Wednesday, October 31, 2018

APA BEDANYA QODHO’ DENGAN FATWA?

APA BEDANYA QODHO’ DENGAN FATWA?

Oleh; Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
***

Qodho’ (القضاء) adalah menjelaskan hukum syara’ dengan disertai ada unsur pemaksaan untuk menerapkannya. Beda dengan fatwa karena fatwa (الفتوى) itu menjelaskan hukum syara’ tanpa ada unsur pemaksaan untuk melaksanakannya.

Jadi perbedaan paling mendasar antara qodho dengan fatwa adalah adanya unsur ilzam (الإلزام) (mengikat/mewajibkan/memaksa). Qodho’ mengandung unsur ilzam sementara fatwa tidak mengandung unsur ilzam. Syamsuddin Ar-Romli berkata,

(القضاء) إلْزَامُ مَنْ لَهُ الْإِلْزَامُ بِحُكْمِ الشَّرْعِ (نهاية المحتاج (28/ 63)

“(Qodho’ adalah ) pemaksaan (ilzam) yang dilakukan oleh orang yang memiliki (otoritas) memaksa untuk (melaksanakan) hukum syara’. (Nihayatu Al-Muhtaj, juz 28 hlm 63)

Dalam kitab Mu’jamu Lughoti Al-Fuqoha’ disebutkan,

الفتوى : بفتح فسكون ج فتاوى وفتاو ، الحكم الشرعي الذي يبينه الفقيه لمن سأله عنه (معجم لغة الفقهاء (1/ 407)

“Fatwa adalah hukum syara yang dijelaskan seorang faqih kepada orang yang bertanya kepadanya”. (Mu’jamu Lughoti Al-Fuqoha’ juz 1 hlm 407)

Dengan definisi tersebut, bisa dipahami bahwa qodho’ hanya mungkin dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan. Pasalnya, hukum bisa dipaksakan untuk diterapkan hanya oleh orang memiliki kekuasaan yang berfungsi untuk menegakkan hukum. Adanya aparat penegak hukum yang berfungsi sebagai “backing” penerapan hukum, seperti polisi misalnya, adalah syarat asasi agar penjelasan hukum syara’ itu bisa digolongkan sebagai qodho’. Oleh karena sifatnya memaksa, maka hukum taklifi yang mungkin diurus dalam qodho’ hanya terbatas tiga macam saja, yakni wajib, haram dan mubah. Hukum makruh dan sunnah tidak mungkin bersinggungan dengan qodho’ karena tidak mungkin ada pemaksaan pada perkara sunnah dan makruh. Adapun fatwa, ia lebih luas dan akan mengurusi semua hukum taklifi yang berjumlah lima itu (wajib, sunnah, mubah, makruh, haram).

Dari definisi di atas bisa dipahami juga bahwa fatwa itu lebih luas sifatnya, karena bisa mencakup tema ibadah, muamalat, adab dan lain-lain. Berbeda dengan qodho’ yang biasanya terbatas pada tema-tema perselisihan di antara manusia seperti masalah rebutan warisan, utang-piutang, qishosh atau tindakan kriminal tertentu seperti hukuman zina, minum khomr dan lain-lain. Qodho’ tidak pernah mengurusi apakah salat seseorang itu dipandang sah ataukah batal.

Karena dua hal ini berbeda, maka syarat menjadi qodhi (hakim) yang akan menelurkan qodho’ berbeda dengan syarat untuk menjadi mufti (pemberi fatwa). Untuk menjadi hakim, disyaratkan harus lelaki, sementara untuk mufti tidak harus lelaki. Wanita, bahkan budak, orang buta dan orang bisu juga boleh menjadi mufti.

Terkait mana yang lebih berbahaya dan rawan antara fatwa dan qodho’ ada perbedaan pendapat.

Sebagian ulama berpendapat fatwa lebih rawan dan lebih berbahaya daripada qodho’, karena fatwa itu sifatnya berlaku umum. Fatwa bukan hanya diterapkan orang yang meminta fatwa, tetapi juga bisa diterapkan orang lain selain dia. Berbeda dengan qodho’ yang area penerapannya terbatas, yakni hanya pada orang yang terlibat sengketa atau terkena kasus hukum.

Hal lain yang membuat fatwa lebih rawan adalah, karena fatwa itu biasanya dibutuhkan cepat sehingga pemberi fatwa kadang tidak punya waktu untuk merenungi dan menjawab yang berbasis studi yang mendalam. Jadi peluang salahnya lebih besar daripada qodho’ dan kadang hanya cocok untuk satu kejadian sementara untuk peristiwa yang lain tidak bisa diterapkan.

Adapula yang berpendapat qodho’ lebih rawan. Alasannya, qodho’ itu sifatnya bisa memaksa untuk diterapkan, padahal kemungkinan salah memberi putusan hukum bisa saja terjadi. Kita sudah terbiasa mendengar berita yang mana seorang hakim keliru menghukum seseorang (misalnya karena dituduh membunuh), setelah puluhan tahun kemudian ternyata baru terbukti bahwa dia tidak bersalah.

An-Nawawi mengutip pernyataan Qodhi Syuraih yang tidak bersedia memberi fatwa karena tugasnya adalah menerbitkan Qodho’. Pernyataan Syuraih ini menegaskan bahwa qodho’ memang berbeda dengan fatwa dan memberi kesan bahwa fatwa lebih berbahaya daripada qodho. An-Nawawi berkata,

وَقَالَ شُرَيْح أَنا أَقْضِي وَلَا أُفْتِي (آداب الفتوى والمفتي والمستفتي (ص: 22)

“Syuraih mengatakan; Saya mengeluarkan qodho’ (mengadili) bukan berfatwa (Adabu Al-Fatwa wa Al-Mufti wa Al-Mustafti, hlm 22)

Ibnu Al-Mundzir juga dikenal memberi pernyataan bahwa Qodhi itu dimakruhkan untuk memberi fatwa dalam masalah-masalah hukum syara’.

Wallahua’lam
اللهم فقهنا في الدين وعلمنا التأويل

Versi Situs: http://irtaqi.net/2018/10/21/apa-bedanya-qodho-dengan-fatwa/

***
12 Shofar  1440

Saturday, October 27, 2018

HIZTUR TAHRIR, IKHWANUL MUSLIMIN DAN NU

HIZBUT TAHRIR

Oleh Jarot Doso

Dua tahun saya bergabung dengan Hizbut Tahrir (HT) Indonesia  untuk penelitian partisipatif secara tersamar. Saya katakan tersamar, sebab hingga saya mundur, saya tidak mengaku sedang meneliti.

Saya ikut dibaiat, ikut liqo rutin, ikut kajian-kajiannya, dan disuruh ikut aksi demo. Tapi untuk demo HT, saya selalu menolak ikut dengan pelbagai alasan, karena hal itu akan membuka penyamaran saya di luar.

Kebetulan pada saat yang sama, saya juga bergabung dan melakukan penelitian partisipatif di KAMMI, yang secara aspiratif dekat dengan PKS atau Ikhwanul Muslimin (IM) dan acap terlibat persaingan sengit dengan HT di kampus-kampus. Biasanya haram bagi seorang ikhwan (aktivis) HT sekaligus juga seorang ikhwan IM.

Saya akhirnya terpaksa mengundurkan diri dari HT karena oleh HT saya ditugasi untuk mendakwahi ihwal sesatnya demokrasi kepada dosen pembimbing saya, Prof. Dr. Afan Gaffar, juga kepada Prof. Dr. Amien Rais, mantan ketua PP Muhammadiyah. Dua hal yang mustahil saya lakukan.

Saya juga ditugasi untuk menyampaikan ceramah dengan tema yang sama di Masjid Kampus UGM, yang tentu saja juga mustahil saya laksanakan karena di dunia nyata saya adalah aktivis pro demokrasi dan meyakini demokrasi sebagai solusi terbaik untuk memperjuangkan kepentingan rakyat Indonesia yang pluralistik.

