Tuesday, August 28, 2018

Habib Munzir menjawab mengenai adab memakai Pengeras suara di Masjid selain adzan

Habib Munzir menjawab mengenai adab memakai Pengeras suara di Masjid selain adzan. Baca sampai tuntas.
---------------
kebahagiaan dan Kesejukan Rahmat Nya semoga selalu menaungi hari hari anda,
Saudaraku yg kumuliakan,
Pengeras suara tidak ada dimasa Rasul saw, maka semua yg tidak ada/ belum ada dimasa rasul saw boleh digunakan jika bermanfaat dan tidak bertentangan dg syariah, dan haram digunakan jika membawa kerugian/keburukan dan atau hal yg tampaknya baik namun bertentangan dg syariah.

Sebagaimana shalat fardhu ditambah misalnya menjadi 6 waktu, hal itu sekilas adalah kebaikan, namun bertentangan dg syariah, maka hal itupun dilarang.

Mengenai pengeras suara, ia hanya alat syiar, dan adzan yg terdengar dari pengeras suara tidak wajib dijawab, karena ia bukan suara manusia, tapi suara alat yg memperbesar suara, sebagaimana siaran langsung di Masjidilharam dalam shalat tarawih kita tak bisa bermakmum pada televisi, karena ia hanya alat penyampai dari siaran tersebut, maka pengeras suara banyak ditentang oleh ulama kita masa lalu, sebabnya menggganggu.

Namun dimasa itu belum banyak suara yg ribut, seperti suara televisi didalam rumah, motor, mobil dll yg itu semua membuat suara adzan muadzin tanpa pengeras suara tak akan terdengar walau hanya beberapa rumah dari masjid. Maka kini pengeras suara diakui oleh Jumhur (mayoitas seluruh madzhab, demikian untuk adzan.)

Mengenai acara lainnya, maka jika bermanfaat bagi masyarakat banyak maka boleh, jika justru masyarakat banyak terganggu (selain adzan) maka hendaknya tak digunakan.

Kita pun acara Majelis Rasulullah SAW setiap malam selasa di Masjid Almunawar, Pancoran, tak menggunakan speaker luar ketika jamaah masih belum memenuhi masjid, kita hanya memakai speaker dalam karena tak mau mengganggu masyarakat.

Namun setelah jamaah semakin banyak hingga memenuhi pelataran masjid hingga mencapai lebih dari 15.000 orang, maka kami menggunakan speaker luar hanya dihadapkan ke jamaah dan ke jalan raya, tidak dihadapkan ke belakang masjid yg merupakan perumahan.

Namun justru hal itu mengundang protes masyarakat, mereka meminta speaker diaktifkan ke belakang masjid pula agar mereka bisa dengar. Maka atas permintaan masyarakat kami mengaktifkannya, dan tentunya hadirin kini mencapai 20.000 muslimin atau lebih.

Demikia pula majelis setiap malam jumat dirumah saya, kita tak menggunakan toa, hanya sound system di rumah, namun dengan semakin banyaknya hadirin dan kini mencapai 15.000 muslimin muslimat, yg memenuhi hingga jalan raya, maka kami konfirmasi pd tetangga apakah mereka terganggu, ternyata tidak ada yg terganggu bahkan senang karena wilayah itu awalnya sepi dan rawan perampok, kini menjadi lebih aman dan kerawanan sirna. Maka kami menggunakan toa.

Namun saya menyesalkan juga jika acara puluhan orang saja namun sudah menggunakan toa, boleh saja jika masyarakat tidak terganggu, namun jika banyak yg terganggu maka hendaknya disampaikan dg baik baik bahwa hal itu mengganggu.

Saya juga menyesalkan beberapa masjid yg menyetel ngaji setengah jam sebelum adzan dengan speaker luar yg sangat keras, sungguh saya tidak mengerti apa maksudnya?  Jika maksudnya membangunkan orang yg tahajjud maka cukuplah dg adzan awal (adzan pertama sebelum adzan subuh), hal itu sunnah dan riwayatnya shahih, adzan awal adalah untuk membangunkan orang tahajjud.

Namun cukuplah dg itu, yaitu membangunkan orang tahajjud, namun jika suara ngaji terus distel 30 menit sebelum adzan subuh, apa tujuannya? Jika tujuannya untuk membangunkan orang tahajjud maka jika ia bangun dan shalat tahajjudpun ia akan sangat terganggu dg suara speaker itu, maka suara speaker itu justru mengganggu orang yg tahajjud, padahal maksudnya membangunkan yg tahajjud.

Lalu setelah orang bangun maka orang itu sangat terganggu kekhusyuannya dg suara itu karena berkesinambungan 30 menit sebelum adzan, yg disaat saat itulah saat terbaik untuk berdoa, dalam keadaan sunyi dan tangis, bisikan tasbih terdengar oleh kita sendiri dalam rukuk dan sujud, namun itu semua buyar dg suara keras dari masjid yg terus tidak berhenti.

Jika hal ini dilakukan dibulan Ramadhan mungkin masih bisa ditoleransi karena orang tidak terganggu, mereka makan sahur, dan yg belum bangun sahur akan bangun untuk sahur,
namun diluar ramadhan hal itu mengganggu, mengganggu orang yg tidak tahajjud dan mengganggu orang yg tahajjud.
namun kembali pada masyarakatnya, jika mereka setuju maka boleh saja.

Untuk masalah anda saran saya anda musyawarah dg beberapa tetangga, jika mereka terganggu pula maka datanglah pada RT atau pengurus masjid, dg baik baik tanpa emosi, sampaikan hal itu, Insya Allah mereka akan mengerti.

Setahu saya sebagian besar negara di dunia tak ada yg berbuat hal ini, di Malaysia, Jordan, Emirate, arab saudi, Yaman, dan banyak lainnya, mereka tak menggunakan toa sembarangan selain adzan dan acara besar.

Dan mengganggu orang lain haram hukumnya.’

Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,
Wallahu a’lam

Allahuma sholi 'ala sayyidina Muhammad nabiyil umiyi wa 'alihi wa shohbihi wa salim

Silahkan tag & share

Saturday, August 25, 2018

Soal Vaksin: Mengenal 3 teori fiqh - istihalah, istihlak dan darurat

Soal Vaksin:
Mengenal 3 teori fiqh - istihalah, istihlak dan darurat

Belakangan ini terjadi kontroversi masalah vaksin yang berasal dari babi. MUI sudah memberikan fatwa dalam hal ini. Saya mendapat banyak pertanyaan mengenai argumentasi fatwa MUI yang membolehkan vaksin berasal dari kandungan babi tersebut karena darurat. Silakan ditanyakan langsung kepada para ulama di Komisi Fatwa MUI. Tulisan saya ini hanya hendak menjelaskan tiga teori yang biasa dibahas dalam literatur keislaman agar kita bisa lebih mudah memahami kontroversi berkenaan dengan babi atau hal haram lainnya.

