Wednesday, June 12, 2019

MAKAN DAN TIDUR YANG BERLAKU BAGI ROMO YAI (Asrori) RA

MAKAN DAN TIDUR
YANG BERLAKU BAGI ROMO YAI (Asrori) RA
(1)
Dalam suasana duduk duduk santai di teras Aula Ponpes As Salafi Al Fithrah Surabaya, seusai majlis Haul Akbar Ahad Pagi, tahun 2006, ada seorang Habib mengajak bicara salah seorang khodim penderek Romo Yai RA. Semula, si penderek ini mengira hanya mengajak berbasa basi. Tapi setelah disimak lebih serius, rupanya Habib ini sedang mengajak ngobrol ("ngerasani") tentang Romo YAI RA.
"Orang seperti Kyai Asrori ini", kata Habib tersebut, "rasa senangnya terletak di orang lain. Coba saja lihat".
"Maksudnya bagaimana, Bib?" Tanya si khodim.
Lantas Habib itu menyahut meneruskan dawuhnya, "Kyai Asrori itu, akan merasa nikmat, nikmatnya makan misalnya, jika Beliau melihat orang lain makan dan kelihatan sangat menikmati. Itu Kyai Asrori baru ikut merasakan nikmatnya. Beliau seperti merasa seneeeeeng dan bersyukur."
Lanjutnya, "Tapi, bagaimana dengan makannya Yai sendiri? Tak pernah. Dan tak bakal pernah Yai bisa makan sampai merasa nikmat. Kenapa? Karena tak sempat. Tidak mungkin bagi orang seperti Kyai Asrori sempat enak makan, seperti kita kita ini. Tidak mungkin sempat. Percaya, sudah." Kata Habib itu dengan nada meninggi karena tampak serius dan berusaha meyakinkan.
Si khodim terdiam dan mulai merenung. Ia mengingat ingat bagaimana Romo YAI RA di saat harus dahar. Juga, bagaimana Beliau RA di saat semestinya orang pada umumnya harus tidur untuk rehat. Dalam hatinya lalu seperti mengatakan : Ada benarnya juga Habib ini.
Lalu Habib itu meneruskan, "Coba lihat sekarang ini. Makanan begitu banyak. Di sana makanan, di sini makanan. Enak enak. Maasyaa-Allaah. Tapi ana lihat tadi, Kyai Asrorinya cuma berdiri. Pindah ke sana, pindah ke lain lagi, cuma mempersilakan : Fadhdhol Bib ... Fadhdhol Bib ... ! Habibnya pada "leko", ambil ini ambil itu. Yang lezat lezat. Semua disantap. Tapi saya perhatikan betul, Kyai Asrorinya cuma senyum senyum melihat para habib yang makan itu. Subhaana-Allaah."
"Ini bagaimana? Kapan makannya Kyai Asrori ini? WaAllaaah ... Ana belum pernah melihat Kyai Asrori makan dengan enak. Belum pernah ana lihat." Habib ini mulai tampak berkeringat karena seriusnya.
(2)
Si khodim jadi keingat akan banyak hal. Romo YAI RA itu, misalnya ketika dalam perjalanan ke luar kota bersama rombongan beberapa orang pengikut atau pendereknya, lalu tiba saatnya harus berhenti untuk makan, maka Beliau RA selalu mencari tempat makan yang sekira menurut para pengikut ini merasa cocok dan enak.
Setelah semua pesanan sudah dihidangkan, semua pada khusyu' dengan isi piringnya sendiri. Romo YAI RA pun kelihatan ikut dahar. Tapi, jika diamati dengan seksama, maka akan ketahuan kalau dahar Beliau RA itu cuma sesuap-dua suap, "cimik-cimik". Sepintas kelihatannya saja Beliau RA dahar dengan lahapnya. Namun waktunya lebih banyak dihabiskan untuk mengamati dan melayani yang lain.
Yang sering Beliau RA lakukan, misalnya, tiba tiba saja Beliau RA mengambil tambahan lauk. Setelah dihidangkan, dicicip sedikit, lantas dikasikan ke yang lain. Pesan menu lauk lagi, dicicip sedikit, lalu dikasikan ke yang lain lagi. Sementara yang dikasi tetap saja menerima dan menikmatinya. Bahkan berebut dengan temannya. Selalu begitu.
Ketika semua pada habis, isi di piring Romo YAI RA seringkali masih tersisa. Sisanya lebih dari separo. Tapi tidak banyak yang tahu. Sebab biasanya Beliau RA dengan cepat menyembunyikan piringnya itu. Sementara yang lain sibuk dengan minumannya. Atau bagi yang duduk di dekat Romo YAI RA, diajaknya bicara soal sesuatu, sehingga pikirannya beralih, tidak ke isi piring Romo YAI RA itu.
Sampai di suatu saat, memang benar. Beliau RA sempat Dawuh : "Saya paling seneng, melihat orang itu, ketika dalam dua keadaan. Pertama, ketika saya lihat orang sedang makan dengan lahap. Sepertinya dia menikmati benar makannya itu. Itu saya senang".
