Tuesday, January 29, 2019

OLEH OLEH DARI LAMPUNG

OLEH OLEH DARI LAMPUNG

Hampir seminggu kemarin saya dilampung, mengurusi beberapa persyaratan haji. Yaitu tes kesehatan dan membikin paspor.

Pada awalnya saya dianjurkan untuk membikin paspor di kediri, toh paspor buatan mana saja bisa digunakan selama masih dalam masa aktif. Saya sudah berusaha bertanya dan minta tolong beberapa kenalan. Dan ternyata semuanya memberikan solusi yang hampir sama, yaitu bisa dibantu memberi surat rekomendasi namun dengan cerita seolah-olah saya akan berangkat umroh melalui biro dari kenalan saya itu.

Saya sempat mengiyakan, dan akan berangkat ke kantor imigrasi. Namun setelah difikir-fikir kok kayaknya gak pantas, saya mau haji, melaksanakan ibadah, kok ya harus ngapusi dulu dalam prosesnya.

Dengan sedikit sungkan, setelah minta tolong kok malah mengurungkan, saya akhirnya menggagalkan surat rekomendasi dari para kenalan.

Alhamdulillah semua bisa memahami alasan saya. 

Berangkat ke Lampung hari ahad, naik pesawat, yang awalnya saya sempat ragu dan hampir memutuskan melakukan perjalanan darat saja. Saya ragu Karena beberapa hal. Salah satunya adalah kejadian lion air beberapa bulan lalu yang lumayan membikin trauma. Juga, rute pesawat kelampung hari ini tidak ada yang direct(langsung), semuanya harus transit di jakarta.

Waktu lebih lama, biaya juga lebih mahal.

Alasan lain saya berencana melakukan perjalanan darat adalah karena kepingin mencoba tol baru yang sudah nyambung dari jawa timur hingga pelabuhan merak. Ditambah tol bakauheni hingga kota yang dekat rumah mertua.

Sedikit mengulang hobi melakukan perjalanan jauh yang sudah lama tak terlaksana sejak menikah. Hehehe

Namun karena badan kurang fit, akhirnya saya putuskan untuk naik pesawat saja.

Sebagai penguat, sebelum berangkat saya matur kebapak bagaimana agar saya tidak takut dan diberikan keselamatan oleh Allah. Bapak dawuh:”wacakno laqadjaakum(bacakan ayat laqadjaakum)”. “Peng pinten bah(berapa kali?)”, tanya saya. “Sak kongange(sebisanya)”, jawab bapak.

Memang banyak sekali macam doa dari para kiai demi keselamatan. Ada salah satu kiai saya yang memang terkenal suka ngebut, bahkan dalam usia beliau yang sudah sepuh pun masih suka naik motor rx king. Beliau pernah memberikan ijazah untuk membaca sholawat ketika akan bepergian. “Ben selamet(biar selamat)”, dawuh beliau.

Dan alhamdulillah, tambah lagi doa dalam perjalanan kali ini. Saya bacakan sholawat, dan juga laqodjaakum tujuh kali ketika akan terbang dan akan mendarat.

Kembali pada urusan bikin paspor, bukannya saya sok-sokan baik atau suci ketika memutuskan untuk membuat paspor di lampung lewat jalur resmi, namun karena memang bapak saya selalu mengajari kami untuk taat aturan.

Semisal  menggunakan sabuk pengaman ketika naik mobil.

Siapapun yang pernah keluar dengan bapak pasti tahu, setiap akan keluar dari gerbang pondok Kwagean, bapak pasti akan memasang sabuk pengaman. Bahkan meskipun hanya akan keluar ke rumah mbah yang jaraknya satu kilometer.

Dibanyak hal lain, bapak selalu menekankan pada kami untuk berjalan sesuai dengan aturannya.

Sebelum mengakhiri tulisan, saya akan hadirkan cerita(menggunakan redaksi seingatnya) yang saya baca ketika masih remaja dulu, dan kisah ini sangat mengena dalam hati saya hingga saat ini.

“Suatu hari, lewat tengah malam, ada tiga orang pejabat tinggi yang salah satunya adalah menteri. Sang menteri kebetulan yang menyetir mobil.

Ketika lampu rambu-rambu menyala merah, sang menteri menghentikan mobil. Teman yang duduk disebelahnya menyeletuk:’kenapa berhenti, kan tengah malam begini sepi. Gak ada apa-apa’.

Sang menteri menjawab:’peraturan haruslah ditaati. Terutama oleh kita, yang menjadi pejabat tinggi. Memang seharusnya menjadi contoh utama’.”

Memang begitulah, disetiap POSISI yang kita tempati memaksa AKSI yang seharusnya patut.

Semoga kita bisa selalu memberikan aksi yang sesuai dengan hati nurani.

#salamKWAGEAN

APA BEDANYA “SYARAH” DENGAN “HASYIYAH”?

APA BEDANYA “SYARAH” DENGAN “HASYIYAH”?

Oleh; Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)

***

Secara umum bisa dikatakan bahwa “syarah” (الشرح) dan “hasyiyah” (الحاشية) itu bisa saja dibedakan, akan tetapi tetap akan sangat susah dipisah tegas karena memang ada banyak sisi yang beririsan. Karenanya, banyak orientalis Barat yang menganggap dua macam gaya karangan ini sama saja karena begitu tidak mudahnya menemukan titik-titik perbedaan di antaranya keduanya.

Dalam bahasa singkat bisa dikatakan bahwa “syarah” adalah penjelasan dari sebuah kitab “matan”. Adapun “hasyiyah”, ia merupakan penjelasan dari “syarah” itu. Dengan kata lain “hasyiyah” adalah “syarah”nya “syarah”.

Kita ambil contoh umpamanya kitab “matan” Abu Syuja’ (penjelasan definisi “matan” silakan dibaca catatan saya yang berjudul “Mengenal Berbagai Macam Gaya Penulisan Kitab Fikih”). Kitab ini dijelaskan dan diuraikan isinya oleh Ibnu Qosim Al-Ghozzi dalam kitab yang bernama “Fathu Al-Qorib”. Oleh karena kitab “Fathu Al-Qorib” adalah penjelas “matan” Abu Syuja’ maka bisa kita katakan bahwa kitab “Fathu Al-Qorib” adalah kitab “syarah”. Kemudian kitab “Fathu Al-Qorib” ini di”syarah” lagi oleh Al-Bajuri dalam karya yang terkenal dengan nama “Hasyiyah Al-Bajuri”. Oleh karena karya Al-Bajuri itu adalah penjelasan dari sebuah “syarah”, maka karyanya kita golongkan dalam kitab “hasyiyah”. Demikianlah gambaran umum perbedaan antara “syarah” dengan “hasyiyah”.

Adapun perbedaan lebih detail, berikut ini akan dipaparkan karakteristik utama “syarah” dan “hasyiyah” sehingga dengan demikian akan lebih terlihat titik-titik perbedaan dan persamaan di antara keduanya.

“SYARAH”

“Syarah” adalah komentar penjelas (explanation commentary) untuk sebuah kitab “matan”. Lafaz “syarah” dijamakkan menjadi syuruh (الشروح). Ulama yang mengarang kitab “syarah” disebut dengan syarih (الشَّارِح).

“Syarah” melaksanakan tugas “tafshil mujmal” (memerinci yang global), “tabyin mubham” (menjelaskan yang belum jelas), “taqyidul muthlaq” (membatasi yang masih mutlak), “tash-hihul khotho’ (mengoreksi kesalahan), “fakkul ‘ibaroh” (menyibak makna ungkapan), dan “ta’lilat” (memberikan reasoning-reasoning). “Syarah” juga menyajikan “i’tirodhot” (sanggahan-sanggahan/keberatan-keberatan/objections). Kadang “syarah” juga memperkuat penjelasan “matan” dengan cara menyajikan dalil-dalil, istinbath dan wajhul istidlal. Kadang “syarah” juga memperluas bahasan dengan cara membahas “ushul” (dasar-dasar) yang dipakai oleh pengarang matan dalam menurunkan hukum-hukum cabang. Kadang pengarang “syarah” juga mengkritik beberapa cara penyajian yang ditulis oleh pengarang “matan”. Kadang “syarah” juga menonjol dalam memberikan contoh-contoh penjelas (“amtsilah”) dan “syawahid”.

Mengkaji “syarah” adalah tingkatan/level kedua setelah pelajar mengkaji “matan”. Orang yang sudah bisa membuat “syarah” dan sanggup menyajikan “i’tirodhot”, artinya dia sudah mencapai level ulama, karena dia sudah mampu membaca kritis yang sifatnya bertanggungjawab dan berargumentasi. Bahkan bisa dikatakan, orang yang sudah mencapai level men”syarah” sesungguhnya dia sudah merasakan dirinya selevel dengan pengarang kitab yang di”syarah”i sehingga sanggup menyajikan keberatan-keberatan. Karena itulah, orang yang membaca kitab “syarah”, levelnya bukan lagi orang yang sedang menimba ilmu untuk pertama kali, tapi level yang sudah masuk ke alam pikir seorang ulama yang sedang mendebat ulama yang lain dan cara ulama tersebut membaca pikiran ulama lain.

Adapun teknik penulisan “syarah”, maka para ulama menempuh jalan yang berbeda-beda. Ada ulama yang menulis “syarah” dengan cara langsung dicampur dengan “matan”. Untuk kepentingan pembedaan, “matan” hanya ditandai dengan cara diletakkan di dalam kurung. Cara ini dipakai oleh Ibnu Qosim Al-Ghozzi saat mengarang “Fathu Al-Qorib” (“syarah” “matan” Abu Syuja’). Kadang cara yang ditempuh adalah dengan mengutip terlebih dahulu satu kalimat dalam kitab “matan” atau satu paragraf, kemudian baru di”syarah”. Cara ini dilakukan oleh Ibnu Qudamah saat menulis kitab “Al-Mughni” (“syarah” “Mukhtashor Al-Khiroqi”). Terkadang, pengarang sengaja tidak mengutip “matan” secara lafaz, tetapi hanya mementingkan maknanya sehingga yang ditulis juga hanya makna “matan”. Ini adalah cara Al-Mawardi saat mengarang “Al-Hawi Al-Kabir” (“syarah” “Mukhtashor Al-Muzani”) termasuk juga cara Al-Juwaini saat mengarang “Nihayatu Al-Mathlab” (“syarah” “Mukhtashor Al-Muzani”).

Dari sisi tingkat keluasan penjelasan, “syarah” ada yang ringkas (wajiz), pertengahan (mutawassith) dan ada yang panjang lebar (muthowwal/mabsuth).

“HASYIYAH”

“Hasyiyah” (الحاشية)/”note” adalah penjelas “syarah”. Dengan kata lain bisa dikatakan “hasyiyah” adalah “syarah” untuk “syarah”. “Hasyiyah” dijamakkan menjadi “hawasyi” (الحواشي). Ulama yang mengarang kitab “hasyiyah” disebut “muhasysyi” (الْمُحَشِّيْ) dan aktifitasnya disebut “tahsyiyah” (التحشية). Istilah yang sinonom dengan “hasyiyah” atau mendekatinya adalah “ta’liq”/”ta’liqoh”, “qoul ‘ala”, “kalam ‘ala”, “nukat/tankit”, “thorroh/thuror”, dan “taqrir” . “Hasyiyah” biasanya diletakkan pada pinggir kitab. Peletakan dipinggir ini sesuai dengan makna bahasa “hasyiyah” yang memang secara bahasa bisa dimaknai “catatan pinggir”. Kadang hasyiyah juga diletakkan di bawah kitab.

Makna asal “hasyiyah” adalah seperti ini, lalu dikalangan mutaakhirin ada yang memperluas makna istilah “hasyiyah” sehingga sebagian dari mereka ada yang menggunakan istilah “hasyiyah” dengan makna “syarah”. Jadi tidak usah heran jika ada kitab yang dinamai “hasyiyah”, tapi isinya sama dengan “syarah” atau mirip dengan “syarah”. Kadang “hasyiyah” juga langsung disebut “syarah” jika isinya memang seperti “syarah”. “Hasyiyah” kadang juga ditulis hanya untuk mentakhrij ayat, hadis dan “syarah” kata-kata sulit.

Di zaman sekarang, “hasyiyah” kadang juga dimaknai “footnote”. Tapi istilah yang lebih populer untuk “footnote” adalah “hamisy” (الهامش) -yang dijamakkan menjadi “hawamisy”-, bukan “hasyiyah”.