Fiqih klasik mengenal apa yang disebut dengan istihâlah, yaitu perubahan hukum suatu hal ke hal lain. Dalam kitab standar mazhab Hanafi, Radd Al-Mukhtâr ‘alâ Al-Durr Al-Mukhtâr, disebutkan contoh ekstrem dari aplikasi istihâlah: Bahwa menurut Ibn Abidin, kalau babi tenggelam di laut dan setelah itu tubuhnya hancur, kemudian berubah menjadi garam maka garamnya halal.

Jika najis sudah menjadi abu, tidak dikatakan najis lagi. Garam tidak dikatakan najis  lagi, walaupun sebelumnya berasal dari keledai, babi, atau selainnya yang najis. Begitu pula dianggap suci jika najis jatuh ke sumur dan berubah jadi tanah.

Contoh ekstrem, kotoran sapi yang sudah berubah menjadi tanah liat dan dipakai sebagai bahan batako dinding masjid hukumnya boleh dan tidak najis. Sewaktu masih kotoran sapi berlaku hukum kotoran sapi. Berubah menjadi tanah liat, maka berubah pula hukumnya.

Khamar itu jelas dihukumi haram. Akan tetapi, kalau khamar didiamkan saja selama beberapa waktu, kemudian berubah menjadi cuka, berubah pula status hukumnya karena zatnya sudah berubah pula. Anggur itu halal, tetapi ketika perasan anggur diolah menjadi khamar maka hukumnya haram, dan begitu pula ketika terjadi perubahan berikutnya, saat khamar telah menjadi cuka maka hukumnya pun berubah menjadi halal.

Mazhab Hanafi menggunakan teori istihâlah ini secara mutlak, sedangkan mazhab Syafi‘i lebih berhati-hati. Menurut penjelasan kitab Syarh Al-Muhadzdzab oleh Imam Nawawi, kalau perubahan zat itu melalui proses alami, tanpa melibatkan unsur manusia dan bahan kimiawi lain, teori istihâlah bisa diterapkan. Akan tetapi, kalau perubahan zat itu terjadi karena unsur rekayasa kimiawi dan teknologi pangan, teori istihâlah tidak berlaku dalam mazhab Syafi’i.

Sebagai contoh: Kalau perubahan khamar ke cuka melalui proses alami, mazhab Hanafi dan Syafi'i sepakat istihâlah bisa diterapkan. Akan tetapi, kalau khamar menjadi cuka melalui proses rekayasa dengan ditambahkan cairan ataupun melalui proses kimiawi lain maka cuka tersebut tetap menjadi haram.

Nah, bagaimana soal lemak babi yang kemudian diproses menjadi gelatin misalnya? Mazhab Hanafi akan mengaplikasikan teori istihâlah dan menganggap telah terjadi perubahan dari lemak babi menjadi gelatin. Adapun mazhab Syafi‘i akan mengharamkannya karena proses perubahan itu tidak terjadi secara alamiah, tetapi melalui proses bantuan teknologi.

Yang menarik penjelasan Imam Daud Al-Zhahiri, seperti dipaparkan dalam Tafsir Al-Mawardi, yang diharamkan itu cuma daging babinya, karena secara literal Al-Quran menggunakan frasa “lahmal khinzîr” (daging babi). Itu artinya, Al-Quran seolah-olah mengisyaratkan selain dagingnya babi tidak diharamkan. Ya, memang ini pendapat kontroversial, karena menurut mayoritas ulama, disebut dagingnya saja bukan berarti selain dagingnya menjadi halal. Tetapi, paling tidak kita mencoba untuk bersikap jujur secara ilmiah, betapa ada pandangan lain soal lahmal khinzîr ini, seperti terekam dalam kitab klasik.

Fiqh juga mengenal teori istihlak. Yang dimaksud dengan istihlak adalah bercampurnya benda haram atau najis dengan benda lain yang suci dan halal yang jumlahnya lebih banyak, sehingga menghilangkan sifat najis dan keharaman benda yang sebelumnya najis, baik rasa, warna, maupun baunya.
Ada dua hadis yang menjadi dasar teori istihlak ini. Hadis pertama, ‘Air itu suci tidak ada yang dapat menajiskannya’ (HR Tirmidzi, Abu Daud, An-Nasa’i, dan Ahmad). Hadis kedua, ‘Jika air telah mencapai dua kulah, tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis)’ (HR Daruqutni dan Al-Darimi).

Berdasarkan kedua hadis di atas para ulama menjelaskan bahwa suatu benda najis atau haram yang bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak menyisakan warna atau baunya, maka ia menjadi suci. Jadi, dalam kondisi tertentu air yang najis bisa berubah menjadi suci apabila bercampur dengan air suci yang banyak.

Dari Hadis inilah berlaku aplikasi istihlak: Ketika khamar atau alkohol dimasukkan dalam suatu materi, lalu dimasukkan ke dalamnya berbagai materi yang lain sehingga sifat khamar yang memabukkan itu hilang dan tidak bersisa sama sekali, maka materi tersebut dianggap berstatus halal.

Selain contoh air dua kullah (dimana kotoran kecil menjadi tidak najis karena sudah bercampur dengan air yang jumlahnya lebih banyak), contoh lain soal penggunaan enzim babi dalam vaksin. Kalau ternyata jumlahnya sedikit dan dalam hasil akhir tidak lagi terdeteksi, maka bisa jadi vaksin itu dinyatakan halal melalui teori istihlak ini.

Kalau kedua teori di atas (istihalah dan istihlak) tidak mau kita terima, maka ada satu teori tersisa yaitu teori darurat. Dasarnya adalah ayat di bawah ini:

‘Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai, darah daging babi & binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) padahal ia tidak menginginkannya & tidak melampaui batas maka ia tidak berdosa.”(QS.Al-Baqarah:173).

Pakar Ushul al-Fiqh, Abu Zahrah mendefinisikan darurat sebagai suatu keadaan yang memaksa untuk mengomsumsi sesuatu yang telah dilarang namun dilakukan juga dalam rangka mempertahankan nyawa, atau khawatir akan kehilangan harta atau karena kebutuhan daruri (pokok) seseorang terancam jika dia tidak mempertahankannya kecuali dengan melakukan sesuatu yang dilarang tanpa mengganggu hak orang lain.

Imam Suyuthi menyebutkan kaidah fiqh ini dalam kitabnya al-Asybah wan Nazhair:

‎الضَّرُورِيَّاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُورَاتِ

‘Kondisi darurat itu membolehkan hal-hal yang terlarang”

Harus digarisbawahi bahwa dalam menggunakan teori darurat ini hukum asalnya adalah haram. Namun hukum haram tersebut bisa berubah menjadi halal atau mubah dalam kondisi darurat.  Ulama mazhab Syafi’i sepakat bahwa kondisi darurat itu tidak harus menunggu sampai kematian itu sebentar lagi datang. Karena menjelang sakratul maut tidak ada gunanya lagi makan.

