inggris, dan Arab. Tahun penerbitan mata uang ini adalah 1982.

====

Tulisan saya tahun 2010 ini sangat panjang, tidak bisa dicopas semua. Baca aja di blog ya:
https://dinasulaeman.wordpress.com/2010/09/18/ekonomi-politik-global-dominasi-dollar-penjajahan-the-fed-penjajahan-israel-atas-palestina/

Tuesday, July 24, 2018

BENARKAH BANYAK HADIS NABI YANG HILANG?

BENARKAH BANYAK HADIS NABI YANG HILANG?

Oleh; Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
***

PERTANYAAN

Assalamu’alaikum, permisi Ustadz, saya izin bertanya. Saya pernah mendengar pernyataan seperti ini “hadits-hadits yang diketahui & beredar di kaum muslim hari ini tidak sebanyak yang diketahui & beredar di zaman salafussholeh, karena sudah banyak hadits-hadits yang hilang alias tidak diketahui lagi. Pertanyaannya, apakah pernyataan tersebut benar Ustadz ? Apakah memang para Imam hadits dari dahulu sampai sekarang belum bisa mengkompilasi semua hadits dari Rasulullah Saw ?
Pertanyaan dari : ‪+62 813-3355-6XXX‬

JAWABAN

Wa’alaikumussalamwarohmatullah wabarokatuh.
Jika yang dimaksud adalah tidak semua hadis yang diketahui ahli hadis di masa pengumpulan hadis telah tercatat hari ini, maka hal itu benar.

Pernyataan yang lebih akurat begini, “Tidak semua hadis yang diketahui oleh generasi salaf ditulis dan dikompilasi oleh ahli hadis”, bukan “Para ahli hadis tidak sanggup mengkompilasi semua hadis Nabi”

Dua pernyataan di atas jauh berbeda maknanya.

Kalimat pertama bermakna para ahli hadis tahu hadis dan seandainya mau, mereka bisa menulis semua hadis yang diketahui selengkap-lengkapnya tanpa luput satu hurufpun. Kalimat dua bermakna para ahli hadis gagal dan tidak sanggup menulis hadis karena kelemahan yang ada pada mereka.

Jadi, pernyataan yang lebih tepat adalah “Tidak semua hadis yang diketahui oleh generasi salaf ditulis dan dikompilasi oleh ahli hadis”.

Al-Bukhari hafalan hadisnya sekitar 600.000 buah. Dari jumlah ini, sekitar 100.000 adalah hadis sahih. Dari sekitar 100.000 hadis sahih itu, Al-Bukhari hanya menuangkan sekitar 7000-an hadis dalam Shohih Al-Bukhari.

Imam Muslim saat menulis Shohih Muslim juga demikian kira-kira kisahnya.

Ini menunjukkan bahwa tidak semua hadis yang diketahui dan dihafal para ahli hadis dicatat dan dibukukan.

Hanya saja, tidak boleh dipahami bahwa ada petunjuk hadis Nabi ﷺ yang hilang. Tidak boleh disimpulkan demikian.

Kesimpulan ini salah berdasarkan dalil dan fakta sekaligus.

Dari sisi dalil, Allah berfirman,

{إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ} [الحجر: 9]

“Sesungguhnya Aku menurunkan ‘adz-dzikr’, dan sungguh aku benar-benar akan menjaganya” (Al-Hijr: 9)

Dalam ayat di atas, Allah menjamin akan menjaga “adz-dzikr”. Lafaz “adz-dzikr” mencakup Al-Qur’an dan hadis. Jadi sebagaimana Al-Qur’an terjaga, hadis wajib kita yakini juga terjaga.

Dari sisi fakta pengumpulan hadis, maka siapapun yang mengkaji sejarahnya akan tahu bahwa hadis yang ditulis itu sudah melalui pertimbangan yang tepat dan seleksi yang sangat ketat.

Sebagai gambaran, mari kita lihat fakta berikut ini.

Dari sekitar 600.000 hadis yang dihafal Al-Bukhari, sekitar 500.000 tidak ditulis karena tidak sahih. Keputusan untuk tidak menulis hadis yang tidak sahih ini sudah tepat. Buat apa menulis hadis-hadis palsu dan tidak sahih sementara yang sahih saja banyaknya sudah luar biasa?

Dengan ditulisnya hadis-hadis yang sahih saja, maka kaum muslimin boleh memiliki kaidah umum yang berbunyi “Hukum asal semua riwayat yang tidak tercantum dalam kitab-kitab hadis sahih adalah riwayat batil, sampai ada bukti yang menunjukkan sebaliknya”.

Dari sekitar 100.000 hadis sahih yang dihafal Al-Bukhari, beliau hanya menuliskan sekitar 7000-an hadis. Keputusan menulis sekitar 7000 hadis ini sudah tepat karena yang tidak ditulis itu sudah terwakili hadis-hadis yang ditulis. Banyak sekali hadis yang sahih dengan jalur yang berbeda-berbeda tetapi isinya sama. Kalau isinya sama dan hanya beda di sanad, buat apa ditulis? Tidak efisien.

Keputusan Al-Bukhari sangat bagus. Dari sekian puluh ribu hadis sahih itu, beliau pilih mana yang redaksinya terbaik dan sanadnya terbaik dan itulah yang beliau tuliskan dalam Shohih Al-Bukhari.

Jadi, 7000-an hadis Al-Bukhori itu sudah mewakili seluruh hadis sahih yang beliau ketahui. Karena itu, nama asli shahih Al-Bukhari itu dicantumkan kata “mukhtashor” (ringkasan) karena memang isi Shahih Al-Bukhari itu meringkas hadis-hadis yang kontennya sama lalu dipilih sanad terbaik dan terkuat oleh Al-Bukhari, kemudian dicantumkan dalam shahihnya.

Jadi bisa disimpulkan, semua hadis Nabi ﷺ terjaga sebagaimana terjaganya Al-Qur’an. Hanya saja, pernyataan ini tidak bermakna setiap huruf ucapan Nabi ﷺ dan setiap detik perbuatan beliau terekam dalam catatan buku. Makna pernyataan tadi adalah, semua yang berasal dari Nabi ﷺ yang sifatnya wahyu dan memperjelas Al-Qur’an dan dibutuhkan hamba Allah dalam dien semuanya telah terjaga dan tercatat secara sempurna sampai hari ini.