“Hasyiyah” pasti muncul sesudah “syarah”. Tidak mungkin ada “hasyiyah” yang dikarang sebelum “syarah”, karena hakikat “hasyiyah” adalah “syarah” untuk sebuah “syarah”.

Ciri utama “hasyiyah” adalah tidak mengomentari semua ungkapan dalam kitab yang di”hasyiyah”i. Penulis “hasyiyah” hanya mengomentari hal-hal yang dianggap perlu saja. Titik ini menjadi perbedaan terpenting dengan “syarah”, karena “syarah” itu menyajikan seluruh “matan” kemudian dijelaskan, sementara “hasyiyah” hanya menyajikan sebagian saja, tidak semuanya. Sebagai konsekuensinya, “syarah” akan selalu memperhatikan “munasabah” (kesesuaian konteks) antara satu bagian dengan bagian yang lain, sementara “hasyiyah” tidak. Sangat biasa jika dalam “hasyiyah” itu antara penjelas satu hal dengan yang lain terputus sama sekali. Dengan deskripsi demikian, berarti bisa disimpulkan bahwa umumnya “hasyiyah” seharusnya pasti lebih kecil/tipis daripada “syarah” jika yang di”syarah” dan di”hasyiyah”i adalah kitab yang sama.

“Hasyiyah” tidak selalu berupa komentar terhadap “syarah”. “Hasyiyah” bisa juga komentar terhadap “matan”. Hanya saja ciri utama “hasyiyah” tetap terwujud, yakni hanya mengomentari yang dianggap perlu. Tidak mengomentari semua isi kitab.

Umumnya “hasyiyah” ditulis ulama bukan untuk dipublikasikan secara khusus, tetapi untuk koleksi pribadi agar lebih memudahkan mengkaji atau mengajarkan kitab. Memang, kemunculan “hasyiyah” biasanya diawali dari seorang ulama yang mengkaji sebuah kitab, atau mengajarkannya, atau memuroja’ahinya, lalu timbul “khowathir” (lintasan-lintasan ilmu), “thoro-if” (ilmu-ilmu unik), “nukat” (ilmu-ilmu halus), dan “lafatat jamilah” (catatan-catatan yang menarik perhatian nan indah).

Kemudian generasi berikutnya, setelah tahu nilai ilmu “hasyiyah” seperti ini, mereka memandang penjelasannya yang sangat berharga itu terasa sayang jika dibiarkan hanya menjadi catatan pribadi. Dari situ itu, “hasyiyah” tersebut kemudian dipisah-sendirikan dan disebarkan sebagai karya mustaqill. Oleh karena itu, sering kita temui dalam penjelasan karya-karya ulama ungkapan seperti, “lahu hasyiyah ‘ala kadza jurridat fi mujallad” (beliau mengarang “hasyiyah” untuk kitab “X” yang dipisahkan menjadi kitab tersendiri dalam satu jilid).

Berdasarkan paparan di atas, bisa dipahami bahwa dalam konteks tingkat kedalaman ilmu, “hasyiyah” itu umumnya lebih tinggi daripada “syarah”. Karena orang yang menulis “hasyiyah”, sudah pasti telah mengkaji “matan” dan mengkaji “syarah”. Tidak mungkin orang bisa menulis “hasyiyah” jika tidak paham betul apa isi “matan” dan apa isi “syarah”nya. Jadi pengarang “hasyiyah” adalah ulama yang sanggup mengkaji kritis ilmu penulis “matan” dan ilmu penulis “syarah” sehingga kadang-kadang setuju dengan penulis “matan + syarah” dan menguatkannya, kadang-kadang juga bisa tidak setuju dengan penulis “matan +syarah” dan membantahnya. Pengarang “hasyiyah” juga bisa berpendapat untuk menambahkan sejumlah hal yang belum dijelaskan oleh penulis “syarah”. Dengan demikian, pekerjaan penulis “hasyiyah” kalau di zaman sekarang adalah bagaikan seorang editor isi. Hanya saja, kualitas seorang pengarang “hasyiyah” bukan sekedar seperti editor isi formalitas, tapi editor isi yang sangat serius mengkaji paragraf demi paragraf, kalimat demi kalimat, bahkan kata demi kata sehingga sanggup menemukan hal-hal yang bahkan tidak sanggup ditemukan oleh penulis “syarah”.

Oleh karena ketinggian tingkat informasi dalam “hasyiyah” seperti ini, maka hanya pengkaji level “expert” yang bisa “menelan” “hasyiyah”. Untuk pemula jelas akan kesulitan.

Sudah dikenal sejak zaman dulu bahwa pelajar pemula akan dianggap menyia-nyiakan waktu jika langsung mencoba menelaah “hasyiyah”. Hal itu karena ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam “hasyiyah” memang diperuntukkan untuk pengkaji fikih level tinggi. Bagi pemula, seharusnya mereka mempelajari “matan”/muktashor dan menghafalnya, lalu naik ke “syarah”, bukan langsung mengkaji “hasyiyah”. Ahmad bin Hasan Al-‘Atthos (w.1334 H) berkata,

مَنْ قَرَأَ الْحَوَاشِي مَا حَوَى شَيْ

“Barangsiapa (di kalangan pemula) mengkaji “hasyiyah”, maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa”

“Hasyiyah” hanya akan bermanfaat bagi orang yang level keilmuannya sudah tingkat lanjut/advanced, karena hal-hal yang umumnya sudah diketahui oleh pelajar tingkat lanjut tidak akan diterangkan oleh pengarang “hasyiyah”. Pengarang “hasyiyah” hanya akan menerangkan hal-hal yang paling sulit sehingga tetap bermanfaat bagi pelajar tingkat lanjut itu.

Adapun dari sisi fungsinya, -mirip “syarah”-, “hasyiyah” juga melakukan aktifitas “tafshil mujmal” (memerinci yang global), “tabyin mubham” (menjelaskan yang belum jelas), “taqyidul muthlaq” (membatasi yang masih mutlak), “tash-hihul khotho’ (mengoreksi kesalahan), “fakkul ‘ibaroh” (menyibak makna ungkapan), dan “ta’lilat” (memberikan reasoning-reasoning). Dalam “hasyiyah” terkadang juga disajika “ziyadat” (tambahan-tambahan) yang tidak dibahas oleh “syarah”. Jadi bisa juga dikatakan bahwa “hasyiyah” itu sifatmya melengkapi kekurangan “syarah”, mengoreksi penjelasan kelirunya, atau memperjelas ungkapan yang masih ambigu atau sulit dipahami/terpecahkan (mughlaq). Penjelasan lafaz yang dianggap susah ini biasanya menjadi ciri yang menonjol dari “hasyiyah”.

رحم الله علماءنا رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين

Versi Situs: http://irtaqi.net/2019/01/29/apa-bedanya-syarah-dengan-hasyiyah/

***
23 Jumada Al-Ula 1440 H

Saturday, January 26, 2019

Membangun Literasi Al Quran di Tanah Air

Sejarah mencatat, metode belajar baca huruf Al-Qur’an di tanah air selama beberapa dekade atau bahkan lebih satu abad sebelum tahun 1970-an “didominasi” oleh metode turutan (al-Qa’idah al-Baghdadiyah). Materi dalam metode ini dimulai dari pengenalan nama-nama huruf hijaiyah, harakat, hingga bacaan surat Juz Amma (juz 30 Al-Qur’an).

Pengalaman belajar penulis sewaktu kecil juga menggunakan metode belajar itu. Hampir bisa dipastikan, metode ini digunakan oleh sebagian besar umat Islam di tanah air sebelum tahun 1970 atau 1980-an. Di banyak daerah terutama di luar Jawa Tengah, dominasi metode al-Baghaddi itu bahkan berlangsung lebih panjang, menembus tahun 1990-an.

Ciri metode ini adalah penekanan yang kuat terhadap ilmu atau pengetahuan, bukan pada keterampilan (maharah/skill) membaca. Oleh karena itu, pelajaran paling awal dari metode ini adalah pengenalan nama-nama huruf Arab (hijaiyah), bukan dengan cara praktik membaca huruf itu. Materi selanjutnya juga demikian, nama-nama harakat juga dikenalkan secara rinci bergandengan dengan huruf itu (mengeja).

Ketika anak atau pembelajar membaca kata-kata yang ada dalam buku itu maka mereka akan mengeja nama-nama setiap huruf beserta nama harakatnya. Baru kemudian dipelajari bagaimana hasil bacaannya. Sekali lagi, ciri paling khas dari metode ini adalah pendekatan yang kuat terhadap obyek sebagai pengetahuan, bukan sebagai kemampuan.

Implikasinya tentu mudah ditebak. Anak-anak hasil “didikan” metode ini mengetahui dan bisa menyebutkan nama-nama huruf berikut nama-nama harakat yang sedang dibaca dengan baik.Tetapi mereka memerlukan waktu yang lama untuk mencapai kemampuan membaca. Singkatnya, mereka banyak mengetahui tentang huruf-huruf Al-Qur’an tetapi sedikit kemampuan untuk bisa membaca, itu pun setelah belajar cukup lama. Tak sedikit, mereka akhirnya berhenti belajar dan tak mampu membaca Al-Qur’an selama hidupnya.

Kendati demikian harus diakui, jasa metode ini bagi perjuangan melek baca Al-Qur’an di tanah air begitu besar. Betapapun berbagai kelemahan itu, metode ini dicatat dalam sejarah telah melahirkan ulama-ulama besar, para kiai dan tokoh agama, para muallif kitab, para ahli tafsir dan penghafal Al-Qur’an dalam jumlah besar dan dalam waktu yang lama.

Popularitas Qaidah Baghdadiyyah tak terbatas di Indonesia. Di sebagian dunia Islam di luar Indonesia, Qa’idah Baghdadiyyah juga sangat dominan, dan di sebagian dunia Islam yang lain Qa’idah Makkiyah yang banyak digunakan.

Revolusi Qira’ati

Di sisi lain, “dominasi” panjang metode ini mencerminkan suatu keprihatinan yang dalam. Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia tak kunjung melahirkan metode-metode “besar” yang bisa menjadi alternatif atau bahkan pengganti dari metode itu. Tiga puluh tahun paska kemerdekaan RI, muslim Indonesia belum mampu melahirkan metode baca baru yang revolusioner hingga kemudian lahir metode Qiraati.

Lahirnya metode Qiraati pada tahun 1960-70-an di Jawa Tengah menandai sejarah baru dalam perjalanan metode belajar baca Al-Qur’an di tanah air. Metode ini menawarkan paradigma baru yang begitu tegas bahwa membaca Al-Qur’an itu adalah maharahskill atau keterampilan, bukan wawasan, ilmu atau pengetahuan semata. Kedua hal ini harus dibedakan.

Oleh karena itu, metode ini pada praktiknya tidak memperkenalkan di awal nama-nama huruf hijaiyah berikut harakatnya sebagaimana metode lama, al-Baghdadi. Dalam metode ini, anak-anak langsung diajari cara membaca huruf berikut harakat itu tanpa mengejanya. Implikasinya memang benar anak kadang kurang tahu pada waktu awal nama-nama huruf hijaiyah dan nama harakat. Akan tetapi mereka sangat cepat dan tangkas membaca deretan kata-kata itu.

Ini tentu sangat menggembirakan sebab tujuan pembelajaran membaca Al-Qur’an adalah membuat anak mampu membaca Al-Qur’an, bukan membuat anak mampu menghafal nama-nama huruf, harakat, dan mengejanya.

Pencetus metode itu yaitu K.H. Dachlan Salim Zarkasyi dari Semarang memiliki komitmen begitu kuat untuk menjaga ketepatan dan kefasihan bacaan Al-Qur’an di tanah air. Oleh karena itu, di tangan dingin beliau, metode ini melahirkan tradisi dan sistem pembelajaran yang begitu ketat baik dari sisi guru, institusi, maupun disiplin dan tatakrama (adab) santri dalam belajar.

Pada titik itulah, metode yang semula menyebar sangat lambat akibat ketatnya “disilplin” pengajaran Al-Quran itu kemudian lambat laun tersebar. Cabang-cabang Qiraati menjalar di berbagai wilayah Jawa Tengah dan sekitarnya, bahkan kemudian di kenal luas di tanah air dan beberapa negara manca. Namun, pada titik itu pula persoalan krusial muncul dan sempat memengaruhi penyebaran metode itu. Banyak dari para wakil di berbagai daerah itu kemudian mengaku telah melahirkan metode baru. Mereka menulis ulang metode Qiraarti tersebut, mencetak sendiri buku-buku itu, lalu  disebarkan di kalangan mereka dan masyarakat umum dengan nama selain Qiraati.