Mereka juga sepakat bahwa seseorang diperbolehkan makan yang diharamkan kalau ia mengkhawatirkan dirinya bisa kelaparan, atau tidak kuat berjalan, atau kuat naik kendaraan atau terpisah dari rombongannya atau tersesat dan lain sebagainya. Atau kalau sampai ia tidak makan kekhawatiran seseorang terhadap munculnya penyakit yang menakutkan adalah sama seperti kekhawatiran datangnya kematian.

Salah satu ukuran darurat itu bisa melalui pertimbangan medis, atau opini dari pakarnya. Disamping itu, yang namanya darurat haruslah bersifat temporer atau sementara. Bila kondisi kembali ke normal, maka berlaku kembali hukum asal, yaitu haram.

Imam Suyuthi menyebutkan kaidah berikutnya:

‎مَا أُبِيحَ لِلضَّرُورَةِ يُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا

Hal lain yang harus diperhatikan, melakukan tindakan dalam kondisi darurat itu hanya sekadarnya saja, tidak berlebihan. Karena kalau sudah berlebih, maka tidak lagi dianggap sekadar memenuhi kondisi keterpaksaan.

Contoh praktis: anda tersedak makanan di kerongkongan dan di samping anda hanya ada khamr, maka anda minum khamr sekadar untuk melancarkan kerongkongan yang tersangkut makanan. Atau anda berada di tengah hutan dan berhari-hari tidak makan, lantas anda menemui babi atau bangkai, maka sekadar untuk mempertahankan hidup, anda boleh mengonsumsinya.

Contoh yang sedang ramai diperbincangkan: kalau anda tidak menggunakan vaksin yang berasal dari babi maka anda bukan saja membahayakan hidup anda tapi juga hidup orang lan yang berinteraksi dengan anda, maka selama belum tersedia jenis vaksin lain, penggunaan vaksin dari enzim babi dibenarkan dalam kondisi darurat, sesuai dengan penjelasan di atas.

Semoga penjelasan tiga teori fiqh di atas bisa bermanfaat.

Tabik,

Nadirsyah Hosen

Thursday, August 23, 2018

MBAH KHOLIL DAN SEGELAS AIR SUSU DI LAUT

MBAH KHOLIL DAN SEGELAS AIR SUSU DI LAUT

Syahdan, Mbah Kholil Bangkalan Madura memanggil tiga santrinya, Mbah Manab (kelak menjadi pendiri Lirboyo) dan dua orang santri lainnya. "Anu Cung, tolong sampean carikan air susu di laut."

Saling pandang sejenak, ketiganya menjawab kompak, "Enggih, Kiai..."

Setelah pamitan mereka langsung berangkat. Dengan bekal keyakinan bahwa dawuh guru walaupun kelihatan mustahil tetap harus dilaksanakan. Selama tiga hari tiga malam mencari di lautan, ternyata hasilnya nihil.

Di tengah keputusasaan ketiganya bermusyawarah. "Bagaimana ini?"

"Lha iya, kalau kita jawab tidak ada berarti kan sama saja mengatakan guru kita tidak tahu, bodoh?" "Seperti beli rokok di toko bangunan," jawab lainnya.

"Wah gini saja, bagaimana kalau kita jawab 'Kami belum menemukan, Kiai,'" kata yang ketiga. Yang akhirnya jawaban ini disetujui dua orang temannya.

Lalu ketiganya sowan kembali ke Mbah Kholil, dan mengatakan kalau belum menemukan.

"Oh gitu. Ayo kalian ikut saya," kata Mbah KH. Kholil singkat.

Kemudian beliau mengajak ke tepi laut. Mengeluarkan gelas yang dibawa dari rumah dan mengambil air laut dengan gelasnya. Aneh bin ajaib, ternyata air laut itu berubah menjadi susu! "Sekarang mintalah kepada Allah keinginan kalian, dengan lantaranku." Ucap Mbah Kholil.

Dua orang santri pertama meminta agar kaya raya. Sedangkan Mbah Manab meminta ilmu yang bermanfaat. Kelak keinginan mereka terkabul. Dua orang santri itu benar-benar kaya raya, namun kekayaannya habis berbarengan dengan meninggalnya. Sedangkan Mbah Manab bisa mendirikian Pondok Pesantren Lirboyo yang santrinya menyebar ke seluruh Nusantara.

Friday, August 17, 2018

HAL-HAL YANG LAYAK DISAMPAIKAN PADA ORANG AWAM DAN YANG TIDAK

HAL-HAL YANG LAYAK DISAMPAIKAN PADA ORANG AWAM DAN YANG TIDAK

1. Asy-Syaikh al-Quthb Abdullah bin Alwi al-Haddad ra berkata, "Dua hal yang tidak boleh disampaikan kepada orang awam dan tidak boleh didengar oleh mereka yaitu: permasalahan aqidah dan hukum yang rumit. Karena jika engkau teliti mereka dalam kedua hal itu, maka engkau tidak akan mendapati shalat mereka sah di dalam mazhab, seperti kesalahan dalam membaca huruf "dhod" (dalam surat al-Fatihah) dan lain-lainnya. Bahkan jika perbuatan mereka masih dapat dipertimbangkan di dalam mazhab, maka tinggalkanlah mereka dalam kondisi mereka itu (jangan diperingatkan), sebab jika engkau memberatkan mereka, maka tidak akan mendapatkan dari mereka yang dikehendaki. Begitu juga dalam masalah aqidah, janganlah menyampaikan masalah yang rumit sedikit pun kepada mereka. Bahkan biarkanlah mereka mengucapkan, Allah bersama kami, Allah memandang kami, atau ucapan yang seperti itu', maka cukuplah bagi mereka hal itu.

2. Al-Imam al-Ghazali ra. berkata, "Tidak diperbolehkan berbicara panjang lebar tentang hakikat ilmu yang rumit kepada orang awam. Tetapi hendaknya berbicara kepada mereka cukup pada pelajaran ibadah, amanah dalam usaha yang menjadi kebiasaan mereka, dan memenuhi hati mereka dengan rasa harap dan takut terhadap surga dan neraka, seperti yang disebut oleh Al-Qur'an."

3. Beliau berkata, "Khususnya, janganlah membuka pembahasan suatu masalah terhadap orang-orang awam, karena hal itu dapat merusak pekerjaan mereka yang dengannya menopang hidup makhluk dan mempermudah kehidupan orang-orang khusus."

4. Di dalam kitab al-Hikam al-Haddadiyyah disebutkan, "Hendaknya pembicaraan seorang alim kepada kebanyakan orang hanya seputar tiga hal:
a) mengingatkan nikmat.
b) terus menerus dalam berbuat taat.
c) menjauhi perbuatan maksiat.
Setiap orang yang berilmu yang bebicara kepada orang awam di luar tiga hal ini, maka dia adalah penebar fitnah."