Dan selama melakukan penelitian itu hingga hari ini, yang saya ketahui, bendera HT itu ya tak ada tulisan Hizbut Tahrir-nya. Yang ada dalam bendera HT adalah tulisan kalimat tauhid atau kalimat syahadat dalam bahasa Arab di atas secarik kain hitam atau putih. Jika kainnya hitam, tulisannya putih, sebaliknya jika kainnya putih tulisannya hitam, begitu saja. Seperti yang berusaha dikibarkan di Hari Santri di Garut dan kemudian dibakar oleh anggota Banser NU.

Itulah bendera HT yang juga mereka klaim sama persis dengan bendera Nabi Muhammad SAW. Klaim yang ditolak oleh banyak ulama karena dalil yang dirujuk HT konon hadis dhoif, atau sabda Nabi yang dari segi periwayatannya dianggap tidak valid (lemah).

Bendera HT hitam putih berkalimat tauhid itu pula yang gambarnya ada di dalam naskah tesis saya, "Ide dan Aksi Politik Hizbut Tahrir, Studi Ihwal Kebangkitan Gerakan Khilafah Islamiyah di Indonesia". Bagi yang berminat dapat membaca tesis saya di Perpustakaan Pusat UGM Yogyakarta.

Saya kira peneliti HT yang lain pun, semisal Ketua PP Muhammadiyah Dr. Haedar Nashir, yang disertasinya tentang kebangkitan gerakan Islam syariah di Indonesia juga meneliti tentang HT, jika mau jujur juga akan mengakui bahwa bendera yang dibakar di Garut adalah bendera HT.

Saya tidak tahu apa motif Plt Ketum MUI, Prof. Dr. Yunahar Ilyas, yang menyatakan bahwa yang dibakar di Garut adalah bendera tauhid dan bukan bendera HT hanya karena tak ada tulisan Hizbut Tahrirnya. Yang jelas, yang saya ketahui, Prof. Yunahar Ilyas meski kini secara resmi menjabat salah satu petinggi PP Muhammadiyah, akan tetapi beliau juga salah satu tokoh penting di Jamaah Tarbiyah yang tak lain adalah jamaah Ikhwanul Muslimin/PKS.

Antara HT dan PKS memang memiliki irisan historis dan ideologis.  Hizbut Tahrir merupakan  pecahan sayap ekstrem IM yang menolak demokrasi, meski menurut versi HT, mereka bukan pecahan, tapi pendiri IM Hasan al-Banna bersahabat dengan pendiri HT, Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani. Karena tak setuju dengan langkah IM yang menempuh langkah kompromis itu, Taqiyyuddin an-Nabhani mendirikan HT di Al Quds (Yerusalem), yang saat itu masuk wilayah Yordania, pada 1953.

IM, juga PKS, masih tetap menjadikan khilafah sebagai cita-cita utamanya. Namun mereka berusaha memperjuangkannya melalui demokrasi dan menyesuaikan diri dengan situasi politik setempat.

Boleh jadi dalam situasi tertentu, antara jaringan IM dan HT yang sama-sama fenomena Islam kota dan Islam transnasional dan acap bersaing di kampus-kampus ini, akan akur atau saling membantu dalam isu tertentu. Saat IM melalui PKS menjadi bagian dari pemerintahan SBY, HT bersikap selalu kritis dan karena itu sulit akur. Namun ketika PKS tergusur menjadi kelompok oposisi, antara HT dan PKS lebih bisa akur, barangkali karena rasa senasib dan memiliki common enemy yang sama: aliansi Nasionalis Sekuler (PDIP, Nasdem, Golkar, Hanura) dan Islam Tradisional (NU, PKB, PPP).

Dalam konteks ini bisa dipahami jika PKS salah satu yang menolak pembubaran HT dan mendukung HT melakukan gugatan hukum. Dilanjut HT yang lazimnya mengharamkan pemilu, mau melibatkan diri dalam agenda Pilkada Jakarta dan ikut memobilisasi dukungan untuk memenangkan calon yang diusung PKS, yaitu Anies-Sandi. Kemudian yang fenomenal adalah kolaborasi Mardani Ali Sera (PKS) dan Ismail Yusanto (Jubir HT) dalam gerakan #2019GantiPresiden. Maka, bagi yang paham peta gerakan Islam, sebenarnya tak terlalu mengagetkan jika muncul pendapat Prof. Yunahar Ilyas yang menguntungkan HT dan memojokkan Banser. Itu konteksnya bukan rivalitas antara Muhammadiyah dan NU, tapi lebih IM versus NU.

Muhammadiyah sendiri melalui statemen Ketum PP Muhammadiyah Dr Haedar Nashir cenderung adem, dengan mempercayakan penyelesaian kepada aparat penegak hukum. Muhammadiyah bahkan melarang warganya ikut serta dalam aksi Bela Bendera Tauhid karena rawan dimanipulasi untuk memecah belah bangsa.  (*Ilustrasi foto dari Fanpage Parodi Hizbut Traktir Indomie).

Thursday, October 25, 2018

Bendera hitam adalah bendera perang, bukan bendera "ummat"

* Bendera hitam adalah bendera perang, bukan bendera "ummat".

Sejak kejadian pembakaran bendera tauhid di Garut beberapa hari lalu, saya tertarik untuk menelusuri lebih dalam tentang bendera hitam dalam kitab-kitab Hadits dan Syamail. Prof.Nadirsyah Hosen sebenarnya sudah punya tulisan mengenai masalah ini, tapi kurang mantap rasanya jika tidak ber-ijtihad sendiri dan cuma mengandalkan tulisan orang. Lagi pula kesimpulan Prof Nadir bahwa semua hadits yang berkaitan dengan panji hitam adalah hadits-hadits lemah saya rasa kurang tepat.

Saya juga menelusuri apakah pembakaran bendera tauhid di dunia ini baru dilakukan di Indonesia oleh Banser beberapa hari yang lalu? Bagaimana dengan Yaman Utara tempat dimana bendera-bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid itu juga banyak tersebar sebagai atribut Al-Qaeda ?

Berikut point-point yang bisa saya simpulkan :

1. Warna Bendera Rasulullah Saw

Semasa hidupnya, Rasulullah Saw memiliki banyak bendera, yang terdiri dari beberapa bendera besar (Ar-Rayah) dan bendera kecil (Al-Liwa'). Syaikh Yusuf Bin Ismail An-Nabhani dalam kitab Syamail-nya menyebutkan

كانت راية رسول الله صلى الله عليه و سلم سوداء و لواءه ابيض

" bendera besar (Rayah) Rasulullah Saw berwarna hitam, sedangkan bendera kecilnya (liwa') berwarna putih "

Sayyid Muhammad Al-Maliki dalam Tarikhul Hawadits berkata :

و كانت له راية سوداء يقال لها العقاب و أخرى صفراء كما في سنن أبي داود و أخرى بيضاء يقال لها الزينة

" Rasulullah Saw memiliki bendera hitam yang dinamakan "Al-Uqob", beliau juga memiliki bendera berwarna kuning seperti keterangan dalam Sunan Abu Dawud, satu lagi bendera beliau yaitu panji berwarna putih yang dinamakan "Az-Zinah" . "

Dari sini bisa kita ketahui bahwa Rasulullah Saw memiliki beberapa bendera dengan warna yang berbeda-beda, bukan melulu hitam saja. Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar bendera-bendera itu digunakan dalam waktu yang berlainan.