Wallahua’lam

Versi Situs: http://irtaqi.net/2018/07/24/benarkah-banyak-hadis-nabi-yang-hilang/

***
13 Dzulqo’dah 1439 H

Monday, July 23, 2018

USAHA BAPAK (1) (KH. Abdul hannan ma'shum)

USAHA BAPAK (1) (KH. Abdul hannan ma'shum)

bagi yang sudah membaca tulisan saya sebelumnya yang berjudul bapak dan ibu, maka pasti ingat rayuan bapak untuk ibuk agar setia menemani meskipun masih kere(melarat).

pada tulisan kali ini akan saya ulas sekilas tentang bagaimana bapak membangun ekonomi keluarga dan pesantren.

bapak adalah seseorang yang lahir dalam keluarga serba kekurangan, ibunya berjualan gorengan dan bapak berjualan kelapa.

tumbuh berkembang dalam lingkungan yang serba kurang tak membuat bapak kecil berpangku tangan, bapak bercerita pernah mengajak kerjasama pemilik lahan kosong untuk ditanami umbi-umbian. bila sudah layak konsumsi, umbi-umbian ini akan dibagi dua dengan pemilik lahan, sebagian untuk makan bapak dan keluarga besarnya sebagian disetorkan ke pemilik lahan(karena kata bapak, waktu kecilnya makanan pokok adalah umbi-umbian. nasi menjadi barang sangat mewah yang jarang sekali bisa dimakan).

setelah selesai SR(sekolah rakyat), atau sekolah raja biasanya bapak guyon. beliau berinisiatif untuk mondok. keinginan ini tak mulus terlaksana. izin orang tua telah didapat, tapi dengan sedikit berat hati karena memang tak ada harta untuk bekal dipondok. kalaupun ada hanya sedikit sekali. ditambah, ada saudara yang menyindir: “ awakmu mondok, opo anak bojomu arep dipangani dampar?(kamu mondok, apa anak istrimu nanti dikasih makan bangku dampar?)”.

tekad sudah bulat, bapak berangkat.

dengan penuh semangat dan perhatian bapak memasuki dunia pesantren dan menikmati nikmatnya ilmu, berbekal beberapa butir kelapa dan 5 kilo beras setiap bulannya selama 6 tahun. ada juga kiriman uang tapi hanya sedikit, biasanya cuman cukup dibelikan garam dan cabe. cabe dijemur hingga kering lalu dicampur keberas, agar terasa sedikit pedasnya hingga sebulan.

kadang bila bapak ingin merasakan sedikit bumbu lain, menunggu teman lain selesai nyambel. lalu ketika cobek bekas sambelnya akan dibersihkan dilarang bapak. dipinjam bentar, disiram sedikit air lalu untuk dimakan dengan nasinya bapak.

setelah memasuki tahun ke 7, ibuknya(nenek saya) bilang ke bapak sambil menangis: “ sakiki aku wes ra kuat ngirim le(sekarang saya tidak mampu mengirimi uang nak)”.

dengan tegas hati bapak menjawab: “ pun buk, namung pangestune njenengan kawulo suwon(sudah bu, hanya doa restu ibuk yang saya minta)”.

setelah itu bapak mencari bekal sendiri dipondok selama 9 tahunan dengan menjadi buruh nulis(juru tulis).  menulis apa saja, dibayar seikhlasnya. bahkan kadang dibayar dengan kitab.

alkisah, saking banyak dan seringnya nulis kitab, bapak hampir hafal beberapa kitab seperti alfiyah dan yang lainnya.

usaha dzohir memenuhi kebutuhan dengan menulis, ikhtiyar batinnya dengan tirakat, wirid, dan juga ziarah ke makam auliya’.

bapak seorang pembelajar, dari siapa saja. bahkan beliau pernah bertanya pada seorang kusir kuda yang cukup sukses punya beberapa kuda. bapak bertanya bagaimana caranya kok bisa sukses? lalu dijawab oleh sang kusir kuda: “kudu ngekehne ping ngurangi sudo(harus memperbanyak perkalian mengurangi pengurangan)”.

yang dimaksud disini adalah harus memperbanyak jalan jalan usaha untuk pemasukan, dan meminimalisir pengeluaran. 

dan ditambah dengan keterangan yang bapak dapatkan dikitab: “bila sudah punya beberapa jalan pemasukan jangan lalu menutup salah satunya. meskipun kecil, selama masih menghasilkan maka harus tetap dijaga usaha itu.”

(bersambung)

#salamKWAGEAN

Sunday, July 22, 2018

Kisah Sebantal Berdua Santri dan Kiai

Kisah Sebantal Berdua Santri dan Kiai

Santri muda bernama Ibrahim itu datang jauh dari pelosok Sumatera Selatan ke Cirebon. Menemui seorang Kiai di Buntet Pesantren yang disebut-sebut oleh Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari sebagai penjaga langit tanah Jawa. Kiai Abbas namanya.

Kiai Abbas menatap tajam pada sosok di depannya. Menganggukkan kepala tanda beliau berkenan menerima Ibrahim.

“Saya tidur dimana, Pak Kiai?” tanya Ibrahim salah tingkah melihat Sang Kiai masih terus menatapnya.

‘Ya di rumah ini. Itu kamarmu.”

Ibrahim terkejut. Santri lainnya diarahkan menuju pondok, sementara ia malah diminta menetap di rumah Sang Kiai.

Maka hari-hari selanjutnya, Ibrahim menerima gemblengan berbagai ilmu khusus langsung dari Kiai Abbas. Belajar langsung bertatap muka dengan Sang Kiai adalah anugerah luar biasa.

Tapi keberuntungan Ibrahim tidak hanya sampai di sana. Sebagai Kiai NU yang disegani di wilayah Jawa Barat, Kiai Abbas sering bepergian ke sejumlah wilayah. Ibrahim dibawanya turut serta.

Berpuluh-puluh tahun kemudian Ibrahim mengenang bahwa suatu ketika ia mendampingi Kiai Abbas dalam suatu pertemuan tingkat tinggi para ulama NU di Jawa Tengah. Sebagai santri kesayangan, Ibrahim bukan saja melayani keperluan Sang Kiai selama dalam perjalanan, tapi juga turut duduk dan mengikuti berbagai pembahasan.

Dalam perjalanan pulang, tak hentinya Kiai Abbas memuji kehadiran seorang Kiai dari Jombang yang sangat dikaguminya: Kiai Wahab Chasbullah, salah seorang pendiri dan penggerak roda organisasi NU. Ibrahim mengenang bahwa Kiai Abbas terus menerus menceritakan diskusinya dengan Kiai Wahab. Kiai Abbas tak bisa menutupi kekagumannya betapa hebatnya pemikiran Kiai Wahab yang disampaikan dalam pertemuan para Kiai tadi.

Ibrahim penasaran. “Kiai Wahab itu yang mana yah?”

Kiai Abbas tersenyum, “Yang semalam tidur berbagi bantal denganmu. Itulah Kiai Wahab.”

Ibrahim terkejut. Tidak menyangka bahwa sosok sederhana yang semalam berbagi bantal (yang satu meletakkan kepala di atas bantal menghadap ke utara, dan satunya menghadap ke selatan) ternyata itulah Kiai yang tengah diceritakan Kiai Abbas dengan rasa hormat dan kagum.

Pertemuan para ulama NU memang dilakukan dengan sederhana. Selepas diskusi panjang, para Kiai beristirahat dengan alas tikar seadanya dan berbagi bantal. Satu-satunya kemewahan adalah tumpukan kitab kuning dan argumentasi yang dilakukan para Kiai saat berdiskusi. Selebihnya sederhana. Itu dulu.

