Thursday, June 20, 2019

APA ITU SUJUD SYAJAROH?

APA ITU SUJUD SYAJAROH?

Oleh; Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
***

Makna bahasa sujud syajaroh (سُجُوْدُ الشَّجَرَة) adalah “sujudnya sebuah pohon”. Istilah sujud syajaroh disebut An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’. An-Nawawi berkata,

قَالَ أَصْحَابُنَا وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَقُولَ فِي سُجُودِهِ مَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ وَهُوَ قَوْلُهُ سَجَدَ وَجْهِي إلَى آخِرِهِ وَسُجُودُ الشَّجَرَةِ أَيْضًا (المجموع شرح المهذب (4/ 65)

Artinya,

“Ashabuna (ulama-ulama Syafi’iyah mutaqaddimin) berkata, ‘Dianjurkan untuk berdoa dalam sujud (tilawah)-nya sebagaimana disebutkan oleh pengarang yakni ucapan ‘sajada wajhi…’ dan seterusnya dan (dianjurkan juga membaca doa) sujud syajaroh juga” (Al-Majmu’ juz 4 hlm 65)

Kalau begitu, apa sebenarnya makna sujud syajaroh itu?

Istilah sujud syajaroh sebenarnya menunjuk sebuah kisah mimpi yang pernah terjadi di zaman Nabi ﷺ . Syahdan, seorang lelaki di zaman Nabi ﷺ pernah bermimpi sedang salat di belakang sebuah pohon. Ketika laki-laki itu sujud, ia mendengar pohon tersebut ikut sujud dan bahkan berdoa dengan suara yang jelas didengar. Doanya sungguh ajaib! Karena takjub, maka lelaki itupun pergi kepada Rasulullah ﷺ dan menceritakan mimpinya dengan lengkap. Tak dinyana, ternyata Rasulullah ﷺ memakai doa yang dibaca pohon itu dalam sujud tilawah beliau. At-Tirmidzi meriwayatkan,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى رَأَيْتُنِى اللَّيْلَةَ وَأَنَا نَائِمٌ كَأَنِّى أُصَلِّى خَلْفَ شَجَرَةٍ فَسَجَدْتُ فَسَجَدَتِ الشَّجَرَةُ لِسُجُودِى فَسَمِعْتُهَا وَهِىَ تَقُولُ اللَّهُمَّ اكْتُبْ لِى بِهَا عِنْدَكَ أَجْرًا وَضَعْ عَنِّى بِهَا وِزْرًا وَاجْعَلْهَا لِى عِنْدَكَ ذُخْرًا وَتَقَبَّلْهَا مِنِّى كَمَا تَقَبَّلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ دَاوُدَ. قَالَ الْحَسَنُ قَالَ لِى ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ لِى جَدُّكَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَقَرَأَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- سَجْدَةً ثُمَّ سَجَدَ. قَالَ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَسَمِعْتُهُ وَهُوَ يَقُولُ مِثْلَ مَا أَخْبَرَهُ الرَّجُلُ عَنْ قَوْلِ الشَّجَرَةِ (سنن الترمذى – مكنز (2/ 491)

Artinya,

“Dari Ibnu Abbas dia berkata, ‘Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ﷺ seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, semalam saya bermimpi seakan-akan saya shalat di belakang sebatang pohon, lalu saya sujud maka pohon itupun ikut sujud dan saya mendengar dia mengucapkan, ‘Allahummaktubli biha ‘indaka ajron, wadho’ ‘anni biha wizron waj’alha li ‘indaka dzukhron wataqobbalha minni kama taqobbaltaha min ‘abdika dawud’ (Ya Allah, tuliskanlah untukku pahala karena sujud ini, hapuskanlah dosaku karena sujudku ini, jadikanlah sujudku ini sebagai tabungan amal shaleh di sisi-Mu serta terimalah ia sebagai amal shaleh sebagaimana Engkau menerimanya dari hamba-Mu Dawud). Hasan berkata, Ibnu Juraij telah berkata kepadaku, kakekmu telah berkata kepadaku, Ibnu Abbas berkata, Lalu Nabi ﷺ membaca ayat sajdah, maka beliau sujud. Dia (Ibnu Juraij) berkata, Ibnu Abbas berkata, saya mendengar beliau mengucapkan seperti apa yang diucapkan pohon tersebut, sebagaimana dikabarkan laki-laki tadi” (H.R. At-Tirmidzi).

Hadis ini dihasankan oleh Al-Albani. An-Nawawi mengatakan dalam kitab Al-Khulashoh bahwa sanadnya hasan. Al-Hakim mensahihkannya.

