Tuesday, September 25, 2018

PEMBAHASAN “NAWAQIDHU AL-ISLAM” (PEMBATAL-PEMBATAL KEISLAMAN) DI KALANGAN ULAMA SYAFI’IYYAH

PEMBAHASAN “NAWAQIDHU AL-ISLAM” (PEMBATAL-PEMBATAL KEISLAMAN) DI KALANGAN ULAMA SYAFI’IYYAH 

Oleh; Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
***

Ulama mazhab yang paling serius membahas “Nawaqidul Islam” (نواقض الإسلام) , yakni perkara-perkara yang membuat seseorang dihukumi keluar dari Islam bukanlah ulama-ulama Syafi’iyyah, bukan pula ulama Malikiyyah, dan bukan pula ulama Hanabilah. Justru yang memberi perhatian tinggi terhadap isu ini di kalangan ulama terdahulu adalah ulama-ulama Hanafiyyah. Hal ini diakui sendiri oleh An-Nawawi sebagaimana beliau sebut dalam kitab “Roudhotu Ath-Tholibin”. An-Nawawi bertestimoni bahwa beliau banyak menimba ilmu dari kitab-kitab karangan ulama Hanafiyyah tersebut. An-Nawawi berkata,

فِي كُتُبِ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ اعْتِنَاءٌ تَامٌّ بِتَفْصِيلِ الْأَقْوَالِ وَالْأَفْعَالِ الْمُقْتَضِيَةِ لِلْكُفْرِ، وَأَكْثَرُهُمَا مِمَّا يَقْتَضِي إِطْلَاقُ أَصْحَابِنَا الْمُوَافَقَةَ عَلَيْهِ، فَنَذْكُرُ مَا يَحْضُرُنَا مِمَّا فِي كُتُبِهِمْ

.

“Dalam kitab-kitab yang dikarang ulama pengikut mazhab Abu Hanifah rahimahullah terdapat perhatian sempurna terkait rincian ucapan dan perbuatan yang mengantarkan pada kekufuran. Mayoritas dari rincian ucapan dan perbuatan (yang mengantarkan pada kekufuran) itu adalah perkara-perkara yang sesuai dengan apa yang disebut oleh ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah mutaqoddimin. Di sini, saya akan menyebut perkara-perkara yang bisa saya ingat pada kitab-kitab mereka.” (Roudhotu Ath-Tholibin, juz 10 hlm 66)

Adapun sumbangan ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah dalam isu ini, pembahasan tentang pembatal-pembatal keislaman secara umum bisa kita temukan dalam kitab-kitab fikih mereka pada bab yang berjudul “riddah” (hal murtad). Dengan demikian, bab “riddah” dalam kitab-kitab fikih ulama Asy-Syafi’iyyah (bahkan semua ulama mazhab) sebenarnya jika diungkapkan dengan bahasa lain bermakna pembahasan tentang “nawaqidhu al-Islam” (pembatal-pembatal keislaman) atau “nawaqidhu al-iman” (pembatal-pembatal keimanan). Artinya, jika kita ingin tahu bagaimana pembahasan pembatal keislaman di kalangan ulama Asy-Syafi’iyyah, maka langkah yang tepat adalah langsung menuju bab “riddah” pada kitab-kitab fikih mereka. Atas dasar ini, bisa dikatakan bahwa semua fuqoha’ Asy-Syafi’iyyah membahas “Nawaqidu Al-Islam” dalam kitab-kitab fikih mereka.

Untuk mengetahui pendapat mu’tamad mazhab Asy-Syafi’i terkait pembatal-pembatal keislaman, di antara cara cepatnya adalah mengkaji kitab “Roudhotu Ath-Tholibin” karya An-Nawawi pada bab “riddah”. Berikut ini saya tuliskan contoh-contoh keyakinan, ucapan dan perbuatan yang membuat seseorang dikatakan batal islamnya, dihukumi murtad dan kafir sesudah beriman.

Di antara hal-hal yang membuat seseorang dihukumi murtad adalah,

1. Mengingkari adanya Pencipta

2. Menafikan sifat Allah, mengakui/mengiyakan yang bukan sifat-Nya, atau menghinakan nama Allah

3. Mengingkari utusan Allah secara umum, tidak mempercayai kenabian Nabi Muhammad, mencaci nabi atau menghinakannya, mengaku nabi setelah Nabi Muhammad atau mempercayai nabi palsu

4. Meyakini alam itu qodim (terdahulu), Pencipta itu hadits (baru)

5. Mengingkari ayat mujma’ ‘alaiha (qoth’i), atau menambah Al-Qur’an lalu meyakini itu Al-Qur’an.

6. Menghalalkan sesuatu yang jelas sudah disepakati (mujma’ ‘alaih) haram seperti zina, khomr, liwath atau sebaliknya mengharamkan yang jelas halal. Juga mengingkari sesuatu yang jelas wajib secara ijma’ (seperti jumlah rakaat salat maktubah) atau mewajibkan sesuatu yang secara ijma’ tidak wajib (misalnya meyakini salat 6 waktu, wajib puasa Syawwal), menghina perintah Allah atau janji-Nya atau ancaman-Nya (misalnya mengatakan: “Seandainya Allah memerintahkan aku begini maka aku tidak mau melakukan”, “Seandainya Allah mengubah kiblat ke arah sini maka aku tidak akan salat menghadap ke arahnya”, “Jika aku diberi surga maka aku tidak akan memasukinya”. Tapi contoh-contoh ini menurut An-Nawawi dalam madzhab Asy-Syafi’i tidak sampai mengkafirkan), mengucapkan dengan nada mengejek: “Jika Allah menghukumku karena tidak salat padahal aku sakit berarti Allah zalim”, “Aku melakukan sesuatu tanpa takdir Allah”, “Andaikan nabi-nabi dan malaikat-malaikat bersaksi maka aku tidak mempercayai mereka”, “Aku tidak mau melakukan Sunnah”, dan lain-lain.

7. Berniat kafir keesokan harinya (langsung dihukumi kafir saat itu juga). Bahkan hanya sekedar rencana kafir tapi masih ragu sudah kena hukum ini. Termasuk rencana kafir mu’allaq (misalnya mengatakan, “Kalau anakku lahir maka aku pindah agama menjadi katolik”)

8. Perbuatan yang jelas menghina atau mengingkari dien misalnya melemparkan mushaf dalam tinja, sujud kepada patung, menyembelih hewan untuk patung, sihir yang mengandung pemujaan terhadap matahari, berzina dengan mengucapkan basmalah dengan mengejek.

9. Menuduh Aisyah, Ummul Mukminin berzina

10. Mengkafirkan orang muslim tanpa takwil

11. Ridha dengan kekufuran

12. Menolak mengajari kafir kalimat tauhid atau merekomendasikan agar tidak masuk Islam atau menyarankan agar murtad

13. Memaksa orang muslim menjadi kafir

14. Mengatakan bahwa dia tidak takut kiamat

15. Dan lain-lain.

Sebagian materi pembahasan “riddah” yang saya anggap penting karena terkait dengan problem zaman sekarang pernah saya angkat di situs IRTAQI. Misalnya pembahasan kafirnya seseorang jika tidak mengkafirkan orang yang beragama selain Islam. Juga kafirnya orang jika berani menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah secara qoth’i seperti homoseksial, zina, meminum khomr dan lain-lain. Silakan dibaca artikel saya yang berjudul “Membolehkan Homoseksual Menurut Imam An-Nawawi” dan “Hukum Meragukan Kekafiran Non Muslim dalam Madzhab Asy-Syafi’i”

Sepuluh pembatal keislaman yang dirumuskan syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sebenarnya meringkas dan menyarikan pembahasan “riddah” dalam kitab-kitab fikih itu. Beliau hanya memilih yang sudah disepakati sebagai pembatal keislaman dan meninggalkan yang masih diperselisihkan. Di antara sepuluh hal yang dirumuskan oleh beliau, semuanya sudah disepakati para ulama bahwa hal tersebut membuat seseorang murtad kecuali satu hal yakni sihir. Untuk sihir ada perincian dan ada sedikit ikhtilaf apakah memurtadkan ataukah tidak dalam beberapa bentuknya.

Dalam sebagian kitab-kitab ulama Asy-Syafi’iyyah yang tipis-tipis seperti “Sullamu At-Taufiq” juga dibahas singkat masalah pembatal keislaman ini. Siapapun yang pernah mengkaji kitab ini di kampung-kampung, musholla, langgar, masjid, surau maupun ponpes insya Allah akan menemukan pembahasan “riddah” dan pembatal keislaman di sana.

Adapun kitab yang khusus membahas pembatal keislaman, salah satu karya ulama Asy-Syafi’iyyah yang paling luas membahas soal ini adalah kitab “Al-I’lam Biqowathi’i Al-Islam” (الإعلام بقواطع الإسلام) karya Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H). Kitab ini menukil bukan hanya dari ulama mazhab Asy-Syafi’i tetapi juga dari semua ulama empat mazhab. Kitab Al-Haitami itu sudah dijadikan satu bersama sejumlah kitab lain oleh Al-Khumayyis dalam kitab yang berjudul “Al-Jami’ fi Alfazhi Al-Kufr.” Saya pernah membaca pembahasan menarik dan mengejutkan dalam kitab ini, yakni informasi bahwa siapapun yang berani membaca Al-Qur’an dengan melagukan disertai iringan alat musik, maka dia dihukumi murtad!

رحم الله علماءنا رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين

Versi Situs: http://irtaqi.net/2018/08/13/pembahasan-nawaqidhu-al-islam-pembatal-pembatal-keislaman-di-kalangan-ulama-asy-syafiiyyah/

***
3 Dzulhijjah 1439 H

Tuesday, September 18, 2018

Cara Mudah Menyucikan Najis di Kasur tanpa Mesti Mencucinya

Khoiron, NU Online | Sabtu, 10 Februari 2018 15:00

Kita mungkin pernah mendapati ada kotoran binatang, air kencing, atau barang najis lain melekat di tengah-tengah karpet atau kasur. Untuk menyucikannya, sebagian orang mengangkat karpet atau kasur tersebut, lalu mencucinya: menyiram langsung air ke area najis atau keseluruhan permukaan kasur atau karpet hingga barang najis itu benar-benar hilang.

Meski sah dalam menyucikan, cara tersebut tergolong merepotkan, apalagi untuk jenis karpet berbulu atau kasur berbusa, dan berukuran besar, karena akan memperlukan tenaga ekstra dan waktu pengeringan yang lebih lama. Sebenarnya ada cara yang lebih efisien dan efektif dari sekadar mencuci karpet atau kasur itu dengan cara-cara yang melelahkan.

Dalam fiqih, hal pokok yang menjadi perhatian dalam persoalan najis adalah warna, bau, dan rasa. Karena itu, fiqih Syafi’iyah membedakan antara najis ‘ainiyahdan najis hukmiyah. Yang pertama adalah najis berwujud (terdapat warna, bau, atau rasa); sedangkan yang kedua adalah najis tak berwujud (tak ada warna, bau, atau rasa) tapi tetap secara hukum berstatus najis. Air kencing yang merupakan najis ‘ainiyahdianggap berubah menjadi najis hukmiyah ketika air kencing tersebut mengering hingga tak tampak lagi warna, bau, bahkan rasanya.

(Baca juga: Tiga Macam Najis dan Cara Menyucikannya)


Cara menyucikan kedua najis itu juga berbeda. Syekh Ahmad Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Mu’în bi Syarhi Qurratil ‘Ain bi Muhimmâtid Dîn menjelaskan bahwa najis 'ainiyah disucikan dengan cara membasuhnya hingga hilang warna, bau, dan rasanya. Sementara najis hukmiyah disucikan dengan cara cukup menuangkan air sekali di area najis.

Kembali pada kasus karpet atau kasur terkena najis di atas, bagaimana cara mudah dalam menyucikannya?

Pertama, membuat najis ‘ainiyah di karpet atau kasur berubah menjadi najis hukmiyah. Secara teknis, seorang harus membuang/membersihkan najis itu hingga tak tampak warna, bau, dan rasanya (cukup dengan perkiraan, bukan menjilatnya). Di tahap ini mungkin ia perlu menggunakan sedikit air, menggosok, mengelap, atau cara lain yang lebih mudah. Selanjutnya, biarkan mengering, dan tandai area bekas najis itu karena secara hukum tetap berstatus najis.

