Monday, September 17, 2018

NGAJI LAKU

NGAJI LAKU

Saya berangkat mondok tahun 1999, beberapa bulan setelah tamat dari MI. Dengan nebeng acara nikahan, dan sekalian mengantarkan mbak nung(allahuyarham) kerumah mertua. Karena memang bapak belum punya kendaraan selain sepeda onthel dan becak ketika itu.

Acara nikahan di rembang pagi, sehingga sampek kajen siang hari. Alhamdulillah bisa sowan ke pengasuh pondok, yaitu yai Sahal(Allahuyarham). Menimbang begitu sibuknya beliau, dan sangat disiplinnya beliau dalam mengatur waktu.

Saya diantar bapak, ibuk(Allahuyarham), mbak, dan satu santri senior yang memang dipondok dipanggil mbah basirun(disamping karena keseniorannya, juga karena mbah basirun memelihara brewok lebat).

Karena brewoknya mbah basirun, bahkan ketika akan mendaftar dikantor pondok yang disungkemi dia, bukan bapak saya. Hehehe

Saya dikajen menganggur beberapa bulan, hanya makan, tidur dan dolanan. Karena memang telat untuk daftar dimadrasahnya. Dan karena saya didawuhi yai untuk bertempat dikamar ndalem, tak ada kegiatan pengajian.

Saya nikmati kebebasan dari pengawasan orang tua, dan perlahan belajar bagaimana menjaga diri dalam arti sebenar-benarnya. Saya belajar banyak dari kemandirian ini. Mulai belajar 'ngerawat awak' hingga 'ngerawat otak'.

Saya gudiken(penyakit gatal) hebat, lalu belajar dari teman-teman bagaimana menyembuhkan. Saya tak faham dengan obrolan teman-teman, saya belajar mengikuti topik obrolan. Dari gaya hidup, dan kebiasaan lingkungan.

Saya berkenalan dengan budaya baca dan musik pun disini. Dari para senior yang berbeda-beda hobi, namun penuh dengan kelebihan yang menurut saya keren dan sedikit banyak memberi pengaruh positif ke saya.

Ada yang hobi baca quran dan semua kitab sufi, hingga selalu bersikap sesufi mungkin. Ada yang hobi membaca novel dan mendengarkan lagu klasik, berpengaruh pada sikapnya yang tenang namun pasti. Ada juga yang sukanya hanya mendengarkan musik dangdut dan india, jarang membaca namun banyak bicara. Sesuai dengan karakternya yang ceria dan selalu membahagiakan suasana.

Keresahan hingga keresahan silih berganti dengan pembelajaran-pembelajaran saya dalam mengatasinya, salah satu keresahan saya adalah: "mondok di pondoknya yai Sahal, yang terkenal kealimannya, namun beberapa tahun disana tak pernah ikut ngaji langsung(tatap muka dan membawa kitab) dengan beliau. Serasa ada yang mengganjal dihati". Karena memang, ditahun saya masuk pondok, yai sudah tidak mengajar lagi dipondok kecuali bulan puasa. Dan bulan puasa, adalah saatnya saya liburan, pulang kerumah.

Maka praktis saya bertahun-tahun tak pernah ikut ngaji yai secara langsung.

Hingga suatu hari, keresahan saya tertangkap oleh mas ipar saya, yai ishaq(Allahuyarham). Beliau hanya berpesan pada saya: "dek, ngaji itu tak hanya buka kitab, lalu memberi makna. Dan tak harus yai membacakan kitab lalu menerangkan. SETIAP HARI MELIHAT TINDAK-TANDUK DAN KEBIASAAN YAI ADALAH NGAJI. KEBERADAAN YAI, ADALAH KITAB TERBUKA YANG SELALU MENYEDIAKAN kesempatan UNTUK DIMUTHOLA'AH, DIPELAJARI OLEH SANTRI." 

Jadi, saya tak perlu menyesali keminiman kesempatan ngaji langsung pada beliau, karena ngaji laku selalu tersedia. Bagaimana yai berjalan, ngendikan(bertutur), dan apapun yang yai lakukan selalu mengandung pembelajaran.

Karena LAKU adalah intisari ILMU.

لسان الحال افصح من لسان المقال

Tingkah laku(perbuatan) jauh lebih lantang terdengar oleh hati dari sekedar ucapan.

Mulai saat itu, hingga kini, tak pernah usai saya mengaji pada yai Sahal. Karena memang masih terlampau luas samudra ilmu yang beliau praktekkan dalam laku, yang terbuka untuk dimuthola'ah dan ditiru.

Untuk para beliau, lahumul faatihah

#salamKWAGEAN

No comments:

Post a Comment