Ketatnya sistem pengajaran dan organisasi dan mungkin aspek-aspek lain di luar itu (misalnya ekonomi) seringkali menjadi alasan mereka “memutus” ikatan organisatoris dengan Qiraati pusat dan membangun sistem tersendiri. Faktanya, metode-metode lokal yang jumlahnya sangat banyak itu kecenderungannya merupakan susunan ulang dari Qiraati dengan nama yang berbeda.

Pada umumnya, metode-metode “lokal” ini lebih ringkas daripada Qiraati. Menurut penulis, itu justru kekeliruan paling fatal dari para “penerjemah” ulang metode Qiraati, sebab ruh dasar metode ini adalah latihan dan latihan secara berulang (tikrar).

Kita mencacat, jasa dan pengaruh metode ini bagi pembelajaran baca Al-Quran di tanah air dalam tiga atau empat dekade ini begitu kuatnya. Metode ini adalah pelopor, dan sebagian besar metode-metode lain yang lahir sesudahnya memiliki kesamaan prinsip bahkan kemiripan dalam hal detil dengan metode ini, baik itu diakui ataupun tidak. Oleh karena itu, penulis harus memberikan tribute yang besar kepada gagasan besar dari penulis metode ini dan para pemimpin organisasi pembelajaran ini dalam kepeloporannya dalam metode baru baca Al-Qur’an dengan pendekatan skill.

Penghargaan yang tinggi juga patut kita berikan sebab upaya keras mereka untuk menjaga kualitas bacaan Al-Qur’an di Tanah Air.  Penulis tak ragu-ragu untuk menyebut tiga dekade terakhir dari sejarah pembelajaran baca Al-Quran di tanah air sebagai era Qiraati, menggantikan era al-Baghdadi yang telah berjalan begitu lama.Wallahu a’lam. Bersambung ke Booming Iqra’.

Booming Iqra’

Setelah Qira’ati, metode Iqra’ datang kemudian. Metode ini disusun oleh KH. Asad Humam yarhamuhullah dari Kota Gede Yogyakarta. Dari sisi materi dan pendekatan, kedua metode ini, Iqra’ dan Qiraati, bisa dikatakan sama. Namun, metode Iqra’ lebih sederhana dan tak mensyaratkan hal-hal yang detil dan dipandang tidak mudah bagi kalangan awam dalam sistem pembelajaran.

Di tengah ketatnya aturan dari Qiraati, metode Iqra’ yang ditulis sekitar 10 tahun kemudian mencuri perhatian khalayak di tanah air. Popularitas metode ini terutama di luar Provinsi Jawa Tengah menjalar sangat cepat. Iqra jelas menyalip qiraati dalam hal popularitasnya. Inilah jasa sangat besar dari penulis dan penyebar metode ini yaitu gerakan masif pemberantasan buta huruf Al-Qur’an di tanah air.

Hasil anak-anak didik baca Al-Qur’an di era al-Baghdadi dan di masa popularernya Iqra’ sangat berbeda. Kita menyaksikan gejala baru terkait baca Al-Qur’an di tanah air. Anak-anak perkotaan yang mampu membaca Al-Qur’an jumlahnya menjadi sangat besar, berlipat dari masa sebelumnya. Gairah terhadap Al-Qur’an dan kegiatan keislaman juga menguat dengan menjamurnya Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ, pada awalnya TPA) di berbagai pelosok negeri.

Penulis merasa tak perlu membahas hal-hal sensitif mengenai ada atau tidaknya hubungan material dan metodis antara Iqra’ dan Qiraati, termasuk hubungan personal kedua pengarangnya. Yang pasti, penulis menegaskan keduanya memiliki jasa yang sama-sama besar dalam pembelajaran baca Al-Qur’an di tanah air. Penulis begitu terkesan saat menghadiri pemakanan KH. As’ad Humam. Beliau mengalami gerah fisik yang lama, tetapi justru beliau mengukir jasa besar buat umat yang bermanfaat hingga saat ini.

“Kematangan” Metode Yanbu’a

Metode Yanbu’a dikenal sebagai metode baca sekaligus tulis Al-Qur’an. Gagasan menyatukan baca sekaligus tulis itu dalam skala besar merupakan gagasan baru.  Metode ini kendati datang belakangan, sekitar tahun 2004-an begitu dihormati oleh siapapun. Hal ini disebabkan oleh kualitas dan juga “kelas” penulis dari metode ini. Metode ini ditulis (sesuai yang tercantum dalam buku itu) oleh KH. Mumammad Ulinnuha Arwani, KH. Ulil Albab Arwani, KH. M. Manshur Maskan, dkk kendati bisa saja nama besar itu sebenarnya hanya “dipinjam”. Kedua nama pertama adalah putra K. Arwani, “otoritas” dan mentor para huffadz al-Quran di tanah air. Keduanya adalah pengasuh pesantren Yanbu’a yang telah melahirkan puluhan ribu santri huffadz yang tersebar di berbagai wilayah di negeri ini. Banyak sekali pengasuh pesantren Al-Qur’an di Tanah Air merupakan murid dari pesantren ini, atau muridnya murid pesantren ini, bahkan muridnya murid dari murid pesantren ini.

Dari sisi isi, metode Yanbu’a jelas tak berbeda jauh dari Qiraati terutama dari aspek baca Al-Qur’annya. Kekuatan metode ini terletak pada detil pengetahuan dan informasi yang disampaikan terkait praktik tajwid termasuk materi “gharib” yaitu materi-materi terkait kasus “langka” dalam bacaan. Buku itu sepertinya sesuai dengan disiplin tinggi yang ditanamkan terhadap para santri Yanbu’a. Dari sisi materi atau isi, buku ini begitu matang.

Namun, harus pula diakui, materi yang diberikan dalam buku tersebut sangat padat jika di bandingkan metode lain. Implikasinya, porsi latihannya menjadi sangat berkurang sehingga tak mudah bagi kalangan awam, apalagi untuk anak-anak. Menurut hemat penulis, bagi anak didik pada umumnya, latihan itulah yang seharusnya perlu diperbanyak, bukan materi yang dipadatkan.

Statis

Namun, dari sisi paradigma besar, sejarah metode baca al-Qur’an sekitar tiga atau empat dekade terakhir tak mengalami perkembangan berarti. Semua sudah searah dengan Qiraati kecuali “Mutqin” yang mengembalikan prinsip ulum (ilmu) dulu baru maharah (skill) sebagaimana metode al-Baghdadi kendati dengan basis yang berbeda. Mutqin berbasis kuat pada uraian dan pembahasan Ilmu Tajwid.

Oleh karena itulah, penyusun berupaya mendorong metode baru yang bertujuan ke arah isi al-Qur’an yakni mendorong keterampilan baca sekaligus langsung belajar bahasa Arab.

Ini- kendati sangat sederhana- adalah kebaruan penting dalam tujuan. Penyusun berharap karya itu memberikan alternatif dan jangkauan baru dari metode baca Al-Qur’an. Di samping itu, penulis hendak mengembalikan semangat metode skill yang sesungguhnya yakni dengan memperbanyak latihan. Metode ini menjadi sangat ramah dan mudah bagi anak sebab latihan diperbanyak dan penambahan materi berjalan sangat gradual.

Kendati ada tujuan besar yang “menumpang” yaitu sekaligus belajar bahasa Arab, tetapi itu tidak memberatkan anak sebab dilakukan secara sangat gradual dan include dalam materi baca al-Qur’an. (tulisan ini pernah dimuat Majalah Bangkit edisi Maret dan April 2016).

Friday, January 25, 2019

Hikmah Pagi: Ketika Abu Hanifah “Meramal” Suksesnya Abu Yusuf

BincangSyariah.Com – Salah seorang santri Abu Hanifah yang cukup cerdas adalah Abu Yusuf, beliau yatim ditinggal wafat bapaknya ketika beliau masih belia. Ibunya membawa kepada seorang penjahit untuk belajar ilmu menjahit.

“Setiap kali ia pergi ke toko penjahit itu, beliau berhenti di majelis Abu Hanifah. Lalu duduk di sudut majelis itu untuk mendengarkan kajian Abu Hanifah. Setelah diperhatikan ibunya ketika seringnya terlambat datang ke toko, ibunya menemukan Abu Yusuf sudah duduk di majelis Abu Hanifah, ketika kejadian ini terulang berulang kali. Ibunya mendatangi Abu Hanifah sambil marah-marah dan berujar, “Ini anak yatim, kami tidak memiliki apa-apa selain hasil pekerjaanku memintal benang. Oleh karena itu, saya ingin ia belajar menjahit agar bisa membiayai hidupnya. Namun sekarang, engkau telah merusak anak saya!”

Imam Abu Hanifah berkata: “Tenang sabar, Bu. Ia sekarang tengah belajar ilmu agama. Suatu hari nanti, ia akan menjadi seorang yang bisa menyantap Faluzaj (sejenis suguhan kue mewah yang hanya dimakan oleh raja-raja dan orang-orang kaya kala itu).”

Namun ibu Abu Yusuf tidak mempercayai, malah semakin marah. Kemudian berkata: “Engkau orang tua yang sudah ngelantur!” sambil bangkit dan meninggalkan majelis Abu Hanifah.

Sementara itu, hari terus berganti dan Allah taqdirkan Abu Yusuf karena semangatnya belajar, akhirnya beliau menjabat sebagai Hakim Agung (Qadi Al-Qudlat), pada masa kekhalifahan Harun ar-Rasyid.

Suatu hari, ketika Abu Yusuf diundang oleh Harun Al-Rasyid. Dihidangkanlah ke hadapan beliau sebuah kue yang sangat mewah. ia tidak mengenali kue itu karena belum pernah melihatnya seumur hidupnya.”

Harun berkata kepadaku, “Wahai tuan Hakim, cicipilah makanan ini. Tidak setiap hari kue ini dibuatkan untuk kita.”

Abu Yusuf bertanya, “Apa nama kue ini, wahai Amirul Mukminin?” Beliau menjawab : “Ini Faluzaj”. Mendengar ini, Abu Yusuf tersenyum dan termenung ingat perkataan Abu Hanifah. Khalifah bertanya: “Kenapa engkau tersenyum?” Abu Yusuf berkata: “Tidak ada apa-apa, wahai Khalifah.”

Khalifah merayunya: “Beritahukanlah saya.” Maka Abu Yusuf menceritakan kisah dirinya , bahwasanya kyainya dulu Abu Hanifah pernah berkata “Suatu hari nanti, ia akan menyantap Faluzaj (sejenis kue mewah yang hanya dimakan oleh raja-raja dan orang-orang kaya kala itu) di atas periuk yang terbuat dari barang mewah.”

Mendengar kisah ini, Harun Al-Rasyid berkata: “Barang siapa yang menghendaki dunia maka hendaklah dengan ilmu, Barang siapa yang menghendaki akhirat hendaklah dengan ilmu. Barangsiapa yang menghendaki keduanya hendaklah dengan ilmu.”

Semoga Allah merahmati Abu Hanifah, beliau mampu melihat dengan mata hatinya, apa-apa yang tidak terlihat oleh orang lain dengan mata kepalanya.”

Semoga kita ini menginspirasi kita untuk terus semangat belajar ilmu agama yang bisa menyelamatkan di dunia dan akhirat. Amiin Allahumma Amiin

Thursday, January 24, 2019

FADHILAH ISTRI 'MINTA' DULUAN

*FADHILAH ISTRI 'MINTA' DULUAN*

ﺃﺩﺏ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻟﻌﺒﺪ ﺍﻟﻤﻠﻚ ﺑﻦ ﺣﺒﻴﺐ ﺝ ١ ﺹ ٢٩٢ - ٢٩٣ ﺍﻟﻤﻜﺘﺒﺔ ﺍﻟﺸﺎﻣﻠﺔ :

(ﻭﺃﻳﻤﺎ ﺍﻣﺮﺃﺓٍ ﻓﺮﺷﺖ ﻟﺰﻭﺟﻬﺎ ﺑﻄﻴﺐ ﻧﻔﺴﻬﺎ ﺣﺮﻡ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﺪﺭﻫﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺎﺭ، ﻭﺃﻋﻄﺎﻫﺎ ﺛﻮﺍﺏ ﻣﺎﺋﺘﻲ ﺣﺠﺔٍ ﻭﻋﻤﺮﺓٍ، ﻭﻛﺘﺐ ﻟﻬﺎ ﻣﺎﺋﺘﻲ ﺃﻟﻒ ﺣﺴﻨﺔٍ، ﻭﺭﻓﻊ ﻟﻬﺎ ﻣﺎﺋﺘﻲ ﺃﻟﻒ ﺩﺭﺟﺔٍ ﻓﻲ ﺍﻟﺠﻨﺔ!)