Jadi, dinamakan sujud syajaroh adalah karena sujud ini dilakukan sebuah pohon dalam mimpi seorang lelaki di zaman Nabi ﷺ . Oleh karena doa yang dibaca pohon itu dibaca oleh Rasulullah ﷺ, maka lafaz doa itu telah ditaqrir oleh Rasulullah ﷺ dan menjadi dalil syar’i dalam perkara hukum. Mengingat konteks doa yang dibaca pohon itu adalah dalam sujud tilawah, maka doa yang dibaca pohon itu akhirnya menjadi salah satu variasi dari doa syar’i yang bisa dipakai pada saat melakukan sujud tilawah. Oleh karena itulah, An-Nawawi berkata dalam Al-Majmu’ sebagai berikut,

وَإِنْ قَالَ اللَّهُمَّ اُكْتُبْ لِي بِهَا عِنْدَكَ أَجْرًا وَاجْعَلْهَا لِي عِنْدَك ذُخْرًا وَضَعْ عَنِّي بِهَا وِزْرًا وَاقْبَلْهَا مِنِّي كَمَا قَبِلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ دَاوُد عَلَيْهِ السَّلَامُ فَهُوَ حَسَنٌ (المجموع شرح المهذب (4/ 64)

Artinya,

“Jika dia (orang yang melakukan sujud tilawah itu) berdoa ‘Allahummaktubli biha ‘indaka ajron, wadho’ ‘anni biha wizron waj’alha li ‘indaka dzukron waqbalha minni kama qobiltaha min ‘abdika dawud alahihissalam’ (Ya Allah, tuliskanlah untukku pahala karena sujud ini, hapuskanlah dosaku karena sujudku ini, jadikanlah sujudku ini sebagai tabungan amal shaleh di sisi-Mu serta terimalah ia sebagai amal shaleh sebagaimana Engkau menerimanya dari hamba-Mu Dawud alaihis salam) maka itu baik” (Al-Majmu’ juz 4 hlm 64)

  Versi Situs: http://irtaqi.net/2019/06/20/apa-itu-sujud-syajaroh/

***
16 Syawwal 1440 H

Sunday, June 16, 2019

TATA CARA SUJUD TILAWAH

TATA CARA SUJUD TILAWAH

Oleh; Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
***

Sujud tilawah adalah sujud satu kali yang dilakukan setelah membaca atau mendengar ayat sajdah. Yang dimaksud ayat sajdah adalah ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang mengandung perintah bersujud atau pujian terhadap orang yang bersujud karena mengagungkan Allah. Jumlah ayat-ayat seperti ini ada 14 ayat. Hukum melakukan sujud tilawah adalah sunnah.

Terkait syarat sahnya, semuanya sama dengan syarat sah salat nafilah yakni

1. Suci, baik dari hadas maupun najis
2. Menutup aurat
3. Menghadap kiblat

Adapun tatacaranya, maka harus dibedakan antara sujud tilawah yang dilakukan pada saat salat dan sujud tilawah yang dilakukan di luar salat. Berikut ini penjelasan masing-masing.

Tatacara Sujud Tilawah Di Dalam Salat

Oleh karena waktu membaca Al-Qur’an saat salat adalah pada posisi berdiri, maka situasi yang memicu untuk sujud tilawah hanyalah saat berdiri ini. Tidak mungkin “start” sujud tilawah dilakukan saat rukuk, atau sujud, atau duduk di antara dua sujud karena tidak ada bacaan Al-Qur’an pada gerakan-gerakan tersebut.

Selanjutnya berikut ini kaifiyyah sujud tilawah yang dilakukan di tengah-tengah salat tanpa membedakan apakah dalam situasi salat munfarid maupun saat menjadi imam. Untuk makmum, cukup mengikuti gerakan imam.

1. Sujud tilawah baru boleh dilakukan jika ayat sajdah sudah dibaca tuntas. Jika ayat belum selesai dibaca, meski tinggal 1 huruf, maka tidak boleh sujud tilawah
2. Tepat setelah ayat selesai dibaca (tidak boleh ada jeda panjang) bertakbirlah tanpa mengangkat tangan untuk sujud. Bacaan takbir dipanjangkan hingga dahi menyentuh tempat sujud
3. Setelah itu sujudlah dengan thuma’ninah persis seperti sujud dalam salat
4. Bacaan saat sujud adalah lafaz yang dibaca oleh Rasulullah ﷺ, yaitu

سَجَدَ وَجْهِى لِلَّذِى خَلَقَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ

Atau,

اللَّهُمَّ اُكْتُبْ لِي بِهَا عِنْدَكَ أَجْرًا وَاجْعَلْهَا لِي عِنْدَك ذُخْرًا وَضَعْ عَنِّي بِهَا وِزْرًا وَاقْبَلْهَا مِنِّي كَمَا قَبِلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ دَاوُد عَلَيْهِ السَّلَامُ

Atau,

سُبْحَانَ رَبِّنَا إنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا

Atau bacaan-bacaan sujud dalam salat biasa. Atau menggabung semua bacaan tadi.