5. Al-Imam Idrus bin Umar al-Habsyi, semoga Allah memberi manfaat melaluinya, berkata, "Tidak ada yang lebih bermanfaat bagi manusia di zaman ini melebihi pembicaraan mengenai tanda-tanda kebesaran Allah dan jalan hidup para pendahulu yang saleh. Pembicaraan mengenai tanda-tanda kebesaran Allah dan nikmat-Nya akan bermanfaat dan membawa mereka bersyukur kepada Allah Swt.. Sedangkan berbicara mengenai jalan hidup para pendahulu yang saleh, akan membawa mereka untuk mengikuti dan meneladani mereka." (al-Manhaj as-Sawy: 321)

اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه اجمعين

Saturday, August 11, 2018

Definisi dan Hukum Kurban

Definisi dan Hukum Kurban

Kurban adalah jenis hewan tertentu yang disembelih mulai hari Nahr (10 Dzulhijjah) sampai akhir hari Tasyríq (13 Dzulhijjah) dengan tujuan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah). Menurut madzhab Syafi’i hukum berkurban adalah sunah ‘ain bagi yang tidak memiliki keluarga dan sunah kifáyah bagi setiap anggota keluarga yang mampu. Sunah kifáyah adalah kesunahan yang sifatnya kolektif. Artinya, jika salah satu anggota keluarga sudah ada yang melakukannya, maka sudah dapat menggugurkan hukum makruh bagi yang lainnya. Kurban bisa menjadi wajib apabila dinadzari.

Syarat Berkurban

Kurban menurut syari'at memiliki beberapa ketentuan yang harus dipenuhi sebagai berikut:

Hewan yang dijadikan kurban tergolong jenis an’âm (binatang ternak), yaitu unta, sapi, kerbau dan kambing. Boleh berkurban dengan hewan jantan ataupun betina. Namun lebih utama berkurban dengan hewan jantan, karena dagingnya lebihenak.Untuk jenis domba harus sudah tanggal giginya (Jawa: powel) pada usia setelah enam bulan ataupun mencapai usia satu tahun, meskipun belum mengalami kondisi demikian. Untuk jenis sapi dan kambing kacang harus sudah mencapai umur dua tahun. Sementara untuk jenis unta disyaratkan mencapai usia 5 tahun.Satu ekor kambing hanya boleh dijadikan kurban untuk satu orang mudlahhî (pihak yang berkurban). Sedangkan satu ekor unta, sapi dan kerbau mencukupi untuk tujuh orang yang berkurban.  Hewan kurban tidak mengalami cacat yang dapat mengurangi kuantitas  daging atau anggota tubuh lain yang biasa dikonsumsi. Dengan demikian tidak mencukupi hewan yang terlalu kurus, terpotong telinganya, pincang kakinya dan lain sebagainya. Penyembelih (mudlahhî atau wakilnya) harus niat kurban saat menyembelih. Sedangkan kurban nadzar tidak disyaratkan niat.

Contoh lafad wakil ketika menyembelih hewan kurban:

بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ فُلاَنٍ

Cacat yang ditolelir dan yang bermasalah dalam kurban

Salah satu dari syarat hewan kurban adalah tidak memiliki cacat yang dapat mengurangi daging atau anggota tubuh lain yang dikonsumsi, semisal :

 Buta sebelah matanya. Penyakitan.  Pincang.Terlalu kurus. Hamil.

Apabila tidak mengurangi daging atau anggota tubuh lain yang dikonsumsi, seperti terpotong tanduknya, dikebiri buah zakarnya, dan lain sebagainya, maka tetap mencukupi dijadikan sebagai hewan kurban.

Waktu Pelaksanaan Kurban

Waktu untuk melaksanakan kurban dimulai dari terbitnya matahari tanggal 10 Dzulhijjah sekira melewati masa yang memungkinkan untuk melakukan shalat dua raka’at dan dua khutbah sesuai standar umum, dan berakhir sampai tenggelamnya matahari tanggal 13 Dzulhijjah.

Bila dilakukan di luar waktu tersebut, maka tidak sah sebagai kurban dan hanya menjadi sedekah biasa. Hal ini dalam persoalan kurban sunah. Sedangkan untuk kurban nadzar, bila disembelih setelah tenggelamnya matahari tanggal 13 Dzulhijjah, maka sah sebagai kurban dengan status qadla’.

Alokasi Daging Kurban

Daging kurban wajib (nadzar) seluruhnya harus disedekahkan dan diberikan dalam keadaan mentah. Bagi mudlahhî dan

keluarga yang wajib ia nafkahi tidak diperbolehkan memakan sedikitpun. Sedangkan untuk kurban sunah, yang  wajib disedekahkan adalah kadar yang memiliki nominal menurut pandangan umum (seperti 1 ons daging) dan wajib diberikan dalam keadaan mentah. Namun demikian, bagi mudlahhî dianjurkan untuk makan daging kurban sekedarnya saja dalam rangka tabarrukan (mencari berkah) dan menyedekahkan sisanya.

Status daging kurban yang diberikan kepada faqir miskin adalah hak milik secara penuh, sehingga bagi faqir miskin boleh mengalokasikan daging kurban secara bebas. Sedangkan status daging kurban yang diberikan kepada orang kaya adalah ith’am (hidangan), sehingga hanya boleh dikonsumsi atau disedekahkan dan tidak boleh dijual.

Catatan: Orang kaya adalah orang yang tidak berhak menerima zakat, yaitu orang yang punya harta atau usaha yang mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Fakir miskin adalah kebalikan orang kaya.

Ketentuan Hewan Yang Disembelih

 Hewan yang hendak disembelih dalam kondisi normal (hayat mustaqirrah), sehingga tidak sah menyembelih hewan dalam keadaan kritis karena sakit atau terluka sekira gerakannya tidak beraturan layaknya hewan yang baru disembelih; Memotong saluran pernafasan (al- hulqûm/ trachea) dan saluran pencernaan (al-marî'/ esofagus) dengan sempurna.

Catatan:           Penyembelihan            harus dilakukan dengan sekali. Sehingga apabila di tengah-tengah prosesi penyembelihan, pisau terlepas sebelum sempurna memutus dua saluran tersebut, maka tidak sah kecuali secara seketika pisau digoreskan kembali kepada saluran yang belum sempurna terpotong.

 

Ketentuan Alat Penyembelihan

Tajam. Maka tidak sah menggunakan pisau tumpul; Bukan berupa gigi, kuku dan tulang.

Ketentuan Orang Yang Menyembelih

 Islam;Tamyiz (Jawa: mbeneh); Berakal sehat.

Kesunahan Menyembelih

Membaca   basmalah,       shalawat          dan takbir;Membaca do’a

بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ هذَا مِنْكَ وَاِلَيْكَ فتَقَبَّلْ مِنِّي / مِنْ فُلاَنٍ

Dilakukan pada siang hari;Penyembelih dan hewan kurban menghadap ke arah kiblat;Hewan dalam posisi tidur miring, bersandar pada tubuh bagian kiri serta kepala didongakkan;Memotong pembuluh darah yang berada di kanan-kiri saluran pernafasan;Mempertajam alat yang digunakan untuk menyembelih;Pisau tidak sampai mengenai nakhâ’ (Saraf yang berada dalam leher yang berpusat dari tulang iga hingga otak) ;Tidak sampai memutus kepala;Mempercepat proses penyembelihan.