_Siapa saja seorang istri yang menawarkan diri untuksuaminya dengan suka-rela, maka: (1) Alloh akan mengharamkan dirinya dari api neraka; (2) memberinya pahala dua ratus ibadah Haji dan Umroh; (3) dicatatkan untuknya dua ratus ribu kebaikan; (4) diangkat untuknya dua ratus ribu derajat di Surga._

(ﻭﺃﻳﻤﺎ ﺍﻣﺮﺃﺓٍ ﺩﺧﻠﺖ ﻣﻊ ﺯﻭﺟﻬﺎ ﻓﻲ ﻓﺮﺍﺵٍ ﻭﺍﺣﺪٍ ﻧﺎﺩﺍﻫﺎ ﻣﻠﻚٌ ﻣﻦ ﺗﺤﺖ ﺍﻟﻌﺮﺵ: ﻟﺘﺴﺘﺄﻧﻔﻲ ﺍﻟﻌﻤﻞ ! ﻓﻘﺪ ﻏﻔﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻚ ﻣﺎ ﺗﻘﺪﻡ ﻣﻦ ﺫﻧﺒﻚ ﻭﻣﺎ ﺗﺄﺧﺮ ﻭﻛﺘﺐ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻬﺎ ﺛﻮﺍﺏ ﻣﻦ ﺃﻋﺘﻖ ﻣﺎﺋﺔ ﺭﻗﺒﺔٍ، ﻭﻛﺘﺐ ﻟﻬﺎ ﺑﻜﻞ ﺷﻌﺮﺓٍ ﺣﺴﻨﺔً !) .

_Dan siapa saja seorang istri yang masuk bersama suaminya dalam satu slimut, maka Malaikat dari bawah 'Arsy memanggilnya, "Mulailah duluan olehmu perbuatan itu (merangsang suami): (1) Maka Allah akan mengampuni untukmu dari dosamu yang telah lalu dan yang akan datang; (2) Dan Allah akan mencatat untuknya pahala seorang yang memerdekan seratus budak; (3) Dan mencatat untuknya dari setiap sehelai rambut dengan satu kebaikan._

(ﻭﺃﻳﻤﺎ ﺍﻣﺮﺃﺓٍ ﻗﺒﻠﺖ ﺯﻭﺟﻬﺎ ﺑﻄﻴﺐ ﻧﻔﺴﻬﺎ ﻓﻜﺄﻧﻤﺎ ﻗﺮﺃﺕ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ‏[ ﺍﺛﻨﺘﻲ ﻋﺸﺮﺓ‏] ﻣﺮﺓً ﻭﻛﺘﺐ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻬﺎ ﺑﻜﻞ ﺁﻳﺔٍ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺧﻤﺴﻴﻦ ﺣﺴﻨﺔً ﻭﺑﻨﻰ ﻟﻬﺎ ﺑﻜﻞ ﻗﺒﻠﺔٍ ﻣﺪﻳﻨﺔً ﻓﻲ ﺍﻟﺠﻨﺔ !)

_Dan siapa saja seorang istri yang mencium suaminya dengan suka rela maka: (1) Dia bagaikan menghatamkan Al-Qur'an (dua belas) kali; (2) Dan dengannya Allah akan mencatat dari setiap ayat dalam Al-Qur’an lima puluh kebaikan; (3) Dan dari setiap ciuman dibangunkan sebuah kota di Surga untuknya._

(ﻭﺃﻳﻤﺎ ﺍﻣﺮﺃﺓٍ ﻗﺒﻠﺖ ﺭﺃﺱ ﺯﻭﺟﻬﺎ ﻭﻣﺸﻄﺖ ﺭﺃﺳﻪ ﻭﻟﺤﻴﺘﻪ ﻛﺘﺒﺎﻟﻠﻪ ﻟﻬﺎ ﺑﻌﺪﺩ ﻛﻞ ﺷﻌﺮﺓٍ ﺣﺴﻨﺔً، ﻭﻏﺮﺱ ﻟﻬﺎ ﺑﻜﻞ ﺷﻌﺮﺓٍ ﻧﺨﻠﺔً ﻓﻲ ﺍﻟﺠﻨﺔ) .

_Dan siapa saja seorang istri yang mencium kepala suaminya, menyisir rambut dan jenggotnya, maka: (1) Allah akan mencatat untuknya pahala kebaikan dengan bilangan setiap sehelai rambut; (2) Dan ditanamkan untuknya dari setiap sehelai rambut dengan pohon kurma di Surga._

_Wallahu a'lam._

Kitab Uqudul Lujain syaikh nawawi albantani

Tuesday, January 22, 2019

Gus Baha'

* Gus Baha'

Saya begitu antusias ketika mendengar bahwa Gus Baha' akan mengadakan seminar di Madura tempo hari lalu. Namun saya sempat mengernyitkan dahi ketika Muhammad Ismail Al-Ascholy (En) mengupdate kabar bahwa ia sedang berada di Surabaya untuk menjemput Gus Baha' di terminal Bungurasih.

" Lah emangnya beliau nggak bawa mobil.. ? " tanyaku heran. " masak.. ? Sekelas beliau ? Aku seakan tak percaya.

" Haha.. Iya , beliau emang orang pe-ngebis-an. Kemana-mana lebih suka naik bis " Jawab En.

Gus Baha' ternyata memang seperti itu orangnya. Bahkan di momen penting seperti akad nikahnya pun Gus Baha' lebih memilih naik bis kelas ekonomi dari rumahnya ke rumah mertuanya di Sidogiri. Beliau memang Sesederhana itu..

Malam itu Gus Baha' nggak jadi ngebis ke Surabaya, katanya gak dibolehin Gus Ghofur. beliau akhirnya mengalah dengan menaiki mobil salah satu muhibbinnya di daerah Tuban. Beliau sampai di Bangkalan sebelum tengah malam. Saya  langsung saja menuju makam Syaikhona Kholil ketika mendapat kabar bahwa beliau sudah sampai disana. Awalnya saya berniat untuk mengaturi beliau masuk ke area dalam makam. Tapi melihat kesederhanaan beliau yang kebangetan itu, sepertinya beliau gak bakal kerso. Betul saja, ketika sampai di Masjid Syaikhona Kholil, saya dan En kesulitan mencari dimana Gus Baha'. Setelah nolah-noleh kesana-sini akhirnya beliau ditemukan juga. Memakai peci hitam miring khas-nya, kemeja sederhana dan jaket putih. Beliau tampak 'nyempil' di tengah-tengah peziarah.

Ketika Beliau selesai berziarah, kami lekas saja duduk mengerubungi beliau. Dan disitu rangkaian percakapan menakjubkan itu dimulai. Gus Baha' mungkin berhasil menyembunyikan kealimannya dibalik penampilan sederhananya itu, tapi ketika beliau berbicara beliau selalu gagal menampakkan bahwa beliau adalah orang biasa. Ketika berbicara Gus Baha' benar-benar bagaikan lautan ilmu yang airnya meluber kemana-mana. Setelah mengetahui bahwa saya baru saja pulang dari Tarim, beliau langsung saja membahas tentang Yaman, Saadah Ba'alawi dan sejarahnya, hingga kritik beliau pada Kitab Ihya' dan pengakuannya bahwa ia nyaris menghafal semua isi juz 3-nya.

Yang membuat saya kaget, Gus Baha' ternyata juga membaca atau bahkan menghatamkan kitab Taujihunnabih yang berisi kumpulan kalam Habib Umar itu. Toh padahal kitab itu bisa dibilang sebagai kitab 'khusus' yang hanya diketahui santri-santri Habib Umar. Entah darimana beliau mendapatkan kitab itu.

Di masjid Syaikhona Kholil petang itu, hampir dua jam kami cangkruan ilmu bersama Gus Baha'. terkadang beliau menukil ibarat-ibarat kitab kuning secara lengkap lewat hafalannya. Saya hanya bisa mengimbangi dengan sekali-kali bertanya atau mengemukakan sebuah maklumat. Dan beliau selalu saja bisa menjawab atau 'sudah tau' dengan faedah yang saya munculkan. Sampai pada obrolan ketika beliau membahas tentang hubungan erat Indonesia dan Yaman. Saya berkomentar :

" salah satu bukti nyatanya gus.. Banyak bahasa-bahasa Hadhramaut yang diadopsi dari bahasa Melayu.. Misalnya صارون (sarung), سليموت (selimut).. "

" oh iya ta.. "? Gus Baha' tampak kaget.

" Enjeh.. Sampai-sampai suatu hari ada pelajar baru yang hendak pergi ke pasar Tarim untuk membeli selimut. Sebelum berangkat ia melihat di kamus bahwa bahasa Arab selimut adalah 'lihaf'. Sesampainya di toko ia berkata pada penjual dengan bahasa Arab fashih :

" Uriidu an asytariya lihaafan.. "

" Eisy... ? Lihaf.. ?" si penjual menggeleng tak mengerti.

" aiwah.. Lihaf.. Ghitho' linnaum.. "

Namun si penjual masih saja nggak paham-paham. Setelah melihat kesana-kesini akhirnya pelajar tadi menemukan barang yang ia cari.. Langsung saja ia menunjuk kepada si penjual yang spontan berkata :

" Owalah...Selimut too.."

Si pelajar bengong. Ngapain ribet-ribet buka kamus kalo Selimut bahasa Tarimnya ya Selimut bukan lihaf ghito' atau semacamnya. ??

Gus Baha' tertawa keras, apalagi ketika saya jelaskan bahwa orang-orang Tarim menjamakkan selimut menjadi 'Salamiit'. Beliau lalu berkomentar :

" Kalo ini saya baru tahu.. " ..

Yess.. Saya tersenyum penuh kemenangan. Akhirnya saya bisa memberikan sebuah faedah yang belum pernah diketahui oleh orang se-alim Gus Baha'.. Haha.

Di malam itu saya banyak belajar dari sosok Gus Baha'. mulai dari tiap tetes ucapnya yang selalu mempunyai bobot keilmuan, kesederhaan dan ketawadhu'annya, hingga akhlak beliau yang apa adanya tanpa harus menjaga wibawa 'kealimannya' dihadapan siapapun. Tentunya saya sudah nggak kaget melihat sosok super alim tapi sangat sederhana seperti beliau. Di Tarim banyak sekali ulama yang se-type dengan Gus Baha'. Beliau mengingatkan saya kepada salah satu guru saya. Syaikh Salim bahraiys namanya. Tanyakan padanya ilmu apa saja. Fiqih, Hadits, Aqidah dll. Beliau akan menjawab dengan mudahnya. Beliau bahkan juga dipasrahkan untuk mengajar 'kubrol Yaqiiniyat' Kitab Syaikh Buthy yang super njlimet itu. Tapi siapa saja yang melihat penampilannya tak akan pernah menyangka bahwa ia adalah seorang Alim yang kualitasnya bahkan diakui oleh Habib Salim Assyathiri. Dengan peci putih tanpa surban, kemeja lusuh dan sarung sederhana, penampilan beliau bahkan tak terlihat 'beda' dari penjual-penjual baju di pasar Tarim.

Orang-orang seperti Gus Baha' dan Syaikh Salim seakan ingin menegaskan bahwa kemuliaan sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan penampilan atau pakaian. Sama seperti Sayyidina Umar yang kala itu diminta untuk mengganti bajunya yang dipenuhi oleh belasan tambalan. Beliau menjawab :

" نحن قوم اعزنا الله بالاسلام .. فإذا ابتغينا العزة من غيره اذلنا الله.. "

" kita ini adalah kaum yang telah Allah muliakan dengan Islam. Jika kita mencari kemuliaan dengan selain Islam, maka Allah akan menghinakan kita.. "

* Ismael Amin Kholil, Bangkalan, 22 Januari, 2019.

Alasan Rasulullah Menikahi Aisyah

Muchlishon, NU Online | Senin, 09 April 2018 20:30

Aisyah adalah satu-satunya istri Rasulullah yang dinikahi dalam keadaan masih gadis. Ia merupakan istri ketiga Rasulullah. Sebelumnya, istri Rasulullah yang pertama, Khadijah wafat. Kemudian Rasulullah menikahi Saudah binti Zam’ah, seorang janda berusia 30an tahun, sebelum akhirnya mempersunting Aisyah.