Sosok Kiai Wahab Chasbullah, penerus Rais Akbar KH Hasyim Asy’ari ini, merupakan Kiai yang luar biasa baik kedalaman ilmunya dan keaktifannya berorganisasi. Kecintaannya pada tanah air melegenda dalam syair Ya Lal Wathan.

Santri muda Ibrahim kelak mendirikan Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ) khusus Pria tahun 1971 dan Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Khusus Perempuan tahun 1979 dan sekaligus sebagai Rektornya, serta dua puluh tahun memimpin Komisi Fatwa MUI (1980-2000) dengan segala kontroversinya. Gelarnya sudah panjang saat itu: Prof KH Ibrahim Hosen, LML. Makna tatapan tajam Kiai Abbas saat menerimanya sebagai santri khusus tempo doeloe terjawab sudah.

Kelak, pada Muktamar NU ke 25 di Surabaya tahun 1971, Mbah Wahab Chasbullah sudah sepuh dan sakit namun Kiai Bisri Syansuri tidak mau menggantikan beliau selama Mbah Wahab masih ada. Maka terpilihlah Mbah Wahab kembali menjadi Rais Am. Yang menarik, dalam perumusan nama-nama pengurus, Mbah Wahab mengirim utusan meminta kesediaan Ibrahim Hosen sebagai salah seorang Rais Syuriah PBNU untuk turut membantu beliau.

Memori sebantal berdua kembali hadir di benak Ibrahim Hosen.

Namun beberapa hari kemudian Mbah Wahab meninggal dunia. Sehingga Mbah Bisri yang naik menggantikan, dan formasi kepengurusan berubah. Ibrahim Hosen dengan tawadhu’ menolak masuk dalam kepengurusan dan memilih mencurahkan waktu sebagai Rektor PTIQ.

Merasa mendapat keberkahan dari tinggal dan belajar khusus dengan Kiai Abbas Buntet, Abah saya, Prof KH Ibrahim Hosen LML, menceritakan ulang kisah sebantal berdua dengan Kiai Wahab Chasbullah kepada saya lebih dari 30 tahun yang lalu. Berkah...berkah...berkah!

Demikianlah kisah sebantal berdua antara seorang santri Buntet dengan kiai besar NU dari Tambakberas, Jombang.

Alhamdulillah untuk kedua kalinya saya sempat ‘sowan’ ke makam Kiai Wahab Chasbullah beberapa waktu lalu. Meneruskan tradisi penghormatan santri pada para Kiai. Lahumul fatihah...

Tabik.

Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand
dan Dosen Senior Monash Law School

Friday, July 6, 2018

AMAR MAKRUF GUS MUT DAN DAKWAH SANDAL JEPIT KIAI KHOLIL

KHADAFI AHMAD

KHOTBAH 36

MOJOK.CO – Dakwah itu tidak perlu berat-berat, tidak perlu pakai teriak-teriak di jalanan, cuma mintain orang jaga sandal jepit saja juga bisa.

Masjid di kampung Gus Mut geger karena belakangan ini sandal-sandal jamaah sering hilang. Tidak seperti biasanya, ketika sandal hilang cuma satu atau dua cuma karena tertukar dengan jamaah lain, dalam dua minggu ini beberapa sandal jamaah benar-benar hilang tak berbekas. Semua kejadiannya sama, yakni setelah salat Jumat ketika masjid sedang penuh-penuhnya.

Sudah dua kali kejadian sandal hilang ini, dan sebagai salah satu pengurus masjid, Gus Mut merasa perlu untuk membereskannya.

Jelas sudah ada orang yang benar-benar niat untuk mencuri sandal jamaah di masjid. Selain sandal, beberapa sepatu bermerek jamaah ikut-ikutan dicuri. Merasa ada yang tidak beres, Gus Mut pun bertanya kepada beberapa orang.

“Kok bisa ya, sandal hilang di masjid berturut-turut begini?” tanya Gus Mut kepadaFanshuri, salah satu jamaah.

“Iya ini Gus, saya juga tidak tahu. Padahal biasanya aman-aman saja,” kata Fanshuri.

“Kamu tahu, siapa kira-kira orang yang ngambilin sandal para jamaah? Ini sudah yang kedua. Pasti orang sekitaran ini, hampir mustahil orang asing. Tidak bisa dibiarkan ini, Fan,” kata Gus Mut.

“Mungkin Gus Mut perlu tanya ke Bang Is. Preman pasar kampung,” usul Fanshuri.

“Wah, jangan. Nanti saya dikira nuduh macam-macam. Lagipula saya tidak punya bukti,” elak Gus Mut.

“Bukan begitu, Gus. Kita tanya saja baik-baik. Sebagai preman pasar, barangkali Bang Is tahu siapa anak kampung sini yang suka mencuri. Siapa tahu Bang Is bisa kasih petunjuk,” kata Fanshuri.

Gus Mut pun sepakat dengan pendapat Fanshuri. Untuk menangkap serigala, tidak ada salahnya meminta tolong kepada singa.

Setelah salat asar, Gus Mut menghampiri rumah Bang Is. Preman pasar yang dikenal garang dan punya reputasi mentereng sebagai residivis. Meski dikenal kasar, Bang Is termasuk sosok yang menghormati tokoh-tokoh kiai di sekitaran kampung. Ayah Gus Mut yang merupakan sesepuh kampung, yakni Kiai Kholil, adalah salah satu sosok yang dihormati Bang Is.

Alasan Bang Is menghormati Kiai Kholil juga tidak serta-merta karena Kiai Khollil seorang kiai yang ahli dalam ilmu agama. Melainkan karena Kiai Kholil juga seorang jawara di kampung. Ahli silat yang diakui kehebatan bertarungnya saat muda dulu. Bang Is beberapa kali kalah telak melawan ilmu silat Kiai Kholil. Oleh karena itu, meski sekarang Kiai Kholil sudah sepuh dan tak lagi menggunakan ilmu silatnya, sebagai sesama pendekar, Bang Is tetap hormat.

Begitu keduanya bertemu dan berbasa-basi sebentar Gus Mut pun menanyakan perihal yang menjadi tujuannya berkunjung ke rumah Bang Is.

“Jadi, Bang Is tahu nggak kira-kira siapa yang suka mencuri sandal jamaah di masjid?”

Air muka Bang Is yang sejak awal pertemuan menyambut dengan tangan terbuka kedatangan Gus Mut tiba-tiba berubah.

“Maksudnya apa nih, Mut? Kok tiba-tiba situ tanya aneh-aneh begitu? Situ nuduh ya?” Bang Is terlihat tersinggung.

Gus Mut pun buru-buru minta maaf, “Bukan begitu Bang Is, maksud saya itu cuma nanya. Siapa tahu sebagai yang mbahurekso daerah sini, Bang Is tahu dan bisa menunjukkan ke saya siapa yang kira-kira sering nyuri.”

Dijelaskan seperti itu kemarahan Bang Is bukannya mereda, malah menjadi-jadi. “Kalaupun aku tahu, ya aku nggak akan kasih tahu ke kamu, Mut. Enak saja. Jangan terus apa-apa hal buruk di daerah sini jadi otomatis melibatkan aku,” kata Bang Is.