5. Setelah selesai sujud, kemudian berdiri tanpa duduk istirahat sambil bertakbir sampai tegak berdiri
6. Jika sudah tegak berdiri, maka pilihannya dua; langsung rukuk atau membaca Al-Qur’an lagi. Jika langsung rukuk maka itu boleh asalkan sebelumnya sudah membaca Al-Fatihah. Jika membaca Al-Qur’an lagi maka itu lebih afdal karena hukumnya mustahabb. Al-Qur’an yang dibaca bisa melanjutkan ayat setelah ayat sajdah dan bisa juga membaca surah baru jika kebetulan ayat sajdah itu berada di akhir surah

Tatacara Sujud Tilawah Di Luar Salat

Syariat ini berlaku tanpa membedakan apakah membaca sendiri ayat sajdah atau mendengar dari orang lain. Juga tidak membedakan apakah membacanya dengan hafalan ataukah dengan membaca mushaf.

Untuk sujud tilawah di luar salat, maka ikuti kondisi yang ada. Jika pas duduk maka gerakan sujud dimulai dari posisi duduk itu. Jika pas berdiri, maka gerakan sujud dimulai saat berdiri itu. Jika sedang duduk, tidak disunnahkan berdiri dulu sebelum sujud tilawah karena tidak ada dasarnya. Semua riwayat yang mensunnahkan berdiri dulu adalah riwayat dhoif.

Berikut ini tatacara detailnya,

1. Pastikan dulu ayat sajdah sudah dibaca tuntas. Jika ayat belum selesai dibaca, meski tinggal 1 huruf, maka tidak boleh sujud tilawah
2. Tepat setelah ayat selesai dibaca (tidak boleh ada jeda panjang) berniatlah dengan dibarengkan mengucapkan takbiratul ihram seraya mengangkat tangan setinggi pundak disusul bersedekap seperti saat salat biasa. Takbiratul ihram ini adalah syarat sah. Tidak sah sujud tilawah di luar salat tanpa takbiratul ihram.
3. Selesai bertakbiratul ihram, bertakbirlah lagi untuk sujud tanpa mengangkat tangan. Bacaan takbir dipanjangkan hingga dahi menyentuh tempat sujud
4. Setelah itu sujudlah dengan thuma’ninah persis seperti sujud dalam salat
5. Dalam sujud itu bacalah dzikir khusus untuk sujud tilawah sebagaimana yang diterangkan sebelumnya
6. Setelah selesai sujud angkatlah kepala seraya bertakbir (tanpa mengangkat tangan). Bacaan takbir dipanjangkan sampai duduk tegak.
7. Setelah duduk tegak, tidak usah bertasyahhud, tetapi langsung melakukan salam seperti dalam salat biasa. Salam ini adalah syarat sah juga. Tidak sah sujud tilawah di luar salat yang tidak ditutup dengan salam

Sampai di sini bisa disimpulkan bahwa sujud tilawah itu hanya dilakukan satu kali saja dan bisa dilakukan di dalam maupun di luar salat. Jika dilakukan di dalam salat maka tidak perlu takbiratul ihram, karena sudah “ikut” takbiratul ihram salat itu termasuk “ikut” salam salat itu. Jika dilakukan di luar salat, maka harus didahului takbiratul ihram dan diakhiri salam.

Demikian ringkasan tatacara sujud tilawah. Ringkasan ini kami sarikan dari kitab Al-Majmu’ karya An-Nawawi, kitab Roudhotu Ath-Tholibin karya An-Nawawi ditambah sejumlah referensi penunjang lainnya.