Aisyah merupakan seorang putri dari pasangan Abu Bakar al-Siddiq dan Ummu Ruman. Jika nasabnya ditelurusi hingga ke atas, maka nasab Aisyah bertemu Rasulullah yaitu pada Murrah bin Ka’ab. Dalam struktur masyarakat Quraish, marga Ummahatul Mukminin ini adalah Bani Taim. 

Al-Husaini dalam buku Baitun Nubuwwah, Rumah Tangga Nabi Muhammad saw. menyebutkan bahwa wanita marga Bani Taim terkenal patuh, lemah lembut, dan dapat bergaul dengan baik. Sementara kaum lelakinya dikenal berpikir cerdas, dermawan, jujur, dan pemberani. 

Humaira (pipinya yang merona) merupakan julukan Aisyah. Ia adalah seorang perempuan yang memiliki perangai yang sangat baik, berkulit putih, berparas elok, bermata besar, berambut kriting, dan bertubuh langsing. Dan tentunya memiliki pipi yang merona dan kemerah-merahan.    

Ada banyak versi terkait dengan usia Aisyah ketika dinikahi Rasulullah. Ada yang menyebut bahwa usia Aisyah adalah 6 atau 7 tahun ketika dinikahi dan 10 tahun saat diajak Rasulullah untuk tinggal satu rumah. Pendapat lain –yang didasarkan pada riwayat Abdurrahman bin Abu Abi Zannad dan Ibnu Hajar al-Asqalani- menyebutkan bahwa usia Aisyah ketika berumah tangga adalah 19 atau 20 tahun.

Terlepas dari itu semua, Quraish Shihab dalam Membaca Sirah Nabi saw. dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-hadis Shahih menyatakan bahwa tidak ada kritikan atau cemoohan dari musuh-musuh Rasulullah tentang pernikahan Rasulullah dan Aisyah pada saat itu. Namun anehnya, kritikan dan cemoohan itu –dengan tujuan melecehkan dan mendiskreditkan Rasulullah- datang ratusan tahun setelah kejadian itu. Artinya, seseorang yang sudah sepuh menikah dengan ‘perempuan muda’ adalah sesuatu yang wajar dan lumrah terjadi pada zaman masyarakat waktu itu.

Rasulullah menikahi Aisyah tepat pada bulan Syawwal tahun ke-10 kenabian di Makkah atau sekitar tiga tahun setelah sang istri pertama, Khadijah binti Khuwailid, wafat. Mahar yang diberikan Rasulullah untuk Aisyah sebesar 12 uqiyyah atau 400 dirham.

Lalu, apa yang membuat Rasulullah mempersunting Aisyah? Padahal Rasulullah juga sudah menikahi Saudah binti Zam’ah. Di sisi lain, sahabat Muth’im bin Adiy juga pernah menanyakan kepada Abu Bakar akan mengawinkan Aisyah untuk anaknya, Jubair, sebelum utusan Rasulullah menanyakan hal yang sama.

Dalam sebuah riwayat, Aisyah pernah mengungkapkan bahwa alasan Rasulullah menikahinya adalah 'karena mimpi.' Suatu ketika, Rasulullah bermimpi didatangi malaikat membawa Aisyah dengan dibalut kain sutera. Malaikat tersebut mengatakan kepada Rasulullah bahwa perempuan yang dibalut kain sutera tersebut adalah istrinya. Mimpi Rasulullah ini berulang hingga tiga kali. 

“Jika mimpi ini dari Allah, tentu Dia akan mengabulkannya,” kata Rasulullah merespons ucapan malaikat itu. Dan benar saja, akhirnya Allah mengabulkannya. 

Sebelumnya, Abu Bakar keberatan ketika Khaulah, utusan Rasulullah, datang untuk melamar Aisyah karena Muth’im sudah datang terlebih dahulu. Namun, setelah mengetahui keburukan keluarga Muth’im, Abu Bakar tidak lagi menghendaki anak lelaki Muth’im untuk menikahi Aisyah. Walhasil, Abu Bakar mempersilahkan Rasulullah untuk menikahi anaknya. (A Muchlishon Rochmat

Monday, January 21, 2019

MUBALIGH BESAR

MUBALIGH BESAR

Sebagaimana pondok atau lembaga pendidikan yang lain, penutupan akhir tahun atau biasa disebut akhirus sanah adalah momen penutupan kegiatan yang tidak hanya diisi dengan mewisuda santri atau siswa, namun juga sebagai ajang unjuk gigi kepada masyarakat sekitar atas perkembangan pondok.

Salah satu unsur yang ingin di’tunjuk’kan dalam acara akhirus sanah biasanya adalah mubaligh, atau pengisi acara utama. Semakin kondang sang pengisi, maka gengsi akan semakin tinggi. Dikwagean pun sama, sejak meningkatnya perekonomian pondok, dan juga semakin berkembangnya pondok, pengurus mulai berani menaikkan kualitas mubaligh. Kualitas disini dari kadar ketenaran, bukan kadar kualitas keilmuan.

Karena seringkali, kualitas ketenaran tak berbanding lurus dengan kualitas keilmuan.

Sebelum saya pulang, pengurus telah beberapa kali mencoba mengundang mubaligh besar kelas wahid, namun tak pernah berhasil. Sudah sowan, dan dikasih jadwal sama sang mubaligh, eh ketika harinya malah digantikan oleh santrinya atau orang lain.

Saya yang hanya mendengar cerita dari panitia pun ikut kecewa, entah memang karena ada udzur atau bertepatan dengan acara yang lebih besar, yang jelas saya merasa kwagean belum di’anggap’ oleh para mubaligh besar itu.

Dan kekecewaan saya bertambah ketika saya menemukan cerita yang hampir sama dipondok teman saya, dimalang. Mengundang mubaligh besar yang sama, telah sowan, dan sang mubaligh yang menentukan tanggalnya. Namun menjelang hari H, malah mengabarkan kalau tidak bisa hadir.

Saking mangkelnya, teman saya nyeletuk:”kulo i radi jengkel, wes tanggal acara manut mriko, geh sudah di dp lumayan katah. Kok malah iseh mboten rawuh. Nopo kurang to jane bayarane?(saya agak jengkel, tanggal acara sudah ngikut beliau, sang mubaligh. Dp juga sudah masuk lumayan besar. Kok ya malah tidak hadir. Apa memang kurang bayarannya?)”.  Hahaha

Saya pun hanya tertawa mendengarnya. Antara geli dan ikut merasa kecewa.

Saya tak mau su’udzon, semoga saja memang karena ada udzur yang benar-benar membuat sang mubaligh tidak bisa rawuh. Namun yang membuat hati kecil jengkel, seringkali diacara besar(jumlah massa dan liputannya), atau acara ditempat pondok besar, beliaunya hampir dipastikan sering rawuh.

Wallahua’lam.

Saya pernah bertanya tentang hal ini kepada bapak, beliau hanya berpesan:”yo gak usah mikir aneh-aneh. Gae pembelajaran wae. Lek diundang sopo ae, kapan ae wes nyanggupi, diusahakne kudu rawuh. Gak perduli wong cilik opo wong gede(gak usah mikir aneh-aneh. Dijadikan pembelajaran saja. Kalau diundang siapa saja, kapan sudah menyanggupi hadir, harus diusahakan untuk hadir. Tidak perduli yang mengundang orang besar atau orang kecil)”.

Dan memang itu yang selalu dicontohkan bapak kekami, setiap hari. Bapak punya satu kalender khusus(bapak tak punya asisten khusus bagian penjadwalan). Bapak yang melingkari sendiri kalender tersebut setiap ada undangan masuk, biasanya bahkan sebelum sang tamu pulang dari rumah bapak. Bila belum ada lingkaran, dan bapak masih memungkinkan hadir, maka bapak akan menyanggupi. Namun bila sudah ada lingkaran, bapak akan menanyakan waktunya. Bila memang tidak bertabrakan dengan jadwal awal, dan memungkinkan jarak dan waktunya, bapak akan berusaha hadir.

Dulu, almarhumah ibuk saya selalu berpesan:”sok awakmu kudu niru bapakmu, lek diundang sopo wae wong kwagean opo sopo kudu teko. Meskipun seng ngundang wong ra nduwe. Ojo nekani undangan wong seng ketoke sugeh tok(nanti, kamu harus niru bapakmu, kalau diundang oleh orang kwagean atau siapa saja harus hadir-bila mampu-. Meskipun yang mengundang orang tak punya. Jangan hanya menghadiri undangan orang kaya saja)”.

Mubalig sendiri dalam kbbi berarti juru dakwah. Saya tambahi h karena saya merasa gh lebih patut menjadi ghoin dalam bahasa arab. Sedangkan besar, dalam konteks mubaligh ini saya maksudkan pada para kiai atau penceramah yang sudah kondang ditingkat nasional.

Disetiap bapak mendapat undangan, dan diaturi menjadi mubaligh, bapak pasti akan matur bila ada yang lain, lainnya saja. Bapak selalu merasa tak ahli dalam hal ceramah.

“Dadi mubaligh ki abot. Kudu ngomong opo anane. Gak oleh nambah-nambah i cerito. Gak oleh ngarang-ngarang cerito. Opo maneh goroh. Kadang akeh seng ngunu kui, gur ben seneng jamaah e. Aku ra sanggup lek ngunu kuwi(menjadi mubaligh itu berat. Harus berbicara apa adanya. Tidak boleh menambah-nambahi cerita. Tidak boleh mengarang-ngarang cerita. Apalagi berbohong hanya agar jamaahnya senang. Saya tak sanggup kalau harus seperti itu)”. Kata bapak seringkali pada kami.

Dan biasanya, bila memang yang mengundang memaksa bapak tetap mengisi acara, bapak seringkali mengisinya dengan ngaji.

Iya ngaji, bapak akan menulis cuplikan kitab(biasanya ihya’), lalu dimaknai gandul(utawi iki iku) dan selanjutnya diterangkan pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari beserta pengalaman hidup bapak.

Persis ngaji ihya’ setiap hari dikwagean, hanya saja porsinya ditambahi dibagian cerita-cerita.

Dan pada akhirnya, saya selalu belajar untuk memosisikan diri. Saat mengundang, kita harus tahu diri, dan jangan berharap lebih. Selalu berharap yang terbaik, namun mempersiapkan diri pada yang terburuk.

Dan bila diundang, jangan pilih-pilih. Dahulukan yang lebih awal mengundang.

Semoga mampu selalu adil, bahkan sejak dalam fikiran(ini dawuh tokoh).

#salamKWAGEAN

Friday, January 18, 2019

Ekspektasi Penghasilan Pasangan

Rabu, 16 Januari 2019

by Adhitya in Our Stories

for Dads

Beberapa hari yang lalu, lini masa sempat ramai oleh sebuah cuitan di mana seorang perempuan mencari jodoh dengan penghasilan bulanan minimal 30 juta. Yang menarik juga adalah reaksi pro-kontra yang datang menanggapi cuitan tersebut.

Beberapa minggu yang lalu juga sempat ramai diperbincangkan – pria-pria lajang yang memiliki pegangan ‘Mencari jodoh yang mau diajak susah’. Meski terpisah, tema dari kedua cuitan ini memiliki kaitan erat.

Sebenarnya, apakah ada patokan minimum dari seorang pria untuk dapat menikah? Apakah pola pikir ‘mencari jodoh yang diajak susah’ adalah pola pikir yang benar? Kita mencoba menjawab kedua pertanyaan itu dengan rujukan agama (dalam kasus ini, agama Islam).

Tanggungan

Hukum waris dalam Islam menetapkan bahwa seorang muslim mendapat 2/3 warisan sedang muslimah mendapat 1/3. Yang banyak orang tidak tahu adalah, hukum 2/3 dan 1/3 ini ditetapkan karena anak laki-laki lah yang bertanggung jawab merawat orang tua (jika mereka tidak berdaya). Kewajiban ini tidak berlaku pada anak perempuan. Warisan 2/3 ini dianggap sebagai kompensasi dari kewajiban mengurus/merawat orangtua (jika mereka tidak berdaya) di masa hidup. Dapat kita bayangkan, suami yang berumur 40 harus memutar akal membagi penghasilannya untuk bayar sekolah anak, belanja dapur, dan membayar invoice rumah sakit ibunya. Yang kita lihat itu bukanlah toxic masculinity (bahwa semuanya harus ayah yang tanggung) – tapi memang itu yang ditetapkan agama.