Kedua, tuangkan air suci-menyucikan cukup di area najis yang ditandai itu, maka sucilah kasur atau karpet tersebut, meskipun air dalam kondisi menggenang di atasnya atau meresap ke dalamnya. Cara yang sama juga bisa kita lakukan pada najis yang mengenai lantai ubin, sofa, bantal, permukaan tanah, dan lain-lain.

Syekh Ahmad Zainuddin al-Malibari menerangkan:

لَوْ أَصَابَ الأَرْضَ نَحْوُ بَوْلٍ وَجَفَّ، فَصُبَّ عَلى مَوْضِعِهِ مَاءٌ فغَمره طهُرَ ولو لمْ يَنْصُبْ، أي: يغُورُ، سواء كانت الأرضُ صُلبةً أم رَخْوَةً

Artinya: “Seandainya ada tanah yang terkena najis semisal air kencing lalu mengering, lalu air dituangkan di atasnya hingga menggenang, maka sucilah tanah tersebut walaupun tak terserap ke dalamnya, baik tanah itu keras ataupun gembur.” (Syekh Ahmad Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’în bi Syarhi Qurratil ‘Ain bi Muhimmâtid Dîn [Beirut: Dar Ibnu Hazam, 2004], halaman 78)

Keterangan tersebut berlaku untuk najis level sedang (mutawasithah) seperti ompol bayi usia lebih dari dua tahun, kotoran binatang, darah, muntahan, air liur dari perut, feses, atau sejenisnya. 

Sementara air kencing bayi laki-laki kurang dua tahun yang belum mengonsumsi apa pun kecuali ASI (masuk kategori najis level ringan atau mukhaffafah) dapat disucikan dengan hanya memercikkan air ke tempat yang terkena najis. Tidak disyaratkan air harus mengalir, hanya saja percikan mesti kuat dan volume air harus lebih banyak dari air kencing bayi tersebut. Namun, bila air kecing itu mengering, kucuran sekali air sudah cukup menyucikannya. 

Dengan demikian, bila najis itu memang didapati cuma sedikit, kita tak perlu repot-repot mencuci seluruh permukaan kasur/karpet, mengepel semua permukaan lantai, atau mengguyur seluruh permukaan bantal, dan seterusnya. Cukup dua langkah saja: menghilangkan sifat-sifat najis itu lalu menuangkan air suci-menyucikan di atas area bekas najis. Wallahu a’lam.(Mahbib)

Kisah Mbah Abdul Karim Lirboyo dan Sepotong Tempe

Hafiz, NU Online | Selasa, 18 September 2018 06:00

Dahulu semasa Mbah Abdul Karim Lirboyo masih menimba ilmu di pesantren, tempe merupakan makanan istimewa. Siapa saja yang mampu berlauk tempe, maka ia terhitung santri yang bertaraf ekonomi tinggi.

Apalagi jika datang wali santri yang menjenguk anaknya dengan membawa nasi sambel lengkap dengan tempe goreng. Sungguh, hari itu akan terkenang selama seminggu sebagai hari terindah dengan makanan terlezat selama nyantri. Bisa diibaratkan, tempe masa itu bak daging sapi masa kini.

Namun entah mengapa, Kang Manab–begitu Mbah Karim Lirboyo biasa disapa–semasa mondoknya tak pernah mau ketika ditawari untuk menyantap tempe. Ya, lauk terlezat yang sangat jarang mampu disantap santri pada umumnya kala itu.

Entah itu ketika pas kebetulan temannya sedang mayoran, atau pun ketika hari sedang baik karena ada teman sekamar yang kiriman. Ia selalu menolak ketika ditawari makan tempe, meski hanya sepotong sehingga akhirnya teman-teman seperjuangannya mengira bahwa Kang Manab itu mengidap alergi pada makanan berbahan baku kedelai tersebut.

Waktu terus berlalu. Kang Manab kini telah berubah menjadi kiai yang terkenal di daerah Kediri dan sekitarnya. Kini, ia telah menjadi sosok kiai karismatik dengan nama Abdul Karim, pendiri Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur. Zaman pun semakin maju. Kesejahteraan rakyat juga mulai merata dengan meningkatnya taraf ekonomi masyarakat pada masa itu.

Satu waktu, Kiai Abdul Karim bertandang ke rumah salah satu teman seperjuangannya. Sudah barang tentu, selain beramah tamah ada juga acara makan-makan yang telah dipersiapkan.

Di meja makan, telah tersaji berbagai macam hidangan. Termasuk tempe, yang ketika mondok dahulu, menjadi makanan terlezat bagi para santri. Tak ketinggalan berbagai macam sayur mayur. Ada juga ingkung, seekor ayam yang dimasak utuh.

Ketika mulai dipersilakan untuk menikmati hidangan, secara mengherankan Kiai Abdul Karim mengambil nasi, sayur, dan juga tempe kemudian menyantapnya. Padahal, semasa mondok dulu, Kiai Abdul Karim tak pernah sedikit juga melirik lauk kedelai yang dijamurkan itu. Apalagi memakannya. Sontak sang kawan pun kaget. Diberanikanlah ia untuk bertanya pada Kiai Abdul Karim.

"Lho, Mbah sekarang doyan tempe tho?" sergahnya dengan penuh keheranan.

"Iya, karena dahulu tempe menjadi makanan terlezat. Hatiku pun sangat menginginkannya. Tapi tak kuturuti. Dan sekarang, di samping tempe ada hal lain yang lebih diinginkan oleh hatiku, yaitu opor ayam itu. Oleh karenanya, aku memilih tempe. Semua itu kulakukan tidak lain adalah dalam rangka melatih hawa nafsu. Melatih diriku agar tidak menuruti syahwat duniawi (kesenangan dunia)," tutur Mbah Abdul Karim menjelaskan.

Demikianlah laku salafus salih, ulama shalih terdahulu. Tidak hanya ketika beribadah mereka waspada terhadap godaan hawa nafsu, melainkan di setiap sisi aktivitasnya selalu disandarkan pada kewaspadaan terhadap godaan setan. Bahkan dalam hal sekecil makan yang sering diabaikan. (Ulin Nuha Karim)

Dikisahkan oleh KH Muhammad Shofi Al-Mubarok Pengasuh Pondok Pesantren Sirajuth Thalibin Brabo yang juga alumnus Pesantren Lirboyo tahun angkatan 2007/2008

Ketika Istri Minta Pahala di Dunia

Zunus, NU Online | Sabtu, 01 April 2017 20:00

Alkisah, hiduplah sepasang suami istri dengan kehidupan yang memprihatinkan. Sang suami, hanyalah seorang pengangguran. Sedangkan istri, pekerjaannya hanya satu, menjadi ibu rumah tangga.

Namun, sisi keagamaan mereka pantas diacungi jempol. Rumahnya yang berdekatan masjid, semakin mendukung proses beribadah kepada Allah Ta’ala. Shalat wajib lima waktu, shalat rawatib yang menggiringnya, pun dengan shalat mustahab yang lainnya, shalat-shalat yang disunahkan mereka lakukan juga.

Apalagi dengan sang suami, dengan pekerjaannya sebagai “pengangguran saleh”. Intensitas pertemuannya dengan Sang Maha Esa semakin padat. Sepanjang waktu hanya ia gunakan untuk beribadah kepadaNya. Selesai subuh, ia tak akan beranjak dari masjid sebelum mentari terbit. Pun setelahnya, ketika tiba waktu dhuha maka ia bergegas untuk kembali shalat sunah. Begitu seterusnya dengan ashar, maghrib, dan isya’. Ia habiskan untuk beribadah kepada Allah.

Tapi inilah dunia, segalanya harus berperantara perkara dunia pula. Kita beribadah, maka kita perlu makan sebagai sumber kekuatan. Kita shalat, maka kita butuh pakaian sebagai penutup aurat. Ya, namanya saja makhluk dunia, ya pasti akan membutuhkan sarana dan prasarana  dunia. 

Kira-kira, begitulah isi benak sang istri. Hingga suatu saat ia merajuk pada sang suami,

“Wahai suamiku, engkau begitu taat terhadap Tuhanmu. Hari-hari engkau habiskan untuk beribadah kepadaNya. Dari pagi hingga malam, bahkan hingga terbit fajar lagi, engkau persembahkan hanya untukNya. Hingga aku pun, terkadang merasa terabaikan,”

“Wahai istriku, ada maksud apakah engkau berkata seperti itu. Bukankah manusia memang diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Gerangan apa yang membuatmu bersedu-sedan seperti demikian?” tanya suami keheranan.

“Bukan apa suamiku, namun lihatlah baju gamisku yang mulai lapuk ini. Tidakkah engkau sadar, dari hari pertama perkawinan kita, tak sehelaipun kain lagi yang mampu kau berikan melainkan gamis yang mulai lapuk ini. Tak pernah sekalipun aku meminta sesuatu darimu salama ini. Namun, tegakah engkau melihat istrimu hanya berbalut sehelai kain lapuk yang telah usang?” adu sang istri pada suaminya.

Merasa iba, sang suami balik bertanya, “Lalu apakah yang kau inginkan wahai istriku?”

“Wahai suamiku, kita telah begitu taat kepada Allah subhanahu wata’ala. Seluruh perintahnya, telah kita usahakan utuk ditunaikan. Segala larangan pun juga sekuat tenaga telah kita jauhi. Oleh karena itu, kiranya engkau sudi memintakan ganjaran, pahala balasan kepada Tuhanmu atas ketaatan kita selama ini,” pinta sang istri.

Lantas, sang suami pun berbalik arah menuju ambang pintu rumah mereka. Melangkahkan kaki menapaki jalan setapak menuju masjid yang biasa ia gunakan untuk beribadah. Sesampainya di sana, sang suami pun mulai bermunajat kepada Allah,

“Ya Allah, sungguh… hamba ikhlas akan segala takdirmu. Selama bertahun-tahun hamba dirundung kefakiran, hamba tetap berusaha taat kepadaMu. Karena hamba yakin, segala qadha dan qadarMu adalah yang terbaik. Namun, izinkan hamba untuk mengadu kepadamu ya Allah. Bahwasannya istri hamba meminta sedikit saja harta sebagai pahala balasan bagi kami untuk kami jadikan bekal di dunia ini.”

Syahdan, tiba-tiba terdengar suara berdebam dari arah belakang. Mendengar suara itu, sang suami lantas keheranan dan mencoba untuk menengok suara apakah itu. 

Ternyata, itu adalah sebuah sandal. Ya, hanya sebelah saja. “Sandal siapakah ini?” batin sang suami keheranan. 

Setelah dilihat secara seksama, keheranannya semakin menjadi-jadi. Betapa tidak, sandal yang hanya sebelah saja itu ternyata terbuat dari emas bertabur berlian di bagian atasnya. Ia heran, siapakah pemilik sandal ini. Ia merasa, tak mungkin tetangganya memiliki sandal semewah ini. Kalaupun ada, pastilah itu milik orang yang sangat kaya raya.

Ia lalu bergumam, “Ya Allah, sandal siapakah ini?”

Sontak terdengar hatif (suara tanpa rupa) berujar kepadanya,  

“Wahai fulan, sesungguhnya itu adalah sandal istrimu kelak di surga. Tuhanmu telah menyegerakannya di dunia sebagai pahala balasan akan ketaatanmu. Dan akitbat itu pula, tak kan ada lagi sandal pengganti bagi istrimu kelak di surga. Itu disebabkan karena engkau telah memintanya di dunia.”

Mendengar suara tersebut, sang suami lalu tertegun. Membayangkan tentang betapa anehnya istrinya kelak di surga dengan memakai sandal ghanya sebelah saja. 

Menyadari hal itu, sang suami pun berujar, “Ya Allah, ampunilah hambamu yang tak sabar akan pahala balasan ini ya Allah. Hamba terlalu gegabah akan perkara duniawi. Hamba tidak ikhlas dalam beribadah. Seakan, hamba adalah pekerja yang meminta gaji dalam hal beribadah. Ampuni hamba ya Allah.”

Seketika ia lalu melemparkan sandal emas tersebut ke langit. Dan benar, sandal tersebut hilang dan tak jatuh kembali. Ia pun pulang dengan wajah tertunduk.

Sesampainya di rumah, sang suamipun mulai bercerita tentang kejadian yang baru saja ia alami. Tentang munajatnya, tentang sandal emas, pun dengan hatif yang menerangkan ihwal jatuhnya sandal emas. 