اللهم اجعلنا من الساجدين

Versi Situs: http://irtaqi.net/2019/05/18/tata-cara-sujud-tilawah/

***
12 Syawwal 1440 H

Wednesday, June 12, 2019

MAKAN DAN TIDUR YANG BERLAKU BAGI ROMO YAI (Asrori) RA

MAKAN DAN TIDUR
YANG BERLAKU BAGI ROMO YAI (Asrori) RA
(1)
Dalam suasana duduk duduk santai di teras Aula Ponpes As Salafi Al Fithrah Surabaya, seusai majlis Haul Akbar Ahad Pagi, tahun 2006, ada seorang Habib mengajak bicara salah seorang khodim penderek Romo Yai RA. Semula, si penderek ini mengira hanya mengajak berbasa basi. Tapi setelah disimak lebih serius, rupanya Habib ini sedang mengajak ngobrol ("ngerasani") tentang Romo YAI RA.
"Orang seperti Kyai Asrori ini", kata Habib tersebut, "rasa senangnya terletak di orang lain. Coba saja lihat".
"Maksudnya bagaimana, Bib?" Tanya si khodim.
Lantas Habib itu menyahut meneruskan dawuhnya, "Kyai Asrori itu, akan merasa nikmat, nikmatnya makan misalnya, jika Beliau melihat orang lain makan dan kelihatan sangat menikmati. Itu Kyai Asrori baru ikut merasakan nikmatnya. Beliau seperti merasa seneeeeeng dan bersyukur."
Lanjutnya, "Tapi, bagaimana dengan makannya Yai sendiri? Tak pernah. Dan tak bakal pernah Yai bisa makan sampai merasa nikmat. Kenapa? Karena tak sempat. Tidak mungkin bagi orang seperti Kyai Asrori sempat enak makan, seperti kita kita ini. Tidak mungkin sempat. Percaya, sudah." Kata Habib itu dengan nada meninggi karena tampak serius dan berusaha meyakinkan.
Si khodim terdiam dan mulai merenung. Ia mengingat ingat bagaimana Romo YAI RA di saat harus dahar. Juga, bagaimana Beliau RA di saat semestinya orang pada umumnya harus tidur untuk rehat. Dalam hatinya lalu seperti mengatakan : Ada benarnya juga Habib ini.
Lalu Habib itu meneruskan, "Coba lihat sekarang ini. Makanan begitu banyak. Di sana makanan, di sini makanan. Enak enak. Maasyaa-Allaah. Tapi ana lihat tadi, Kyai Asrorinya cuma berdiri. Pindah ke sana, pindah ke lain lagi, cuma mempersilakan : Fadhdhol Bib ... Fadhdhol Bib ... ! Habibnya pada "leko", ambil ini ambil itu. Yang lezat lezat. Semua disantap. Tapi saya perhatikan betul, Kyai Asrorinya cuma senyum senyum melihat para habib yang makan itu. Subhaana-Allaah."
"Ini bagaimana? Kapan makannya Kyai Asrori ini? WaAllaaah ... Ana belum pernah melihat Kyai Asrori makan dengan enak. Belum pernah ana lihat." Habib ini mulai tampak berkeringat karena seriusnya.
(2)
Si khodim jadi keingat akan banyak hal. Romo YAI RA itu, misalnya ketika dalam perjalanan ke luar kota bersama rombongan beberapa orang pengikut atau pendereknya, lalu tiba saatnya harus berhenti untuk makan, maka Beliau RA selalu mencari tempat makan yang sekira menurut para pengikut ini merasa cocok dan enak.
Setelah semua pesanan sudah dihidangkan, semua pada khusyu' dengan isi piringnya sendiri. Romo YAI RA pun kelihatan ikut dahar. Tapi, jika diamati dengan seksama, maka akan ketahuan kalau dahar Beliau RA itu cuma sesuap-dua suap, "cimik-cimik". Sepintas kelihatannya saja Beliau RA dahar dengan lahapnya. Namun waktunya lebih banyak dihabiskan untuk mengamati dan melayani yang lain.
Yang sering Beliau RA lakukan, misalnya, tiba tiba saja Beliau RA mengambil tambahan lauk. Setelah dihidangkan, dicicip sedikit, lantas dikasikan ke yang lain. Pesan menu lauk lagi, dicicip sedikit, lalu dikasikan ke yang lain lagi. Sementara yang dikasi tetap saja menerima dan menikmatinya. Bahkan berebut dengan temannya. Selalu begitu.
Ketika semua pada habis, isi di piring Romo YAI RA seringkali masih tersisa. Sisanya lebih dari separo. Tapi tidak banyak yang tahu. Sebab biasanya Beliau RA dengan cepat menyembunyikan piringnya itu. Sementara yang lain sibuk dengan minumannya. Atau bagi yang duduk di dekat Romo YAI RA, diajaknya bicara soal sesuatu, sehingga pikirannya beralih, tidak ke isi piring Romo YAI RA itu.
Sampai di suatu saat, memang benar. Beliau RA sempat Dawuh : "Saya paling seneng, melihat orang itu, ketika dalam dua keadaan. Pertama, ketika saya lihat orang sedang makan dengan lahap. Sepertinya dia menikmati benar makannya itu. Itu saya senang".
"Kedua, kalau saya melihat orang yang sedang tidur lelap sekali. Sampai "ngorok" (mendengkur). Saya membayangkan betapa nikmatnya ia. Kalau sudah begitu, saya itu tidak berani membangunkan. Meskipun ada acara penting. Begitu."
Begitulah Romo YAI RA. Tergambar jelas meskipun tersirat. Betapa secara manusiawi, diri Beliau RA "memimpikan" bagaimana nikmatnya bisa merasakan makan lahap dan bisa tidur nyenyak. Karena memang Beliau RA tidak pernah merasakan itu. "Status" atau "tanggung jawab" Beliau RA menjadikan kesehariannya tak akan pernah sempat merasakannya.
(3)
Pernah suatu ketika, si khodim ini terpaksa matur untuk bertanya. Karena tidak satu dua kali tapi sering terjadi. Di saat Romo YAI RA dahar bareng-bareng dengan yang lain, tiba tiba Beliau RA berdiri meninggalkan meja, menuju toilet. Dan itu lama sekali.
Semula khodim beranggapan ini hal yang biasa. Tapi berhubung sering dilakukan oleh Romo YAI RA, akhirnya si khodim memberanikan diri untuk menanyakan, "Ngapunten Yai. Saya perhatikan, Yai seringkali di saat ketika dahar, terus pergi ke toilet. Dan itu tidak sebentar. Jujur, saya lalu ada muncul khawatir. Atau pingin tahu kenapa. Maaf jika saya salah Yai. Atau Yai kurang berkenan."
Syukur Alhamdulillah, ternyata Romo YAI RA menanggapi dengan menjelaskan.
"Begini Fulan. Saya itu kalau makan, harusnya cepet cepet selesai. Pokoknya, masuk ditelan, masuk ditelan. Begitu. Itu mestinya, kalau saya pingin makan yang agak banyak. Kenapa? Sebab jangan sampai, kedahuluan pikiran saya kemasukan urusan."
"Karena kalau sudah kemasukan urusan ; ingat murid, ingat ini, ingat itu, ingat apa saja yang memang jadi tanggung jawab keseharian saya, itu kalau pas makan, pasti pingin muntah. Pembawaan tubuh saya itu sudah otomatis begitu. Tidur pun begitu. Jadi akhirnya gak bisa tidur."
"Kamu bayangkan sendiri lah. Misalnya anakmu punya hutang sama orang. Jumlahnya jutaan. Tiba tiba ketika malam mau tidur, kamu ditelp kalau besok pagi pagi akan ditagih. Dan harus kamu bayar lunas. Kalau nggak, kamu akan dibawa ke penjara. Apa kamu bisa tidur? Nggak waras kalau kamu masih bisa tidur lelap. Yaa ibaratnya seperti itu."
"Jadi, makan gak pernah bisa enak. Tidur gak pernah bisa lama. Apalagi pulas. Selalu gelisaaaah. Pikiran ini selalu "umep" (mendidih). Saya bisa tidur itu biasanya kalau kondisi fisik ini benar benar memang menuntut sendiri untuk harus tidur. Memang badan manusiawi saya yang tidak kuat. Sehingga akhirnya jadi tertidur. "Keseliyer". Itu tidur saya. Yaa ... yang namanya orang "keseliyer" itu berapa lama sih?"
(4)
Di akhir obrolan di Aula yang diceritakan di awal tadi, Habib itu berkata, "Itu memang sudah jadi ciri bagi setiap Ulama Besar yang ditugasi Allah untuk mengemban ummat. Siapa pun. Coba ditelaah kisah kisah dari Ulama Besar dunia yang lainnya. Ini tak lain karena memang mewarisi ciri dari kekasihnya Rasulullah SAW".
"Rasulullah SAW itu sepanjang hidup di masa ke-Nabiannya, dua puluh empat jam tidak pernah putus untuk memikirkan nasib ummatnya. Hingga sampai sampai di saat sakarotul-maut, yang muncul di pikirannya malah bertanya : bagaimana nasib ummatku kelak."
"Persis ! Para Mursyid para Ulama Besar itu yaa persis seperti Rasulullah SAW ini. Begitu pun Kyai Asrori yang sekarang kita ikuti ini. Persis." Sambil setengah gemetaran, lalu Habib itu menepuk nepuk pundak si khodim sambil mulutnya mengucapkan doa. Dan, "Aamiiin Aamiiin AllaaHhumma Aamiiin Yaa Robbal 'Aalamiiin", hanya itu yang bisa diucapkan oleh Fulan si khodim ini.