Tidak ada orangtua yang berniat menyusahkan anak mereka. Impian semua orangtua adalah hidup menuju hari senja dengan memiliki bekal yang cukup untuk sendiri. Itu sebabnya mayoritas dari kita tidak menunggu orang tuasakit dahulu sebelum menikah. Sayangnya, kadang kala kondisi itu (orangtua mandiri) tidak terjadi. Dan saat tidak terjadi, maka anak laki-laki yang wajib membantu. Kita harus ingat bahwa bakti pertama seorang muslim adalah pada orangtuanya dan ini berlaku selamanya. Sedangkan bakti seorang istri adalah kepada suaminya hanya di masa pernikahan.

Katakanlah sebuah keluarga memiliki 2 orang anak yang sudah besar. Budi (kakak pria) dan Wati (adik wanita). Agama mengajarkan jika orang tua tidak lagi mampu merawat diri atau membutuhkan bantuan, maka kewajiban merawat dan menolong orangtua jatuh ke tangan anak laki-laki, Budi. Tanggung jawab Budi tidak sampai di sana. Jika orangtua tidak lagi mampu merawat diri dan tidak mampu merawat anak perempuannya, maka Budi juga bertanggung jawab mengasuh, menafkahi dan melindungi (termasuk menyekolahkan) sang adik perempuan, Wati – sebuah tanggung jawab yang hanya putus setelah Wati menikah. Setelah menikah, Wati akan menjadi tanggungan suami. Singkatnya, di bahu setiap pria muslim terdapat kewajiban 2 keluarga - keluarga di mana dia sebagai anak dan keluarga di mana dia sebagai kepala keluarga.

Beban ini cukup banyak. Maka dari itu, perkataan bahwa sebaiknya pria itu memiliki penghasilan yang tinggi - sama sekali tidak salah. Apakah angkanya harus 30 juta? Angka dapat bervariasi sesuai kebutuhan (bukan keinginan). Pria yang pasrah dengan penghasilan seadanya, tidak mau berusaha lebih baik, pria yang kurang berusaha maksimal akan sulit menanggung 2 beban keluarga ini. Pria yang mencukupi diri saja kesulitan, akan lebih sulit untuk merawat orangtuanya, apalagi jika memutuskan untuk menikah.

Jadi untuk pertanyaan ‘Sebenarnya berapa sih penghasilan pria yang pantas untuk menikah?’ jawabannya adalah: tidak ada angka yang pasti, namun sebaiknya penghasilan sang pria mampu untuk mencukupi (1) merawat orangtua (hanya jika mereka butuh) dan (2) nafkah anak-istri dengan pantas.

Bagaimana jika seorang muslim lajang hanya mampu memenuhi satu dari dua kewajiban itu? Jawabannya cukup mudah: Berusahalah lebih baik. Mungkin dengan cari kerja dengan penghasilan lebih baik? Mungkin dengan membuka usaha? Mungkin dengan mengambil 2 pekerjaan? Yang jelas, seorang muslim tidak dapat lepas dari 2 kewajiban ini. Ada hadist yang menyatakan:

Apabila sudah mampu, maka segeralah menikah. Apabila belum mampu, maka, berpuasa lah.

Bagaimana jika sang pria memiliki istri yang mapan? Apakah sebaiknya nafkah pria dipakai untuk merawat orang tua sedangkan hasil kerja istri dipakai untuk anak istri?

Jawabannya: Tidak. Kemapanan istri tidak menggugurkan kewajiban seorang muslim untuk merawat ayah ibu sambil menafkahkan keluarga sendiri di saat yang sama. Lagi-lagi, ini bukan toxic masculinity bahwa suami harus jadi yang terkuat. Agama memang menetapkan tugas mencukupkan nafkah anak istri tetap berada pada suami. Agama menetapkan harta istri tidak boleh dipakai suami kecuali dengan izin istri. Agama menetapkan suami tidak boleh memaksa meminta. Suami boleh meminta tolong pada istri. Istri boleh menolak atau membantu. Jika membantu, maka dihitung sebagai sedekah. Sedekah paling utama dari seorang wanita, adalah kepada suaminya.

Bagaimana jika kebutuhan merawat orangtua baru datang setelah pernikahan? Contoh: seorang muslim sudah menikah, sudah cukup menafkahi anak istri, namun tiba-tiba orangtua jatuh sakit dan butuh perawatan. Mana yang harus diprioritaskan oleh sang muslim? Di sinilah masuk ke dalam bahasan prioritas.

Prioritas

Bagi seorang muslim, merawat/menolong/mencukupi orangtua (saat mereka sudah tidak mampu) lebih utama dari mencukupi istri. Ujian seorang married muslim adalah seberapa keras dia berusaha melakukan kedua hal - merawat orangtua dan mencukupi anak istri. Sedangkan ujian seorang married muslimah adalah apakah dia bersedia bersabar menjadi prioritas kedua saat sang suami tiba-tiba harus merawat orangtuanya.

Married muslim yang baik tidak akan pernah malas bekerja. Married muslim yang baik tidak akan pernah meminta istri ‘Mau ya diajak susah’ hanya karena dia malas berusaha lebih baik. Mungkin, muslim seperti ini tidak layak menikah sama sekali.

Satu-satunya kesempatan di mana married muslim dapat mengajak istri susah adalah saat dia sudah berusaha yang terbaik. Di titik itu, dia dapat berkata ‘Mau ya diajak susah karena ayah/ibuku sedang butuh bantuan’. Married muslimah yang baik akan dapat melihat usahanya dan akan dapat mengerti.

Adalah salah bagi seorang suami jika dia mementingkan skin care istri sedangkan lalai membeli obat yang ibunya butuhkan. Pun salah apabila seorang istri berpikir skin carenya lebih penting dari obat yang ibu mertua butuhkan.

Pun salah bagi suami untuk memanjakan anak istri dengan cara berlebih sementara orangtua sendiri terlantar.

Pun salah bagi seorang suami jika dia memanjakan orang tua dan adik-adik dengan kemewahan sedang dia menutut anak istri hidup dalam kesempitan.

Pun salah bagi seorang istri untuk berpikir bahwa semua penghasilan suami adalah milik anak istri – karena di dalam penghasilan suami, terdapat kewajibannya untuk berbakti pada orangtua (jika mereka membutuhkan)

Ujian paling penting bagi suami adalah: apakah dia sudah berusaha cukup baik untuk menjadi penjaga ayah/ibu dan anak istrinya? Agar jika suami sampai harus berkata ‘Mau ya susah sebentar’ sang istri tahu, dia sudah berusaha maksimal.

Ujian paling penting bagi istri adalah: apakah dia sadar dalam prioritas suami, orang tua lebih penting dari dirinya? Agar jika sampai suami berkata ‘Mau ya susah sebentar’ dia tahu, perkataan itu keluar dari orang yang berbakti pada orangtua.

Kemanusiaan mendahului sikap religius

Kemanusiaan mendahului sikap religius

Seorang netijen yang sedang kuliah di al-Azhar, Mesir memberitahu saya akan buku karya Habib Ali al-Jifri. Saya berterima kasih atas informasi tersebut dan segera melacak dan kemudian membacanya. Buku ini semacam kompilasi makalah dan ceramah beliau. Topik yang di bahas singkat dan aktual. Beberapa tulisan dalam buku itu juga berasal dari respon Habib Ali akan pertanyaan atau komentar di Facebook.

Secara umum, saya memiliki kesesuaian pandangan dengan Habib Ali. Bukan saja beliau luas pandangannya tapi juga luwes sikapnya. Santun dalam berdakwah, tajam dalam berargumen, dan konon kabarnya — menurut guru beliau Habib Umar bin Hafizh — wajah Habib Ali mirip datuknya, Rasulullah Saw. Wa Allahu a’lam bis shawab.

Judul yang dipilih Habib Ali mengundang kontroversi: al-Insaniyyah qabla at-tadayyun. Kemanusiaan mendahului sikap religius. Beliau mengklarifikasi dalam berbagai kesempatan bahwa beliau tidak mengatakan al-Insaniyyah qabla ad-din (kemanusian mendahului agama). Karena bagi beliau tetap agama itu nomor satu. Namun beliau hendak memisahkan antara agama dengan pandangan dan sikap keberagamaan. Religion dan religiosity itu dua hal yang terkait tapi tetap harus dibedakan.

Teks agama dalam al-Qur’an dan al-Hadis itu benar dan suci, tapi pandangan dan sikap kita belum tentu benar, apalagi suci. Kegagalan memisahkan ini akan membuat apa yang kita pahami akan kitab suci seolah dianggap sama mutlaknya dengan kebenaran kitab suci. Contoh praktis saja: banyak yang merasa membela Islam, padahal boleh jadi yang dia bela adalah sikap dan pandangannya tentang Islam.

Jadi, jelas yah jangan digoreng dan dipelintir: Habib Ali al-Jifri tetap mengutamakan agama (ad-din).

Nah, apa dalil dari pandangan Habib Ali tentang kemanusiaan didahulukan atas religiositas? Dalam bukunya beliau mengutip penjelasan dari Hadis Nabi Saw. Beliau sampaikan versi ringkasnya. Di bawah ini saya kutip versi lengkapnya.

Musnad Ahmad, Hadis Nomor 16402

‎١٦٤٠٢ - حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي عَمْرٍو السَّيْبَانِيِّ عَنْ أَبِي سَلَّامٍ الدِّمَشْقِيِّ وَعَمْرِو بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُمَا سَمِعَا أَبَا أُمَامَةَ الْبَاهِلِيَّ يُحَدِّثُ عَنْ حَدِيثِ عَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ السُّلَمِيِّ قَالَ رَغِبْتُ عَنْ آلِهَةِ قَوْمِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَذَكَرَ الْحَدِيثَ قَالَ فَسَأَلْتُ عَنْهُ فَوَجَدْتُهُ مُسْتَخْفِيًا بِشَأْنِهِ فَتَلَطَّفْتُ لَهُ حَتَّى دَخَلْتُ عَلَيْهِ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقُلْتُ لَهُ مَا أَنْتَ فَقَالَ نَبِيٌّ فَقُلْتُ وَمَا النَّبِيُّ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ فَقُلْتُ وَمَنْ أَرْسَلَكَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ قُلْتُ بِمَاذَا أَرْسَلَكَ فَقَالَ بِأَنْ تُوصَلَ الْأَرْحَامُ وَتُحْقَنَ الدِّمَاءُ وَتُؤَمَّنَ السُّبُلُ وَتُكَسَّرَ الْأَوْثَانُ وَيُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا يُشْرَكُ بِهِ شَيْءٌ قُلْتُ نِعْمَ مَا أَرْسَلَكَ بِهِ وَأُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ آمَنْتُ بِكَ وَصَدَّقْتُكَ أَفَأَمْكُثُ مَعَكَ أَمْ مَا تَرَى فَقَالَ قَدْ تَرَى كَرَاهَةَ النَّاسِ لِمَا جِئْتُ بِهِ فَامْكُثْ فِي أَهْلِكَ فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِي قَدْ خَرَجْتُ مَخْرَجِي فَأْتِنِي فَذَكَرَ الْحَدِيثَ

16402. Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman berkata; Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin 'Ayyasy dari Yahya bin Abu 'Amr As-Syaibani dari Abu Sallam Ad-Dimasyqi dan 'Amr bin Abdullah sesungguhnya keduanya telah mendengar Abu Umamah Al Bahili menceritakan dari hadis 'Amr bin 'Abasah As-Sulami berkata; "Saya sangat membenci tuhan-tuhan kaumku pada Masa Jahiliyyah, " lalu dia menyebutkan haditsnya. ('Amr bin 'Abasah As-Sulami) berkata; lalu saya bertanya tentang keberadaan nabi, dan saya pun mendapatkan Nabi dalam keadaan menyembunyikan diri dari keramaian orang. Saya berusaha menemuinya dengan cara menyamar hingga saya bisa menemuinya, saya ucapkan salam kepadanya, lalu saya bertanya,

"Apa (status/kedudukan) anda?”
Beliau menjawab, "Nabi."
Saya ('Amr bin 'Abasah) berkata; "Apakah Nabi itu?"
Beliau menjawab, "Rasulullah."

Saya bertanya, "Siapakah yang mengutus kamu?."
Beliau menjawab, "Allah Azzawajalla."
Saya bertanya, "Dengan apa?"
beliau menjawab, "Agar kamu menyambung silaturrahim, melindungi darah, mengamankan jalan, berhala dihancurkan, Allah semata yang disembah dan tidak ada sekutu bagi-Nya sesuatupun."