(entah kenapa gerombolan radikal seperti ISIS, Al-Qaeda dll lebih memilih warna hitam dari pada warna Royah Rasulullah lainnya ? kuning misalnya- ? Mungkin karena warna hitam terlihat lebih galak, seram dan sangar.. )

Hadits-Hadits tentang warna Royah dan Liwa' memiliki derajat yang tak sama, ada pula satu hadits yang diriwayatkan dengan sanad yang berlainan. Hadits Riwayat Al-Hakim yang disebut An-Nabhani diatas memang lemah, bahkan ada yang menyebutnya sebagai hadits Munkar, hanya saja itu tidak menafikan adanya hadits-hadits lain yang berderajat hasan seperti riwayat Imam Tirmidzi :

كانت راية رسول الله سوداء مربعة من نمرة  قال
سألت محمدا يعني البخاري فقال حديث حسن

2. Tulisan dalam bendera Rasulullah Saw

Hanya ada satu hadits yang menyatakan panji hitam Rasulullah Saw bertuliskan kalimat tauhid, yaitu hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan Al-Thabrani dalam kitab Al-Kabir, Abu Assyaikh dalam kitab Al-Akhlaq (153), dan Al-Haitsami dalam Majma' Az-Zawaid (5/321). yang berbunyi :

كانت راية رسول الله صلى الله عليه و سلم سوداء مكتوب عليها لا إله إلا الله محمد رسول الله 

" Royah Rasulullah Saw berwarna hitam bertuliskan La Ilaha Ilallah Muhammadun Rasulullah "

Hadits yang diriwayatkan Abu Assyaikh dinyatakan lemah sanadnya oleh Ibnu Hajar, sedangkan Al-Haitsami mengomentari hadits yang diriwayatkannya : " semua perawi-nya shahih kecuali Hayyan Bin Abdillah "

Jadi dapat disimpulkan tidak semua panji Rasulullah Saw bertuliskan kalimat tauhid, hanya satu bendera berwarna hitam saja, itupun ulama sekelas Ibnu Hajar masih meragukan adanya kalimat tauhid dalam bendera Rasulullah Saw tersebut.

3. Fungsi Bendera (Ar-Rayah dan Al-Liwa') di zaman Rasulullah Saw.

Anggap saja warna dan bentuk bendera Rasulullah Saw memang seperti itu, kita juga harus mengetahui fungsi dan kegunaan bendera Royah dan Liwa' di masa Rasulullah Saw. Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari-nya :

الراية و اللواء : العلم الذي يحمل في الحرب يعرف به موضع صاحب الجيش و قد يحمله أمير الجيش و قد يدفع لمقدم العسكر و كان الاصل ان يمسكها رئيش الجيش ثم صارت تحمل على رأسه

"Royah dan Liwa' adalah bendera yang digunakan dalam peperangan dan menjadi tanda dimana posisi pemimpin perang. Bendera ini hanya dibawa oleh komandan perang dan terkadang juga diserahkan pada pasukan yang berada di barisan paling depan.. "

Syaikh Abdullah Said Al-Lahji dalam Muntaha As-Suul berkata :

فالراية هي التي يتولاها صاحب الحرب و يقاتل عليه و إليها تميل المقاتلة

" Royah adalah bendera yang dikuasai pemimpin perang dan ia bertugas untuk mempertahankannya. Peperangan berpusat ke mana arah bendera tersebut. "

Jadi fungsi asli dari Royah dan Liwa' adalah sebagai bendera perang, oleh karena itu bendera Royah juga dijuluki sebagai "Ummul Harb" atau induk perang.  jangan heran jika Imam Bukhori memasukkan pembahasan Liwa' dan Royah ini dalam kitabul Jihad. Ibnu Qoyyim Al-Jauzi dalam Zad Al-Ma'ad, Syaikh Yusuf An-Nabhani dalam Wasail Al-Wushul, dan Sayyid Muhammad Al-Maliki dalam Tarikh Al-Hawadits, mereka semua sepakat meletakkan pembahasan bendera ini dalam Babu Silahi Rasulillah Saw : Bab Senjata perang yang dimiliki Rasulullah Saw.

Kesimpulannya : Bendera Royah dan Liwa' adalah atirbut perang. jadi sangat gak nyambung dan gak relevan jika di zaman now ini bendera-bendera itu malah dikibarkan dalam keadaan tenang, aman dan damai. Bendera-bendera itu tidak layak dibawa dalam majlis-majlis, demo-demo atau acara-acara keagamaan, Apalagi dikibarkan dalam acara hari santri nasional ? Jelas-jelas itu adalah sebuah kedhaliman, wadh'u Assyai fi ghoir mahallihi, menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.

pada zaman Rasul Saw Bendera-bendera ini merupakan atribut khusus yang hanya boleh dipegang oleh pemimpin perang, bahkan para pasukan pun dilarang asal membawa bendera jenis ini.

( tapi Sekarang bendera hitam ini malah seenaknya saja dibawa oleh bocah- bocah dan ibu-ibu dalam demo-demo , majlis-majlis dan acara-acara lainnya )

oleh karena itu Ibnu Hajar menyatakan bahwa bendera Royah dan Liwa' hanya dianjurkan untuk dikibarkan dalam waktu perang, itupun yang boleh membawanya cuma komandan perang atau prajurit yang dipercayainya. Dawuh beliau dalam Fathul Bari :

و في الأحاديث استحباب اتخاذ الأولية في الحروب و أن اللواء يكون مع الأمير او من يقيمه لذلك عند الحرب

Ini jelas menolak anggapan mereka yang berfikir bahwa dulu pada zaman Rasulullah Saw, bendera-bendera hitam ini adalah panji-panji Islam yang dengan indahnya berkibar di jalanan kota makkah-madinah, di depan Masjidil Haram atau Masjid Nabawi,  dan dibawa para Sabahat dalam setiap perkumpulan atau acara keagamaan.

Sekali lagi bendera ini adalah bendera perang, bukan bendera "ummat". Jangan kaget jika panji-panji hitam ini sekarang menjadi simbol resmi golongan yang bawaannya pengen perang dan berantem mulu seperti ISIS, Al-Qaeda, Jabhat Nushra dan jama'ah-jama'ah radikal lainnya.

Pada Intinya Bendera-bendera ini sama sekali tidak disunnahkan dikibarkan pada selain waktu perang. Bahkan untuk sekarang ini, tatkala panji-panji hitam ini (Royah Suud) menjadi simbol yang indentik dengan golongan radikal dan bisa memicu fitnah, kekhawatiran dan kekacauan. Hukum membawa bendera ini bisa mencapai taraf "haram" : Saddan Lid Dzariah..

4. Masalah pembakaran bendera

Terlepas dari hukum membakar bendera hitam yang sudah banyak dikaji dimana-mana, sejatinya dari awal saya sangat menyayangkan insiden pembakaran bendera hitam di Garut itu. Karena selain bisa menimbulkan fitnah dan polemik berkepanjangan seperti saat ini, ada cara lain yang tentunya lebih halus dan kalem daripada membakar.  menyitanya saja saya rasa sudah sangat cukup. Kita semua pasti tau, dari dulu kalimat "bakar !" - selain bakar ayam, ikan atau jagung- selalu identik dengan ke-bringasan dan kebrutalan, sedangkan NU dari dulu dikenal sebagai penyebar Islam teduh dan damai. jika memang hal ini bisa memicu api fitnah dan nantinya kita harus membuat pembelaan disana-sini, kenapa tidak dihindari dari awal ? Al-Daf'u awla min Ar-Raf'i, menangkal lebih baik daripada mengobati, Bukankah begitu dalam Qoidah fiqihnya ?

Jelas tidak benar jika Banser dituduh sebagai ormas anti kalimat Tauhid gara-gara kejadian ini, sebagaimana sangat naif jika kita serampangan menuduh setiap orang yang tidak setuju dengan pembakaran ini sebagai simpatisan HTI atau orang-orang yang terpengaruh dengan ideologi mereka..

Menutup "pintu" fitnah itu penting, sama seperti ketika Rasulullah Saw menahan diri untuk memerangi kaum munafikin agar tidak menimbulkan fitnah dan asumsi-asumsi sesat ditengah masyarakat. toh padahal mereka sudah berkali-kali merencanakan makar-makar jahat terhadap Rasulullah Saw.

" aku tidak ingin orang-orang berkata bahwa Muhammad memerangi sahabat-nya sendiri " begitu sabda Rasulullah Saw waktu itu..

Bukan hal yang mengherankan jika pembakaran bendera tauhid itu meledakkan kegaduhan dan kehebohan di tengah masyarakat, karena memang insiden ini -mungkin- adalah yang pertama dan baru kali ini terjadi di bumi Indonesia.