(AllaaHhummanfa'naa BiHhii
Wa Bi BarkatiHhii Wa Bi 'UluumiHhii
Fid-Daaroiin. Aamiiin.
Al Faatihah ... !)
----------------------------------------------------------------

Sunday, June 9, 2019

KETIKA ADAB MELAMBUNGKAN DERAJAT SYAIKHONA KHOLIL BANGKALAN

KETIKA ADAB MELAMBUNGKAN DERAJAT SYAIKHONA KHOLIL BANGKALAN

Dulu ketika masih kecil dan belum masuk pesantren, saya bisa dikatakan "awam" pengetahuan tentang sosok Syaikhona kholil Bangkalan. Yang saya ketahui dari para Santri, beliau yang saya ziarahi makamnya bersama ribuan santri Bangkalan pada setiap malam Jum'at itu adalah salah satu "Bujhuk" (buyut) saya. Saya baru mulai mengetahui keagungan nama seorang Syaikhona ketika mondok di PP. Darul Falah Amtsilati Jepara. Kala itu salah seorang sahabat memperlihatkan buku biografi Syaikhona Kholil berjudul : Surat kepada Anjing Hitam. Bermula dari situ, saya mulai mengetahui sedikit tentang sosok Syaikhona, tentang bagaimana beliau pernah menjadikan Bangkalan sebagai Pusat peradaban ilmu pada zamannya, juga tentang bagaimana beliau dengan "didikan emasnya" berhasil mencetak  ribuan ulama yang tersebar di penjuru nusantara.

Kisah tentang kehebatan Syaikhona bahkan masih "membuntuti" saya ketika sampai di Tarim Hadhramaut. Di awal-awal saya belajar disana, Salah satu senior menuturkan bahwa ternyata Syaikhona Kholil memiliki hubungan yang sangat erat dengan Habib Ali Bin Muhammad Al-Habsy Shohibul Maulid. Syaikhona bahkan disebut pernah berjumpa dengan Habib Ali, entah bagaimana caranya beliau sampai ke Seiwun di waktu itu. Konon suatu hari Habib Ali berkata pada murid-muridnya bahwa sebentar lagi akan datang seorang ulama besar, tak lama kemudian datanglah Syaikhona. Habib Ali menyambut beliau dan keduanya terlihat berbincang-bincang akrab, dan uniknya pada pertemuan itu Habib Ali bercengkrama dengan Syaikhona memakai bahasa Madura.. !!