Saya berkata; "Sangat bagus risalah yang karenanya kau diutus. Saya bersaksi sesungguhnya saya beriman kepadamu, dan saya mempercayaimu, apakah saya harus tinggal bersamamu atau bagaimana pendapatmu?" Maka beliau bersabda: "Kamu telah melihat kebencian orang-orang atas apa yang saya bawa, maka tinggallah di keluargamu. Jika suatu hari nanti kamu mendengarku dan saya telah keluar dari tempat persembunyianku, datangilah saya, " lalu dia menyebutkan hadis secara lengkap.”

Habib Ali menjelaskan bahwa cara Rasulullah menjelaskan risalahnya itu dengan menyebut ketiga hal mendasar dulu.

1. Menyambung Silaturrahim. Ini dimaknai Habib Ali jaminan keamanan masyarakat.
2. Melindungi darah. Ini dimaknai Habib Ali sebagai perlindungan terhadap kehidupan
3. Mengamankan jalan. Ini berarti, menurut Habib Ali, keamanan publik.

Setelah itu barulah Rasul menjawab mengenai religiositas, yaitu menghancurkan berhala (ini bagian amar ma’ruf nahi munkar), dan sikap kukuh bertauhid hanya menyembah Allah (ini masuk wilayah dakwah).

Berdasarkan riwayat, yang menurut Syekh Arnaut statusnya Sahih ini, Habib Ali al-Jifri menyampaikan pesan-pesan kemanusiaannya. Kita pun memahami bahwa semua manusia dijamin keamanan dan kehormatannya, baik di level keluarga-kolega, maupun masyarakat. Setiap orang harus dihormati darahnya, hartanya, keluarganya, status sosialnya. Islam menghendaki setiap orang aman dan nyaman berjalan-jalan di pasar, jalan raya, dan area publik lainnya tanpa khawatir akan dibully, dinistakan, atau diserang kehormatannya maupun terkena tindak kriminal seperti pencopetan, serangan teroris, atau bahkan sekadar sandal hilang di Masjid.

Dengan jaminan sosial, kehidupan dan keamanan publik itu barulah kemudian orang bisa beragama dengan khusyu’ dan aman serta nyaman. Hati yang adem akan membuat sikap keberagamaan kita juga adem.

Dengan kata lain, problem yang kita hadapi dewasa ini bukan soal teks keagamaan, tapi soal kemanusiaan kita yang merasa terancam, tidak aman dan tidak nyaman. Ini menggerus kemanusiaan kita sehingga kita tidak lagi jernih, adil dan beradab dalam memahami teks keagamaan. Pada gilirannya, sikap keberagamaan kita dipengaruhi oleh sehat atau sakitnya kemanusiaan kita. Itu sebabnya Rasulullah menyentuh sisi kemanusiaan kita terlebih dahulu dengan ajaran menyambung silaturrahmi, melindungi darah sesama manusia, dan mengamankan jalan raya.

Pesan Habib Ali dalam bukunya ini cocok dengan penjelasan para Kiai NU seperti Gus Mus, misalnya, yang menekankan dakwah kita itu bertujuan untuk memanusiakan kembali kemanusiaan kita. Sayang, saat ini kita mengalami krisis kemanusiaan dan malah asyik memaki: kampret dan cebong.

Tabik,

Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama
dan Dosen Senior Monash Law School

Saturday, January 12, 2019

Politik kepentingan

Prabowo, thn 2009, adl cawapres-nya Megawati.

Fadli Zon, Pilkada DKI 2012, adl jurkam-nya Jokowi-Ahok.

SBY, mantan menterinya Megawati. Maju nyapres bareng JK, didukung Surya Paloh, nantang Megawati.

Pilpres berikutnya, JK nyapres bareng Wiranto melawan SBY-Boediono, didukung Aburizal Bakrie yg skrg lebih akrab dg Prabowo.

Ratna Sarumpaet, jaman orba adl musuh Suharto. Sekarang gandeng dng Prabowo yg disokong penuh keluarga Cendana.

Anies Baswedan, 2013, adl peserta kandidat capres di konvensi Partai Demokrat.
Di Pilpres 2014, jadi timses Jokowi-JK, dan sempat masuk kabinet sbg menteri pendidikan. Pengritik keras kelompok radikal macam FPI melalui gerakan merajut kebangsaan. Sekarang mendekat ke Prabowo, PKS, dan FPI.

Amien Rais, menentang Megawati jadi presiden, lalu bikin manuver poros tengah naikkan Gus Dur jadi presiden. Eh di tengah jalan, Gus Dur digulingkan, dan menaikkan Megawati jadi presiden.
Periode berikutnya, 2004, Amien Rais nyapres melawan SBY dan Prabowo. Lho sekarang kok gandeng mesra dng Prabowo yg pd jaman reformasi menjadikan Amien Rais sbg target yg hrs di"aman"kan oleh Prabowo.

Ali Muchtar Ngabalin, pilpres 2014 adl "Die-hard" nya Prabowo yg paling sengit menyerang Jokowi. Hari ini, bergelayut manja di pelukan Jokowi.

PKS, gila-gilaan menyerang Prabowo di pilpres 2009 dan pilkada DKI 2012. Sekarang, asoy geboy dng Gerindra.

PDIP & Gerindra pernah mesra sbg oposisi terhadap rezim SBY yg disokong Golkar, PKS dan PAN. Sekarang? Tau sendirilah..😁

Si gundul culun, Ahmad Dhani, dulu musuh bebuyutan FPI, sampe bikin lagu "laskar cinta" buat ngejek FPI. Sekarang? 😋

Dan masih banyak lagiii...

Pesannya : dlm politik tak ada kawan dan lawan abadi. Yg abadi adl Kepentingan. Everything is just a game. Karena itu enjoy aja. Tak perlu memusuhi kawan dan kerabatmu yg berbeda pilihan capresnya.

Para elit politik itu bisa gonta-ganti pasangan politik seenak udelnya sendiri, mereka yg tadinya musuh bisa jd kawan atau sebaliknya. Sementara kalian sdh terlanjur memutus persahabatan bahkan persaudaraan demi junjungan politisi kalian yg besok sehabis pilpres sdh kongkow bareng di balik panggung.

Mereka mendapat kekuasaan, kalian kehilangan persahabatan. Ingatlah, kalo hidupmu susah, yg menolongmu itu bukan para elit politik di atas sana, tapi kawanmu, tetanggamu, saudaramu.
Selamat malam semua saudara-saudariku.

Friday, January 11, 2019

SURAT DALAM AL-QURAN

Oleh; Syukri Rifai, S.Pd.I

A. Definisi Surat

1.  Secara Bahasa/Lughowiy

Surat dari segi bahasa merupakan jamak dari kata suwar (سُوَرٌ) yang berarti kedudukan atau tempat yang tinggi[1], sesuai dengan kedudukan Al-Quran karena dia diturunkan dari tempat yang tinggi yaitu Lauh al-Mahfûzh dari sisi Tuhan yang Maha Tinggi pula yaitu Allah Swt.

2.  Secara Istilah

Adapun secara istilah surat adalah:

وَالسُّوْرَةُ هِيَ الْجُمْلَةُ مِنْ آيَاتِ اْلقُرْآنِ ذَاتُ الْمَطْلَعِ وَالْمَقْطَعِ

Surat adalah sejumlah beberapa ayat Al-Quran yang memiliki permulaan dan penghabisan.[2]

Dari definisi ini dapat dipahami bahwa surat adalah kumpulan beberapa ayat, maka tidak ada satu surat yang terdiri hanya satu ayat. Surat harus memiliki sejumlah ayat minimal 3 ayat seperti dalam Surat Al-Kautsar. Kumpulan beberapa ayat ini syaratnya mempunyai permulaan dan akhiran. Jika terkumpul sejumlah ayat sekalipun banyak tetapi tidak ada permulaan atau belum mencapai akhiran dan atau tidak ada keduanya, maka belum dinamakan surat dalam Al-Quran.

B. Macam-macam Surat

Dilihat dari segi panjang pendeknya, surat dapat dibagi menjadi 4 macam, yaitu sebagai berikut:

Surat Ath-Thiwâl (الطِّوَالٌ = panjang)

Yaitu surat yang jumlah ayatnya lebih dari 100 sampai 200-an atau memang lebih panjang dari yang lain. Surat panjang ini ada tujuh, oleh karena itu disebut As-Sab’u Ath-Thiwâl (السَّبْعُ الطِّوَالُ = surat tujuh), yaitu sebagai berikut:

Surat Al-Baqarah (2): 286 ayatSurat Ȃli ‘Imrân (3): 200 ayatSurat An-Nisâ’ (4): 176 ayatSurat Al-Mâ’idah (5): 120 ayatSurat Al-An’âm (6): 165 ayatSurat Al-A’râf (7): 206 ayatSebagian ulama berpendapat Surat Al-Anfâl (8) 75 ayat bersama Surat Al-Barâ’ah atau At-Taubah (9): 129 ayat karena tidak ada pemisah dengan basmalah dan sebagian pendapat mengatakan Surat Yûnus (10): 108 ayat.Surat Al-Mi’ûn (اْلِمؤُن = seratusan)

Yaitu surat yang banyak ayatnya sekitar seratus atau lebih.

Surat Al-Matsânî (المثانى)

Yaitu surat yang panjang ayatnya di bawah Al-Mi’ûn (seratusan ayat) di atas. Al-Farra’ berkata: yaitu surat yang jumlah ayatnya kurang sedikit dari 100 ayat. Kata Al-Matsânî artinya ‘terulang-ulang’, karena surat-surat itu terulang-ulang dibaca dalam shalat dari pada surat Al-Mi’ûn dan Ath-Thiwâl.

Surat Al-Mufashshâl(اْلمفَصَّل)

Yaitu surat yang panjang ayat-ayatnya mendekati Al-Matsânîyang disebut juga sebagai surat pendek. Menurut An-Nawawi surat Al-Mufashshâlini adalah dari surat Al-Hujurât (49) sebanyak 18 ayat sampai akhir surat dalam Al-Quran. Al-Mufashshâlberasal dari kata fashala yang artinya memisah atau terpisah. Surah dinamakan Al-Mufashshâlkarena banyak dipisah dengan Basmalah pada setiap awal surat. Karena jumlah ayat-ayatnya tidak terlalu banyak, maka sering dipisah dengan Basmalah tersebut. Kemudian surat Al-Mufashshâlini dibagi lagi menjadi tiga bagian, yaitu:

a)    Ath-Thiwâl(panjang), yaitu Al-Mufashshâltetapi yang panjang dari surat Qâf (50) atau dari surat Al-Hujurât (49) sampai dengan surat An-Naba’ (78) atau surat Al-Burȗj (85).

b)    Al-Awsath (pertengahan), yaitu surat Al-Mufashshâlyang pertengahan dari surat Ath-Thâriq (86) sampai dengan surat Adh-Dhuhâ (93) atau Al-Bayyinah (98).

c)    Al-Qishâr (pendek), yakni Al-Mufashshâlyang pendek dari surat Adh-Dhuhâ (93) atau surat Al-Bayyinah (98) sampai dengan akhir surat dalam Al-Quran yakni An-Nâs (114).

Di samping penggolongan kelompok surat-surat di atas didasarkan pada jumlah banyak dan sedikitnya, juga didasarkan pada panjang dan pendeknya ayat. Karena ada sebagian surat yang jumlah ayatnya tidak banyak tetapi ayat-ayatnya panjang-panjang atau jumlah ayatnya banyak tetapi mayoritas ayatnya pendek-pendek seperti surat Asy-Syu’arâ’ (26): 227 ayat padahal surat ini tidak termasuk ke dalam surat Ath-Thiwâl.[3]

Dilihat dari segi masa atau tempat turunnya Al-Quran terbagi menjadi 2 macam, yaitu surat Makiyah dan surat Madaniyah. Namun, untuk  pembahasan secara lebih mendalam tentang surat Makiyah dan surat Madaniyah ini akan dibahas di tulisan berikutnya, insya Allah.

[1] Majma’ Al-Lughah Al-‘Arabiyah, Al-Mu’jam Al-Wajiz, hlm. 328. Bandingkan dengan Hasbi Ash-Shiddieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, hlm. 58

[2] Al-Qaththan, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, hlm. 139

[3] Abdul Majid Khon, Praktikum Qira’at; Keanehan Bacaan Alquran Qira’at Ashim dari Hafash, Jakarta: Amzah, 2008, h. 7-8

Friday, January 4, 2019

Air hujan obat segala penyakit

Amalkan napa jar sidin pun😊🙏

- Kumpulkan Air Hujan Dengan Wadah Ukuran Sedang Untuk Tampungan Air Hujan.
- Pastikan Air Hujan Jangan Sampai Menyentuh Bekas Dari Atap (Air Hujan Harus Jatuhnya Mengenai Wadah Tersebut).
- Kemudian Ketika Hendak Minum Air Tadi Bacakan Surah : Al-Fatihah,Al-Ikhlas,Al-Falaq,An-Naas. = 1x (Al-Fatihah ampat Dalam Bahasa Banjar).
- Sebelum minum air tadi Bacakan = "Bismillahir Rahmaanir Rahim Nawaitu Syifa Bi Barkatil Musthafa Saw.
- Ketika Air Menuju Tenggorokan Sebutkan Hajat Penyakit Yang Ingin disembuhkan.
.
Semoga Bermanfaat.

~Syaikhona KH.Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Al Banjari~

#Minta_Rela ulun pun😊🙏

Thursday, January 3, 2019

Dari Habib Munzir Almusawa :

Dari Habib Munzir Almusawa :

Mengenai pertanyaan di alam kubur ini ada riwayat yg mengatakan yg pertama ditanya adalah siapa Tuhan kita, lalu dst dst., itu adalah riwayat yg masyhur.

Namun sebenarnya riwayat yg lebih shahih, sebagaimana berkali kali diulang pada shahih Bukhari, bahwa yang pertama di tanyakan adalah :

"Apa pengetahuanmu tentang Muhammad", demikian dalam riwayat yg berulang ulang pada Shahih Bukhari, dan ia lebih shahih dari riwayat yg masyhur yg kita kenal.
Sebagaimana sabda Rasul saw yang menceritakan hal itu; ketika seorang ditanya
dikuburnya dengan pertanyaan :

"Apa pengetahuanmu pada pria ini (Rasul saw), maka jika ia Mukmin maka ia menjawab :

"Dia Muhammad Rasulullah, diutus pada kami membawa penjelasan dan hidayah, maka kami menerimanya dan mengikutinya. Dia Muhammad, Dia Muhammad, Dia Muhammad."

Maka berkata malaikat : "tidur istirahatlah wahai shalih, kami telah mengetahui bahwa kau orang yg mantap dalam iman."

Namun jika ia munafik maka ia menjawab : "aku tidak tahu". (Shahih Bukhari)

Tentunya semua orang beriman akan bisa
menjawab seperti ini walau tak menghafalnya,
Sebaliknya para pendosa besar tak akan mampu mengucapkan nya walau ia telah menghafalnya di dunia.

Habibana MUNZIR pun menambahkan Bahwa :
Saat seseorang yg sering merindukan Rasul SAW ketika di dunia, barangkali saat ia di temukan dengan Rasul maka Rasul sendiri yang mengatakan bahwa : "dia ummat ku dia umat ku". Sebab Rasul sangat cinta kepada mereka yg mencintai beliau. Terlebih lagi ummat yg cinta itu adalah ummat yg hidup setelah beliau wafat.Tak pernah jumpa dan tak pernah bertemu.

Wahai saudaraku, semoga kelak Allah kumpulkan kita dengan baginda Rasul dan tak pernah terpisahkan. Aamiin Allahumma aamiin :'(

Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa'ala aalihi washohbihi wasalim

Wednesday, January 2, 2019

Kosa kata dari Nusantara di dalam al-Qur’an

Bahasa dan budaya itu dinamis. Telah terjadi pertemuan antar bangsa, baik lewat jalur perdagangan ataupun lainnya, yang membuat terjadinya penyerapan bahasa maupun percampuran budaya. Termasuk juga bahasa Arab. Dan karena al-Qur’an turun dalam bahasa Arab, maka penyerapan berbagai istilah dan nama non-Arab pun ikut terserap ke dalam kosa kata al-Qur’an.

Apakah dengan demikian ada bahasa non-Arab di dalam al-Qur’an? Saya kutip penjelasan Tafsir al-Qurthubi:

‎لَا خِلَافَ بَيْنَ الْأَئِمَّةِ أَنَّهُ لَيْسَ فِي الْقُرْآنِ كَلَامٌ مُرَكَّبٌ عَلَى أَسَالِيبَ غَيْرِ الْعَرَبِ، وَأَنَّ فِيهِ أَسْمَاءٌ أَعْلَامًا لِمَنْ لِسَانُهُ غَيْرُ الْعَرَبِ، كَإِسْرَائِيلَ وَجِبْرِيلَ وَعِمْرَانَ وَنُوحٍ وَلُوطٍ. وَاخْتَلَفُوا هَلْ وَقَعَ فِيهِ أَلْفَاظٌ غَيْرُ أَعْلَامٍ مُفْرَدَةٍ من كلام غير الْعَرَبِ، فَذَهَبَ الْقَاضِي أَبُو بَكْرِ بْنُ الطَّيِّبِ وَالطَّبَرَيُّ وَغَيْرُهُمَا إِلَى أَنَّ ذَلِكَ لَا يُوجَدُ فِيهِ، وَأَنَّ الْقُرْآنَ عَرَبِيٌّ صَرِيحٌ، وَمَا وُجِدَ فِيهِ مِنَ الْأَلْفَاظِ الَّتِي تُنْسَبُ إِلَى سَائِرِ اللُّغَاتِ إِنَّمَا اتُّفِقَ فِيهَا أَنْ تَوَارَدَتِ اللُّغَاتُ عَلَيْهَا فَتَكَلَّمَتْ بِهَا الْعَرَبُ وَالْفُرْسُ وَالْحَبَشَةُ وَغَيْرُهُمْ، وَذَهَبَ بَعْضُهُمْ إِلَى وُجُودِهَا فِيهِ، وَأَنَّ تِلْكَ الْأَلْفَاظَ لِقِلَّتِهَا لَا تُخْرِجُ الْقُرْآنُ عَنْ كَوْنِهِ عَرَبِيًّا مُبَيِنًا، وَلَا رَسُولَ اللَّهِ عَنْ كَوْنِهِ متكلما بلسان قومه، فالمشكاة: الكوة وو نشأ: قَامَ مِنَ اللَّيْلِ، وَمِنْهُ” إِنَّ ناشِئَةَ اللَّيْلِ” و” يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ” أي ضعفين. و” فَرَّتْ مِنْ قَسْوَرَةٍ” أَيِ الْأَسَدِ، كُلُّهُ بِلِسَانِ الْحَبَشَةِ. وَالْغَسَّاقُ: الْبَارِدُ الْمُنْتِنُ بِلِسَانِ التُّرْكِ. وَالْقِسْطَاسُ: الْمِيزَانُ، بِلُغَةِ الرُّومِ. وَالسِّجِّيلُ: الْحِجَارَةُ وَالطِّينُ بِلِسَانِ الْفُرْسِ. وَالطُّورُ الْجَبَلُ. وَالْيَمُّ الْبَحْرُ بِالسُّرْيَانِيَّةِ. وَالتَّنُّورُ: وَجْهُ الْأَرْضِ بِالْعَجَمِيَّةِ. 
‎قَالَ ابْنُ عَطِيَّةَ:” فَحَقِيقَةُ الْعِبَارَةِ عَنْ هَذِهِ الْأَلْفَاظِ أَنَّهَا فِي 
‎الْأَصْلِ أَعْجَمِيَّةٌ لَكِنِ اسْتَعْمَلَتْهَا الْعَرَبُ وَعَرَّبَتْهَا فَهِيَ عَرَبِيَّةٌ بِهَذَا الْوَجْهِ.

Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan pendapat bahwa al-Qur’an berisikan kata yang disusun dari term dan nama yang berasal dari non Arab. Misalnya: Israil, Jibril, Imran, Nuh dan Lut.

Namun demikian mereka berbeda pandangan apakah ada kata lain yg non-Arab? Imam Qurtubi menyebut nama Qadhi Ibn at-Thayyibat-Thabari dan ulama lainnya yang percaya bahwa al-Qur’an itu murni berbahasa Arab dan tidak ada kata lain yg non Arab dalam al-Qur’an.

Kalaupun ada kata yg tersusun dari bahasa non Arab, menurut mereka, itu hanya kesamaan saja antara bahasa Arab dan non Arab seperti Habasyah, Persia dan lainnya.

Imam Qurtubi juga menyebutkan bahwa ada pula yang berpendapat kalaupun ada kosa kata non Arab jumlahnya hanya sedikit dan tidak menghapus kenyataan bahwa al-Qur’an murni berbahasa Arab.

Imam Qurthubi kemudian menyebutkan beberapa contoh kosa kata tersebut seperti Misykat (QS 24:35), Nasya-a (QS 73:6), Qaswarah (QS 74:51). Ini contoh kosa kata yang berasal dari Habasyah (Ethiopia).

Imam Qurthubi juga menyebut al-Ghassaq (QS 38:57) dari Turki, Qisthas (QS 17:35) dari Romawi. Sijjil (QS 21:104) dari Persia. Dan contoh-contoh lainnya.

Imam Qurthubi kemudian mengutip Ibn ‘Athiyyah yang mengatakan: “hakikatnya adalah kosa kata tersebut asing namun orang Arab telah menggunakannya dan mengarabkannya. Jadi kosa kata itu juga dianggap bahasa Arab.”

Mungkin untuk memahami penjelasan di atas kita bisa lihat sendiri dengan bahasa Indonesia yang seringkali telah bercampur dengan bahasa asing dan kemudian kita gunakan sehari-hari dan menjadi bahasa Indonesia. Misalnya kata rakyat, musyawarah, wakil, tunggal, mutakhir, adil, introspeksi, dan lain sebagainya. Ada yang diserap dari bahasa Arab, Inggris, sanskrit, melayu dan lainnya.

Sekali lagi itu menunjukkan betapa dinamisnya bahasa itu.

Nah, satu hal yang tidak disebut dalam penjelasan kitab Tafsir al-Qurthubi di atas, ternyata ada juga bahasa Nusantara yang diadopsi dalam al-Qur’an.

‎إِنَّ الْأَبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا

Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur (QS 76: 5).

Sejak abad 4 Masehi (atau lebih awal lagi), kapur barus yang berasal dari daerah Barus di Sumatera telah terkenal di dunia Arab dan Asia. Maka itulah sebabnya al-Qur’an mengdopsi kata “kafur” ini. Al-Qur’an menyebutkan bahwa penduduk surga kelak akan minum dari mata air di surga yang airnya seputih, sewangi, dan sedingin kapur barus, tapi tidak rasa dan bahayanya.

Penjelasan di atas diperoleh dari Tafsir ar-Razi:

‎أَنَّ الْكَافُورَ اسْمُ عَيْنٍ فِي الْجَنَّةِ مَاؤُهَا فِي بَيَاضِ الْكَافُورِ وَرَائِحَتِهِ وَبَرْدِهِ، وَلَكِنْ لَا يَكُونُ فِيهِ طَعْمُهُ وَلَا مَضَرَّتُهُ

Dahulu kafur ini komoditi yang sangat mahal (konon seharga emas) dan dicari oleh banyak pihak. Kafur digunakan sebagai wewangian, bumbu masak, bahkan untuk obat-obatan. Di surga kelak, minuman yang dicampur dengan kafur inilah yang dihidangkan untuk orang-orang beriman. Kafur ini menjadi simbol kemewahan. Interaksi awal perdagangan antara wilayah Nusantara dengan dunia Arab bisa dilacak dari diserapnya kosa kata ini ke dalam tradisi Arab, sehingga turut pula masuk dalam bahasa al-Qur’an.

Saat ini kapur barus di tanah air dikenal dengan camphor atau kamper. Masih dipakai untuk wewangian di dalam lemari pakaian. University of Texas dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa kamper bisa menyembuhkan batuk, gatal-gatal di kulit, dan bisa pula membantu untuk menumbuhkan rambut untuk pria gundul, serta manfaat lainnya. Bahkan ada yg mencampurnya ke dalam teh untuk meraih efeknya. Namun para peneliti mengingatkan bahayanya bila konsumsinya tidak terkontrol.

Sampai di sini kita menyadari bahwa bukan saja relasi antara Nusantara dengan Arab sudah terjadi sebelum masa turunnya wahyu al-Qur’an, tapi juga begitu dinamisnya bahasa (dan juga budaya) itu. Kosa kata Arab diserap dalam bahasa Indonesia, sementara kosa kata dari Nusantara malah diadopsi dan diabadikan dalam al-Qur’an.

Tabik,

Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama
dan Dosen Senior Monash Law School