Monday, July 30, 2018

USAHA BAPAK (2) KH. ABDUL HANNAN MAKSUM

USAHA BAPAK (2)

Setelah 6 tahun menyelesaikan sekolah dipondok kencong, bapak pamit kekiai zam pengen pindah ke pondok ploso untuk mendalami ilmu nahwu. karena bapak memang sangat mencintai ilmu alat. prinsip bapak: “mboh iso mboh ora penting seneng(entah bisa ataupun tidak yang penting suka).”

Tapi ternyata ternyata niat baik ini tidak diperbolehkan oleh yai zam, dawuh yai: “wes mboten usah.lek pengen mendalami ilmu alat, sampean mbenjeng mulang alfiyah(gak usah kesana, kalau pengen mendalami ilmu alat kamu besok ngajar alfiyah)”.

Bapak sedikit kaget pada awalnya, tapi siap melaksanakan apapun dawuh sang kiai. karena bapak baru lulus, dan baru usia 19 tahun tapi langsung disuruh ngajar Alfiyah yang notabene pelajaran kelas menengah sedikit atas dipondok.

Ketika dijalani, bapak merasakan kebenaran dawuh kiai. “lek ngulang tambahe cepet. meskipun aku akeh ora faham e(dengan mengajar banyak kemajuan dalam pemahaman ilmu alat, meskipun tetap saja lebih banyak yang tidak saya fahami)”.

Bapak mengakui bahwasannya bimbingan guru sangat mempengaruhi kesuksesan santri. tak hanya dalam belajar agama, tapi juga dalam belajar hidup.

Bukan hanya dalam belajar, dimana bapak diberi beberapa wejangan agar ilmunya “laku”. Tapi kiai zam juga memikirkan masa depan bapak, termasuk jodoh.

Bapak dinikahkan dengan ibuk saat usia 27 tahun. disaat bapak masih cinta-cintanya menimba ilmu.

Setelah menikah, abah menetap dirumah mertua sekitar 11 bulan. Meskipun sebenarnya sebelum menikah bapak sudah mengistikhorohi rumah dan tanah mertua hasilnya kurang bagus, tapi tetap berusaha tinggal. Hingga akhirnya setelah sebelas bulan ada beberapa hal yang memaksa untuk pindah. Salah satu penyebabnya adalah mertua yang kadang ikut mengatur santri.

Dalam pengetahuan bapak, bila ada DUA KEPALA dalam satu pondok maka akan RUSAK.

Dengan izin rahasia dari gurunya, bapak pindah kesebelah utara dari rumah mertua. Yaitu disebelah masjid yang sekarang menjadi rumah kami. Disana bapak membangun gubuk ukuran 3,4 meter sebagai tempat istirahat dan menemui tamu, berangkat subuh untuk mengimami dan mengajar hingga malam hari sekitar jam 10 an.

Terus begitu, jalan kaki bolak-balik dari rumah mertua ke masjid untuk mengajar santri selama beberapa tahun.

Setelah tiga tahun berjalan, barulah mertua bapak memahami kenapa bapak berkeras memutuskan pindah. Entah siapa yang menjelaskan, bapak pun tak tahu. Justru setelah faham, sang mertua yang sebelumnya bertahun-tahun menentang keras lalu berbalik mendukung dengan memberikan rumah warisan dari kakeknya ibuk dan sebidang tanah: “Iki tak kekno sampean, dudu bojone sampean(ini saya berikan kepadamu, bukan istrimu _yang notabene anak kandungnya kakek)”.

Dengan tinggal dirumah pemberian mertua, bapak tetap ngaji dimasjid seperti biasa. Hanya, sekarang sudah lebih dekat jaraknya.

Namun, setahun dirumah kakek buyut ternyata dirasa jaraknya masih kurang dekat juga, pelan-pelan bapak mengumpulkan uang untuk membangun rumah. Sedikit demi sedikit, dari hasil usaha tani dan yang lainnya. Disebelah masjid. Agar lebih dekat dengan santri-santri.

Ditahun keempat setelah pindah dirumah kakek, pembangunan rumah baru sudah hampir selesai. Meskipun masih belum ada pintu dan masih belum sempurna, tetap diputuskan untuk pindah kerumah baru.

Bapak bahkan bercerita, harus menyewakan sawah pemberian kakek untuk membeli pintu.

Dirumah baru inilah bapak mulai benar benar bisa menata ekonomi secara penuh dan juga menemani santri lebih dekat.

(Bersambung)

#salamKWAGEAN

No comments:

Post a Comment