" Sae Non ? Kakdimmah Salakkah ? " tanya Habib Ali kepada Syaikhona waktu itu.

Syaikhona dan Habib Ali memang hidup dalam kurun zaman yang sama, mereka berdua juga  pernah berguru kepada guru yang sama yaitu Syaikh Ahmad Zaini Dahlan Mufti Syafi'iyah di Mekkah kala itu.

Belakangan saya juga baru mengetahui bahwa ulama-ulama besar sekaliber Sayyid Muhammad Al-Maliki, Syaikh Ali Gomaa, Habib Salim Assyathiri, Habib Umar bin Hafidz dll memiliki sanad keilmuan yang bermuara kepada Syaikhona Kholil. Itu karena mereka mengambil sanad keilmuan dari Syaikh Yasin Al-Fadani, sedangkan Syaikh Yasin dalam berbagai fan mengambil sanad dari Kh. Ma'sum Lasem dan Kh. Tubagus Bakri Banten, yang mana keduanya sama sama berguru dan mengambil sanad dari Syaikhona Kholil Bangkalan. Jadi tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Syaikhona bukan hanya bisa disebut sebagai "Syaikhu Syuyukhi Jawa" atau Maha guru dari para ulama Jawa, Syaikhona juga layak disebut sebagai Maha guru dari Ulama-ulama dunia.

* Akhlak dan Adab luhur, kunci keagungan Syaikhona.

Selama ini banyak yang memandang Syaikhona sebagai sosok waliyullah pemilik ribuan karomah, yang seringkali perilakunya tidak bisa dinalar akal
orang-orang biasa. Syaikhona juga dikenal sebagai salah satu Inspirator berdirinya NU, seorang "murobbi" sejati yang murid-murid didiknya berhasil menjadi ulama-ulama besar yang menyebarkan Islam di seluruh penjuru Nusantara. Disini saya tak akan membahas tentang ribuan karomah dan keajaiban yang Syaikhona miliki, selain karena memang sudah banyak yang menceritakannya, saya rasa terlalu banyak membahas bab karomah hanya akan membuat kita menganggap bahwa Syaikhona adalah sosok yang tak bisa dijangkau dan dijadikan panutan. Toh padahal tujuan utama kita mengkaji sejarah seorang ulama adalah untuk menteladani tindak-lampahnya. Saya hanya akan menunjukkan satu "kunci", dimana dengannya Syaikhona bisa meraih dan menggapai semua kemuliaan yang terus mengalir sampai detik ini, dimana dengan "kunci" itu Hingga saat ini nama Syaikhona Kholil masih sangat diagungkan, ribuan peziarah juga memadati "pesarean" Syaikhona tiap harinya.

"Kunci" kemulian itu adalah Adab. Adab mulia Nan luhur adalah hal yang paling menonjol dari sejarah hidup seorang Syaikhona. Dimulai dari masa-masa beliau menuntut ilmu. Ketika nyantri di Pasuruan, Setiap memasuki Kawasan pesantren Sidogiri (setelah berjalan kaki sepanjang 7Km dari Kebon Candi tiap harinya) beliau selalu mencopot sandalnya sebagai wujud ta'dhim terhadap para Masyayikhnya.

Ketika Mondok di Genteng Banyuwangi, Syaikhona berkhidmah penuh kepada sang guru KH. Abdhul Bashir. beliau mengisi bak mandi, mencuci pakaian, mencuci piring dan memasak untuk Sang kiai. Beliau juga bekerja sebagai pemetik buah kelapa dengan upah 3 sen setiap 80 pohon. dan yang lebih menakjubkan, Syaikhona sama sekali tidak memakai sepeser-pun dari hasil jerih payahnya itu, semua uang penghasilannya beliau persembahkan untuk gurunya, untuk makanan sehari-harinya Syaikhona lebih memilih untuk memungut makanan sisa kiainya.

العبد و ما ملك ملك لسيده

" hamba sahaya dan semua yang ia miliki adalah milik dari tuannya "

Mungkin kalam shufi satu ini bisa mewakili prinsip seorang Syaikhona, "saking" tinggi-nya adab dan tadhim beliau terhadap gurunya, sampai-sampai beliau menganggap dirinya adalah seorang hamba sahaya yang bukan siapa-siapa dan tak memiliki apa-apa  dihadapan sang Guru.

Pun ketika Syaikhona menuntut ilmu di Mekkah. Ketika berguru kepada Syaikh Muhammad Arrahbini yang merupakan seorang tunanetra, setiap malam Syaikhona sengaja tidur di pintu Musholla Sang guru, dengan harapan beliau akan menginjaknya ketika memasuki pintu musholla, lantas Syaikhona terbangun dan menuntun gurunya menuju pengimaman.