Mendengar hal tersebut, pasutri ini kemudian menangis tersipu malu. Mereka lalu tersadar betapa hinanya seorang hamba yang meminta pahala di dunia atas ibadahnya yang tak seberapa. Sungguh, tanpa mereka sadari pun ibadah yang mereka lakukan tak lain adalah sebab rahmat yang diberikan Allah. (Ulin Nuha Karim)

Disarikan dari tausiah KH Munif Zuhri Girikusumo dalam acara pembacaan Maulid ad diba’I  di Dalem Ageng, Girikusumo, Mranggen, Demak

Ketika Guru Tarekat Tolak Temui KH Hasyim Asy’ari

Mahbib, NU Online | Rabu, 08 November 2017 17:00

Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitabnya At-Tibyân fin Nahyi ‘an Muqatha’atil Arhâm wal Aqârib wal Ikhwân bercerita:

Sungguh, aku pernah melihat dengan dua mata kepalaku sendiri. Ada orang alim, cendekia dalam bidang agama. Ia begitu tekun beribadah. Kehidupan malamnya diselimuti ibadah. Sedang siangnya, ia jalani dengan berpuasa. 

Orang satu ini tak pernah berbicara kecuali saat darurat. Hanya saat terpaksa saja ia mau berbicara. Haji sudah berulang kali ditunaikan. Hingga ulama ini sudah menjadi guru thariqah Al Naqsyabandiyah. 

Waktu yang dimiliki, sebagian ia habiskan untuk uzlah, menjauh dari hiruk pikuk kehidupan manusia. Ia tak pernah keluar rumah kecuali dalam rangka shalat jamaah dan mengajar dzikir kepada masyarakat. 

Anehnya, orang ini, saat sampai di masjid, justru malah marah-marah kepada segenap hadirin dengan deraian kalimat kotor yang keluar dari mulutnya. Kemudian ia segera bergegas, beranjak kembali pulang ke rumahnya dengan segera. 

Suatu saat, ia kedatangan tamu menteri, meminta doa kiai ini supaya kehidupan Pak Menteri menjadi enak. Sejumlah uang diberikan, dan diterima kiai ini dengan baik, disambut penuh keakraban, lembut serta penuh kedekatan. 

Beberapa hari setelah itu, aku datangi rumahnya. Aku berdiri tepat di depan rumah yang ia singgahi. Berdiri sangat lama. Ku panggil ia berulang kali, tak kunjung mendapat jawaban. Hingga ada seorang wanita keluar dari dalam rumah menyapaku dari balik daun pintu. 

“Saudaramu tak berkenan keluar menemui siapa pun,” kata wanita ini mengutarakan, bahwa orang yang hendak kutemui memang berada di dalam namun tak mau menemui tamunya. 

“Tolong bilangkan ke dia ya. Saudaranya, Muhammad Hasyim Asy’ari ingin menemuinya. Hendaknya ia keluar. Kalau sampai tak mau keluar, aku akan keluarkan ia secara paksa,” begitu kataku pada wanita tersebut.

Wanita itu menjauh dari arah aku berbicara, lalu menyampaikan pesanku kepada pria yang ku maksud. Sejenak kemudian, kiai ini pun datang. 

“Hai Saudaraku. Aku dapat kabar, engkau itu katanya begini, begitu?” tanyaku. 

“Hal apa yang mendorong sampean melakukan hal tersebut?” 

“Begini,” pria ini mulai menjawab. Setiap kali aku melihat manusia, yang tampak dalam pandangan mataku, orang-orang selalu tidak tampil dengan wajah asli mereka. Di mataku, yang terlihat, mereka tampak seperti kera.

Kujawab laki-laki itu, “Barangkali, setan telah menyihir pandangan kedua bola mata sampean. Ia telah menggoda hatimu, membisiki dirimu, ‘eh, janganlah kamu keluar ke mana-mana. Biar masyarakat yakin, kamu itu termasuk walinya Allah. Dengan itu, orang-orang akan berbondong-bondong sowan ke rumahmu untuk meminta berkah dan membawa banyak amplop serta barang bawaan lain’. Oleh karena itu, cobalah, aku minta engkau renungkan ini. Aku berharap engkau segera insaf.” 

Aku lantas menyitir hadits Rasulullah Sallallahu alaihi wa sallam yang berpesan kepada Abdullah bin Umar bin Ash sebagai berikut:

وَاِنَّ لِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

Artinya: “Sesungguhnya, tamumu mempunyai hak yang harus kamu penuhi.”

Selain itu, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam juga berpesan:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

Artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya.”

Selang beberapa hari, orang ini datang ke rumah, menemuiku. Sejenak, ia kemudian berkata “Iya, Anda benar, Saudaraku. Sekarang, aku tinggalkan aktivitas uzlah, kegiatan menyendiriku dari kerumunan ramainya manusia. Aku melakoni hidup sebagaimana layaknya masyarakat pada umumnya.”

Proses ini kemudian ia jalani hingga ia meninggal dunia.

*** 

Cerita langsung dari pendiri Nahdlatul Ulama ini banyak memberi pelajaran kepada kita. Di antaranya, pertama, menyendiri dengan tidak mau bergumul bersama masyarakat luas dengan perasaan, kita lebih baik dari orang lain, sedangkan orang di sekitar kita semuanya buruk, tidak layak dikumpuli, merupakan tindakan yang kurang tepat. 

Kedua, kita perlu menggunakan dalil dari satu sudut pandang lain. Jika benar-benar ada orang yang menurut kita tidak baik yang datang ke rumah, kita tidak boleh hanya mengamati sudut ketidakbaikan orang tersebut lalu kita tidak mau menemuinya. Pakailah dalil bahwa tamu mempunyai hak untuk dihormati sebagaimana dalam hadis di atas tanpa pandang bulu siapa saja tamu kita. 

Ketiga, pentingnya hidup bersosial, berkumpul dengan orang banyak. Supaya kita terbiasa menyikapi perbedaan. Orang yang tidak mau bergumul, ia akan merasa paling shalih sendiri, ia tidak pernah melihat keshalihan-keshalihan orang lain sebab ia menutup mata dengan tidak mau berkumpul dengan manusia. 

Keempat, kita perlu waspada atas kelebihan-kelebihan kita. Jangan-jangan itu adalah tipu daya setan yang mengancam keberadaan kita. (Ahmad Mundzir

Monday, September 17, 2018

NGAJI LAKU

NGAJI LAKU

Saya berangkat mondok tahun 1999, beberapa bulan setelah tamat dari MI. Dengan nebeng acara nikahan, dan sekalian mengantarkan mbak nung(allahuyarham) kerumah mertua. Karena memang bapak belum punya kendaraan selain sepeda onthel dan becak ketika itu.

Acara nikahan di rembang pagi, sehingga sampek kajen siang hari. Alhamdulillah bisa sowan ke pengasuh pondok, yaitu yai Sahal(Allahuyarham). Menimbang begitu sibuknya beliau, dan sangat disiplinnya beliau dalam mengatur waktu.

Saya diantar bapak, ibuk(Allahuyarham), mbak, dan satu santri senior yang memang dipondok dipanggil mbah basirun(disamping karena keseniorannya, juga karena mbah basirun memelihara brewok lebat).

Karena brewoknya mbah basirun, bahkan ketika akan mendaftar dikantor pondok yang disungkemi dia, bukan bapak saya. Hehehe

Saya dikajen menganggur beberapa bulan, hanya makan, tidur dan dolanan. Karena memang telat untuk daftar dimadrasahnya. Dan karena saya didawuhi yai untuk bertempat dikamar ndalem, tak ada kegiatan pengajian.

Saya nikmati kebebasan dari pengawasan orang tua, dan perlahan belajar bagaimana menjaga diri dalam arti sebenar-benarnya. Saya belajar banyak dari kemandirian ini. Mulai belajar 'ngerawat awak' hingga 'ngerawat otak'.

Saya gudiken(penyakit gatal) hebat, lalu belajar dari teman-teman bagaimana menyembuhkan. Saya tak faham dengan obrolan teman-teman, saya belajar mengikuti topik obrolan. Dari gaya hidup, dan kebiasaan lingkungan.

Saya berkenalan dengan budaya baca dan musik pun disini. Dari para senior yang berbeda-beda hobi, namun penuh dengan kelebihan yang menurut saya keren dan sedikit banyak memberi pengaruh positif ke saya.

Ada yang hobi baca quran dan semua kitab sufi, hingga selalu bersikap sesufi mungkin. Ada yang hobi membaca novel dan mendengarkan lagu klasik, berpengaruh pada sikapnya yang tenang namun pasti. Ada juga yang sukanya hanya mendengarkan musik dangdut dan india, jarang membaca namun banyak bicara. Sesuai dengan karakternya yang ceria dan selalu membahagiakan suasana.

Keresahan hingga keresahan silih berganti dengan pembelajaran-pembelajaran saya dalam mengatasinya, salah satu keresahan saya adalah: "mondok di pondoknya yai Sahal, yang terkenal kealimannya, namun beberapa tahun disana tak pernah ikut ngaji langsung(tatap muka dan membawa kitab) dengan beliau. Serasa ada yang mengganjal dihati". Karena memang, ditahun saya masuk pondok, yai sudah tidak mengajar lagi dipondok kecuali bulan puasa. Dan bulan puasa, adalah saatnya saya liburan, pulang kerumah.

Maka praktis saya bertahun-tahun tak pernah ikut ngaji yai secara langsung.

Hingga suatu hari, keresahan saya tertangkap oleh mas ipar saya, yai ishaq(Allahuyarham). Beliau hanya berpesan pada saya: "dek, ngaji itu tak hanya buka kitab, lalu memberi makna. Dan tak harus yai membacakan kitab lalu menerangkan. SETIAP HARI MELIHAT TINDAK-TANDUK DAN KEBIASAAN YAI ADALAH NGAJI. KEBERADAAN YAI, ADALAH KITAB TERBUKA YANG SELALU MENYEDIAKAN kesempatan UNTUK DIMUTHOLA'AH, DIPELAJARI OLEH SANTRI." 

Jadi, saya tak perlu menyesali keminiman kesempatan ngaji langsung pada beliau, karena ngaji laku selalu tersedia. Bagaimana yai berjalan, ngendikan(bertutur), dan apapun yang yai lakukan selalu mengandung pembelajaran.

Karena LAKU adalah intisari ILMU.

لسان الحال افصح من لسان المقال

Tingkah laku(perbuatan) jauh lebih lantang terdengar oleh hati dari sekedar ucapan.

Mulai saat itu, hingga kini, tak pernah usai saya mengaji pada yai Sahal. Karena memang masih terlampau luas samudra ilmu yang beliau praktekkan dalam laku, yang terbuka untuk dimuthola'ah dan ditiru.

Untuk para beliau, lahumul faatihah

#salamKWAGEAN

Sunday, September 16, 2018

Penjelasan Soal Hadits Nabi dan Bendera Khilafah HTI - ISIS l

Penjelasan Soal Hadits Nabi dan Bendera Khilafah HTI - ISIS

ISIS dan HTI sama-sama mengklaim bendera dan panji yg mereka miliki adalah sesuai dg Liwa dan rayah-nya Rasulullah. Benarkah? enggak! Kalau klaim mereka benar, kenapa bendera ISIS dan HTI berbeda design dan khat tulisan arabnya? Ayoooo 🙂

Secara umum hadits-hadits yg menjelaskan warna bendera Rasul dan isi tulisannya itu tidak berkualitas shahih. Riwayatnya pun berbeda-beda: ada yg bilang hitam saja, ada yg bilang putih saja, ada riwayat yg bilang hitam dan putih, malah ada yang bilang merah dan juga kuning.  Riwayat lain bendera itu gak ada tulisan apa-apa. Jadi gak ada tulisan tauhidnya, cuma kosong saja. Riwayat lain bilang ada tulisan tauhidnya. Riwayat seputar ini banyak sekali, dan para ulama sudah memberikan penilaian. Secara umum tidak berkualitas sahih.

Dalam sejarah Islam juga kita temukan fakta yang berbeda lagi. Ada yg bilang Dinasti Umayyah pakai bendera hijau, Dinasti Abbasiyah pakai hitam, dan pernah juga berwarna putih. Apa mau bilang para Khalifah ini tidak mengikuti bendera Rasul? Ribet kan!

Jadi yang mana bendera khilafah? Yah tergantung anda mau merujuk ke Khilafah Umayyah atau Abbasiyah? Gak ada hal yang baku soal bendera ini. Coba saja buka kitab Ahkamus Sulthaniyah karya Imam Mawardi: apa ada pembahasan soal bendera negara Khilafah? Enggak ada!  Kenapa yang gak ada terus mau diada-adakan seolah menjadi urusan syariat? Mau bilang Imam al-Mawardi gak paham soal ini? Nah, tambah ribet kan!