Perbedaan Kurban Dan Akikah

Kurban

Akikah

Pelaksanaanya pada tanggal 10-13 Dzulhijjah

Pelaksanaanya tidak dibatasi tanggal 10-13

Dzulhijjah

Daging kurban wajib diberikan kepada faqir miskin dalam bentuk mentah

Daging akikah boleh diberikan kepada faqir miskin dalam bentuk matang,

bahkan lebih baik

Daging kurban yang diberikan kepada orang kaya hanya boleh dikonsumsi atau disedekahkan dan tidak

boleh dijual

Daging akikah yang diberikan kepada orang kaya boleh dijual

Selain hal-hal di atas, kurban dan akikah memiliki ketentuan yang sama.

إعانة الطالبين - (ج 2 / ص 382)

(قوله: وهي) أي العقيقة. وقوله: كضحية أي في معظم الاحكام وهو الجنس، والسن، والسلامة من العيوب، والنية، والاكل والتصدق، والاهداء، والتعين بالنذر أو بالجعل كأن قال: لله علي أن أعق بهذه الشاة، أو قال: جعلت هذه عقيقة عن ولدي فتتعين في ذلك، ولا يجوز حينئذ الاكل منها رأسا. وتفارق الاضحية في بعض الاحكام وهو أنه لا يجب إعطاء الفقراء منها قدر متمول نيئا، وفي أنه إذا أهدى منها شيئا للغني ملكه، وفي أنها لا تتقيد بوقت بخلاف الاضحية في جميع ذلك

Gunung kelud dan yai hannan

Sebelumnya saya ingin mengucapkan turut berduka cita untuk seluruh korban gempa bumi yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, khusus nya di Lombok, NTB. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rooji'un.

Dan berbicara soal bencana, masih teringat kejadian 5 an tahun lalu saat Gunung Kelud meletus, tepatnya tanggal 13 Februari 2014 lalu.
Malam saat kejadian itu, pintu rumah bagian bawah sudah di tutup. Dan tanpa pikir panjang saya dan mas mas yang panik mengetuk pintu guna memberi info akan kejadian itu pada ibuk bapak (yang di jam itu beliau sudah tertidur). Ibuk yang pertama bangun dan membuka pintu. Kemudian kita berencana membangunkan abah, karena yaa menurut kita ini kabar yang penting dan abah harus tahu (dan mungkin abah harus ikut panik juga). Saya masuk ke kamar abah dan membangunkan;

"Bah, Gunung Kelud meletus". Infoku

"Oooh iya". Jawab abah dengan tenang.

" .............. ". Saya menunggu dawuh / instruksi beliau selanjutnya, tapi abah malah melanjutkan 'merem' nya.

"Apa nggak di suruh baca apa apa gitu bah, atau kang kang santri suruh baca apa gitu?". Tanyaku karena masih belum yakin dengan ekpresi abah yang woles kayak tidak terjadi apa apa.

"Nggak usah (ngumpulin santri) cukup baca bismillahi masyallah dst". Pungkas abah sambil kemudian melanjutkan tidur nya.

Di ke esokan hari nya Abah dawuh:
"Tidak perlu khawatir, pokok selama setiap ba'da subuh dan ba'da maghrib ajek (istiqomah) membaca Bismillahi-masyaAllah-La-Yasuuqul-Khoiro-IllaAllah dst di baca 3x. Insyallah daerah nya bakal aman dari berbagai musibah. Insyallah".

Kwagean. 11 Agustus 2018.
------------------
Untuk kalimat lengkap nya sebagai berikut:
بِسمِ اللهِ ماشاءَللهُ لايَسُوقُ الْخَيْرَ إلاّ الله
بِسمِ اللهِ ماشاءَللهُ لا يَصْرِفُ السُّوءَ إلاّالله
بِسمِ اللهِ ماشاءَللهُ ماكَانَ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ الله
بِسمِ اللهِ ماشاءَللهُ لاحَولَ ولاَقُوَّةَ إلّابِاللهِ
Di baca 3x sehabis sholat subuh dan sehabis maghrib.
____________

Cuma berbagi saja. Siapa tahu ada manfaat nya. Hehe

Pic: Sepulang Ziarah bersama di makam ibuk tiap jumat pagi.

Friday, August 3, 2018

Kontroversi Bacaan Doa diantara Dua Sujud

Kontroversi Bacaan Doa diantara Dua Sujud

Saya ditanya oleh seorang kawan di medsos mengenai meme yang viral di whatsapp group tentang kesalahan bacaan doa saat duduk diantara dua sujud dalam shalat. Ada juga yang mengirimkan kepada saya video seorang Ustad yang mengatakan tambahan kata wa’fu’anni itu hanya bikinan ulama Indonesia.

Pertama, gambar yang beredar itu terlalu semangat sampai mencoret juga kata wa’afini. Padahal kata wa’afini ini terdapat dalam hadits riwayat Sunan Abi Dawud. Jadi seharusnya jangan ikut dicoret. Mungkin terlalu semangat mau nyunnah kali yah 🙂

Kedua, mayoritas ulama mengatakan duduk diantara dua sujud itu termasuk rukun shalat, namun membaca doa diantara dua sujud itu sunnah. Artinya, gak bacapun gak masalah. Shalatnya tetap sah. Kalau mau berdo’a dianjurkan kita mengikuti contoh yang diajarkan Nabi saat dalam posisi duduk diantara dua sujud. Namun bukan berarti baca doa lain itu salah.

Lagipula ternyata riwayat Haditsnya beraneka ragam dan para ulama juga berdiskusi mengenai statusnya. Ada yang bilang yang sahih itu adalah riwayat yang mengatakan berdoa cukup dengan kalimat Rabbighfirli saja. Ulama lain menerima riwayat yang mengindikasikan juga boleh berdoa lebih panjang dari kalimat pendek itu.

Akhirnya Imam Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh Muhazzab (3/437) menggabungkan redaksi yang berbeda itu dan merangkum tujuh kata, yaitu allahummaghfirli warhamni wa ‘afini wajburni warfa’ni wahdini warzuqni.

‎وأما حديث ابن عباس فرواه أبو داود والترمذي وغيرهما بإسناد جيد ، ورواه الحاكم في المستدرك وقال : صحيح الإسناد ، ولفظ أبي داود { اللهم اغفر لي وارحمني وعافني واهدني وارزقني } ولفظ الترمذي : مثله لكنه ذكر " { وأجرني وعافني } " وفي رواية ابن ماجه ( وارفعني ) بدل ( واهدني ) ، وفي رواية البيهقي { رب اغفر لي وارحمني وأجرني وارفعني وارزقني واهدني } فالاحتياط والاختيار : أن يجمع بين الروايات ويأتي بجميع ألفاظها وهي سبعة { اللهم اغفر لي وارحمني وعافني وأجرني وارفعني واهدني وارزقني }

Lantas bagaimana dengan tambahan kata wa’fu’anni? Benarkah tidak nyunnah kalau memberi tambahan satu kata dalam doa saat duduk diantara dua sujud?