Di Makkah ,Syaikhona yang terkenal memiliki tulisan yang indah sering menulis kitab Alfiah dengan tangannya sendiri lantas menjualnya dengan harga 200 Ryal per-kitab. Seperti ketika mondok di Banyuwangi, Lagi-lagi hasil jerih payahnya itu beliau persembahkan untuk para gurunya, sedangkan untuk makanan sehari-harinya, Syaikhona lebih memilih untuk memungut dan memakan kulit-kulit semangka.

Masih pada fase pendidikan Syaikhona di Mekkah, Adab luhur yang menjadi prinsip beliau disana adalah, beliau sama sekali tidak pernah membuang hajat di tanah Suci Mekkah. Untuk menghormati Kota kelahiran Kanjeng Nabi ini, Syaikhona rela berjalan sejauh 6km keluar batas tanah suci untuk membuang hajat.

Tak cukup sampai disitu, ketika sudah menjadi seorang kiai besar yang disegani dimana-mana. Kala itu beliau pernah menaiki sebuah dokar, ditengah perjalanan beliau bertanya pada si kusir :

"kudanya bagus pak.. Dari mana ? "

" Dari Bima Kiai.. " jawab sang kusir.

Mendengar Nama itu beliau teringat akan seorang gurunya di Makkah yg berasal dari Bima. Beliau ingat bahwa gurunya itu mempunyai ratusan ekor kuda. Beliau lantas menyuruh kusir berhenti, Syaikhona lekas saja turun dari dokar itu karena beliau khawatir kuda itu adalah salah satu keturunan dari kuda-kuda yang dimiliki oleh gurunya dari Bima, Syaikh Abdul Ghoni Al-bimawy !!

Dalam menghormati ilmu dan ulama Syaikhona selalu total dan tak pernah tanggung-tanggung. Setiap hal yang berkaitan dengan ilmu, sekecil apapun nisbat-nya akan beliau muliakan. Kisah beliau dengan kuda dari Bima diatas adalah bukti nyatanya.

Beradab tinggi terhadap ilmu dan ulama adalah harga mati bagi Syaikhona, bahkan meski ulama itu adalah murid hasil didikan beliau sendiri. Sebagaimana dikisahkan oleh Kh. Ahmad Ghazali Muhammad dalam kitabnya "Tuhfah Arrawi",  sebelum wafatnya, Syaikhona pernah berkunjung ke Jombang untuk mengikuti pengajian Hadits yang diasuh oleh santrinya sendiri yaitu Kh. Hasyim Asyari di Tebuireng. Tak hanya itu, Syaikhona bahkan mengambil lalu membalik sandal Kiai Hasyim sebelum beliau turun dari musholla layaknya seorang santri yang mengharap berkah dari gurunya !

Tentunya masih banyak kisah-kisah tentang kehebatan adab dan akhlak Syaikhona yang belum terlacak hingga saat ini. Dan dengan itulah Syaikhona berhasil meraih semuanya, kejayaan, kemuliaan, dan nama agung yang masih sangat semerbak baunya sampai saat ini.

Generasi milenial yang hidup di masakini saya rasa tidak sedang mengalami krisis ilmu, media-media penyalur ilmu di zaman ini bahkan jauh lebih lengkap dibandingkan pada generasi sebelumnya. Perbedaan mencolok yang membuat kita jauh tertinggal dari para salaf kita terdahulu adalah kemerosotan Adab dan akhlak yang makin menjamur pada generasi kita ini. Tentunya faktor utamanya adalah kurangnya pengetahuan akan sosok-sosok Agung yang layak untuk dijadikan panutan.

Dengan tulisan ini saya ingin mengajak untuk tidak memandang kehidupan seorang waliyullah dari  "puncak" kemuliaan yang ia miliki. Tapi sudah seharusnya kita menilik jauh ke belakang, hingga kita tahu bagaimana dan dengan apa ia bisa mendapatkan dan meraih semua kemuliaan itu. Dengan itu kita bisa mengambil benang merah bahwa seorang wali bukanlah mahluk yang tak bisa dijangkau, ia adalah manusia sama seperti kita. Hanya saja Allah menganugrahkan untuknya ribuan keistimewaan. Ketika kita membaca sejarah hidup Syaikhona dari titik nol, dari titik dimana Syaikhona mulai melangkah untuk menjadi seorang ulama yang begitu harum namanya hingga saat ini, kita bisa mengambil banyak sekali nilai-nilai Adab yang bisa kita teladani. yang dengan mengamalkan adab-adab luhur itu dalam kehidupan kita- meski mungkin sangat mustahil bagi mahluk seperti kita untuk menjangkau derajat Syaikhona - mudah-mudahan kelak kita bisa diakui sebagai santri beliau "bil ittiba', dan dikumpulkan bersama beliau kelak bersama para anbiya' dan awliya'. 

فتشبهوا إن لم تكونوا مثلهم * إن التشبه بالكرام فلاح

" serupailah mereka jika engkau tidak bisa sama persis seperti mereka * sesungguhnya menyerupai orang-orang mulia adalah kunci keberuntungan.. "

Ismael Amin Kholil, 18 April, 2019
Memperingati Haul Maha Guru Ulama Nusantara yang ke 97.