Konteks bendera dan panji dipakai Rasul itu sewaktu perang untuk membedakan pasukan Rasul dengan musuh. Bukan dipakai sebagai bendera negara. Jadi kalau ISIS dan HTI tiap saat mengibarkan liwa dan rayah, emangnya kalian mau perang terus? Kok kemana-mana mengibarkan bendera perang?

Kalau dianggap sebagai bendera negara khilafah, kita ini NKRI, sudah punya bendera merah putih. Masak ada negara dalam negara?! Ini namanya makar! Bahkan ada tokoh HTI yang mempertanyakan apa ada haditsnya bendera RI yang berwarna merah-putih? Nah kan, kelihatan makarnya, sudah mereka tidak mau menerima Pancasila dan UID 1945, sekarang mereka juga menolak bendera merah-putih. Jadi, yang syar’i itu bendera HTI, begitu maunya mereka, padahal urusan bendera ini bukan urusan syari’at.

Sekarang bagaimana status hadits soal bendera ini? Kita bahas singkat saja biar gak makin ribet membacanya.

Hadits riwayat Thabrani dan Abu Syeikh yg bilang bendera Rasul hitam dan panjinya putih itu dhaif.  Mengapa demikian? Riwayat Thabrani ini dhaif karena ada rawi yg dianggap pembohong yaitu Ahmad bin Risydin. Bahkan kata Imam Dzahabi, dia pemalsu hadits.

Riwayat Abu Syeikh dari Abu Hurairah itu dhaif karena kata Imam Bukhari rawi yg namanya Muhammad bin Abi Humaid itu munkar.

Riwayat Abu Syeikh dari Ibn Abbas menurut Ibn Hajar dalam kitabnya Fathul Bari, sanadnya lemah sekali.

‎وجنح الترمذي  إلى التفرقة فترجم بالألوية وأورد حديث جابر  " أن رسول الله صلى الله عليه وسلم دخل مكة  ولواؤه أبيض " ثم ترجم للرايات وأورد حديث البراء  " أن راية رسول الله صلى الله عليه وسلم كانت سوداء مربعة من نمرة " وحديث ابن عباس  " كانت رايته سوداء ولواؤه أبيض " أخرجه الترمذي  وابن ماجه  ، وأخرج الحديث أبو داود ،  والنسائي  أيضا ، ومثله لابن عدي  من حديث أبي هريرة  ، ولأبي يعلى  من حديث بريدة  ، وروى أبو داود  من طريق سماك  عن رجل من قومه عن آخر منهم " رأيت راية رسول الله صلى الله عليه وسلم صفراء " ويجمع بينها باختلاف الأوقات ، وروى أبو يعلى  عن أنس  رفعه " أن الله أكرم أمتي بالألوية " إسناده ضعيف ، ولأبي الشيخ  من حديث ابن عباس  " كان مكتوبا على رايته : لا إله إلا الله محمد  رسول الله " وسنده واه

Kalau sudah Ibn Hajar yang komentar soal hadits, HTI dan ISIS mau ngeles apa lagi? Jangan marah sama saya, saya hanya mengutip pendapat Ibn Hajar yang otoritasnya dalam ilmu Hadits sangat diakui dalam dunia Islam. Kalau ada ulama yg menyatakan hadits Abu Syeikh ini sahih, ya silakan saja. Saya lebih percaya dengan Ibn Hajar daripada dengan ulama HTI.

Komentar Ibn Hajar di atas itu telak sekali. Semoga ini membuka mata para kader HTI, yang sudah dibubarkan pemerintah itu. Bendera HTI dan juga ISIS tidak memliki landasan yang kuat. Tidak ada perintah Rasulullah untuk kita mengangkat bendera semacam itu; tidak ada kesepakatan mengenai warnanya, dan apa ada tulisan atau kosong saja, dan tidak ada kesepakatan dalam praktek khilafah jaman dulu, serta para ahli Hadits seperti Ibn Hajar menganggap riwayatnya tidak sahih.

Katakanlah ada tulisannya, maka tulisan khat jaman Rasul dulu berbeda dengan di bendera ISIS dan HTI. Jaman Rasul, tulisan al-Qur'an belum ada titik, dan khatnya masih pra Islam yaitu khat kufi. Makanya meski mirip, bendera ISIS dan HTI itu beda khatnya. Kenapa ayo? Kan sama2 mengklaim bendera Islam? Itu karena tulisan khat-nya rekaan mereka saja. Gak ada contoh yg otentik dan sahih bendera Rasul itu seperti apa. Itu rekaan alias imajinasi orang-orang ISIS dan HTI berdasarkan hadits-hadits yg tidak sahih

Jadi jangan mau dibohongin yah sama bendera Islam-nya HTI dan ISIS.

Perkara ini bukan masuk kategori syari'ah yg harus ditaati. Gak usah ragu menurunkan bendera HTI dan ISIS. Itu bukan bendera Islam, bukan bendera Tauhid.

Tapi ada tulisan tauhidnya? Masak kita alergi dengan kalimat tauhid? Itu hanya akal-akalan mereka saja. Untuk mengujinya gampang saja, kenapa HTI gak mau mengangkat bendera ISIS dan kenapa orang ISIS tidak mau mengibarkan bendera HTI padahal sama-sama ada kalimat Tauhid-nya? Itu karena sifat sebuah bendera di masa modern ini sudah merupakan ciri khas perangkat dan simbol negara. Misalnya warga Indonesia tidak mau mengangkat bendera Belanda atau lainnya. Bukan karena benci dengan pilihan warna bendera mereka, tapi karena itu bukan bendera negara kita.

Bendera itu merupakan ciri khas sebuah negara. Apa HTI dan ISIS mau mengangkat bendera berisikan kalimat Tauhid yang khat dan layout-nya berbeda dengan ciri khas milik mereka? Atau angkat saja deh bendera Arab Saudi yang juga ada kalimat Tauhidnya. Gimana? Gak bakalan mau kan. Karena bendera sudah menjadi bagian dari gerakan mereka. Maka jelas bendera ISIS dan HTI bukan bendera Islam, bukan bendera Rasul, tapi bendera ISIS dan HTI.

Itu sebabnya Habib Luthfi bin Yahya dengan tegas meminta bendera HTI diturunkan dalam sebuah acara. Mursyid yang juga keturunan Rasulullah ini paham benar dengan sejarah dan status hadits soal bendera ini.

Saya ikut pendapatnya Imam Ibn Hajar dan ikut sikap Habib Luthfi.

Tabik,

Nadirsyah Hosen

Friday, September 14, 2018

Kisah Habib Umar bin Thoha bin yahya Indramayu Mengimami Sholat Jamaah Di Jabal Qof

Kisah Habib Umar bin Thoha bin yahya Indramayu Mengimami Sholat Jamaah Di Jabal Qof.

Setiap menjelang masuknya bulan sya'ban Habib Umar selalu mengenakan pakaian yang sangat rapi setelah itu beliau pergi ke tepi pantai,dalam waktu beberapa detik beliau sudah menghilang dan beliau akan muncul kembali di tempat yang sama satu bulan kemudian.lantas kemanakah perginya beliau selama satu bulan itu? Menurut Maulana Habib Luthfi bin yahya selama satu bulan Habib Umar bin yahya berada di Jabal Qof ( gunung qof ) dan mengimami sholat jamaah bersama para Awliya di sana.dan selama satu bulan itu pula Habib Umar menjalankan puasa ramadhan di sana.karena selisih waktu antara jabal Qof dengan waktu di dunia ini adalah satu bulan.jadi jika di dunia ini masih tanggal 1 Sya'ban maka di Jabal Qof sudah masuk tanggal 1 Ramadhan,dan awal Ramadhan di dunia ini adalah awal Syawal ( idul fitri ) di Jabal Qof. Jadi ketika beliau kembali ke Indramayu,beliau sudah menjalankan puasa ramadhan di jabal qof.

Maulana Habib Luthfi juga menceritakan tentang salah seorang murid Habib Umar bin yahya Indramayu yang  di bawa ke kota madinah hanya dalam waktu satu detik.murid itu namanya adalah mbah darwo,saat itu ia sedang berada di pengimaman masjid Indramayu bersama Habib Umar. Ia di ajak pergi ke kota madinah oleh Habib Umar dengan perjalanan tempuh hanya satu detik dan menjalankan sholat jamaah di sana,setelah selesai sholat Habib Umar mengajak ia pulang kembali ke kampung halamannya di Indramayu namun mbah darwo lebih memilih menetap di madinah dan ia tinggal di sana selama 7 tahun.selama waktu itu pula ia menimba ilmu kepada para masyayih yang tinggal di Madinah sehingga sepulang dari sana dia menjadi orang yang alim.

Mbah darwo awalnya adalah seorang penjahat yang paling di takuti di desanya lantaran kesaktianya,ia di kenal menguasai berbagai macam ilmu hitam dan ilmu kekebalan.perjalanan taubatnya bermula ketika ia bertemu dengan salah seorang santri Habib Umar, singkat cerita ketika ia hendak menyatroni santri itu,si santri berteriak dengan menyebut nama Habib Umar seketika itu pula semua ilmu hitam yang di miliki mbah darwo lenyap dari dalam tubuhnya sehingga dia tidak bisa berbuat apa apa. Melihat keramat Habib Umar yang luar biasa itu akhirnya ia meminta kepada santri itu untuk di antarkan ke kediaman Habib Umar. Setibanya di sana ia menyatakan taubatan nasuha di hadapan Habib Umar dan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatanya lagi.sejak saat itu ia menjadi pelayan Habib Umar yang setia.selain mbah darwo sebenarnya banyak murid murid Habib Umar yang menjadi Ulama besar di antaranya adalah sipitung ( pendekar legendaris dari betawi ) KH Muqoyyim ( Pendiri Pondok Pesantren Buntet ),KH Sholeh ( Pendiri Pondok Pesantren Benda Kerep ) selama 40 Tahun KH Sholeh Benda Kerep menjalankan sholat isya dan subuh berjamaah di belakang Habib Umar,dan masih banyak lagi murid murid beliau yang menjadi Ulama besar.

Melihat seorang wali jangan hanya memandang dari sisi keramatnya saja tapi lihatlah perjuangan dan pengorbananya serta peran sosialnya,keberadaan Beliau di dunia bukan hanya sebagai Himayah anil bala' ( penangkal turunnya bencana ) tetapi juga sebagi pengayom umat.sumbangsih beliau dalam mensejahterakan kaum fuqoro wal masakin sangatlah besar.beliau memiliki tanah yang luasnya mencapai ratusan hektar.dari hasil pertaniannya itu beliau gunakan untuk membantu fuqoro wal masakin.

Beliau juga menaruh perhatiaan yang sangat besar terhadap dunia pendidikan,beliau tidak senang apabila melihat para gus ( putra kyai ) yang tidak menyebarkan ilmunya,maka agar mereka tetap bisa menyebarkan ilmunya semua kebutuhan hariannya di tanggung oleh Habib Umar.
Habib Umar wafat pada tahun 1883 M

Di sampaikan oleh Maulana Habib Luthfi bin Yahya pada pengajian rutin bulan suci ramadhan di kediamanya tepatnya 27 Ramadhan 1434 H/Agustus 2013

Tuesday, September 11, 2018

PERNIKAHAN

PERNIKAHAN

bukan ingin menulis tentang hukum nikah atau hikmahnya, karena saya tak ingin terjebak dalam tanya jawab masalah perjodohan yang akhirnya melukai para jomblo. Disini saya lebih ingin menulis tentang bagaimana bapak menyikapi masalah perjodohan ataupun pernikahan.

Kebetulan hari ini(senin,10 september) adalah hari terakhir bulan besar, bulan dimana undangan nikahan berjajar. Memasuki tahun baru islam, sekaligus memasuki bulan muharram, bulan dimana orang jawa melarang melakukan pernikahan menurut tradisinya.

Tolong, jangan tanyakan hukum dalam islam menikah dibulan syuro pada saya. Sebagaimana jangan tanyakan hukumnya makan bakso berkuah es campur. Hehehe saya tak ahli dalil apalagi bahtsul masail.

Meskipun bapak setiap hari ngaji kitab kuning, tapi bapak juga sangat menghormati budaya jawa yang dipesankan oleh orang tua. Seperti weton dan bulan jawa. Bukan masalah harinya, tapi ada ilmu kebijaksanaan orang tua didalamnya(ilmu titen).

Meskipun toh sebenarnya, disetiap hal bapak selalu mendahulukan istikhoroh(meminta petunjuk yang terbaik) pada Tuhan.