Benar Bang Is menghormati Kiai Kholil, tapi kepada anaknya, hormat itu masih ada hanya saja cuma sedikit saja. Lagian, sehormat-hormatnya Bang Is kepada Kiai Kholil, ia tidak bisa terima jika Gus Mut menuduh bahwa kehilangan sandal di masjid ada andil juga dari dirinya.

Baca juga:  Walikota Surabaya Risma Bersujud di Hadapan Takmir Masjid

Gus Mut pun memilih undur diri tanpa mendapatkan pencerahan apapun. Merasa gagal, Gus Mut pun tidak langsung pulang ke rumah, melainkan menyempatkan mampir ke rumah ayahnya, Kiai Kholil. Diceritakanlah perihal masalah pencurian sandal di masjid sampai kunjungannya ke rumah Bang Is.

“Oh, begitu rupanya,” komentar Kiai Kholil singkat.

“Kalau begitu, biar urusan sama Is jadi urusan Abah saja,” kata Kiai Kholil.

“Oh, jadi Abah juga curiga kalau Bang Is juga terlibat?” tanya Gus Mut.

“Lho? Kenapa kamu bisa berkesimpulan seperti itu? Maksud Abah, biar Abah ke sana dulu mencairkan suasana. Kamu juga salah, datang ke rumah orang malah nuduh macam-macam,” kata Kiai Kholil.

“Aku nggak nuduh, Bah. Aku cuma nanya kok,” bela Gus Mut.

“Ya nanya begitu nggak ada bedanya sama nuduh,” terang Abah, “Sudah, biar besok Abah ke sana menjelaskan duduk perkaranya.”

Keesokan harinya, Kiai Kholil benar-benar mengunjungi rumah Bang Is. Kehadiran Kiai Kholil tentu sempat bikin kalut Bang Is. “Kurang aja benar si Mut itu, beraninya bilang ke abahnya. Brengsek betul,” maki Bang Is dalam hati.

“Assalamualaikum, Is. Wah, sudah lama tak ketemu. Sehat Is?” tanya Kiai Kholil basa-basi.

“Waalaikumsalam Kiai Kholil. Maaf, kalau Kiai Kholil datang ke sini karena saya marah-marah sama si Mut. Ya saya nggak terima aja dituduh macam-macam,” bela Bang Is tiba-tiba.

Kiai Kholil cuma terkekeh. “Oh, soal si Mut itu. Hahaha, dia memang anak kurang ajar. Nggak tahu sopan santun. Makanya saya datang ke sini mau meminta maaf atas kelakuan anak saya kemarin itu,” tanya Kiai Kholil.

Bang Is yang mendengarnya tentu saja heran. Kenapa ini Kiai Kholil tiba-tiba datang ke rumahnya untuk meminta maaf?

“Tapi sebenarnya maksud kedatangan saya ke sini bukan cuma untuk minta maaf, Is,” kata Kiai Kholil.

“Oh, Kiai Kholil juga curiga kalau saya termasuk dari sindikat yang suka nyuri sandal di masjid?” selidik Bang Is.

“Lho bukan. Wah, kamu kok kayak Mut jadinya kalau suka nuduh-nuduh sembarang begitu,” kata Kiai Kholil.

“Habis saya masih sakit hati sama omongan si Mut kemarin,” balas Bang Is.

“Maksud kedatangan saya adalah meminta tolong ke kamu untuk jagain pelataran depan masjid tempat sandal-sandal biasanya ditinggal para jamaah. Sebagai sosok yang ditakuti dan punya pengaruh besar di kampung, sudah pasti tidak akan ada orang yang berani kalau Is yang turun gunung langsung untuk jaga. Sebenarnya sih, saya bisa saja minta tolong orang lain, tapi saya pikir tidak ada yang sekuat kamu pengaruhnya di kampung sini.”

Mendengar kata-kata “yang ditakuti” dan “punya pengaruh besar di kampung” membuat dada Bang Is jadi sedikit membusung. Ada rasa bangga muncul tiba-tiba, lebih-lebih yang bilang barusan adalah Kiai Kholil, sesepuh kampung si jawara silat.

“Oh, tidak masalah Kiai. Kalau soal itu, saya siap. Biar saya rontokkan gigi si pencuri yang sudah bikin saya dituduh macam-macam,” jawab Bang Is.

“Baiklah kalau begitu. Tapi tidak perlu tiap hari juga. Lagi pula kamu pasti juga punya kesibukan lain. Saya minta tolong untuk setiap salat Jumat saja. Ketika jamaah lagi penuh-penuhnya dan sandal lagi banyak-banyaknya. Nanti kalau kamu ingin dapat tambahan, kamu bisa tarik uang parkir dari jamaah. Seribu dua ribu kan lumayan. Nanti biar saya yang bilang sama pengurus masjidnya.”

“Siap, Kiai Kholil, tidak masalah,” jawab Bang Is tambah senang. Sudah dipercaya, dapat uang tambahan pula dari parkir. Lumayan.

Baca juga:  Kenapa SPBU Lebih Ramai Ketimbang Masjid?

Kiai Kholil tahu betul, sebagai preman pasar yang garang, Bang Is mana sudi ikut salat di masjid. Bang Is sendiri memang Islam, tapi Islamnya cuma di mulut. Jadi tidak meminta Bang Is salat sudah termasuk penghargaan tersendiri untuk orang seperti Bang Is. Lagian Kiai Kholil menyediakan “pekerjaan” baru yang cukup mengutungkan.

Pada akhirnya, penjagaan Bang Is dimulai. Setiap salat Jumat Bang Is selalu datang paling awal. Nongkrong di seberang masjid sambil memberi aba-aba untuk motor-motor jamaah yang datang. Awalnya, banyak jamaah yang menggerutu karena parkir sekarang dipasang tarif. Tapi setelah dari mulut ke mulut dijelaskan perihal seringnya sandal di masjid hilang, para jamaah akhirnya memaklumi.

Penjagaan pun berlangsung sampai salat Jumat keempat. Lama kelamaan Bang Is merasa ada yang aneh. Memang betul sudah tidak ada lagi kasus kehilangan sandal seperti sebelum-sebelumnya. Tapi sebagai sosok yang berpengaruh dan ditakuti, menjaga sandal seperti ini adalah pekerjaan yang harusnya tidak cocok untuk orang dengan posisi seperti dirinya.

Bang Is pun menghadap ke Kiai Kholil. “Kiai, masa saya yang kepala preman begini harus jagain sandal para tukang becak, tukang bangunan, tukang jaga loper koran begini? Enak betul mereka dijagain sandalnya sama orang kayak saya? Justru harusnya orang-orang kayak begitu yang jaga sandal saya dong. Enak betul mereka,” kata Bang Is protes.

“Jadi maksudnya gimana nih, Is. Kamu ingin sandalmu ikut dijaga juga? Lha kalau sandalmu pengen dijaga, ya kamu kudu salat di dalam. Lha gimana jagain sandalmu kalau kamunya masih pakai sandal?” tanya Kiai Kholil.