"Kedua, kalau saya melihat orang yang sedang tidur lelap sekali. Sampai "ngorok" (mendengkur). Saya membayangkan betapa nikmatnya ia. Kalau sudah begitu, saya itu tidak berani membangunkan. Meskipun ada acara penting. Begitu."
Begitulah Romo YAI RA. Tergambar jelas meskipun tersirat. Betapa secara manusiawi, diri Beliau RA "memimpikan" bagaimana nikmatnya bisa merasakan makan lahap dan bisa tidur nyenyak. Karena memang Beliau RA tidak pernah merasakan itu. "Status" atau "tanggung jawab" Beliau RA menjadikan kesehariannya tak akan pernah sempat merasakannya.
(3)
Pernah suatu ketika, si khodim ini terpaksa matur untuk bertanya. Karena tidak satu dua kali tapi sering terjadi. Di saat Romo YAI RA dahar bareng-bareng dengan yang lain, tiba tiba Beliau RA berdiri meninggalkan meja, menuju toilet. Dan itu lama sekali.
Semula khodim beranggapan ini hal yang biasa. Tapi berhubung sering dilakukan oleh Romo YAI RA, akhirnya si khodim memberanikan diri untuk menanyakan, "Ngapunten Yai. Saya perhatikan, Yai seringkali di saat ketika dahar, terus pergi ke toilet. Dan itu tidak sebentar. Jujur, saya lalu ada muncul khawatir. Atau pingin tahu kenapa. Maaf jika saya salah Yai. Atau Yai kurang berkenan."
Syukur Alhamdulillah, ternyata Romo YAI RA menanggapi dengan menjelaskan.
"Begini Fulan. Saya itu kalau makan, harusnya cepet cepet selesai. Pokoknya, masuk ditelan, masuk ditelan. Begitu. Itu mestinya, kalau saya pingin makan yang agak banyak. Kenapa? Sebab jangan sampai, kedahuluan pikiran saya kemasukan urusan."
"Karena kalau sudah kemasukan urusan ; ingat murid, ingat ini, ingat itu, ingat apa saja yang memang jadi tanggung jawab keseharian saya, itu kalau pas makan, pasti pingin muntah. Pembawaan tubuh saya itu sudah otomatis begitu. Tidur pun begitu. Jadi akhirnya gak bisa tidur."
"Kamu bayangkan sendiri lah. Misalnya anakmu punya hutang sama orang. Jumlahnya jutaan. Tiba tiba ketika malam mau tidur, kamu ditelp kalau besok pagi pagi akan ditagih. Dan harus kamu bayar lunas. Kalau nggak, kamu akan dibawa ke penjara. Apa kamu bisa tidur? Nggak waras kalau kamu masih bisa tidur lelap. Yaa ibaratnya seperti itu."
"Jadi, makan gak pernah bisa enak. Tidur gak pernah bisa lama. Apalagi pulas. Selalu gelisaaaah. Pikiran ini selalu "umep" (mendidih). Saya bisa tidur itu biasanya kalau kondisi fisik ini benar benar memang menuntut sendiri untuk harus tidur. Memang badan manusiawi saya yang tidak kuat. Sehingga akhirnya jadi tertidur. "Keseliyer". Itu tidur saya. Yaa ... yang namanya orang "keseliyer" itu berapa lama sih?"
(4)
Di akhir obrolan di Aula yang diceritakan di awal tadi, Habib itu berkata, "Itu memang sudah jadi ciri bagi setiap Ulama Besar yang ditugasi Allah untuk mengemban ummat. Siapa pun. Coba ditelaah kisah kisah dari Ulama Besar dunia yang lainnya. Ini tak lain karena memang mewarisi ciri dari kekasihnya Rasulullah SAW".
"Rasulullah SAW itu sepanjang hidup di masa ke-Nabiannya, dua puluh empat jam tidak pernah putus untuk memikirkan nasib ummatnya. Hingga sampai sampai di saat sakarotul-maut, yang muncul di pikirannya malah bertanya : bagaimana nasib ummatku kelak."
"Persis ! Para Mursyid para Ulama Besar itu yaa persis seperti Rasulullah SAW ini. Begitu pun Kyai Asrori yang sekarang kita ikuti ini. Persis." Sambil setengah gemetaran, lalu Habib itu menepuk nepuk pundak si khodim sambil mulutnya mengucapkan doa. Dan, "Aamiiin Aamiiin AllaaHhumma Aamiiin Yaa Robbal 'Aalamiiin", hanya itu yang bisa diucapkan oleh Fulan si khodim ini.

(AllaaHhummanfa'naa BiHhii
Wa Bi BarkatiHhii Wa Bi 'UluumiHhii
Fid-Daaroiin. Aamiiin.
Al Faatihah ... !)
----------------------------------------------------------------

No comments:

Post a Comment