Ada satu pesan yang saya selalu ingat dari bapak tentang istikhoroh: " lek arep njalok disitikhorohne, sakdurunge kudu noto ati. Apik elek e hasil kudu ditompo lan dilakoni(ketika akan meminta diistikhorohkan, sebelumnya harus menata hati. Bagus jeleknya hasil harus diterima dan dijalani).

Pesan ini, akan sangat berpotensi bentrok pada calon pasangan yang sudah suka sama suka. Maka, untuk yang satu ini, bapak biasanya pesan: "lek wes seneng yo ra usah njalok istikhoroh. Langsung ae dinikah(kalau sudah suka ya gak usah minta istikhoroh. Langsung saja dinikah).

Ketika sudah menikah, bapak seringkali berpesan pada manten anyar: "biasanya, para orang tua ingin anaknya bertempat tinggal dirumah atau minimal dekat dengan orang tua. Tapi saya anjurkan pada pengantin anyar untuk meminta pada ALLAH agar ditempatkan dimanapun selama membawa keberkahan dan kebaikan dunia akhirat. Bagaimana caranya? Yaitu dengan istiqomah membaca:

رب انزلني منزلا مباركا وانت خيرالمنزلين

Dibaca 11kali setiap bakda sholat fardlu. Tetapi, Saya sendiri(bapak) dulu mengamalkan doa ini selama 11 tahun ketika dipondok, setiap hari sebanyak 1000 kali." (Sampai sekarang bapak masih mewiridkan doa ini setiap bakda sholat fardlu sebelas kali).

Memang, dalam setiap wiridan bapak selalu all out. Beliau tak berhitung. Selalu mencurahkan segenap kemampuan untuk wiridan. Tak banyak tapi sungguh.

Maka, bila kita juga ingin ditempatkan pada kelas vip. Maka wiridannya juga jangan yang ekonomi(sedikit). Hehehe

Namun wiridan ini satu hal, dan berikhtiar dengan usaha badan hal lainnya. Maka disamping wiridan doa ini, bapak menganjurkan para pengantin baru untuk tetap menggerakkan tangan(berUSAHA). Sesuai dengan dawuh nabi dalam hadis qudsi:
يا عبدي حرك يدك ارزق عليك

(Wahai hambaku, gerakkan tanganmu maka akan saya berikan rezeki kepadamu)

Hanya perlu diingat, dalam berusaha pun harus disertai ilmu USAHA.

من اراد الدنيا فعليه بالعلم
(Barang siapa yang menginginkan hasil pada dunia, maka dia harus menguasai ilmunya dunia)

Demikian ringkasan pesan yang biasanya disampaikan oleh bapak disetiap resepsi pernikahan. Bapak memang selalu singkat dalam mauidloh ataupun berdoa. Kata beliau: seng paling penting isine jelas tur pas(yang paling penting adalah isinya jelas dan pas).

#salamKWAGEAN

Monday, September 10, 2018

Garwo (Sigarane Nyowo)

Garwo (Sigarane Nyowo)
====================

Garwo adalah istilah jawa dari istri. Garwo adalah akronim (singkatan) dari kata "sigarane nyowo" (belahan hati) Dan belahan hati adalah penentu sang buah hati.

KH. Maimoen Zuber pernah dawuh :
"Neng Al Qur-an ﻧﺴﺎﺅﻛﻢ ﺣﺮﺙ ﻟﻜﻢ
Istri iku ladang kanggo suami. Sepiro apike bibit tapi nek tanahe atau ladange ora apik, ora bakal ngasilno pari apik".

Artinya “ Di dalam Al Qur’an, Istri itu ibarat sebuah ladang bagi suami. Seberapa bagus bibit tetapi kalau tanah dan ladangnya tidak bagus, maka tidak akan menghasilkan padi yg bagus pula".

Maka, beliau menawarkan konsep dalam mencari istri itu hendaknya:
"Nek milih bojo iku sing ora patiyo ngerti dunyo, mergo sepiro anakmu sholeh, sepiro sholehahe ibune".

Artinya: “Jika memilih istri sebaiknya (wanita yg) tidak begitu suka dunia, karena seberapa sholeh anakmu tergantung dari seberapa sholeh ibunya".

Seirama dengan beliau, KH. M. Anwar Manshur pun berpesan:
"Carilah wanita yg memiliki nasab baik, karena itu akan mempengaruhi nasib yg baik pula. Tapi andai kata jodohmu bukanlah orang yg memiliki nasab, maka buatlah nasab sendiri dan bangun nasib dengan nasab yg kamu bangun".

Kemuadian Mbah Maimoen mengambil i'tibar dari kisah para sahabat Rasulullah:
“ Sohabat Abbas iku nduwe bojo ora seneng dandan, nganti sohabat Abbas isin nek metu karo bojone. Tapi beliau nduwe anak ngalime poll, rupane Abdulloh bin Abbas".

Artinya: “Sahabat Abbas mempunyai istri yg tidak suka berdandan, sampai sahabat Abbas malu jika keluar rumah bersama istrinya. Tapi beliau memiliki anak yg sangat alim sekali, yaitu Abdullah bin Abbas".

“Sayyidina Husain nduwe bojo anake Rojo Rustam (rojo Persia). Walaupun asale putri Rojo, sakwise dadi bojone Sayyidina Husain wis ora patiyo seneng dunyo. Mulane nduwe putro Ali Zainal Abidin bin Husain, ngalim-ngalime keturunane Kanjeng Nabi".

Artinya: “Sayyidina Husain (cucu Rosulullah SAW) memiliki istri dari putri Raja Rustam (Raja Persia). Walaupun berasal dari putri raja, setelah menjadi istri Sayyidina Husain sudah tidak begitu suka dunia. Makanya beliau memiliki putra bernama Ali Zainal Abidin bin Husain, keturunan Rosulullah yang paling alim".

Beliau juga memberikan contoh bukti real pentingnya peranan "garwo" di zaman now:
“Kiai-Kiai Sarang ngalim-ngalim koyo ngono, mergo mbah-mbah wedo'e do seneng poso".

Artinya: “Para kiyai dari Sarang bisa alim seperti itu, sebab para mbah perempuannya suka berpuasa".

Beliau pun memberikan contoh ulama besar Mekkah berdarah Padang Sumatra Barat. Tokoh berdarah Nusantara itu bernama Abu Al-Faidh’ Alam Ad Diin Muhammad Yasin bin Isa Al-Fadani, bergelar “Almusnid Dunya” (ulama ahli sanad dunia) karena keahliannya dalam hal ilmu periwayatan hadist. Maka banyak para ulama-ulama dunia berbondong-bondong untuk mendapat Ijazah Sanad hadist dari beliau. Bahkan Al-‘Allamah Habib Segaf bin Muhammad Assegaf salah seorang ulama dan waliyulloh dari Tarim Hadromaut sangat mengagumi keilmuan Syekh Yasin Al-Fadani hingga menyebut Syekh Yasin dengan ”Sayuthiyyu Zamanihi” (imam Al Hafid Assayuthy pada zamannya).

Mbah Maimoen dawuh:
“Syekh Yasin Al Fadani iku nduwe istri pinter dagang, nduwe putro loro. Sing siji dadi ahli bangunan sijine kerjo neng transportasi. Kabeh anake ora ono sing nerusake dakwahe Syekh Yasin".

Artinya: “Syekh Yasin Al Fadani itu mempunyai istri yg pandai dalam berdagang, mereka memiliki dua putra. Yang satunya ahli dalam bangunan, yg satunya bekerja dalam bidang transportasi. Semua anaknya tidak ada yg meneruskan dakwah Syekh Yasin".

Beliau memberikan konklusi (kesimpulan) bahwa :
“Intine iso nduwe anak ngalim, nek istrine ora patiyo ngurusi dunyo lan khidmah poll karo suamine".

Artinya: “Intinya untuk memiliki anak yg alim, jika istrinya tidak begitu mengurusi masalah dunia dan totalitas berkhidmah (patuh) kepada suaminya".

“Nek kowe milih istri pinter dunyo, kowe sing kudu wani tirakat. Nek ora wani tirakat, yo lurune istri sing ahli dzikir, kowene sing mikir dunyo alias kerjo".

Artinya: "Jika kamu memilih istri yang pandai mengurus masalah dunia, kamu harus berani untuk tirakat. Jika kamu tidak berani, yg kedua carilah istri yg ahi dalam berdzikir, kamu yg berpikir masalah dunia alias bekerja".

Dan saya ingat dawuh ipun Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya:
"Semangat bekerja, bertanggung jawab, tidak meninggalkan sholat lima waktu dan mau mendekati Ulama dan orang-orang Sholeh. Insya Allah akan membawa kebaikan, baik duniawi maupun ukhrawi. Yang masih single semoga segera mendapat jodoh, yg membawa maslahat dunia dan akhirat".

IKHTIYATH KALIMAT TAUHID

IKHTIYATH KALIMAT TAUHID
Oleh: @ziatuwel

Mengapa kita jarang sekali temukan lambang-lambang bertorehkan kalimat tauhid di acara-acara lingkungan pesantren? Lihat saja saat ada pagelaran imtihan, haflah, haul, pawai ta'aruf, istighotsah, maulid akbar, atau sejenisnya. Jarang sekali kita lihat kalimat tauhid tercetak di bendera, spanduk, kaos, peci, koko, sorban, apalagi ikat kepala.

Mengapa? Bukankah kalimat tauhid itu luhur? Apakah kalangan pesantren kurang ghirah keislamannya? Apakah mereka tidak bangga dengan ketauhidannya? Atau jangan-jangan mereka tidak suka kalimat tauhid?

Sebelum Anda menerka yang tidak-tidak, ada satu hal yang musti dipahami. Justru para kiai dan santri itu mungkin lebih akrab dengan kalimat tauhid daripada kita yang setiap hari pakai ikat kepala bertoreh lafal tauhid. Selain dikumandangan lima kali sehari saat adzan, kalimat tauhid juga diwiridkan dan diendapkan di alam bawah sadar mereka secara berjamaah tiap usai sembahyang.

Afdhaludz-dzikri fa'lam annahu; laa ilaaha illallaah. Diwiridkan serempak oleh imam dan makmum, ada yang 40 kali, 70 kali, atau 100 kali, kemudian dipungkasi dengan; 'muhammadur-rasuulullaah'. Demikian lima kali sehari, belum lagi jika ada yang mengamalkan wirid tahlil tambahan.

Kalau demikian, mengapa jarang sekali terlihat simbol-simbol kalimat tauhid di gelaran-gelaran mereka?

Saya tidak berminat membahas gegeran simbol kalimat tauhid yang lagi ramai belakangan. Tidak pula hendak membahas penggunaan bendera tauhid sejak masa Rasulullah, para sahabat, hingga peran politisnya di masa kini. Ini hanya tulisan ringan yang sekedar menguak satu 'tradisi' kaum pesantren berkaitan dengan pelabelan kalimat tauhid. Yaitu tradisi ikhtiyath; kehati-hatian fikih.

Ikhtiyath bisa kita sebut sebagai tradisi moral kalangan santri dalam berfikih. Ikhtiyath inilah yang membuat mereka membuat kobokan kaki di luar tempat wudhu sebelum masuk masjid, memilih pakai mukenah terusan daripada potongan, pelafalan niat sebelum takbirotul ihrom, koor niat puasa setelah taraweh, memakai sandal khusus dari toilet ke tempat salat di rumah.

Apalagi dalam kaitannya dengan kalimat tauhid. Ada kehati-hatian fikih bagi kalangan santri agar tidak sembrono meletakkan kalimat suci tersebut di sembarang tempat. Bagi santri, kalimat tauhid adalah jimat dunia akhirat yang sangat luhur. Ia tidak boleh tercecer, tergeletak, terbuang, atau bertempat di lokasi kotor apalagi najis.

Jika ia dicetak di sandangan semisal kaos, baju, topi, atau bandana, dikuatirkan bisa bercampur najis ketika dicuci. Jika dicetak di spanduk-spanduk atau bendera temporer, dikuatirkan akan tercampakkan sewaktu-waktu. Kalau dicantumkan di lambang pesantren, akan menyulitkan saat membuat undangan, kartu syahriyah, baju almamater, dan lainnya. Apalagi jika dicetak di stiker-stiker. Di tempat-tempat tersebuy, kalimat tauhid bisa sangat rawan terabaikan.

Bagi kalangan pesantren, kalimat tauhid hanya boleh dicantumkan di tempat-tempat spesial yang sekiranya bisa terjaga kehormatannya. Semisal panji peperangan yang tentu akan dijaga kibarannya hidup atau mati. Sebagaimana kisah dramatis Sayyidina Ja'far at-Thayyar. Atau bendera kerajaan yang tentu akan dirawat dan dimuliakan, sebagaimana bisa kita lihat di kasunanan Cirebon.