“Oh, tidak masalah. Saya ikut salat Jumat nggak apa-apa,” jawab Bang Is.

“Waduh jangan ikut salat Jumat, Is, jangan.”

“Lho kok begitu, Kiai? Kan bagus tho saya ikut salat juga? Memang kenapa orang kayak saya nggak boleh ikut salat?” tanya Bang Is.

“Kalau kamu ikut salat, yang jagain sandal siapa nanti?” tanya Kiai Kholil.

“Oh betul juga,” kata Bang Is. Sejenak Bang Is berpikir. “Oh, tidak masalah Kiai. Saya kan punya banyak anak buah. Biar mereka saja nanti yang jaga. Biar sandal saya dijaga mereka. Saya salat di dalam. Gimana cocok kan?” kata Bang Is.

“Duh, walaupun sebenarnya saya tidak setuju sepenuhnya karena anak buahmu tidak sekuat kamu pengaruhnya, tapi kalau kamu maunya begitu. Ya saya bisa apa?” kata Kiai Kholil pura-pura.

Jumat depan, gantian anak buah Bang Is yang menjaga sandal depan masjid. Bang Is senang bukan kepalang, sandalnya ikut dijaga. Sandal jepit buntut miliknya dijaga. Rasanya benar-benar jadi orang penting. Tapi tidak sampai dua kali salat Jumat, pada minggu kedua, anak buah Bang Is gantian yang protes.

“Bang, masa aku cuma disuruh jaga sandal. Preman begini masa jagain sandal tukang becak sama tukang asongan begini. Mana sudi aku. Harusnya sandalku yang dijaga,” protes anak buah Bang Is.

“Ya kalau kamu nggak terima. Kamu cari orang lain dulu buat gantiin posisimu,” kata Bang Is.

Hal ini terus terjadi sampai beberapa waktu. Sampai akhirnya Bang Is dan semua anak buahnya—termasuk yang suka nyuri sandal di masjid—jadi ikut-ikutan salat Jumat. Alhasil, pencurian sandal di masjid pun jadi hilang sampai ke akar-akarnya. Hanya karena sebuah alasan sepele, masing-masing preman nggak sudi jagain sandal orang lain dan lebih pengen sandalnya yang dijaga.

 

*) Diinspirasi dari kisah Kiai As’ad Syamsul Arifin dari Situbondo

Gus Nadirsyah Meluruskan Twitt Tifatul Sembiring Tentang Surat Alfath

Gus Nadirsyah Meluruskan Twitt Tifatul Sembiring Tentang Surat Alfath

Politisi PKS Tiffatul Sembiring melalui akun twitternya @tifsembiring mengutip surat Al-Fath ayat 29, dimana menurutnya Rasulullah saw bersikap tegas/keras kepada orang-orang kafir, kasih sayang (rohmah) sesama orang beriman.

"Dalam surat Al Fath ayat 29, Rasulullah saw itu bersikap tegas/keras kpd orang2 kafir, kasih sayang (rohmah) sesama orang beriman. JANGAN dibolak balik yaa. Rohmah sama orang2 kafir, eh sesama mu'min malah bersikap kasar...," tulisnya, Ahad (01/07/2018).

Mengetahui hal itu, Prof Nadirsyah Hosen (Gus Nadir) mengomentari twit Tiffatul dengan catatan ngaji Gus Nadir.

"Ustaz @tifsembiring monggo dibaca catatan ngaji saya ttg tafsir ayat tsb," tulis Gus Nadir melalui akunnya @na_dirs, Senin (02/07/2018), dengan memberikan link websitenya: http://nadirhosen.net/tsaqofah/tafsir/206-benarkah-muslim-itu-harus-keras-terhadap-orang-kafir-tafsir-surat-al-fath-29

"Saya merujuk pada: 1. Tafsir Al-Alusi 2. Tafsir Ibn Abbas 3. Tafsir Bahrul Ulum," imbuh Gus Nadir.

Berikut isi catatan ngaji Gus Nadir:

Benarkah Muslim itu Harus Keras Terhadap Orang Kafir? Tafsir Surat al-Fath:29

Oleh Nadirsyah Hosen

Surat al-Fath berjumlah 29 ayat yang semuanya turun dalam konteks perjanjian Hudaibiyah. Oleh karena itu, memahami ayat terakhir dalam surat ini juga tidak bisa sepotong-sepotong, karena kita harus memahami keseluruhan konteks ayat-ayat sebelumnya, plus pemahaman utuh tentang perjanjian Hudaibiyah. Inilah yang dilakukan oleh Imam al-Alusi, pengarang Tafsir Ruhul Ma’ani yang harus berpanjang lebar menceritakan peristiwa Hudaibiyah sebelum menjelaskan potongan ayat 29 di bawah ini:

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…”

Kesalahpahaman akibat kegagalan memahami pesan utuh ayat ini sering terjadi dan berpotensi menimbulkan gesekan sosial di masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia. Kita saksikan sebagian saudara kita yang pasang wajah kusam dan angker kepada non-Muslim atau juga kepada sesama Muslim yang sudah mereka anggap kafir. Tak ada senyum dan tak ada ramah tamah. Mereka bahkan menyalahartikan ayat ini sebagai kewajiban bersikap kasar kepada orang kafir karena kata “keras” dipahami sebagai permusuhan.

Sebagian saudara-saudara kita juga bersikap mencurigai kebaikan orang kafir dan menoleransi keburukan orang Islam karena memahami ayat di atas secara harfiah tanpa memahami konteksnya. Pendek kata, semua tindakan orang kafir dicurigai dan ditolak, dan semua hal yang tidak benar dari sesama Muslim diterima begitu saja.

Konteks ayat di atas adalah suasana ketegangan, bukan ayat di masa tenang atau damai. Jadi, memberlakukan ayat itu dalam konteks keseharian kita berinteraksi sosial tentu kurang pas. Ketika Rasulullah SAW bermimpi memasuki kota Mekkah sebagai sebuah kemenangan yang dekat (fathan qariban), maka para sahabat dan Rasul bersama-sama hendak memasuki kota Mekkah berhaji pada tahun keenam hijriah. Singkat cerita, kaum kafir Mekkah menghadang dan memaksa Rasulullah dan sahabat kembali ke Madinah lewat sebuah perjanjian di daerah Hudaibiyah, dimana menurut para sahabat utama seperti Umar bin Khattab, perjanjian tersebut amat sangat merugikan umat Islam.

Sejumlah orang munafik mengambil kesempatan untuk menimbulkan kegaduhan, seperti terekam dalam ayat-ayat awal surat al-Fath. Allah pun menenangkan umat Islam yang seolah patah semangat bahkan ada pula yang mempertanyakan kebenaran mimpi Rasul sebelumnya. Surat al-Fath turun dalam suasana yang demikian. Di akhir surat, Allah menegaskan kembali kebenaran mimpi Rasul, kepastian kemenangan (yang terbukti saat Fathu Makkah) dan kebenaran bahwa Muhammad itu seorang utusan Allah. Di ayat 29 inilah Allah seolah hendak mengatakan: “jangan kalian ribut dan ragu sesama kalian, kalian harus saling berkasih sayang dan berlemah lembut diantara kalian, dan sifat keras dan tegas itu seharusnya ditujukan pada orang kafir bukan pada sesama kalian!”.