Kemarin saya mendiskusikan masalah ini dengan seorang sahabat asal Hudaidah, salah satu kota di Yaman Utara yang sampai sekarang dilanda konflik tiada henti. di daerah-daerah konflik disana bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid juga banyak tersebar, hanya saja disana panji hitam bukan menjadi bendera HTI, melainkan bendera Al-Qaeda.

" Al-Qaeda di Syimal-Yaman Utara- bukankah juga mempunyai bendera ? "

" Iya punya.. Bendera Hitam bertuliskan La ilaha Illallah "

Saya lalu menceritakan kepadanya kehebohan di Indonesia akibat pembakaran bendera tauhid tempo hari lalu, tanggapanya benar-benar diluar dugaan..

" Aadii.. (Biasa saja)" ucapnya santai. " di Aden atau di Hudaidah pembakaran bendera-bendera hitam seperti itu sudah biasa terjadi. mereka menyita dan mengumpulkan bendera-bendera itu dalam suatu tempat, menyiramnya dengan bensin lalu membakarnya.. "

" siapa yang melakukannya..? "

" pemerintah.. Masyarakat juga turut andil, bahkan di daerahku sebagian masyaikh juga melakukan itu.. "

" mereka yang membakar juga ahlussunnah.. ? "

" iya.. "

" Maa had takallam ? ( tidak ada yang berkomentar atas pembakaran itu..) ?"

" gak ada.. Biasa aja, bendera-bendera itu adalah penyebab fitnah, jadi sudah seharusnya dilenyapkan, kami mengqiyaskannya dengan Masjid Dhiror " begitu pendapatnya..

Saya juga menceritakan masalah ini kepada murid-murid saya yang berasal dari Yaman Utara. salah satu dari mereka bernama Ahmad, berasal dari kota Mahwith. iya tampak terkejut ketika mendengar cerita saya, tapi bukan karena Insiden pembakaran bendera (karena menurutnya, pembakaran bendera hitam di daerahnya sudah lumrah dan biasa). Ia malah terkejut karena satu hal : Kok bisa bendera seperti itu ada di Indonesia ?

Setelah kami bertukar cerita panjang lebar, dengan raut wajah sedih ia berkata :

" Allah Yarhamkum ya ustadz.. Semoga Allah mengasihani kalian para penduduk Indonesia ustadz..
Wallah..Jika bendera-bendera hitam itu mulai tersebar di negara kalian, itu pertanda awal dari semua kekacauan.."

Saya mengamini doa tulusnya itu.. Ia benar.. Ditengah badai fitnah, kegaduhan, dan perpecahan yang berkecamuk diantara kita saat ini.. betapa butuhnya kita akan pertolongan, kasih sayang dan belas kasih Allah untuk kita..

Irhamna Ya Rabb Ya Rahiim Ya Rahmaan..

** hanya tulisan pribadi, tidak ada sangkut pautnya dengan ormas, keluarga besar, atau lembaga dimana saya bernaung..

* Ismael Amin Kholil, 24 Oktober, 2018.

Tuesday, October 23, 2018

Ketika Habib Abu Bakar Mimpi Disentil Sayyidina Ali

Khoiron, NU Online | Selasa, 23 Oktober 2018 15:00

Jalan Karya Bakti di Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Beji, Kota Depok, sesak orang berpakaian serbaputih saban Ahad sore. Pengajian memang digelar rutin di tempat ini. Pesertanya bisa mecapai ribuan. Ibu-ibu, bapak-bapak, remaja, hingga anak-anak dari ragam penjuru Jabodetabek tumpah ruah di jalanan sekitar kediaman al-Habib Abu Bakar bin Hasan al-Atthas az-Zabidi.

Tapi itu dulu. Pemandangan jamaah pengajian duduk lesehan saban Minggu bakda Ashar itu kini sudah tak ada. Habib Abu Bakar, sang pengasuh, pada 7 Oktober 2018 secara resmi mengumumkan penutupan majelis ta'limnya itu setelah sebelumnya menemui isyarat lewat mimpi yang tak biasa. Mimpi?

Ya. Habib Abu Bakar bercerita bahwa Amirul Mu'minin Sayyidina Ali bin Abi Thalib menemuinya di alam mimpi dan tiba-tiba menyentil bibirnya. Habib terkejut. Ia berkesimpulan, ini isyarat dari sahabat Nabi berjuluk "pintu ilmu" itu agar ia lebih banyak menutup mulut. Habib sudah mengonsultasikan ihwal ta'bir mimpinya ini kepada guru-gurunya, termasuk yang di Kota Zabid, Yaman. Salah satu perintahnya adalah menutup majelis ta'lim sebab ilmu yang disampaikan tak menyentuh kalbu murid. 

Dengan penuh rendah hati Habib menangkap mimpi itu sebagai bentuk kasih sayang kakek buyutnya, Sayyidina Ali karramallahu wajhah. Ia bersyukur dengan teguran tersebut karena dirinya memang masih banyak kekurangan. Teman karib Gus Dur saat belajar di Mesir ini pun berjanji akan lebih banyak diam. Berbicara ke publik hanya bila ada hal yang sangat penting. Sampai tutup usia, Habib tidak akan membuka majelis ta'lim sebelum ada isyarat baru yang mengizinkannya.

Keputusan Habib Abu Bakar ini sungguh menohok hati. Nyaris tak ada alasan awam yang membenarkan ia mundur dari kegiatan majelis ta'lim. Habib Abu Bakar dikenal sebagai sosok kharismatik yang tidak punya musuh. Dakwahnya juga tak meledak-ledak, apalagi sampai mencaci dan menghujat. Sosok habib yang moderat, humoris, dan tak bosan-bosan mengimbau jamaahnya mencintai maulid Nabi. Satu-satunya "alasan rasional" untuk tak lagi berceramah ke khalayak adalah mimpi.

Sudah 38 tahun Habib Abu Bakar malang melintang di dunia dakwah, sepulang dari Mesir, Yaman, Maroko, dan Makkah. Ribuan muridnya tersebar di berbagai daerah yang pernah ia singgahi, mulai dari Ternane, Ambon, Makassar, Banjarmasin, Flores, Deli Serdang, hingga sejumlah kota di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Papua.

Sesuai pesan gurunya, Sayyid  Muhammad bin Alawi al-Maliki, Habib mengaku tak mau neko-neko dalam berdakwah. Yang pokok dalam dakwah adalah kemanfaatan ilmu, bukan kuantitas jamaah. Meskipun, dengan prinsip ini, Habib Abu Bakar sendiri akhirnya juga mendapat banyak murid di berbagai wilayah di Indonesia.

Mundurnya Habib Abu Bakar dari aktivitas dakwah tentu tak bermakna ia menghindari, apalagi mengabaikan dakwah. Ini pemaknaan kelewat harfiah. Sang habib hanya tidak ingin tampil menonjol, banyak bersuara, untuk hal-hal yang tidak terlalu krusial. Tapi, menurut saya, pesan yang paling penting di balik keputusan "aneh" ini sedikitnya dua poin.

Pertama, betapa ketatnya syarat seseorang menjadi pendakwah. Sikap Habib tersebut di satu sisi adalah simbol kerendahan hati, tapi di sisi lain penetapan yang standar tinggi dalam berdakwah. Menjadi juru dakwah bukan semata urusan pandai bicara, tapi juga soal kedalaman ilmu agama, akhlak, teladan, dan sampainya pesan ruhani ke hati khalayak. Bila Habib Abu Bakar yang berilmu luas dan "tidak neko-neko" saja mendapat sentil dari Sayyidina Ali, lalu bagaimana dengan kebanyakan dai?

Pesan kedua, sasaran utama dakwah sesungguhnya adalah diri sendiri, baru kemudian orang lain. Di sinilah relevansi memprioritaskan muhasabatun nafs (introspeksi) ketimbang gemar menghakimi perilaku orang lain. Pesan ini menemukan momentumnya seiring santer bermunculan di zaman sekarang orang-orang lebih gemar menjadi juru dakwah ketimbang juru dengar, lebih giat berceramah daripada belajar, lebih sering mengkhutbahi orang lain ketimbang diri sendiri. Beramar-makruf nahi-munkar ke orang lain sebelum benar-benar mampu beramar-makruf nahi-munkar dengan diri sendiri.

Pada tahap ini, Habib Abu Bakar sebenarnya tidak sedang mengikhbarkan soal mimpi dan penutupan majelis ta'lim Ahad sore. Di tengah ketenaran yang makin meningkat, ia justru menjauh dari itu semua. Pilihan sikap semacam ini seolah hendak menampar keras para juru dakwah yang kerap tergiur dengan popularitas, banyaknya jamaah, serta pundi-pundi keuntungan dari "profesi" mengisi pengajian. Wallahu a'lam.

(Mahbib Khoiron

Monday, October 22, 2018

BAJU DAN ILMU

BAJU DAN ILMU

Saya sangat beruntung, pernah beberapa tahun mondok dikajen dan mendekat dengan kiai Sahal(allahu yarham). Beliau pribadi yang sangat sederhana dalam hidup, dan terutama dalam berpakaian. Seringkali dalam keseharian hanya memakai baju taqwa, sarung batik, dan kopiah.

Untuk ukuran kiai sekelas beliau, ini sangat sederhana sekali.

Dan ternyata tak hanya dalam keseharian, ketika menghadiri undangan pun beliau juga berpakaian sederhana.Karena baju yang sederhana ini pula, beliau pernah ditolak untuk masuk ke sebuah acara, dimana beliau adalah bintang tamu yang sangat ditunggu-tunggu kehadirannya oleh sang panitia acara.

Saya masih ingat, ketika membuat undangan apapun, yai Sahal(allahuyarham) tidak pernah kerso(mau) bila ditulis dengan KH. Beliau hanya kerso ditulis: H.Sahal mahfudz.

Ini menunjukkan betapa para kiai yang sesungguhnya, malah seringkali merasa tidak pantas menyertakan gelar kiai, karena sekali lagi kiai atau ustad adalah wujud penghormatan orang lain kekita, bukan wujud kita membanggakan diri.

Dan ketika dirumah pun, saya belajar hal yang hampir sama pada bapak.Dalam menghadiri undangan pun, bapak saya juga sering berpakaian seadanya. Biasanya baju apa saja yang paling atas, sarung apa saja yang ada ditumpukan atas, dan kopiah(kadang hitam kadang putih).Dibeberapa kesempatan ditambah surban kecil putih(tapi waktu itu, ini sangat jarang).

Pernah suatu kali, bapak menghadiri undangan nikahan. Bapak rawuh dan diterima oleh salah satu panitia yang tahu siapa bapak(kebetulan sang manten adalah alumni kwagean), maka bapak langsung didudukkan dibarisan paling depan tengah.

Tak berselang lama ada panitia lain yang tidak tahu, langsung saja menghampiri bapak dan ngomong:"ngapuntene, niki ten ngajeng panggenane poro menteri lan kiai-kiai ageng. Panjenengan ten wingkeng mawon(maaf, dibarisan sini tempatnya para menteri dan kiai-kiai besar. Silahkan anda pindah kebelakang saja).

Bapak mengiyakan, dan langsung pindah kebelakang.

Hingga beberapa saat muncul lagi panitia yang awal, dan kaget kok bapak malah pindah ke barisan belakang. Dimintalah bapak kebarisan depan lagi. Bapak pindah, manut sesuai arahan.

Masalah belum usai, ternyata panitia lain mengerutu. Kok ini tamu gak penting pindah kedepan lagi. Akhirnya disuruh pindah kebelakang lagi.

Bapak manut saja, wong tamu.

Hingga akhirnya bapak disuruh pindah lagi oleh panitia yang tahu tadi, namun bapak menolak. "Pun kulo ten mriki mawon mboten nopo-nopo(sudah, saya disini saja tidak apa-apa)".

Tetap dibelakang, sebelah pinggir, bapak duduk hingga akhir acara.

Namun sebelum selesai, ternyata resepsi ditutup dengan doa.Dipanggillah nama bapak disertai penjelasan kalau bapak adalah kiai dari sang pengantin untuk menimpin doa.

Hahaha entah, bagaimana perasaan panitia yang mengusir beberapa kali tadi.

Fenomena Ini sesuai dengan dawuh yang diceritakan bapak beberapa hari yang lalu:

يكرم المرء بلباسه قبل الجلوس وبعلمه بعد الجلوس
"Seseorang, dimulyakan karena bajunya sebelum dia duduk. Dan dimulyakan karena ilmunya setelah duduk. "

Banyak orang yang menilai kemulyaan seseorang dengan melihat baju apa yang dipakai, seberapa besar surbannya, atau seberapa wah jubahnya. Namun ketika sudah duduk, maka standar mulai berubah, dengan keilmuanlah seseorang dimulyakan.

Yang terjadi akhir-akhir ini banyak yang mengejar kemasan kiai, ulama, atau ustad. Namun lupa mengisinya dengan ilmu yang membuat dia pantas disebut kiai, ataupun sebutan lain.

Karena kiai, ulama, ataupun ustad bukanlah gelar yang bisa kita cari, apalagi beli. Tapi adalah sesuatu anugerah yang diberi oleh tuhan, dan dilegitimasi oleh masyarakat.

"Ketika kita sudah berlaku layak, maka gelar yang layak juga akan datang dengan sendirinya."

Seorang gusdur pun pernah guyon:
"Saya lebih senang dipanggil GUS, karena sebutan KIAI terlalu berat buat saya".

"Jadi Kiai itu kan harus kuat tirakat: makan sedikit, tidur sedikit, ngomongnya juga sedikit. Nggak kuat saya. Enakan jadi Gus aja: dikit-dikit makan, dikit-dikit tidur, dikit-dikit ngomong"

Hahaha

#salamKWAGEAN

Saturday, October 20, 2018

PASANGAN MAKRUH

PASANGAN MAKRUH

(Ringkasan Mauidhoh alm KH. Syaerozi)

Saat walimatul arsy putra pengasuh PP Mambaul Maarif Denanyar, Umar bin KH Zainal Arifin Abu Bakar dan Muzadlifah Nur binti KH M Slamet Jakarta di Denanyar, Sabtu (17/2/2018), KH Saerozi Lamongan menjelaskan pasangan yang makruh. ’’Lelaki juwelek menikah dengan perempuan cuwantik itu makruh,’’ ucapnya disambut ger-geran ribuan tamu yang hadir termasuk Gus Ipul.

’’Karena mengganggu ketenangan lingkungan,’’ tambahnya, kembali disambut ger-geran. Ketika si istri memperkenalkan sang suami, bisa jadi dia dituduh telah diguna-guna. ’’Nemu nok endi   Nduk arek lanang koyok ngunu,’’ ucapnya, lagi-lagi disambut tawa hadirin. ’’Malah bisa menimbulkan fitnah. Banyak yang mendoakan agar si suami segera mati. Akeh sing arep-arep rondone,’’ ucapnya.

Inginkan menikah dengan cewek secantik apapun, menurut Kiai Saerozi adalah hak kita. Sah-sah saja. Demikian pula perempuan ingin menikah dengan cowok seperti apapun juga haknya. Sah-sah saja. ’’Tapi mbok yo bercermin. Modalku iki koyok opo. Biar tidak menyusahkan yang ngelamarno, karena bolak-balik ditolak,’’ ucapnya.

Kiai Saerozi juga berpesan agar ibu-ibu tidak gampang menyampaikan segala yang terlintas dibenaknya kepada suami. Lihat rumah bagus, ngomong ke suami. Lihat kursi bagus, ngomong ke suami. Walaupun istri maunya ngomong saja, itu sudah membebani pikiran suami. ’’Sebab perempuan itu bawaannya ngomong, laki-laki bawaannya mikir. Semakin banyak wanita ngomong, semakin banyak pula suami mikir. Kalau suami banyak mikir, ususnya jadi kaku. Akhirnya banyak suami yang mati duluan,’’ tuturnya.

Sebanyak 85 persen penyakit, kata Kiai Saerozi, disebabkan oleh pikiran. ’’Tidak ada penyakit yang disebabkan oleh omongan. Itulah sebabnya orang sakit jiwa badannya sehat-sehat. Sakit flu dan pilek saja tidak pernah, karena tidak pernah mikir,’’ paparnya disambut tawa hadirin.

Diminta atau tidak, kata Kiai Saerozi, suami cari uang itu pasti untuk istri. Hanya saja suami tidak berani ngomong akan belikan ini,  akan belikan itu. ’’Sebab kalau suami ngomong duluan, istri nagihnya ngalah-ngalahi bank. Dan istri selalu ingat, tak pernah lupa omongan suami,’’ ucapnya disambut ger-geran ribuan tamu yang hadir.

Sebenarnya, Kiai Saerozi menjelaskan empat maqolah. Saya datang hanya menangi dua yang terakhir. Orang mencari kenikmatan pada kemewahan, padahal adanya kenikmatan itu pada kesehatan. Semewah apapun, kalau tidak sehat, pasti rasanya tidak nikmat. Sebaliknya, sesederhana apapun jika sehat, pasti nikmat.

Orang mencari rezeki  di bumi, padahal adanya rezeki itu aslinya di langit. Rezeki itu pemberian Allah, bukan hasil jerih payah kita. ’’Hanya saja Allah memberikannya bersamaan usaha kita. Makanya Rosulullah SAW bersabda, harrik yadak, unzil alaika rizqo, gerakkan tanganmu niscaya Allah pasti menurunkan rezeki kepadamu,’’ jelasnya.

Nyambut gawe yang paling baik itu apa? ’’Yang sesuai hatimu. Istafti qolbak. Tanya hatimu. Jadikan kerjamu adalah hiburanmu,’’ pesannya.

Kerja apapun, jika hati kita senang, hasilnya pasti bagus. ’’Ngulang kok seneng, anak rame seperti apapun tidak ngersulo. Alhamdulillah aku teko arek-arek rame. Kalau tidak senang ngulang, anak rame bisa ditutuki,’’ urainya.

Senang itu tanda bersyukur. Jika hati kita senang dalam melakukan apapun, Allah yang akan membangun, menyempurnakan dan memberikan hasil terbaik. ’’Guru ngulang kok atine suweneng, muridnya pasti pinter-pinter,’’ bebernya.

Inilah sebabnya, murid selalu dianjurkan untuk menyenangkan hati guru. Jangan sampai menyakiti hati guru. KH Djamaludin Ahmad sering menyampaikan dawuh. Kata beliau, dawuh ini juga sering disampaikan KH Mahrus Ali Lirboyo. Intinya, murid yang menyakiti guru akan diuji tiga hal. Pertama, hilang ilmunya. Kedua, lidahnya ketul tidak bisa menyampaikan ilmu. Ketiga, jadi orang fakir miskin sebelum wafat

  
Semoga Allah menjadikan kita semua orang-orang yang menyenangkan bagi semua makhluk Allah.

(Rojiful M)

Wednesday, October 17, 2018

keluhuran budi pekerti Alhabib Umar ibn Hafidz

Berikut ini ada sekelumit kisah menarik tentang keluhuran budi pekerti Alhabib Umar ibn Hafidz yang dikisahkan langsung oleh Si Penulisnya. Berikut saya akan kutip kisahnya, semoga lantaran kisah ini semakin membuat kita akan rindu kehadiran beliau di bumi Indonesia pertiwi ditahun-tahun berikutnya.
Ini adalah pengalaman pribadi saya (Habib Ahmad ibn Muhammad Alkaff) yang tak akan pernah terlupa tentang kemuliaan akhlak Alhabib Umar ibn Hafidz. Waktu itu pertengahan april 1994 musim sejuk di kota Tarim-Hadramaut mulai menyapa kami yang memang kami belum terbiasa dengan dinginnya cuaca Tarim ketika musim dingin. Alhabib Umar pun telah menyiapkan untuk kami para pelajarnya dari Indonesia yang waktu itu sangatlah manja dengan sebuah selimut tebal yang mahal, masing-masing dari kami mendapatkan satu selimut.
Kisah pun bermula, seperti biasanya selepas Ashar kami dan Alhabib Umar menuju kota Tarim untuk menghadiri “rauhah” dan maulid di kota tersebut. Selepas acara kami pun kembali ke kediaman Alhabib Umar di kota Aidid. Biasanya kami pulang larut malam dan kerana pada waktu itu Alhabib Umar hanya memiliki 1 mobil maka kami pun selalu berebutan untuk menaiki kereta tersebut. Terkadang kereta Nissan patrol itu dimuat oleh 20 orang lebih sehingga penuh di dalam dan di atas kereta. Kami berebut kerana memang jika kami tidak dapat tempat di kereta tersebut terpaksa kami akan pulang dengan berjalan kaki yang berjarak kurang lebihnya 5 km. Saya dan dua teman saya pada waktu itu kurang beruntung. Walhasil, kami bertiga berjalan kaki untuk pulang ke rumah Alhabib Umar. Sesampainya di tempat Alhabib Umar, kami mendapati teman-teman kami yang lain telah mendapatkan selimut tebal yang baru saja dibagikan oleh Alhabib Umar. Kami pun bergegas menemui Alhabib Umar. Tetapi, lagi-lagi kami kurang beruntung karena selimutnya telah habis. Alhabib Umar mengatakan bahawa kedai penjual selimutnya kehabisan stok dan berjanji akan memenuhi kekurangannya besok pagi.
Kami pun minta izin pergi kepada beliau untuk tidur. Akan tetapi, sebelum kami pergi Alhabib Umar menyuruh kami untuk menunggu. Kami menunggu Alhabib Umar yang masuk ke dalam rumahnya. Beberapa saat kemudian Habib Umar pun keluar dengan membawa beberapa selimut tipis dan lusuh dan membagikannya kepada kami bertiga. Kami pun menerima selimut itu tanpa pikir panjang lalu kami pun pulang menuju asrama yang berada tepat di belakang rumah Alhabib Umar. Kami membagikan selimut tipis dan lusuh pemberian Alhabib Umar yang berjumlah 2 selimut besar dan 3 selimut kecil untuk kami bertiga.
Baru saja kami meluruskan badan untuk tidur terdengar tangisan bayi yang tak henti-hentinya yang kami yakin itu adalah tangisan anak Alhabib Umar yang masih bayi pada waktu itu. Kami pun sempat bertanya tanya dalam hati kenapa bayi itu menangis sepanjang malam. Sambil tetap berusaha untuk memejamkan mata. Menjelang Subuh suara tangisan bayi pun berhenti, mungkin karena kelelahan menangis sepanjang malam. Kami pun bergegas menuju ke masjid Aidid yang terletak persis di depan rumah Alhabib Umar sambil membawa kitab Nahwu yang akan kami pelajari setelah shoat Subuh di bawah bimbingan langsung Alhabib Umar.
Setelah selesai belajar Nahwu kami pun pulang ke asrama kami. Di pertengahan jalan kami bertemu dengan Habib Salim anak dari Alhabib Umar bin Hafidz yang waktu itu masih berusia 6 tahun. Kami cuba menyapa dan bertanya, “Wahai Salim mengapa adik bayimu menangis tak henti-hentinya tadi malam? Apakah dia sakit?
Habib Salim pun menjawab, “Tidak, adikku tidak sakit.” Jawab Habib Salim.
“Lalu apa yang membuatnya menangis?” Tanya lagi kami.
Dengan keluguannya Salim pun menjawab, “Mungkin kerana kedinginan, kerana semalam kami sekeluarga tidur tanpa selimut?!”
Bagai tersambar petir kami terkejut mendengar ucapan tersebut. Kami pun berlari menuju asrama untuk mengambil selimut lusuh yang ternyata milik keluarga Alhabib Umar yang beliau berikan kepada kami, dan beliau sekeluarga rela tidur tanpa selimut didinginnya malam kota Tarim demi anak-anak muridnya. Kami kembalikan selimut tersebut kepada Alhabib Umar sambil membendung air mata dan tanpa tahu harus berkata apa. Dengan senyum dan seolah-olah tak terjadi apa-apa, Alhabib Umar menerima selimut dari kami dan menggantikan selimut tersebut dengan yang baru, yang juga baru saja dikirim oleh pemilik toko. Kami pun kembali ke asrama tanpa dapat membendung lagi air mata kami yang melihat kemuliaan yang beliau berikan kepada kami.
Sambil berkata di dalam hati, “Ya Allah ternyata di abad ini masih ada orang yang berhati begitu mulia seperti beliau. Terimakasih Ya Allah yang telah mempertemukan aku dengan manusia mulia dikehidupanku ini.

Kisah Nyata Keindahan Akhlak Putri Al-Habib Umar bin Hafidz - Yaman

Kisah Nyata Keindahan Akhlak Putri Al-Habib Umar bin Hafidz - Yaman

Selagi aku masih duduk di Daruzzahro, Guru Mulia Al-Habib Umar bin Hafidz pernah berkata kepada salah satu putri beliau :
“Darul Mustofa dan Daruzzahro ini bukanlah kepunyaan kita, sekalipun ayah yang mendirikannya tetapi sejatinya adalah kepunyaan Kakek kita Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam beserta putri kecintaan beliau ibu kita Sayyidah Fatimah Azzahro Radhiyallohu ‘Anha, maka sekali-sekali kamu jangan berbuat seenaknya di dalamnya, harus tunduk dengan segala macam peraturannya, jangan memakan hak-hak tamu Azzahro sebelum mereka semua telah habis makan kecuali sisa-sisa puing makanan dari mereka. Ingat !! peran kita di sini hanya sebagai pembantu, khaddam, dan pelayan yang melayani rumah ini beserta tamu-tamunya”.

Al Habib Umar bin Hafidz

Pada suatu hari, saat jam istirahat, aku hendak pergi ke kamar kecil, tetapi aku melihat putri kecil putri bungsu Habib Umar bin Hafidz duduk seorang diri di salah satu tangga Daruzzahro sambil memegang perut, maka aku pun menghampirinya dan bertanya:

“Ada apa denganmu wahai putri mulia?“

Maka dengan polosnya ia menjawab bahwa ia dalam keadaan lapar dari tadi, sebab sebelum pergi ke sekolah tidak sempat bersarapan terlebih dahulu, khawatir terlambat ucapnya. Spontan aku membalas ucapannya dan berujar:

“Mengapa yang mulia tidak mengambil sepotong roti di ruang makan Darruzzahro saja?”.

Ia hanya menggeleng sambil tersenyum.

“Atau pulang sebentar ke rumah mengambil sarapan?”, tawarku kembali.

Ia pun tetap membalasnya dengan gelengan.

Aku semakin keheranan: “Bukankah engkau putri guru mulia kami (Habib Umar bin Hafidz)? Pemilik Daruzzahro ini wahai yang mulia?”.

Maka ia pun menceritakan pesan sang ayah untuk putra putri dan seluruh keluarga. Mendengarnya, aku tercengang dan terkejut, ku rasakan sudut mataku mulai berembun, hatiku bergetar mendengar penuturannya. Tidak hanya sampai di situ, putri kecil guru mulia mengejutkanku dengan perkara lain. Merasa kasihan dan tak tega, aku pun merogoh saku baju dan mengambil selembar uang di dalamnya:

“Jika begitu ku mohon ambilah ini sebagai hadiah dariku, dan belilah sedikit makanan untuk mengganjal perut yang mulia”, ucapku penuh harap sambil menyodorkan selembar uang itu ke hadapannya. Ia tersenyum ramah, mata beningnya menatapku lembut dan ia menolak halus pemberianku dengan menggeleng-gelengkan kepalanya, namun aku terus merayu dan memohon agar dia bersedia menerimanya, tetapi putri kecil guru mulia tetap bersikeras untuk tidak menerimanya dan terus mengindahkan tangannya dari tanganku, melihat usahaku tiada henti, dengan polosnya ia berkata:

“Maafkan aku saudaraku, bukannya menolak pemberianmu, dan ingin melukai perasaanmu, akan tetapi ayah mengajarkan kami untuk tidak memberatkan orang lain dan tidak berharap belas kasih manusia selain belas kasih Allah Subhanahu wa Ta’ala, simpanlah uang itu, karena engkau lebih memerlukannya ketimbang aku, lagi pula kalau ayahanda mengetahui pasti beliau tidak akan menyetujuinya”.

Tes tes… ku rasakan air mataku mulai berjatuhan di pipiku, aku memperhatikannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ku lihat kerudungnya nampak kumal, pakaiannya pun terlihat lusuh, ia hanya menggunakan keresek putih untuk alat-alat sekolahnya, kakinya penuh debu tanpa mengenakan sandal, aku terdiam terpaku tak mampu berkata sekalimat pun sampai putri guru mulia berlalu dari hadapanku sambil berlari-lari kecil dengan wajah yang tetap riang.

Aku menelan ludah susah payah, gemetar jiwaku menatap bayangnya yang perlahan menghilang dari pandanganku, hatiku bergetar hebat, pendidikan macam apa ini yang membuat anak sebelia dia memiliki hati sedemikian mulia. Sambil berderai air mata ku segerakan langkahku menuju kamar. Sesampainya di kamar ku membenamkan kepalaku di bantal dan pecah tangisku seketika, bagaimana tidak?

Jiwaku hancur lembur dihantam akhlak mulia sebegitu luhur, benar benar kami ini murid yang tak tau diri, jauh kami merantau dari negara kami hanya demi menimba ilmu serta mengambil keberkahan dari Guru Mulia beserta Sang Istri, malam-malam kami tidur dengan nyenyak, tidak pernah sedikitpun kekurangan air dan makanan, bahkan kami menganggap tempat ini seperti rumah kami sendiri, terkadang kami berbuat semaunya, makan dengan kenyang dan menggunakan kipas angin dan AC sepuasnya, tetapi guru mulia yang mendirikan tempat ini pun merasa tidak memilikinya dan tidak berlaku seenaknya.

Hatiku benar-benar serasa dicambuk rasa malu yang begitu dalam, teramat malu atas ketidaktahuan kami, atas sedikitnya perhatian dan kepedulian kami. Guru mulia beserta keluarga begitu memuliakan para pelajarnya melebihi penghormatan kami kepada beliau. Huhuhu… aku terus saja menangis.

Sampai akhirnya terdengar suara peringatan waktu istirahat segera berakhir. Aku pun menghentikan tangisanku dan menyeka air mata. Masih dengan mata yang sembab aku bangkit berdiri dan berniat mengambil air wudhu.

Saat ku lewati ruang makan Daruzzahro, sungguh ku menyaksikan pemandangan yang kembali sangat membuat hatiku miris. Ku lihat tangan mungil putri mulia memunguti beberapa pecahan roti yang tersisa dari bekas sarapan sebagian pelajar tadi pagi. Melihatnya aku membuang pandangan karena tak sanggup menyaksikannya.

Kejadian tersebut sangat membekas di hatiku sehingga aku merenungkannya selama berhari-hari. Semenjak itu aku jadi jarang ikut makan bersama dengan teman-teman lainnya, kecuali menunggu mereka telah usai semua, dan aku mulai bermujahadah melunturkan kesombongan yang ada di diriku.

Terkadang aku sengaja memakan roti yang sudah kering dan keras yang sudah ku hancurkan sebelumnya, atau memakan bekas-bekas nasi yang akan dibuang, atau makan bersama kawan tetapi dengan suapan yang terbatas, ketika kenyang hanya 3 suap, jika memang dalam keadaan lapar hanya 9 suap, semua itu sengaja ku lakukan agar diriku yang sangat payah ini dapat merasakan kerasnya menuntut ilmu tanpa memanjakan diri sedikitpun, terlebih-lebih setiap mengingat kejadian di atas hatiku sangat malu terhadap Sang Guru.