Saya sarankan selain Pak Ustad itu buka kitab hadits, juga sebaiknya buka kitab fiqh. Ahli hadits itu apoteker, sedangkan ahli fiqh itu ibaratnya dokter. Apoteker tahu kandungan obat, namun hanya dokterlah yang punya kapasitas mendiagnosis penyakit dan menuliskan resepnya. Kalau da’i gimana? Yah ibaratnya perawat aja deh, bagian yang membantu dan mengingatkan pasien sudah minum obat belum. Ini tidak bermaksud merendahkan salah satu profesi di atas, hanya sekedar membuat perumpamaan siapa yang berhak mengambil kesimpulan suatu masalah.

Mari kita ngaji berbagai kitab fiqh dalam masalah ini.

Kitab semisal Ghayah Al-Muna karya Syaikh Muhammad bin ‘Ali Ba ‘Athiyyah Al-Hadhrami Ar-Ru’ani atau Kasyifatus Saja karya Syekh Nawawi al-Bantani (yang kedua kitab ini merupakan Syarh dari Kitab Safinah) sudah menyebutkan mengenai tambahan “wa’fu’anni” tersebut.

Misalnya Imam Nawawi al-Bantani dalam Kasyifatus Saja menjelaskan:

‎قال الشبراملسي: وقد جزم ابن المقري بعدم وجوب الاعتدال والجلوس بين السجدتين في النفل اهـ وأكمله أن يقول: رب اغفر لي وارحمني واجبرني وارفعني وارزقني واهدني وعافني واعف عني. قوله: رب اغفر لي أي استر ما وقع من ذنوبي وما سيقع منها. وقوله: وارحمني أي رحمة واسعة. وقوله: واجبرني أي أغنني واعطني مالاً كثيراً وهو من باب قتل. وقوله: وارفعني أي في الدنيا والآخرة. وقوله: وارزقني أي رزقاً واسعاً، ومحل جواز الدعاء بذلك إن قصد الرزق من الحلال أو أطلق وإلا حرم.

‎وقوله: واهدني أي لصالح الأعمال. وقوله: وعافني أي سلمني من بلايا الدنيا والآخرة. وقوله: واعف عني أي امح ذنوبي، ويأتي في الضمائر المذكورة بلفظ الإفراد ولو إماماً لأن التفرقة بينه وبين غيره خاصة بالقنوت، قال السويفي في تحفة الحبيب: ويسن للمنفرد وإمام محصورين رضوا بالتطويل أن يزيدوا على ذلك: رب هب لي قلباً تقياً من الشرك برياً لا كافراً ولا شقياً

Penjelasan Imam Nawawi al-Bantani tidak bisa dianggap seolah-olah beliau-lah yang membuat-buat tambahan kata “wa’fu’anni” hanya karena beliau ulama Nusantara. Beliau mengutip dari ulama lain yaitu Imam Asyibromalisi yang memberi tambahan kata wa’fu’anni. Bahkan Imam Nawawi al-Bantani juga mengutip doa tambahan lainnya dari kitab Tuhfah al-Habib atau yang biasa dikenal dengan Hasyiah al-Bujairimi ‘alal Khatib yang mengomentari kitab al-Iqna’. Ini tambahan doanya:

Rabbi Habli qalban taqiya minas syirki bariyyan la kafiran wa la saqiyyan (Tuhanku, berikan untukku anugerah hati yang takwa, bebas dari syirik, tidak kufur, dan tidak celaka).

Penjelasan lebih lanjut kita temui di kitab-kitab besar dalam mazhab Syafi’i berikut ini.

Kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj (1/518)

كما في السجود أخذا من الروضة ( قائلا : رب اغفر لي وارحمني وأجبرني وارفعني وارزقني واهدني وعافني ) للاتباع روى بعضه أبو داود وباقيه ابن ماجه .

وقال المتولي : يستحب للمنفرد : أي وإمام من مر أن يزيد على ذلك رب هب لي قلبا تقيا نقيا من الشرك بريا لا كافرا ولا شقيا وارفعني وارحمني من زيادته على المحرر ، وأسقط من الروضة ذكر ارحمني وزاد في الإحياء بعد قوله وعافني واعف عني وفي تحرير الجرجاني يقول رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم إنك أنت الأعز الأكرم

Dianjurkan saat shalat sendiri atau sebagai Imam yang tidak memberatkan jamaahnya untuk menambah doa saat duduk di antara dua sujud dengan kalimat:

Rabbi Habli qalban taqiyan naqiyan minas syirki bariyyan la kafiran wa la saqiyyan, warfa’ni warhamni

(Tuhanku, berikan untukku anugerah hati yang takwa, suci-bebas dari syirik, tidak kufur, dan tidak celaka. Tuhanku, angkatlah derajatku dan turunkan rahmat-Mu bagiku)

Bahkan disebutkan dalam teks di atas bahwa ada tambahan doa lainnya dari Imam al-Jurjani.

Kitab karya ulama besar mazhab Syafi’i yang bernama Imam Ramly ini memberi info menarik bahwa yang memberi tambahan kata wa’fu’anni itu adalah Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya.

Jadi, jelas tambahan kata wa’fu’anni bukan bikinan ulama Indonesia. Ulama pesantren tidak mengada-ngada. Semuanya jelas ada rujukannya.

Mari kita cek langsung pada kitab Ihya. Saya menemukannya di Juz 1, halaman 155:

‎وأن يقول سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى ثَلَاثًا فَإِنْ زَادَ فَحَسَنٌ إِلَّا أَنْ يَكُونَ إِمَامًا
‎ثُمَّ يَرْفَعُ مِنَ السُّجُودِ فَيَطْمَئِنُّ جَالِسًا مُعْتَدِلًا فَيَرْفَعُ رَأْسَهُ مُكَبِّرًا وَيَجْلِسُ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ قَدَمَهُ الْيُمْنَى وَيَضَعُ يَدَيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَالْأَصَابِعُ مَنْشُورَةٌ وَلَا يَتَكَلَّفُ ضَمَّهَا وَلَا تَفْرِيجَهَا
‎وَيَقُولُ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَارْزُقْنِي وَاهْدِنِي وَاجْبُرْنِي وَعَافِنِي وَاعْفُ عني

Klop kan? 🙂

Kitab Hasyiyah al-Jamal (1/380) juga menyebutkan bahwa tambahan wa’fu’anni itu berasal dari Imam al-Ghazali. Bukan cuma itu, tambahan doa yang dianjurkan dibaca saat duduk diantara dua sujud, menurut kitab ini, termasuk doa sapu jagad: Rabbana atina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah waqina ‘azaban nar. Simak kutipan berikut:

‎زاد في الإحياء واعف عني، ويستحب للمنفرد وإمام من مر أن يزيد رب هب لي قلبا تقيا نقيا من الشرك بريا لا كافرا ولا شقيا وفي تحرير الجرجاني رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم إنك أنت الأعز الأكرم ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار.