Thursday, June 6, 2019

Viral Warga Bersujud pada Jokowi, Bagaimanakah Hukumnya?

BincangSyariah.Com – Tradisi open house atau halal bi halal yang dilakukan para petinggi negara dan pejabat Muslim biasa dilakukan seusai momen shalat Idulfitri. Momen halal bi halal ini pun dimanfaatkan oleh Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta, pada Rabu (05/06/2019). Menariknya, ada salah seorang warga yang tiba-tiba bersujud di hadapan Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana. Sebagaimana diberitakan Kompasaksi pria tersebut sempat membuat Jokowi dan Iriana terkaget-kaget. Keduanya masing-masing bergeser ke samping kiri dan kanan lantaran terkejut sekaligus menghindar dari sujud pria itu. Bagaimanakah hukum bersujud pada sesama manusia?

Bersujud pada sesama manusia termasuk hal yang diperbincangkan oleh banyak ulama. Bahkan para sahabat pun pernah ingin bersujud kepada Nabi sebagai penghormatan, namun Nabi Muhammad saw. sendiri tidak berkenan. Hal ini sebagaimana pernah diungkapkan oleh Sahabat Qais bin Sa’d dan Mu’adz bin Jabal.

Paling tidak ulama terbagi menjadi dua golongan dalam permasalahan ini. Pertama, ulama yang menganggap bahwa bersujud pada sesama manusia itu termasuk dosa besar, namun tidak sampai menjerumuskan pelakunya pada kekufuran bila ia berniat hanya sekedar penghormatan, bukan bentuk penyembahan sebagaimana menyembah Tuhan. Hal ini di antaranya disampaikan oleh Imam al-Syaukani dalam al-Sail al-Jarar berikut.

وأما قوله: “ومنها السجود لغير الله” فلا بد من تقييده بأن يكون سجوده هذا قاصدا لربوبية من سجد له فإنه بهذا السجود قد أشرك بالله عزوجل وأثبت معه آلاها آخر وأما إذا لم يقصد إلا مجرد التعظيم كما يقع كثيرا لمن دخل على ملوك الأعاجم أنه يقبل الأرض تعظيما له فليس هذا من الكفر في شيء

Adapun perkataannya (pengarang ḥadāiqul azhār) “Di antaranya permasalahan bersujud pada selain Allah” itu harus diperjelas. Jika sujud itu dilakukan sengaja mengakui manusia yang ia bersujud padanya sebagai tuhan, maka sujud seperti ini sudah termasuk musyrik dan ia termasuk yang mengakui ada tuhan lain selain Allah. Namun, jika ia bersujud hanya sebatas bentuk penghormatan, seperti yang banyak dilakukan rakyat pada para rajanya dengan cara mencium tanah sebagai penghormatan, maka itu tidak termasuk bentuk kekufuran sama sekali.

Kedua, ulama yang menganggap bersujud pada sesama manusia itu termasuk perbuatan kufur secara mutlak, baik sebagai penghormatan atau penyembahan pada sesama manusia, sebagaimana pendapat Imam al-Sarkhasi dalam al-Mabsuth berikut ini.

Baca Juga :  Bagaimana Adab Bertetangga Pada Bulan Ramadan?

السجود لغير الله تعالى على وجه التعظيم كفر

Sujud pada selain Allah sebagai bentuk penghormatan itu termasuk bentuk kekufuran.

Dari paparan di atas, solusi terkait bagaimana kita harus menyikapi kejadian tersebut paling tidak ada dua. Pertama, bentuk penghormatan kita terhadap orang yang kita muliakan, seperti guru, orang tua, atasan, atau presiden, itu tidak perlu sampai bersujud di hadapan orang yang kita hormati tersebut. Menghormati mereka cukup dengan cara sedikit membungkukkan badan sambil bersalaman.

Hal ini untuk menghindari penilaian orang lain yang tentu tidak tahu niat persis di dalam hati kita bila penghormatan yang kita lakukan itu dengan cara bersujud. Hal ini juga senada dengan kaidah fikih al-khuruj minal khilāf mustahabb ‘menghindari perselisihan pendapat itu sunah’.

Kedua, sikap kita terhadap orang yang sudah terlanjur menghormati orang yang dimulaikan dengan cara bersujud tidak boleh berlebihan. Walaupun ada pendapat ulama yang mengharamkan, bahkan mengafirkan orang yang bersujud di hadapan manusia, sekalipun terhadap orang yang dimuliakan, tapi ada hal dasar yang kita tidak tahu, yaitu niat orang yang bersujud itu, apakah dia bersujud karena tujuan sekedar menghormati atau menyamakan orang yang dimuliakan itu dengan Tuhan.

Nah, karena ketidakjelasan masalah niat dan tujuan orang tersebut, makannya kita harus menahan diri mudah mengafirkan orang lain. Bila kenal orang tersebut, kita boleh menegur dan menasehatinya agar tidak mengulangi perbuatannya. Bila kita tidak mengenalnya, hindari komentar macam-macam, apalagi di media sosial. Wallahu a’lam.