Ibn Abbas menafsirkan ayat 29 surat al-Fath yang sedang kita bahas ini khusus untuk para sahabat yang menyaksikan peristiwa Hudaibiyah. Sahabat Nabi yang terkenal cerdas luar biasa ini menafsirkan sebagai berikut:

Muhammad itu utusan Allah, tidak seperti kesaksian Suhail bin Amr (yang memaksa Rasul untuk menghapus kalimat Muhammad Rasulullah dalam naskah perjanjian Hudaibiyah dan diganti dengan Muhammad bin Abdullah saja); dan orang yang bersama Muhammad, yaitu Abu Bakar, ia termasuk orang yang pertama kali mengimani kerasulan Muhammad; keras terhadap orang kafir (maksudnya ini merujuk kepada Umar bin Khattab sebagai pembela Rasulullah), berkasih sayang sesama mereka (ini ditujukan kepada Utsman bin Affan). Lanjutan ayatnya: Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud (ini menyifatkan Ali bin Abi Thalib); mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya (ini menyifatkan Thalhah dan Zubair).

Al-Samarqandi dalam kitab tafsirnya Bahrul Ulum memberi penafsiran yang mirip dengan Tafsir Ibn Abbas di atas. Yang dimaksud bersama Nabi itu adalah Abu Bakar, yang keras itu Umar, yang berkasih sayang itu menyifatkan Utsman dan yang rajin ruku’ dan sujud itu Ali, sementara yang mencari karunia Allah dan keridhaannya itu adalah Zubair dan Abdurrahman bin Awf.

Penafsiran model Ibn Abbas di atas juga dikonfirmasi oleh Imam al-Alusi. Meski demikian beliau juga menyebutkan bahwa jumhur ulama menganggap penyifatan ini tidak hanya khusus untuk pihak tertentu yang menyaksikan peristiwa Hudaibiyah tapi merupakan sifat semua sahabat Nabi. Kalaupun kita terima pendapat jumhur ini, namun ini tidak berarti bahwa saat ini kita dibenarkan bersikap garang dan bermusuhan kepada orang kafir, karena semua ahli tafsir sepakat asbabun nuzul ayat di atas terikat erat dengan konteks ketegangan peristiwa Hudaibiyah.

Allah telah berfirman dalam Surat al-Mumtahanah ayat 8 mengatur relasi dengan pihak kafir:

“Allah tidaklah melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Itu artinya, Muslim tidak dilarang berbuat baik kepada tetangga maupun kawan sepermainan atau kolega di kantor yang merupakan non Muslim. Dua bukti lain bisa kita lihat dalam sejarah Rasulullah. Pertama, ketika ayat assyidda’u ‘alal kuffar (al-Fath: 29) di atas turun, justru Rasulullah sedang bersikap ‘lunak’ kepada orang kafir dalam perjanjian Hudaibiyah bukan sedang memerangi mereka.

Kedua, ketika peristiwa Fathu Makkah terjadi, Rasulullah juga bersikap lemah lembut kepada penduduk Makkah, bahkan Abu Sufyan pun mendapatkan perlindungan dari Rasulullah. Itulah sebabnya Rasulullah disebut sebagai al-Qur’an berjalan, karena beliau tidak mengikuti hawa nafsu, amarah maupun dendam permusuhannya, tetapi benar-benar merupakan perwujudan rahmat bagi semesta alam.

"Wa ma yanthiqu ‘anil hawa in huwa illa wahyu yuha (tidaklah Ia bicara berdasarkan hawa nafsunya melainkan apa-apa yang diwahyukan kepadanya)" QS 53:3-4.

Sumber : Dutaislam.com

Thursday, July 5, 2018

Cara Mbah Kholil Bangkalan Carikan Jodoh Buat KH Hasyim Asy'ari

Cara Mbah Kholil Bangkalan Carikan Jodoh Buat KH Hasyim Asy'ari

Ketika Mbah Hasyim nyantri di Bangkalan beliau diberi tugas mengurusi kuda milik Mbah Kholil hingga kesempatan untuk ngajipun tidak banyak. Suatu hari Mbah Kholil kedatangan tamu dari Jawa dan kebetulan dia seorang Kyai namun santrinya tak sampai ratusan hanya puluhan saja. Setelah tamu ditanya keperluannya apa, lalu tamu tersebut mengutarakan keperluannya kepada Mbah Kholil.

Tamu: “Mbah Kholil, saya datang kesini kyai pertama niat silaturahmi dan yang kedua saya hendak menikahkan putri saya berhubung dia sudah dewasa kiranya patut saya carikan jodoh apalagi usia saya juga sudah ada di ambang pintu ajal yang tak lama lagi Allah pasti memanggil ruh saya Kyai. Jika ada Kyai, saya mohon petunjuk dan izin Kyai untk mencarikannya”.

Tanpa berfikir panjang Mbah Kholil langsung memanggil Mbah Hasyim yang ada di belakang rumah beliau yang sedang ngurusi kuda. Spontan Mbah Hasyim yang mendengar suara gurunya memanggil langsung lari tunggang langgang menghadap sang guru.
Mbah Hasyim: “Iya Kyai Njenengan manggil saya?”
Mbah Kholil: “Iya”.

Tanpa banyak tanya lagi Mbah Hasyim langsung diam merunduk, lalu Mbah Kholil berkata kepada tamu beliau. Ini dia calon menantumu yang akan meneruskan perjuanganmu. Tamu pun terkejut tegang dan tak habis fikir sambil bergumam dalam hatinya, masa iya sih santri mblasaken seperti ini akan mengurus pesantrenku? Saya tidak yakin bila anak ini banyak ilmunya.

Di sisi lain Mbah Hasyim pun terkejut pula sambil begumam dalam hatinya, masa iya ya Mbah Kholil tega akan menjodohkan saya dengan putrinya ulama’ yang begitu mulia dan santrinya banyak nan berwibawa serta alim?
Mbah Kholil lalu menyambung dawuhnya apa yang keduanya pikirkan.

Mbah Kholil: “Sudahlah kamu (tamu) pulang saja dan siapkan selamatannya di rumahmu. Tiga hari lagi aqad nikah dilaksanakan. Dan kamu Hasyim kembali ke belakang!”
Mbah Hasyim pun kembali ke tempat tugasnya dengan hati yang risau, pikiran kacau balau dan perasaan galau, sembari bertanya-tanya dalam hati kecilnya: “Bagaimana saya bisa menjalani ini semua, kenapa guru tidak memberi tau saya sebelumnya atau paling tidak menawarkannya?”

Gundah gulana bimbang ragu dan bingung terus berkecamuk dalam fikiran Mbah Hasyim. Di saat-saat seperti itulah Hidayah Allah ditampakkan. Mbah Hasyim teringat dimana suatu hari saat Mbah Kholil molang kitab beliau Dawuh sederhana saja : “Barang siapa di antara kalian yang ingin tercapai hajatnya maka bacalah sholawat nariyah sebanyak-banyaknya dan pada waktu ijabah sangat dianjurkan yaitu setelah separuh malam hingga menjelang subuh”.