Kitab fiqh lainnya yang lazim digunakan sebagai standar rujukan yaitu Hasyiah Qalyubi (1/184) juga mencantumkan tambahan kata wa’fu’anni, plus dengan tambahan doa lainnya, yang sudah disebutkan di kitab-kitab sebelumnya, seperti yang saya cantumkan teksnya di bawah ini:

‎وَاعْفُ عَنِّي. رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَتَجَاوَزْ عَمَّا تَعْلَمُ إنَّك أَنْتَ الْأَعَزُّ الْأَكْرَمُ، رَبِّ هَبْ لِي قَلْبًا تَقِيًّا نَقِيًّا مِنْ الشِّرْكِ بَرِيًّا لَا كَافِرًا وَلَا شَقِيًّا

Sebagai pamungkas, biar sedap rasanya, kita kutip juga keterangan Syekh bin Baz dalam Fatwanya:

‎ثم يرفع من السجدة قائلاً: (الله أكبر) ويجلس مفترشاً يسراه ناصباً يمناه، فيضع يده اليمنى على فخذه اليمنى أو على الركبة باسطاً أصابعه على ركبته، ويضع يده اليسرى على فخذه اليسرى أو على ركبته ويبسط أصابعه على ركبته هكذا السنة، إذا جلس بين السجدتين يضع اليمنى على فخذه اليمنى أو ركبته اليمنى، ويضع اليسرى على فخذه اليسرى أو ركبته اليسرى، ويقول: رب اغفر لي.. رب اغفر لي.. رب اغفر لي كما كان النبي يقول ﷺ، ويستحب أن يقول مع هذا: اللهم اغفر لي، اللهم اغفر لي، وارحمني، واجبرني، وارزقني، وعافني، يروى هذا عن النبي ﷺ أيضاً مع قوله: رب اغفر لي.. رب اغفر لي، اللهم اغفر لي، وارحمني، واهدني، واجبرني، وارزقني، وعافني، وإن دعا بالزيادة فلا بأس كأن يقول: اللهم اغفر لي ولوالدي، اللهم أدخلني الجنة وأنجني من النار، اللهم أصلح قلبي وعملي.. ونحو ذلك لا بأس، ولكن يكثر من المغفرة.. من طلب المغفرة فيما بين السجدتين اقتداء بالنبي عليه الصلاة والسلام.

Menurut ulama Wahabi ini mengucapkan tambahan doa dalam duduk diantara dua sujud itu tidak masalah. Misalnya tambahan doa Allahumaghfirli waliwalidayya, atau Allahuma adkhilnil jannah wa anjini minan nar, atau Allahuma ashlih qalbiy wa ‘amaliy, dan doa-doa yang semacam ini tidak mengapa. Intinya adalah doa mohon ampunan  kepada Allah di antara dua sujud dengan mengikuti Nabi Muhammad Saw.

Di atas sudah saya jelaskan bahwa mayoritas ulama memandang sunnah membaca doa saat duduk di antara dua sujud. Bahkan para ulama selain menggabungkan tujuh kata dalam berbagai riwayat hadits, mereka juga memberi tambahan redaksi doa. Dari hanya satu tambahan kata wa’fu’anni, sampai doa satu-dua kalimat yang lebih panjang.

Kenapa sih kita senang sekali mempersoalkan hal-hal yang sekunder seperti ini, dan sibuk menyalah-nyalahkan bacaan doa saudara kita hanya karena ada satu tambahan kata, padahal para ulama tidak mempersoalkannya?

Jadi, jangankan hanya ditambahi satu kata wa’fu’anni. Ditambahan doa lainnya juga boleh. Tidak baca apapun saat duduk diantara dua sujud shalat kita tetap sah. Mohon para Ustad untuk lebih bijak lagi dan tidak mempersoalkan amalan yang sudah lazim dilakukan di tanah air. Yakinlah, para ulama kami itu bijak dan paham literatur keislaman. Wa Allahu a’lam bish shawab.

Tabik,

Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School

Kyai Dan Santri Tempo Doeloe.

Kyai Dan Santri Tempo Doeloe.

" Kita ini beruntung.. " Kata Habib Umar waktu itu, " Guru-guru kita tidak memberikan kita ujian yang berat seperti ujian yang diberikan ulama-ulama terdahulu, karena mereka tahu hati kita lemah, iman kita lemah tidak seperti santri-santri zaman dulu.

Beliau lalu menceritakan kisah Habib Ali Bin Abdullah Assegaf ketika 'jauh-jauh' datang dari Hadhramaut ke Malibar India untuk berguru kepada Habib Ali Bin Abdullah Alaydrus.

Sesampainya ia di depan rumah gurunya dan mengucapkan salam, Sang guru yang waktu itu sedang makan di lantai dua menyuruh Khodamnya melihat siapa yang ada di depan pintu.

" Seorang pencari ilmu dari Seiwun Hadhramaut Habib, namanya Ali Assegaf " jawab Khodamnya.

Mendengar itu Habib Ali Alaydrus mengambil air bekas cuci tangannya dan memberikannya kepada khodamnya.

" Ambil air ini.. Dan siramkan kepadanya.. "

Dengan segera si khodam mengambil air kobokan itu dan menyiramkannya ke tubuh Habib Ali Assegaf dari lantai dua.. Mbyuurrr...

Setengah jam kemudian Habib Ali Alaydrus memanggil khodamnya lagi.

" Coba lihat.. Apakah orang itu masih ada di bawah.. "

Khodamnya melihat ke bawah dan ternyata pemuda itu masih berdiri mematung di depan pintu. Malahan ia masih menunduk penuh tadhim.

" Masih Habib.. Dia masih ada di bawah.. " jawab khodamnya

" Sekarang.. Bukakan pintu untuknya.." ujar Habib Ali Alaydrus.

Berkat ketulusan dan keteguhannya itu, kelak Habib Ali Assegaf menjadi salah satu murid kesayangan Habib Ali Alyadrus.

Sebagian ulama terdahulu memang mempunyai cara tersendiri dalam menguji keteguhan dan ketulusan santri-santrinya.

Tentunya cara-cara 'aneh' yang mereka tempuh dalam mendidik tak lepas dari maksud dan tujuan yang mulia, yang sering kali tak bisa kita ketahui dengan pemahaman dan cara berpikir kita.

Thursday, August 2, 2018

KURBAN ATAUKAH AQIQAH DAHULU?

KURBAN ATAUKAH AQIQAH DAHULU?