Almarhum simbah Kiai Zainal Abidin termasuk sosok yang sangat ketat dalam hal ikhtiyath perkara tauhid. Beliau selalu tutup mata jika lewat Jalan Magelang yang di kiri kanannya penuh patung-patung 'makhluk bernyawa'. Beliau selalu berpaling kalau ada tanda palang salib, juga tidak berkenan dengan atribut-atribut semacam akik atau yang identik dengan perjimatan. Ngregeti iman, kata beliau. Kalimat tauhid tidak lagi berkibar di spanduk atau ikat kepala, melainkan sudah terpatri kuat di dalam sanubari beliau.

Kalimat tauhid, bagi Mbah Zainal, sama sucinya dengan mushaf Quran. Bahkan saya menyaksikan sendiri, dingklik (tatakan kayu) yang biasa digunakan untuk membaca Quran pun beliau muliakan. Pernah suatu kali hendak salat jamaah isya di bulan Ramadan, ada satu dingklik yang tergeletak di belakangku. Ketika beliau lewat, dingklik itu beliau pindah ke sampingku agar tidak kubelakangi.

Bahkan tulisan 'almunawwir' pun sangat beliau muliakan, sebagaimana dikisahkan oleh Kang Tahrir, santri ndalem Mbah Zainal. Memang lazim di Krapyak, kami membuat stiker kecil bertulis 'almunawwir community'. Fungsi stiker ini untuk menandai kendaraan santri sehingga mudah dikenali. Biasanya dipasang di spidometer, plat nomor, atau body sepeda motor.

Nah, menurut penuturan Kang Tahrir, Mbah Zainal tidak berkenan jika melihat ada nama 'almunawwir' kok dipasang di slebor, lebih rendah dari lutut, atau tempat-tempat lain yang kurang pantas. Biar bagaimanapun, 'almunawwir' adalah nama pesantren sekaligus nama pendirinya yang merupakan ulama besar ahli Quran Nusantara, simbah Kiai Muhammad Munawwir bin Abdullah Rosyad.

Demikian hati-hatinya sikap beliau terhadap nama 'almunawwir'. Lebih-lebih terhadap ayat-ayat Quran, hadits Nabi, dan kalimat tauhid. Maka bagi teman-teman yang sedang hobi menunjukkan identitas keislaman dengan atribut berlabel kalimat tauhid, mohon dijaga dengan baik agar benda-benda tersebut tidak tercampakkan.

___
Kalibening, Salatiga, Jumat Kliwon 7 September 2018.

*Foto: almarhum Mbah Kiai Zainal Abidin bin Munawwir bersama Syaikh Muhammad Syarif as-Shawwaf dari Universitas Ahmad Kaftaro, Suriah. Kunjungan Syaikh Syarif di Krapyak ini pada tahun 2011, yang kemudian kutulis reportasenya untuk Majalah Almunawwir Pos edisi I. Dalam kesempatan ini beliau juga berpesan agar kami tetap menjaga kedamaian negeri, serta jangan mudah terhasut dengan apa yang saat itu sedang terjadi di Suriah.

Sunday, September 9, 2018

Beberapa Peristiwa Penting Para Nabi pada 10 Muharram

Mahbib, NU Online | Selasa, 26 September 2017 12:10

Oleh KH Zakky Mubarak

Masa kebangkitan, keemasan, dan kehancuran suatu umat terjadi silih berganti, dari satu generasi ke generasi yang lain, dari suatu abad ke abad yang lainnya. Peristiwa-peristiwa itu terus bergulir dengan pasti, sesuai dengan sunnatullah. Semua peristiwa tersebut merupakan pelajaran yang amat berharga bagi kita dan bagi generasi yang akan datang, untuk memilih mana yang baik yang harus diikuti dan mana yang buruk yang harus dihindari.

Hari sepuluh Muharram atau hari Asyura merupakan hari bersejarah. Menurut beberapa riwayat disebutkan, banyak peristiwa penting terjadi di hari itu pada masa yang lalu, di antaranya disebutkan sebagai berikut: (1) Nabi Adam 'alaihissalam bertobat kepada Allah dari dosa-dosanya dan tobat tersebut diterima oleh-Nya. (2) Berlabuhnya kapal Nabi Nuh di bukit Zuhdi dengan selamat, setelah dunia dilanda banjir yang menghanyutkan dan membinasakan. (3) Selamatnya Nabi Ibrahim 'alaihissalam dari siksa Namrud, berupa api yang membakar. (4) Nabi Yusuf 'alaihissalam dibebaskan dari penjara Mesir karena terkena fitnah. (5) Nabi Yunus 'alaihissalam selamat, keluar dari perut ikan hiu. (6) Nabi Ayyub 'alaihissalam disembuhkan Allah dari penyakitnya yang menjijikkan. (7) Nabi Musa 'alaihissalam dan umatnya kaum Bani Israil selamat dari pengejaran Fir’aun di Laut Merah. Beliau dan umatnya yang berjumlah sekitar lima ratus ribu orang selamat memasuki gurun Sinai untuk kembali ke tanah leluhur mereka. Banyak lagi peristiwa lain yang terjadi pada hari sepuluh Muharram itu, yang menunjukkan sebagai hari yang bersejarah, yang penuh kenangan dan pelajaran yang berharga.

Sayyidah Aisyah, istri Nabi shallallahu 'alaihi wassalam menyatakan bahwa hari Asyura adalah hari orang-orang Quraisy berpuasa di masa Jahiliyah, Rasulullah juga ikut mengerjakannya. Setelah Nabi berhijrah ke Madinah beliau terus mengerjakan puasa itu dan memerintahkan para sahabat agar berpuasa juga. Setelah diwajibkan puasa dalam bulan Ramadhan, Nabi s.a.w. menetapkan:

مَنْ شَاءَ أَنْ يَصُومَهُ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتْرُكَهُ فَلْيَتْرُكْهُ 

“Barangsiapa yang menghendaki berpuasa Asyura puasalah dan siapa yang tidak suka boleh meninggalkannya." (HR. Bukhari, No: 1489; Muslim, No: 1987)

Ibnu Abbas seorang sahabat, saudara sepupu Nabi yang dikenal sangat ahli dalam tafsir al-Qur’an meriwayatkan bahwa saat Nabi berhijrah ke Madinah, beliau menjumpai orang-orang Yahudi di sana mengerjakan puasa Asyura. Nabi pum bertanya tentang alasan mereka berpuasa. Mereka menjawab:

هُوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ فَقَالَ أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ 

“Allah telah melepaskan Musa dan Umatnya pada hari itu dari (musuhnya) Fir’aun dan bala tentaranya, lalu Musa berpuasa pada hari itu, dalam rangka bersyukur kepada Allah”. Nabi bersabda : “Aku lebih berhak terhadap Musa dari mereka." Maka Nabi pun berpuasa pada hari itu dan menyuruh para sahabatnya agar berpuasa juga." (HR. Bukhari; No: 1865  & Muslim, No: 1910)

Abu Musa al-Asy’ari mengatakan:

كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوهُ أَنْتُمْ 

“Hari Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan dijadikan oleh mereka sebagai hari raya, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam bersabda: “Berpuasalah kamu sekalian pada hari itu." (H.R. Bukhari, No: 1866; Muslim, No: 1912)

Dari uraian di atas nyatalah bagi kita, bahwa hari Asyura merupakan hari bersejarah yang diagungkan dari masa ke masa. Kita hendaknya menyambut hari itu dengan banyak mengambil pelajaran yang bermanfaat dari sejarah masa lalu. Kita menyambutnya sesuai dengan tuntunan Rasulullah, agar senantiasa berada dalam bimbingannya, yaitu dengan jalan:

Pertama, mengerjakan puasa sunnah pada hari Asyura atau tanggal 10 Muharram. Keutamaan puasa pada hari ini diantaranya disebutkan dalam hadits Nabi:

سُئِلَ عَنْ صِياَمِ يَوْمِ عَاشُوْرآءَ؟ قَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ 

"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari Asyura, beliau menjawab: “Puasa pada hari Asyura menghapuskan dosa setahun yang lalu." (HR. Muslim, No: 1977) 

Dalam hadits yang lain, Rasulullah menjelaskan:

أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ الصَّلَاةُ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ وَأَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ صِيَامُ شَهْرِ اللَّهِ الْمُحَرَّمِ 

“Sesungguhnya shalat yang terbaik setelah shalat fardhu adalah shalat tengah malam dan sebaik-baiknya puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah yang kamu menyebutnya bulan Muharram." (HR. Nasa’i, No: 1614)

Kedua, mengerjakan puasa Tasu’a atau puasa sunnah hari kesembilan di bulan Muharram. Mengenai puasa ini Ibnu Abbas meriwayatkan:

حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه مسلم وأبو داود)

“Pada waktu Rasulullah dan para sahabatnya mengerjakan puasa Asyura, para sahabat menginformasikan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wassalam bahwa hari Asyura diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Maka Nabi bersabda : “Tahun depan Insya Allah kami akan berpuasa juga pada hari kesembilan”. kata Ibnu Abbas, akan tetapi sebelum mencapai tahun depan Rasulullah s.a.w. wafat”. (H.R. Muslim, No: 1916, Abu Daud, No: 2089).

Dengan demikian, kita melakukan puasa Asyura dengan menambah satu hari sebelumnya yaitu hari Tasu’a, atau tanggal 9 di bulan Muharram. Kita disunnahkan berpuasa selama 2 hari, yaitu tanggal 9 dan 10 Muharram.

Ketiga, memperbanyak sedekah. Dalam menyambut bulan Muharram diperintahkan agar memperbanyak pengeluran dari belanja kita sehari-hari untuk bersedekah, membantu anak-anak yatim, membantu keluarga, kaum kerabat, orang-orang miskin dan mereka yang membutuhkan. Semua itu hendaknya dilakukan dengan tidak memberatkan diri sendiri dan disertai keikhlasan semata-mata mengharap keridhaan Allah.

Mengenai hal ini Rasulullah bersabda:

مَنْ وَسَّعَ عَلى عِيَالِهِ وَ أَهْلِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ

“Siapa yang meluaskan pemberian untuk keluarganya atau ahlinya, Allah akan meluaskan rizki bagi orang itu dalam seluruh tahunnya.” (HR Baihaqi, No: 3795)

Dengan memperingati hari Asyura, kita dapat mengambil pelajaran dari perjuangan para Nabi dan Rasul terdahulu. Misi mereka pada dasarnya adalah sama menegakkan aqidah Islamiyah, meyakini ke-Esaan Allah subhanahu wata'ala yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Peristiwa masa lalu merupakan cermin bagi kita untuk berusaha memisahkan kebenaran dan kebathilan, memisahkan yang baik dan buruk, agar dapat meratakan jalan bagi kita untuk menjangkau masa depan. Semua peristiwa dan kejadian-kejadian yang ada dalam alam semesta ini merupakan pelajaran yang bermanfaat bagi orang-orang yang mempergunakan akalnya. Pergantian siang dan malam, pergantian musim dan pada segala sesuatu di alam ini terdapat tanda, bahwa sesungguhnya Allah itu adalah Maha Esa dan Maha Kuasa.

Penulis adalah Rais Syuriyah PBNU

Apakah Jual Beli Valas Termasuk Riba?

Khoiron, NU Online | Ahad, 09 September 2018 22:30

Yang dimaksud dengan valuta asing atau valas dalam hal ini adalah mata uang asing, yaitu sebuah alat tukar-menukar luar negeri yang nilainya ditentukan oleh kepercayaan pasar. Ada tiga fungsi utama uang, yaitu:

1. Sebagai medium alat tukar (medium of exchange) sehingga mempermudah proses pertukarannya. Menurut fungsi ini, secara tidak langsung uang juga berfungsi sebagai satuan alat jual beli dan sekaligus sebagai alat pembayar utang.

2. Sebagai satuan hitung (unit of account) yang menunjukkan nilai barang atau jasa.

3. Sebagai alat penyimpan nilai (valuta).

Ditinjau dari sejarahnya, mata uang telah mengalami banyak perubahan arti. Mulai dari keberadaannya pada masa barter hingga masa uang modern yang terdiri atas uang fiat dan uang giral. Saat ini sudah muncul istilah baru uang virtual. Sejarah mencatat bahwa uang mengalami perkembangan arti, fungsi dan nilai uang. Perubahan ini otomatis membawa imbas pada perubahan hukum yang berlaku atasnya. 

Dalam pembahasan ini, kita mengacu pada pengertian dan definisi uang modern yang menyatakan bahwa uang tidak lagi berjamin emas (underlying gold). Uang modern disamakan kedudukannya dengan surat berharga dalam muamalah syariah yang berperan sebagai instrumen pertukaran.

Baca juga:
• Mata Uang Fiat dan Unsur Penyusunnya
• Uang Giral dan Unsur Penyusunannya
• Sejarah Mata Uang Logam dan Uang Kertas


Uang modern memiliki fungsi sebagai komoditas. Di mana letak ‘illat (alasan dasar hukum) kesamaan uang modern dengan komoditas ini? Mari kita kaji bersama!

Pertama, komoditas memiliki nama lain sebagai suatu produk yang diperdagangkan. Jadi, komoditas adalah sama artinya dengan barang niaga. 

Karakteristik barang niaga adalah harganya ditentukan oleh penawaran dan permintaan pasar. Oleh karena itu, dalam sistem perniagaan, berlaku hukum ekonomi pasar yang menyatakan bahwa harga turun manakala jumlahnya banyak, dan harga naik manakala jumlah komoditas di pasaran adalah sedikit. 

Contoh: harga premium di Jawa hanya berkisar 6.600-an rupiah per liter. Sementara harga premium di wilayah Indonesia bagian timur bisa mencapai 20 ribu per liter. Perbedaan harga premium di Jawa dan di Indonesia bagian timur di pengaruhi jumlah stok komoditas premium di masing-masing unit pemasaran, dan dipengaruhi oleh cara dan akses mendapatkannya. Semakin sulit cara mendapatkan, semakin mahal harga premium. Dan semakin mudah cara mendapatkan, maka semakin murah harga premium. 

Uang juga memiliki karakteristik yang serupa dengan contoh di atas. Manakala jumlah devisa yang terdiri atas stok mata uang dolar di Indonesia ada dalam jumlah banyak, maka harga jual komoditas mata uang dolar atas rupiah menjadi turun. Demikian pula sebaliknya, maka manakala jumlah stok komoditas mata uang dolar berada dalam jumlah sedikit, maka harga dan nilai jual komoditas tersebut menjadi turun. Keduanya dipengaruhi oleh jumlah stok di masing-masing negara. 

Kedua, setiap komoditas memiliki nilai manfaat yang ditawarkan. Oleh karena alasan ini, maka uang bisa disebut sebagai harta. 

Komoditas mata uang memiliki nilai manfaat sebagai alat tukar (umulatu al-tijâry). Sebuah mata uang dipandang tidak sah sebagai medium pertukaran bilamana di negara tersebut tidak menggunakan mata uang yang dimaksud sebagai medium pertukaran resmi. Anda ingin membeli TV di Malaysia. Tentu mata uang yang dipergunakan adalah Ringgit yang merupakan medium resmi pertukaran di negara tersebut. Dan setiap anda pergi ke Malaysia dan ingin melakukan transaksi jual beli di Malaysia, maka anda harus menukarkan mata uang rupiah ke Malaysia. Hal yang sama juga berlaku bagi warga Malaysia yang menghendaki melakukan transaksi pertukaran di Indonesia. 

Apakah dengan demikian mata uang rupiah tidak berlaku lagi? Tentu saja masih berlaku. Akan tetapi karena pertukaran terjadi pada wilayah yang tidak melegalkan penggunaannya, maka ia menjadi tidak memiliki nilai guna/nilai manfaat. Dalam fiqih, syarat sah jual beli adalah bahwa barang yang dipertukarkan harus memiliki nilai manfaat, bukan? 

Ketiga, setiap komoditas dinilai berdasarkan nilai bahan yang dimilikinya. Komoditas kopi dinilai karena kopinya. Komoditas bijih tembaga dinilai karena unsur tembaganya. Komoditas uang dinilai berdasarkan status legal formalnya. Selembar uang rupiah, dinilai karena bahan kertas yang dimilikinya mendapatkan legalitas dari Bank Indonesia. Apabila penanda dari Bank Indonesia itu hilang, maka tinggallah bahan yang tidak memiliki nilai apa-apa lagi. Ia tidak lagi menjadi barang yang memiliki nilai tukar. Sekaarang bandingkan dengan mata uang emas! Bilamana penanda cetaknya hilang, maka ia masih memiliki nilai tukar berupa bahan sebagai barang berharga. 

Baca: Mengenal Macam-macam Barang Ribawi


Mencermati dari ketiga alasan ini, maka uang modern tidak lagi bisa dikelompokkan sebagai barang ribawi. Dengan begitu, akad tukar-menukar antara mata uang dengan mata uang negara lain, tidak bisa diputuskan sebagaimana layaknya bai‘ sharfi, yaitu akad jual beli/tukar-menukar barang ribawi yang mensyaratkan harus hulul (kontan) dan taqabudl (saling terima) atau bahkan mumatsalah (harus sama takarannya), sebagaimana hal ini merupakan syarat dari bai‘ sharfi.

والصرف على ثلاثة أنواع أحدها بيع الذهب بالذهب والثاني بيع الفضة بالفضة والثالث بيع الذهب بالفضة

Artinya: “As-sharfi terdiri atas tiga macam, yaitu: pertama, jual beli emas dengan emas; kedua, jual beli antara perak dengan perak; dan ketiga jual beli antara emas dan perak.” (Abu Al-Hasan Al Muhamily, Al-Lubab fi al-Fiqhi Al-Syafi’i, Beirut: Daru al-Fikr, tt: 1: 217!)

Mata uang menjadi barang ribawi manakala telah dipertukarkan menjadi emas, perak atau bahan makanan. Jika belum dipertukarkan, maka mata uang tidak memiliki unsur ribawi. Emas perak dan bahan makanan adalah bahan yang mauzûn (barang yang ditimbang) dan al-makyal (barang yang ditakar). Adanya jeda “harus dipertukarkan” terlebih dulu ini menjadi sebab tidak bisanya disamakannya uang dengan emas disebabkan keharusan tersebut adalah masuk amrun khorij (urusan di luar haq barang) sehingga menjadi unsur ‘aridly (sesuatu yang baru). Sesuatu yang baru tersebut berupa emas yang sudah memiliki ketentuan hukum sendiri yang tidak sama dengan ketentuan yang berlaku pada uang sebagai komoditas dagang (umulat al-tijariyah). 

Sebuah pengandaian, misalnya dari hasil penjualan barang dagang toko dengan total habis, diketahui bahwa total kekayaan/asset toko adalah sebesar 1 miliar rupiah. Apakah uang yang terkumpul ini kemudian harus ditukarkan/dibelikan emas terlebih dahulu? Jika diputuskan bahwa harus dibelikan emas, maka terjadi akad baru yang mengikat pada uang. Akad baru tersebut adalah jual beli emas. Ia masuk dikenai wajib zakat apabila sudah mencapai 1 tahun. Sementara uang yang dipergunakan untuk membeli adalah hasil dari penjualan toko, yang berarti ia merupakan harta dagang (‘urudl al-tijârah) dan harus dikeluarkan zakatnya saat tiba haul (genap 1 tahun hijriyah). Merupakannya menjadi emas yang baru adalah sama saja dengan mengubah status ‘urudl al-tijaarah menjadi harta kanzun (harta simpanan). Oleh karenanya, hal itu tidak bisa diterima karena dianggap menghindar dari zakat urudl al-tijaarah.

Lantas, bagaimana dengan pendapat yang menganggap bahwa jual valas adalah sama dengan bai‘ sharfi dengan mendasarkan pada qaul Syekh Abdurrahman Al-Jaziry (w. 1359 H)? Pendapat yang dikutip, misalnya adalah sebagai berikut:

جمهور الفقهاء يرون وجوب الزكاة في الأوراق المالية، لأنها حلت محل الذهب والفضة في التعامل، ويمكن صرفها بصرف بدون عسر، فليس من المعقول أن يكون لدى الناس ثروة من الأوراق المالية، ويمكنهم صرف نصاب الزكاة منها بالفضة، ولا يخرجون منها زكاة؛ ولذا أجمع فقهاء ثلاثة من الأئمة على وجوب الزكاة فيها؛ وخالف الحنابلة فقط

Artinya: “Jumhur ulama berdapat wajib zakat pada uang kestas, karena uang kertas menggantikan posisi emas dan perak sebagai alat tukar dan mudah untuk ditukarkan dengan perak. Sangat tidak masuk akal bahwa pada manusia ada sekumpulan harta berbentuk kertas yang bisa ditukar dengan nishab zakat perak dan mereka tidak mengeluarkan zakatnya. Karena itulah para fuqaha tiga mazhab sepakat tentang kewajiban zakatnya. Hanya ulama mazhab Hanbali saja yang tidak sepakat.” (Abdurrahman Al-Jaziry, Al-Fiqhu ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, Beirut: Daru al-Fikr, 1990: 1/549)

Jika menyimak dari tahun wafat beliau Syekh Abdurrahman Al-Jaziry di atas, yakni tahun 1359 H, maka bisa disimpulkan bahwa pendapat beliau ini adalah dikeluarkan pada masa ketika uang masih memiliki nilai cadangan emas (underlying asset), yaitu sekitar tahun 1960-an. Oleh karena itu, pendapat di atas adalah berlaku pada saat mata uang masih belum menjadi ‘umulatu al-tijary (komoditas dagang). Dengan demikian, pendapat ini tidak bisa dipergunakan untuk memutuskan kewajiban yang berlaku atas uang modern hari ini disebabkan ‘illat-nya berbeda. 

Sebagai kesimpulan akhir dari tulisan ini adalah: bahwa jual beli mata uang sekarang tidak bisa disamakan dengan jual beli barang ribawi, sehingga tidak berlaku baginya akad al-sharf. Perdagangan valuta yang terdiri atas uang dolar (valas) dengan rupiah dan sebaliknya rupiah dengan dolar tidak masuk akad bai‘ sharfi. Akad yang berlaku atas jual beli valas ini adalah akad ‘urudl al-tijaarah, karena ia merupakan komoditas tijârah yang berlaku atasnya karakteristik barang niaga. Wallâhu a’lam bish shawâb.

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Gresik, Jatim

Friday, September 7, 2018

Beginilah Ulama Berfatwa, Kisah Syekh Bin Bayyah dan Seorang Istri yang Minta Cerai karena Suaminya Pemabuk

Pada suatu saat Syekh Abdullah Bin Bayyah ada di acara live sebuah stasiun televisi. Kemudian ada seorang perempuan dari Jazair bertanya kepada beliau, “Wahai Guru, bagaimana pendapat Anda tentang seorang perempuan dimana suaminya selalu meminum minuman keras dan datang di malam hari. Pada suatu saat ketika saya membaca Alquran, suami saya datang dan memukuliku, mengambil Alquran dan menyobeknya. Saya bingung, apakah saya boleh minta cerai atau tidak. Bagaimana pendapatmu?”

Lalu Syekh Abdullah Bin Bayyah balik bertanya, “Apakah kamu mempunyai anak?”

Perempuan tersebut berkata, “Iya, saya mempunyai lima anak masih kecil-kecil.”

Syekh Bin Bayyah bertanya lagi, “Apakah keluargamu ada?”

“Ada, tapi saya di ibukota sedangkan keluarga saya jauh ada di pelosok desa,” jawab si perempuan.

Lalu Syekh Bin Bayyah bertanya lagi, “Apakah ada yang mengayomimu?”

Jawab si perempuan, “Tidak, karena anakku semuanya masih kecil.”

Lalu Syekh Bin Bayyah berkata, “Wahai perempuan, janganlah engkau pergi dari rumahmu dan jangan kau minta cerai terhadap suamimu. Sabarlah bersamanya, jangan sampai engkau memarahinya.”

Tanya si perempuan, “Apakah saya harus sabar terhadap suami yang tiap malam datang dengan bau khamer, wahai Syekh?”

Syaikh Abdullah Bin Bayyah menjawab, “Kalau engkau berada di rumah tersebut maka yang akan meminum khamer cuman satu, sedangkan tugasmu membentengi anak-anakmu. Tapi ketika engkau keluar, maka yang akan meminum khamer 6 orang. Anak kecilmu akan terdidik dengan meminum khamer. Nanti kalau sudah tua mereka akan suka meminum khamer. Bersabarlah dan selalu meminta kepada Allah di tengah malam.”

Setelah beberapa tahun Syekh Abdullah Bin Bayyah kembali live di TV tersebut. Kemudian ada telepon masuk, “Saya adalah perempuan dulu yang bertanya tentang masalah apakah istri boleh minta cerai terhadap suaminya yang selalu meminum khamer.”

Jawab Syekh Bin Bayyah, “Oh iya, saya ingat kepadamu, ceritakan kepadaku bagaimana keadaan suamimu sekarang.”

Lalu si perempuan itu bercerita, “Kalau suamiku sekarang sudah memegang kunci Masjid Jami’. Setiap akhir malam dia yang membuka pintu masjid. Allah memberikan ijabah terhadap doaku yang di tengah malam. Allah selalu membersihkan hatiku menjadikan aku sabar. Dan alhamdulillah anakku terdidik dengan baik.” (Hb. Hamid Ja’far Al Qadri/Ala-NU)

Thursday, September 6, 2018

Pertemuan imam syafi'i dan imam malik

Dikisahkan dari Imam Syafi'i -semoga Allah meridloinya- , ketika beliau sampai ke Madinah dan duduk di halaqohnya Imam Malik, saat itu imam Malik sedang membacakan kitab Al Muwattho' kepada orang2 yg ada disana.
Imam Malik membacakan 18 hadits kepada mereka.

Posisi duduk Imam Syafi'i berada di paling belakang - beliau saat itu masih kecil, pada umur 10 tahun sudah hafal kitab Al Muwattho'- dan Imam Malik melihatnya sedang menulis dengan jarinya pada punggung telapak tangannya.

Ketika mejelis telah selsesai dan orang2 pada pulang, Imam Malik memanggil Imam Syafi'i dan menanyakan asalnya dan nasabnya, lalu Imam Syafi'i memberitahukan semua itu.

Imam Malik berkata : "ku lihat tadi engkau bermain-main dengan jarimu pada pungung telapakmu."
Imam Syafi'i berkata:" tidak, tadi saya tidak sedang bermain-main, tetapi ketika anda membacakan hadits maka saya menulisnya di punggung telapak tangan. jika anda ingin saya mengulangi apa yg anda baca tadi, saya akan membacanya."

Imam Malik berkata : "coba bacakan lagi !"
Maka Imam Syafi'i membacakan 18 hadits yg telah dibaca Imam Malik tadi dengan hafalannya.

Imam Malik mendekati Imam Syafi'i dan berkata :
"Wahai Muhammad, bertaqwalah kepada Allah ta'ala, sesungguhnya engkau kelak akan menjadi orang besar."

Wallohu a'lam.

~Tadzkiirun Nass~

Ketika Syekh Abu Ishaq bertemu Sufi

Ketika Syekh Abu Ishaq bertemu Sufi

Ini sejumput cerita tentang seorang ulama besar bernama Syekh Abu Ishaq Asy-Syirazi (393–476 H/1003–1083 M). Nama lengkap ulama besar mazhab Syafi’i ini adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf bin Abdillah Asy-Syirazi Al-Fayruzabadi.

Kitab Al-Muhazzab karya Imam Abu Ishaq Asy-Syirazi adalah salah satu kitab rujukan utama dalam mazhab Syafi’i sampai abad ke 6 hijriah.

Al-Muhazzab banyak menjadi bahan kajian ilmiah bagi para ulama, sehingga muncul banyak karya ilmiah yang didasarkan darinya baik berupa Syarah dan Hasyiah. Yang paling termasyhur tentu saja kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab karangan Imam Nawawi.

Suatu ketika Syekh Abu Ishaq Asy-Syirazi menjadi utusan Khalifah ke Bastam dalam menyelesaikan ketegangan yang terjadi antara Sultan Malik Syah dengan ‘Amid Abu al-Fath bin Laits, seorang pejabat di Iraq. Demikian dikisahkan dalam al-Kamil fit Tarikh (juz 8, halaman 283). Ini artinya Khalifah al-Muqtadi sangat mempercayai Syekh Abu Ishaq Asy-Syirazi.

Nama besar Syekh Abu Ishaq asy-Syirazi, sebagai utusan Khalifah, menjadi magnet tersendiri. Para ulama keluar menemui beliau, termasuk Syekh Juwaini yang dikenal sebagai Imam al-Haramain, guru dari Imam al-Ghazali. Rakyat juga berbondong-bondong menyambut sambil membawa roti dan buah-buahan.

Dikisahkan seorang Syekh Sufi bernama as-Sahlaki mendatangi Syekh Abu Ishaq asy-Syirazi. Ibn al-Atsir menyebut Sahlaki ini sebagai “Syaikhun Kabirun”. Abu Ishaq yang diberitahu kedatangan Syekh as-Sahlaki ini langsung keluar menemuinya dengan berjalan kaki.

Syekh as-Sahlaki segera turun dari kendaraannya dan mencium tangan Syekh Abu Ishaq. Syekh Abu Ishaq membalas penghormatan ini dengan mencium kaki Syekh as-Sahlaki, lantas menempatkan Syekh as-Sahlaki di kursinya, sementara Syekh Abu Ishaq memilih duduk di bawah di antara kedua tangan Syekh as-Sahlaki.

Jelas tampak kedua orang ulama besar berbeda disiplin ilmu ini saling menghargai. Yang satu ahli fiqh; satunya lagi seorang sufi. Syekh as-Sahlaki memberi hadiah, yang disebut-sebut merupakan perbendaharaan dari masa Syekh Abu Yazid al-Busthami, seorang sufi agung generasi sebelumnya. Syekh Abu Ishaq asy-Syirazi menerimanya dengan gembira.

Syekh as-Sahlaki ini, hasil pelacakan saya, nama lengkapnya adalah Abu al-Fadl Muhammad bin Ali bin Ahmad as-Sahlaki. Beliau mengumpulkan berbagai pernyataan dan ujaran Syekh Abu Yazid al-Busthami.

Itulah contoh pertemuan antara seorang faqih dengan seorang sufi. Contoh ini menjadi penting karena seringkali terjadi pertentangan antara ahli Hadits dengan ahli Fiqh, dan juga antara ahli Fiqh dengan ahli Tasawuf. Maka jauh-jauh hari Imam Malik sudah mengingatkan:

“Barang siapa bertasawuf tanpa berfikih maka dia zindiq. Barang siapa berfikih tanpa bertasawuf maka dia fasik. Barang siapa menggabung keduanya maka dia akan sampai pada hakikat.”

Para ulama, apapun disiplin keilmuannya, bila bertemu akan saling menghormati. Bahkan kalaupun mereka saling berbeda pandangan. Tidak ada caci-maki yang keluar dari lisan mereka. Itulah akhlak yang diwariskan kepada kita semua. Maukah kita meneladaninya? Insya Allah.

Tabik,

Nadirsyah Hosen

Rujukan: Ibn al-Atsir, al-Kamil fit Tarikh (8/283)

‎ذِكْرُ مَسِيرِ الشَّيْخِ أَبِي إِسْحَاقَ إِلَى السُّلْطَانِ فِي رِسَالَةٍ.
‎فِي هَذِهِ السَّنَةِ، فِي ذِي الْحِجَّةِ، أَوْصَلَ الْخَلِيفَةُ الْمُقْتَدِي بِأَمْرِ اللَّهِ الشَّيْخَ أَبَا إِسْحَاقَ الشِّيرَازِيَّ إِلَى حَضْرَتِهِ، وَحَمَّلَهُ رِسَالَةً إِلَى السُّلْطَانِ مَلِكْشَاهْ، وَنِظَامِ الْمُلْكِ، تَتَضَمَّنُ الشَّكْوَى مِنَ الْعَمِيدِ أَبِي الْفَتْحِ بْنِ أَبِي اللَّيْثِ، عَمِيدِ الْعِرَاقِ، وَأَمَرَهُ أَنْ يُنْهِيَ مَا يَجْرِي عَلَى الْبِلَادِ مِنَ النُّظَّارِ. فَسَارَ فَكَانَ كُلَّمَا وَصَلَ إِلَى مَدِينَةٍ مِنْ بِلَادِ الْعَجَمِ يَخْرُجُ أَهْلُهَا بِنِسَائِهِمْ وَأَوْلَادِهِمْ يَتَمَسَّحُونَ بِرِكَابِهِ، وَيَأْخُذُونَ تُرَابَ بِغْلَتِهِ لِلْبَرَكَةِ.
‎وَكَانَ فِي صُحْبَتِهِ جَمَاعَةٌ مِنْ أَعْيَانِ بَغْدَاذَ، مِنْهُمُ الْإِمَامُ أَبُو بَكْرٍ الشَّاشِيُّ وَغَيْرُهُ.
‎وَلَمَّا وَصَلَ إِلَى سَاوَةَ خَرَجَ جَمِيعُ أَهْلِهَا، وَسَأَلَهُ فُقَهَاؤُهَا كُلٌّ مِنْهُمْ أَنْ يَدْخُلَ بَيْتَهُ، فَلَمْ يَفْعَلْ، وَلَقِيَهُ أَصْحَابُ الصِّنَاعَاتِ، وَمَعَهُمْ مَا يَنْثُرُونَهُ عَلَى مِحَفَّتِهِ، فَخَرَجَ الْخَبَّازُونَ يَنْثُرُونَ الْخُبْزَ، وَهُوَ يَنْهَاهُمْ، فَلَمْ يَنْتَهُوا، وَكَذَلِكَ أَصْحَابُ الْفَاكِهَةِ، وَالْحَلْوَاءِ، وَغَيْرُهُمْ، وَخَرَجَ إِلَيْهِ الْأَسَاكِفَةُ، وَقَدْ عَمِلُوا مُدَاسَاتٍ لِطَافًا تَصْلُحُ لِأَرْجُلِ الْأَطْفَالِ، وَنَثَرُوهَا، فَكَانَتْ تَسْقُطُ عَلَى رُءُوسِ النَّاسِ، فَكَانَ الشَّيْخُ يَتَعَجَّبُ، وَيَذْكُرُ ذَلِكَ لِأَصْحَابِهِ بَعْدَ رُجُوعِهِ، وَيَقُولُ: مَا كَانَ حَظُّكُمْ مِنْ ذَلِكَ النِّثَارِ؟ فَقَالَ لَهُ بَعْضُهُمْ: مَا كَانَ حَظُّ سَيِّدِنَا مِنْهُ، فَقَالَ: [أَمَّا] أَنَا فَغُطِّيتُ بِالْمِحَفَّةِ، وَهُوَ يَضْحَكُ، فَأَكْرَمَهُ السُّلْطَانُ وَنِظَامُ الْمُلْكِ، وَجَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَ إِمَامِ الْحَرَمَيْنِ أَبِي الْمَعَالِي الْجُوَيْنِيِّ مُنَاظَرَةٌ بِحَضْرَةِ نِظَامِ الْمُلْكِ، وَأُجِيبَ إِلَى جَمِيعِ مَا الْتَمَسَهُ، وَلَمَّا عَادَ أُهِينَ الْعَمِيدُ (وَكُسِرَ عَمَّا كَانَ يَعْتَمِدُهُ) ، وَرُفِعَتْ يَدُهُ عَنْ جَمِيعِ مَا يَتَعَلَّقُ بِحَوَاشِي الْخَلِيفَةِ.
‎وَلَمَّا وَصَلَ الشَّيْخُ إِلَى بِسِطَامٍ خَرَجَ إِلَيْهِ السَّهْلَكِيُّ، شَيْخُ الصُّوفِيَّةِ بِهَا، وَهُوَ شَيْخٌ كَبِيرٌ، فَلَمَّا سَمِعَ الشَّيْخُ أَبُو إِسْحَاقَ بِوُصُولِهِ خَرَجَ إِلَيْهِ مَاشِيًا، فَلَمَّا رَآهُ السَّهْلَكِيُّ أَلْقَى
نَفْسَهُ مِنْ دَابَّةٍ كَانَ عَلَيْهَا، وَقَبَّلَ يَدَ الشَّيْخِ أَبِي إِسْحَاقَ، فَقَبَّلَ أَبُو إِسْحَاقَ رِجْلَهُ، وَأَقْعَدَهُ مَوْضِعَهُ، وَجَلَسَ أَبُو إِسْحَاقَ بَيْنَ يَدَيْهِ، وَأَظْهَرَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِنْ تَعْظِيمِ صَاحَبِهِ كَثِيرًا، وَأَعْطَاهُ شَيْئًا مِنْ حِنْطَةٍ ذُكِرَ أَنَّهَا مِنْ عَهْدِ أَبِي يَزِيدَ الْبِسْطَامِيِّ، فَفَرِحَ بِهَا أَبُو إِسْحَاقَ.