Saat malam kira-kira jam 12 malam, Mbah Hasyim melaksanakan apa yang pernah diucapkan gurunya itu yaitu membaca Shalawat Nariyah sebanyak-banyaknya, dan menjelang Subuh beliau ketiduran dan hal ajaib dimana dalam mimpi tidur sekejapnya beliau bermimpi bertemu Imam al-Bukhari dan mengajarkan kepada beliau hadits shahih selama 40 tahun lamanya, lalu beliau terbangun serta terkejut tidak percaya atas mimpinya itu.

Di malam yang kedua terjadi lagi, dalam mimpinya beliau bertemu Imam as-Syafi’i dan mengajarkan kepada beliau kitab-kitab Fiqih dari bebagai Madzhab yaitu Imam as-Syafi’i sendiri Hanafi Maliki dan Hanbali selama 40 Tahun lamanya.

Di malam ke tiga beliau bermimpi bertemu dgn Imam al-Ghazali dan Junayd al-Baghdady yang mengajarkan beliau kitab-kitab tasawwuf selama 40 tahun. Setelah beliau bangun, beliau terkejut dan bertanya dalam pikirannya apa makna dari semua mimpi ini.

Keesokan harinya beliau hendak bertanya kepada gurunya namun tidak ada kesempatan karena beliau justru disuruh siap-siap berangkat ke rumah calon mertua untuk melangsungkan aqad nikah.

Lalu keduanya pun berangkat hingga ditempat tujuan langsung dilakukan Aqad Nikah selesai itu Mbah Kholil akan pulang ke Bangkalan. Sepatah katapun tak ada yang keluar terucap dari Mbah Kholil mulai dari Bangkalan hingga sampai di tempat akad pernikahan. Baru Mbah Kholil hendak pulang beliau dawuh kepada Mbah Hasyim lalu kepada mertuanya dan disaksikan banyak santri dan tamu undangan.
Kepada Mbah Kholil: “Hasyim Jangan Nyelewang-Nyeleweng ya! Ibadah ikut yang dicontohkan Nabi melalui ulama’nya dan ikutilah ulama’nya Allah agar selamat, Allah pasti bersamamu.” Kepada mertua Mbah Hasyim dikatakan: “Jangan ragu dengan Hasyim dia sudah ngaji 120 tahun lamanya.”

Baik Mbah Hasyim, mertua dan para tamu tidak begitu paham serta kebingungan menafsiri dawuh Mbah Kholil karena mereka pikir ini gak masuk akal kapan ngajinya sampai 120 tahun sementara usia beliau belum sampai 50 tahun. Lalu Mbah Kholilpun balik ke Bangkalan.

Esoknya Mbah Hasyim diuji mertuanya sembari ingin membuktikan se alim apakah menantunya yang dijagokan gurunya itu. Dan beliaupun dengan agak gugup berada di masjid sementara di tempat yang biasa mertuanya duduk sudah disediakan 2 kitab tafsir dan hadits, sudah disiapkan ujian membaca kitab.

Nah keajaiban pun dimulai tanpa harus menengok apalagi memegang kitabnya Mbah Hasyim langsung membaca dengan fasih dan hafal diluar kepala serta membahasnya laiknya Masyayikh yang sudah kenyang dengan segudang ilmu, tak satupun ada yang salah.

Ustadz dan santri senior yang tidak yakin dengan kemampuan beliaupun pun menjadi takjub begitupula mertuanya yang mengintip dari celah jendela rumahnya pun ikut takjub.
Dari hari itu hingga seterusnya Mbah Hasyimlah yang molang semua kitab-kitab klasik yang tebal dari berbagai cabang ilmu agama Islam. Itulah beberapa karomah Mbah Kholil kepada Mbah Hasyim dan masih banyak lagi karomah-karomah beliau kepada santri-santri beliau yang lain.

Semoga Allah Senantiasa Mengalirkan tetesan-Tetesan Barokah dan Manfaat dari beliau-beliau ini kepada kita dan anak cucu kita sehingga kita tetap berada di jalur Ahlussunnah wal Jamaah.

Lahumul Fatihah...

Like Fanpage ULAMA & KIAI Nusantara

Tuesday, July 3, 2018

SUDAH KHATAM KITAB BERAPA KALI?

SUDAH KHATAM KITAB BERAPA KALI?

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
***

Suatu saat, An-Nawawi didebat dan dikritik seseorang terkait akurasi penukilan beliau ketika menukil informasi dari kitab “Al-Wasith” karya Al-Ghozzali. Tidak banyak berdebat, An-Nawawi memberikan jawaban yang cukup menohok sebagaimana ditulis oleh As-Sakhowi berikut ini,

إن الشيخ نوزع مرة في نقل عن ” الوسيط ” فقال: تنازعوني في ” الوسيط ” وقد طالعته أربعمائة مرة؟

“Sesungguhnya syaikh An-Nawawi suatu saat didebat terkait penukilan beliau dari kitab “Al-Wasith” (karya Al-Ghozzali). Beliau berkomentar, ‘Engkau mendebatku terkait (nukilanku) di “Al-Wasith” sementara AKU TELAH MENELAAHNYA SEBANYAK 400 KALI?!’” (Al-Manhal Al-‘Adzbu Ar-Rowiyy, hlm 27).

Kitab “Al-Wasith” dicetak oleh penerbit “Dar Al-Basya-ir Al-Islamiyyah” pada tahun 2015 atas jasa tahqiq Prof. Ali Al-Qorodaghi dalam 9 jilid. Jumlah total halamannya adalah sekitar 5500-an. Jika kita membuang seluruh catatan kaki dan komentar dalam terbitan itu dan menyisakan matan inti “Al-Wasith” saja, lalu kita asumsikan matan inti “Al-Wasith” adalah seperempat jumlah halaman totalnya, maka ketebalan kitab “Al-Wasith” adalah kira-kira 1000-1500 halaman.

Bayangkan, An-Nawawi membaca kitab yang tebalnya sekitar 1000-1500 halaman sebanyak 400 kali!

Dengan keseriusan mengkaji yang sangat luar biasa semacam ini, wajar jika An-Nawawi muncul sebagai ulama yang sangat luas pengetahuannya dan mendalam penguasaan ilmunya. Cobalah dibaca kitab “Al-Majmu’” atau syarah beliau terhadap Shahih Muslim. Pasti akan terasa sedalam dan seluas apa pengetahuan yang beliau miliki.

Keseriusan membaca dan mengkaji kitab lebih dari sekali ini memang sudah menjadi sifat para ulama di berbagai zaman.

Al-‘Imroni, pengarang kitab “Al-Bayan” telah membaca kitab “Al-Muhadzdzab” karya Asy-Syirozi sebanyak 40 kali sampai menghafalnya.

Asy-Syaukani membaca Shahih Al-Bukhari lebih dari 50 kali.

Al-Muzani membaca kitab “Ar-Risalah” karya Asy-Syafi’i dalam kurun waktu 50 tahun.

Dan seterusnya.

Kisah-kisah pembangkit semangat seperti ini banyak sekali bertaburan dalam biografi ulama-ulama besar.

Bagaimana dengan dirimu?
Sudah berapa kali khatam dipelajari kitab yang engkau anggap penting?

Apapun kondisimu, ilmu yang engkau miliki saat ini adalah cerminan kesungguhanmu dalam menuntut ilmu.

اللهم إني أعوذ بك من العجز والكسل
اللهم ارزقنا علما نافعا ورزقا طيبا وعملا متقبلا

Versi Situs: http://irtaqi.net/2018/07/03/sudah-khatam-kitab-berapa-kali/

***
21  Syawwal 1439 H

Sunday, July 1, 2018

MAKAN ENAK DIHISAB DI AKHIRAT?

MAKAN ENAK DIHISAB DI AKHIRAT?

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)

***

Suatu malam -demikian tersebut dalam Shahih Muslim- Rasulullah ﷺ keluar rumah karena kelaparan. Di jalan, secara tidak sengaja beliau bertemu dengan Abu Bakar dan Umar. Ketika Rasulullah ﷺ bertanya alasan mereka keluar, ternyata rasa laparlah yang menyebabkannya.

Akhirnya Rasulullah ﷺ dan kedua Shahabatnya berjalan bersama-sama menuju rumah salah satu shahabat Anshor. Sesampai di sana, yang menemui adalah istri shahabat Anshor tersebut karena suaminya masih mencari air.

Tak lama kemudian, datanglah shahabat Anshor itu. Gembira sekali ia dengan kedatangan ketiga tamu agung itu. Segera saja ia mengambilkan setandan kurma untuk dihidangkan kepada Rasulullah ﷺ dan kedua shahabatnya. Upayanya dalam memuliakan Rasulullah ﷺ dan kedua shahabatnya tidak berhenti di sini. Setelah menghidangkan tandan kurma, segera saja ia mengambil pisau, menyembelih kambing, memasaknya dan menyajikannya untuk disantap tamu-tamunya.

Ketiga hamba Allah mulia tersebut pun menikmati hidangan istimewa itu dengan penuh nikmat sampai kenyang. Setelah selesai maka Rasulullah ﷺ bersabda,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتُسْأَلُنَّ عَنْ هَذَا النَّعِيمِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ الْجُوعُ ثُمَّ لَمْ تَرْجِعُوا حَتَّى أَصَابَكُمْ هَذَا النَّعِيمُ

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Kalian pasti akan ditanya oleh Allah tentang nikmat ini pada hari kiamat! Rasa lapar telah membuat kalian keluar rumah, kemudian sebelum pulang kalian telah mendapatkan nikmat ini” (H.R. Muslim)

Sabda Rasulullah ﷺ ini sesungguhnya adalah menegaskan ayat dalam Al-Qur’an yang berbunyi,

{ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ} [التكاثر: 8]

“Kemudian, sungguh kalian pasti akan ditanyai tentang nikmat (yang diberikan Allah) pada hari itu -hari kiamat- (Q.S. At-Takatsur: 8 )

Mari kita renungkan.

Jika nikmat makan sampai kenyang saja nanti akan ditanyakan oleh Allah, bagaimana dengan nikmat makan yang lebih dari itu?

Bagaimana dengan para hamba yang dalam makan tujuannya bukan sekedar memadamkan rasa lapar tetapi juga pilih-pilih makanan enak, bahkan sengaja hanya mau makan di tempat-tempat tertentu demi mengejar prestise?

Sungguh. Semua nikmat pasti akan dihisab oleh Allah kecuali tiga saja,

Pertama: Sepotong makanan untuk sekedar memadamkan rasa lapar

Kedua: Secarik pakaian untuk sekedar menutup aurot

Ketiga: Kediaman untuk sekedar berlindung dari panas dan dingin.

Ahmad meriwayatkan,

فَأَخَذَ عُمَرُ الْعِذْقَ فَضَرَبَ بِهِ الْأَرْضَ حَتَّى تَنَاثَرَ الْبُسْرُ قِبَلَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَئِنَّا لَمَسْئُولُونَ عَنْ هَذَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ نَعَمْ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ خِرْقَةٍ كَفَّ بِهَا الرَّجُلُ عَوْرَتَهُ أَوْ كِسْرَةٍ سَدَّ بِهَا جَوْعَتَهُ أَوْ حَجَرٍ يَتَدَخَّلُ فِيهِ مِنْ الْحَرِّ وَالْقُرِّ

“…Umar mengambil setangkai kurma kemudian memukulkannya di atas tanah hingga kurma-kurma mudanya berguguran di dekat Rasulullah ﷺ. Lalu dia bertanya, ‘Wahai Rasulullah ﷺ, apakah kita nanti akan ditanya tentang ini pada hari kiamat?’ Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Ya, kecuali tiga hal. Kain perca yang digunakan seseorang untuk menutup auratnya, sepotong makanan untuk menghilangkan rasa laparnya, dan kediaman yang ia masuki untuk berlindung dari panas dan dingin…” (H.R. Ahmad)

Dengan adanya ajaran seperti ini, tidak heran jika shahabat seperti Salman Al-Farisi menolak jika diajak makan yang membuatnya sampai kenyang terus-terusan karena beliau pernah mendengar Rasulullah ﷺ mengatakan bahwa orang yang paling lama kenyangnya di dunia adalah orang yang paling lama laparnya di akhirat!

Kalau begitu, apakah dilarang makan enak, punya pakaian bagus, punya rumah bagus, punya kendaraan nyaman, gadget canggih dan semua kenikmatan duniawi lain selain tiga hal tadi?

Tidak juga.

Hanya saja harus diakui, orang yang mendapatkan nikmat berlebih, pasti hisabnya lebih berat daripada orang yang nikmatnya minimalis.

Yang dituntut Allah kepada seorang hamba saat mendaptkan nikmat adalah bersyukur kepada-Nya. Minimal, jika dia makan sampai kenyang atau makan enak dia mengawali dengan menyebut nama Allah dan mengakhiri dengan memuji-Nya, maka itu sudah cukup dikatakan bersyukur.

Syukur yang paling ideal adalah memaksimalkan penggunaan nikmat itu untuk menyenangkan Allah dan membuatnya menjadi ridha. Setelah makan, energi yang tercipta kemudian diniatkan untuk melakukan ketaatan habis-habisan. Entah itu salat, haji, jihad, membaca Al-Qur’an, berdakwah, membantu meringankan pekerjaan orang dan semua amal salih yang disenangi Allah. Dengan cara itulah kita bisa berharap selamat dari hisab atas nikmat-nikmat yang diberikan Allah.

اللهم اجعلنا من الزاهدين
فإنه لا عيش إلا عيش الآخرة

Versi Situs: http://irtaqi.net/2018/07/01/makan-enak-dihisab-di-akhirat/

***
19 Syawwal 1439 H