Oleh; Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
***

Hukum menyelenggarakan Aqiqah adalah Sunnah, bukan wajib. Dalil yang menunjukkan adalah hadis yang diriwayatkan Ahmad dari ‘Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda;

مَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

Artinya : “Barangsiapa diantara kalian ada yang suka berkurban (mengaqiqahi) untuk anaknya, maka silakan melakukan. Untuk satu putra dua kambing dan satu putri satu kambing” (H.R.Ahmad)

Seandainya menyelenggarakan Aqiqah wajib, maka Rasulullah ﷺ tidak akan mengaitkannya dengan “mahabbah” (kesukaan). Kalimat ”Barangsiapa diantara kalian ada yang suka“ menunjukkan bahwa seorang mukallaf bisa melakukannya atau tidak. Karena itu, lafadz ini menjadi qorinah (indikasi) bahwa penyelenggaraan Aqiqah hukumnya Sunnah, bukan Wajib.

Adapun Hadis yang menyatakan bahwa anak digadaikan dengan Aqiqahnya, misalnya hadis berikut;

سنن أبى داود (8/ 17)
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى

Artinya : “Dari Samurah bin Jundub bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda: Setiap anak digadaikan dengan Aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur dan diberi nama (H.R.Abu Dawud)

Maka, hadis ini tidak menunjukkan kewajiban Aqiqah tapi hanya menunjukkan Ta’kidul Istihbab (penekanan anjuran) saja, sehingga kesunnahan Aqiqah termasuk sunnah Muakkadah.

Hanya saja waktu penyelenggaraan Aqiqah adalah hari ke-7 dari kelahiran bayi berdasarkan hadis Samurah di atas. Jika belum memungkinkan maka bisa mengambil hari ke-14 atau ke-21 berdasarkan fatwa Aisyah berikut;

مسند إسحاق بن راهويه (3/ 692)
أخبرنا يعلى بن عبيد نا عبد الملك عن عطاء عن أبي كرز عن أم كرز قالت قالت امرأة من أهل عبد الرحمن بن أبي بكر إن ولدت امرأة عبد الرحمن غلاما نحرنا عنه جزورا فقالت عائشة : لا بل السنة عن الغلام شاتان مكافئتان وعن الجارية شاة يطبخ جدولا ولا يكسر لها عظم فيأكل ويطعم ويتصدق يفعل ذلك في اليوم السابع فإن لم يفعل ففي أربع عشرة فإن لم يفعل ففي إحدى وعشرين

Artinya : “Dari Ummu Karz beliau berkata; Seorang wanita dari keluarga Abdurrahman bin Abubakar berkata; Jika istri Abdurrahman melahirkan seorang putra maka kita akan menyembelihkan untuknya seekor unta. Maka Aisyah berkata; tidak, tetapi sunnahnya adalah; untuk putra dua kambing yang setara dan untuk putri satu kambing. Dimasak dalam keadaan sudah dipotong-potong dan tidak dipatahkan tulangnya. Lalu dimakan, dibuat menjamu, dan dishodaqohkan. Hal itu dilakukan pada hari ke-7, jika tidak maka hari ke-14 jika tidak maka hari ke 21” (Musnad Ishaq bin Rahawaih)

Fatwa Shahabat, meskipun bukan dalil, tetapi dalam kondisi tidak ditemukan dalil maka fatwa Shahabat adalah jenis ijtihad yang paling tinggi karena mereka adalah orang yang paling dekat dengan Nabi dan mengerti hadis-hadis beliau. Jadi, fatwa Aisyah ini bisa dijadikan sebagai dasar karena mustahil beliau berfatwa tanpa dasar Nash yang beliau ketahui.

Jika sudah lewat hari ke-21, maka penyelenggaraan Aqiqah tidak disyariatkan karena tidak ada dalil yang menunjukkannya. Tidak bisa diqiyaskan, misalnya menyelenggarakan Aqiqah setiap kelipatan hari ke-7 setelah hari ke-21 (hari ke-28, jika tidak bisa hari ke-35 dst) karena penyelenggaraan Aqiqah termasuk ibadah dan syariat ibadah harus ditetapkan berdasarkan nash, bukan Qiyas.

Jika menyelenggarakan Aqiqah di antara hari ke-7, 14, dan 21 (misalnya hari ke -3 atau ke-9, atau ke-19) maka Aqiqahnya sah, karena penyebutan hari ke-7 pada hadis Samurah adalah pemilihan waktu yang paling afdhol, bukan pengikat keabsahan Aqiqah. Yang semisal dengan ini adalah persoalan pemberian nama. Berdasarkan hadis Samurah, pemberian nama bayi afdholnya hari ke-7, tapi Nabi sendiri memberi nama putranya yaitu Ibrahim pada hari pertama. Karena itu, penetapan hari ke-7 bukan menjadi syarat sah namun sekedar pemilihan waktu yang paling afdhol.

Jadi, tidak ada syariat Aqiqah setelah hari ke-21, apalagi jika sudah baligh. Adapun riwayat bahwa Nabi mengaqiqahi dirinya sendiri setelah masa kenabian, yaitu;

مسند البزار (2/ 345)
حَدَّثنا سهيل بن إبراهيم الجارودي أبو الخطاب ، حَدَّثنا عوف بن مُحَمد المراري ، حَدَّثنا عَبد الله بن المحرر ، عَن قَتادة ، عَن أَنَس ؛ أَن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعدما بعث نبيا.
وحديثا عَبد الله بن محرر لا نعلم رواهما أحد ، عَن قَتادة ، عَن أَنَس غيره وهو ضعيف الحديث جِدًّا ، وَإنَّما يكتب من حديثه ما ليس عند غيره

.
Artinya : Dari Anas; Bahwasanya Nabi saw mengaqiqahi dirinya sendiri sesudah diutus menjadi Nabi (H.R.Al-Bazzar)

Maka ini adalah riwayat yang lemah karena ada perawi yang bernama Abdullah bin Al-Muharror. Al-Bazzar mengatakan; dia Dhaif Jiddan (sangat lemah). An-Nawawi mengatakan; hadis ini bathil, sementara Al-Baihaqy menilainya Munkar.

Jadi, tidak ada syariat Aqiqah setelah baligh sebagaimana tidak ada syariat mengaqiqahi diri sendiri.

Adapun berkurban, maka hukumnya Sunnah Mu-akkad (sunnah yang dikuatkan) berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. Allah berfirman;

{فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ} [الكوثر: 2]

Artinya : Shalatlah untuk Rabbmu dan berkurbanlah (Al-Kautsar;2)

Rasulullah ﷺ bersabda;

سنن ابن ماجه (9/ 276)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

Artinya : “Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda; Barangsiapa memiliki keluasan (kekayaan) dan tidak berkurban maka jangan mendekati tempat shalat kami” (H.R.Ibnu Majah)

Berdasarkan paparan di atas, yaitu hukum sunnahnya menyelenggarakan Aqiqah (bukan wajib),tidak disyariatkannya Aqiqah setelah baligh, tidak disyariatkannya mengaqiqahi diri sendiri, dan Sunnah Muakkadnya berkurban maka lebih tepat jika memilih melakukan kurban tanpa perlu berfikir menyelenggarakan Aqiqah. Wallahu a’lam.

Versi Situs: