MUBALIGH BESAR
Sebagaimana pondok atau lembaga pendidikan yang lain, penutupan akhir tahun atau biasa disebut akhirus sanah adalah momen penutupan kegiatan yang tidak hanya diisi dengan mewisuda santri atau siswa, namun juga sebagai ajang unjuk gigi kepada masyarakat sekitar atas perkembangan pondok.
Salah satu unsur yang ingin di’tunjuk’kan dalam acara akhirus sanah biasanya adalah mubaligh, atau pengisi acara utama. Semakin kondang sang pengisi, maka gengsi akan semakin tinggi. Dikwagean pun sama, sejak meningkatnya perekonomian pondok, dan juga semakin berkembangnya pondok, pengurus mulai berani menaikkan kualitas mubaligh. Kualitas disini dari kadar ketenaran, bukan kadar kualitas keilmuan.
Karena seringkali, kualitas ketenaran tak berbanding lurus dengan kualitas keilmuan.
Sebelum saya pulang, pengurus telah beberapa kali mencoba mengundang mubaligh besar kelas wahid, namun tak pernah berhasil. Sudah sowan, dan dikasih jadwal sama sang mubaligh, eh ketika harinya malah digantikan oleh santrinya atau orang lain.
Saya yang hanya mendengar cerita dari panitia pun ikut kecewa, entah memang karena ada udzur atau bertepatan dengan acara yang lebih besar, yang jelas saya merasa kwagean belum di’anggap’ oleh para mubaligh besar itu.
Dan kekecewaan saya bertambah ketika saya menemukan cerita yang hampir sama dipondok teman saya, dimalang. Mengundang mubaligh besar yang sama, telah sowan, dan sang mubaligh yang menentukan tanggalnya. Namun menjelang hari H, malah mengabarkan kalau tidak bisa hadir.
Saking mangkelnya, teman saya nyeletuk:”kulo i radi jengkel, wes tanggal acara manut mriko, geh sudah di dp lumayan katah. Kok malah iseh mboten rawuh. Nopo kurang to jane bayarane?(saya agak jengkel, tanggal acara sudah ngikut beliau, sang mubaligh. Dp juga sudah masuk lumayan besar. Kok ya malah tidak hadir. Apa memang kurang bayarannya?)”. Hahaha
Saya pun hanya tertawa mendengarnya. Antara geli dan ikut merasa kecewa.
Saya tak mau su’udzon, semoga saja memang karena ada udzur yang benar-benar membuat sang mubaligh tidak bisa rawuh. Namun yang membuat hati kecil jengkel, seringkali diacara besar(jumlah massa dan liputannya), atau acara ditempat pondok besar, beliaunya hampir dipastikan sering rawuh.
Wallahua’lam.
Saya pernah bertanya tentang hal ini kepada bapak, beliau hanya berpesan:”yo gak usah mikir aneh-aneh. Gae pembelajaran wae. Lek diundang sopo ae, kapan ae wes nyanggupi, diusahakne kudu rawuh. Gak perduli wong cilik opo wong gede(gak usah mikir aneh-aneh. Dijadikan pembelajaran saja. Kalau diundang siapa saja, kapan sudah menyanggupi hadir, harus diusahakan untuk hadir. Tidak perduli yang mengundang orang besar atau orang kecil)”.
Dan memang itu yang selalu dicontohkan bapak kekami, setiap hari. Bapak punya satu kalender khusus(bapak tak punya asisten khusus bagian penjadwalan). Bapak yang melingkari sendiri kalender tersebut setiap ada undangan masuk, biasanya bahkan sebelum sang tamu pulang dari rumah bapak. Bila belum ada lingkaran, dan bapak masih memungkinkan hadir, maka bapak akan menyanggupi. Namun bila sudah ada lingkaran, bapak akan menanyakan waktunya. Bila memang tidak bertabrakan dengan jadwal awal, dan memungkinkan jarak dan waktunya, bapak akan berusaha hadir.
Dulu, almarhumah ibuk saya selalu berpesan:”sok awakmu kudu niru bapakmu, lek diundang sopo wae wong kwagean opo sopo kudu teko. Meskipun seng ngundang wong ra nduwe. Ojo nekani undangan wong seng ketoke sugeh tok(nanti, kamu harus niru bapakmu, kalau diundang oleh orang kwagean atau siapa saja harus hadir-bila mampu-. Meskipun yang mengundang orang tak punya. Jangan hanya menghadiri undangan orang kaya saja)”.
Mubalig sendiri dalam kbbi berarti juru dakwah. Saya tambahi h karena saya merasa gh lebih patut menjadi ghoin dalam bahasa arab. Sedangkan besar, dalam konteks mubaligh ini saya maksudkan pada para kiai atau penceramah yang sudah kondang ditingkat nasional.
Disetiap bapak mendapat undangan, dan diaturi menjadi mubaligh, bapak pasti akan matur bila ada yang lain, lainnya saja. Bapak selalu merasa tak ahli dalam hal ceramah.
“Dadi mubaligh ki abot. Kudu ngomong opo anane. Gak oleh nambah-nambah i cerito. Gak oleh ngarang-ngarang cerito. Opo maneh goroh. Kadang akeh seng ngunu kui, gur ben seneng jamaah e. Aku ra sanggup lek ngunu kuwi(menjadi mubaligh itu berat. Harus berbicara apa adanya. Tidak boleh menambah-nambahi cerita. Tidak boleh mengarang-ngarang cerita. Apalagi berbohong hanya agar jamaahnya senang. Saya tak sanggup kalau harus seperti itu)”. Kata bapak seringkali pada kami.
Dan biasanya, bila memang yang mengundang memaksa bapak tetap mengisi acara, bapak seringkali mengisinya dengan ngaji.
Iya ngaji, bapak akan menulis cuplikan kitab(biasanya ihya’), lalu dimaknai gandul(utawi iki iku) dan selanjutnya diterangkan pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari beserta pengalaman hidup bapak.
Persis ngaji ihya’ setiap hari dikwagean, hanya saja porsinya ditambahi dibagian cerita-cerita.
Dan pada akhirnya, saya selalu belajar untuk memosisikan diri. Saat mengundang, kita harus tahu diri, dan jangan berharap lebih. Selalu berharap yang terbaik, namun mempersiapkan diri pada yang terburuk.
Dan bila diundang, jangan pilih-pilih. Dahulukan yang lebih awal mengundang.
Semoga mampu selalu adil, bahkan sejak dalam fikiran(ini dawuh tokoh).
#salamKWAGEAN
No comments:
Post a Comment