Kami hanya seorang murid dan hanya menumpang di tempat ini, harusnya kami yang menjadi pelayan bukannya memanjakan diri terus menerus.

Wallohu ‘Alam.

(Diceritakann oleh seorang Alumni Darul Musthofa, Tarim, Hadhromaut, Yaman, yang bersumber Mii AL Bein Yahya‎).

KITAB-KITAB AN-NAWAWI YANG TIDAK TUNTAS DITULIS

KITAB-KITAB AN-NAWAWI YANG TIDAK TUNTAS DITULIS

Oleh; Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
***

Manusia bisa saja memiliki rencana, tetapi Allah-lah yang menakdirkan. Tidak semua keinginan manusia (yang baik sekalipun) bisa terwujudkan karena kematian lebih cepat menyambarnya. Hal seperti ini terjadi juga pada An-Nawawi. Ada sejumlah kitab yang mana An-Nawawi bertekat menuliskannya sampai tuntas, tetapi datangnya ajal menghalangi beliau untuk menuntaskannya sehingga sampai hari ini peninggalan An-Nawawi itu tersimpan di rak-rak perpustakaan kaum muslimin dalam bentuk kitab yang tidak tuntas. Kisah An-Nawawi ini seharusnya sekaligus menjadi pelajaran penting bagi kita, bahwa jika kita punya niat kebaikan, bersegeralah melakukannya tanpa menunda (mubadaroh), karena kita tidak tahu kapan Allah memutuskan untuk mencabut nyawa kita.

Dari sisi ketuntasan, kitab-kitab An-Nawawi sebenarnya ada tiga macam.

Pertama, kitab-kitab yang ditulis secara tuntas seperti kitab “Al-Arba’in An-Nawawiyyah”, “Riyadhu Ash-Sholihin”, “Al-Adzkar”, “Roudhotu Ath-Tholibin”, dan semisalnya

Kedua, kitab-kitab yang tidak tuntas tertulis karena Allah keburu mewafatkan An-Nawawi, seperti kitab Al-Majmu’ yang merupakan syarah kitab Al-Muhadzdzab karya Asy-Syirozi.

Ketiga, kitab-kitab yang telah ditulis oleh An-Nawawi tapi kemudian An-Nawawi berubah pikiran dan memutuskan untuk menghapusnya. Motivasi menghapus kitab yang sudah ditulis ini hanya Allah dan An-Nawawi yang tahu. Bisa jadi karena An-Nawawi kuatir dengan niatnya, bisa jadi ada konten ilmu yang kurang akurat, atau sebab-sebab yang lain. Yang jelas, jenis kitab kategori ketiga ini memang ada sebagaimana diceritakan oleh murid An-Nawawi yang bernama Ibnu Al-‘Atthor berikut ini,

ولقد أمرني مرة ببيع كراريس نحو ألف كرَّاس بخطه، وأمرني بأن أقف على غسلها في الورَّاقة، وخوَّفني إن خالفت أمره في ذلك، فما أمكنني إلا طاعته، وإلى الآن في قلبي منها حَسَراتٌ (تحفة الطالبين في ترجمة الإمام محيي الدين (ص: 94)

“Sungguh, suatu saat beliau memerintahkan kepadaku untuk menjual kurrosah-kurrosah (satu bendel lembaran yang berisi 10 waroqoh/lembaran kertas) sekitar 1000 kurrosah yang bertuliskan tangan beliau sendiri. Beliau memerintahkan aku agar menghapus tulisan pada kurrosah-kurrosah itu pada seorang tukang salin kitab. Beliau menakut-nakuti aku supaya aku tidak melanggar perintah beliau dalam hal itu. Jadi, aku tak kuasa kecuali menaatinya. Sampai sekarang di hatiku ada banyak penyesalan karena (hilangnya) tulisan-tulisan (berharga) itu” (Tuhfatu Ath-Tholibin, hlm. 94).

Berikut ini disajikan daftar enam belas kitab An-Nawawi yang disebut tidak selesai ditulis karena keburu wafat. Sekedar catatan tambahan, di antara manfaat mengetahui daftar ini adalah kita bisa lebih cepat dalam menentukan rujukan apa yang kita baca dari karya-karya An-Nawawi pada saat ingin mencari pembahasan tertentu. Jika kita ingin mencari pembahasan fikih yang ditulis An-Nawawi tentang hukum-hukum pernikahan misalnya, maka menjadi langkah yang keliru jika mencarinya di kitab Al-Majmu’ karena kitab ini pembahasannya hanya sampai bab riba (pendapat lain; bab Al-Mushorrot).

Kitab-kitab yang disebut tidak tuntas ditulis An-Nawawi adalah,

1. “Al-Majmu’” (المجموع). Kitab ini adalah syarah muthowwal untuk kitab Asy-Syirozi yang bernama “Al-Muhadzdzab”. Penulisannya hanya sampai bab riba (pendapat lain; sampai bab mushorrot). Lanjutannya diteruskan Taqiyyuddin As-Subki dan Al-Muthi’i. Resensi lebih detail kitab ini bisa dibaca pada artikel saya yang berjudul “Mengenal Kitab Al-Majmu’ Karya An-Nawawi”.

2. “At-Tahqiq” (التحقيق). Penulisannya hanya sampai bab solat musafir.

3. “At-Tanqih” (التنقيح). Kitab ini adalah syarah dari kitab “Al-Wasith” karya Al-Ghozzali. Penulisannya hanya sampai bab syarat-syarat salat.

4. “Daqo-iqu Al-Minhaj” (دقائق المنهاج). Penulisannya hanya sampai pada bab al-jiroh/luka-luka

5. “Daqo-iqu Ar-Roudhoh” (دقائق الروضة). Penulisannya hanya sampai pada bab salat.

6. “Khulashotu Al-Ahkam” (خلاصة الأحكام). Kitab ini ditulis hanya sampai bab zakat saja.

7. “At-Talkhish Syarhu Al-Jami’ Ash-Shohih li Al-Bukhori” (التلخيص شرح الجامع الصحيح للبخاري). Penulisannya hanya sampai bab “kitabul ilmi”.

8. “Al-Ijaz fi Syarhi Sunan Abi Dawud” (الإيجاز في شرح سنن أبي داود). Penulisannya hanya sampai bab wudhu.

9. “Tuhfatu Ath-Tholib An-Nabih” (تحفة الطالب النبيه). Penulisannya baru sampai bab haid. Masih berupa manuskrip.

10. “Jami’u As-Sunnah” (جامع السنة). Ditulis tidak sampai satu kurrosah. Masih berupa manuskrip.

11. “Muhimmatu Al-Ahkam” (مهمات الأحكام). Penulisannya baru sampai bab “thoharotu Ats-tsaub wa Al-badan”. Masih berupa manuskrip.

12. “Al-Ushul wa Adh-Dhowabith” (الأصول والضوابط). As-Suyuthi dalam “Al-Minhaj As-Sawiyy” menyebut kitab ini tidak selesai ditulis An-Nawawi. Saya belum mengerti alasan As-Suyuthi menyebut kitab ini belum tuntas. Edisi cetak yang ditahqiq Hitou mengesankan kitab ini sudah tuntas ditulis.

13. “Thobaqot Al-Fuqoha’” (طبقات الفقهاء). Barangkali lebih tepat kitab ini baru ditulis dalam bentuk “musawwadah”. Keterangan para penulis biografi An-Nawawi, Al-Mizzi-lah yang melalakukan “tabyidh” terhadap kitab ini. Penjelasan detail makna “tabyidh” dan “musawwadah” bisa dibaca pada artikel saya yang berjudul “Apa Makna ‘Tabyidh‘ Kitab?”

14. “Tahdzibu Al-Asma’ wa Al-Lughot” (تهذيب الأسماء واللغات). Kitab ini masih berbentuk “musawwadah”, lalu di”tabyidh” oleh Al-Mizzi.

15. “Al-Imla’ ‘ala Haditsi Al-A’mal bi An-Niyyat” (الإملاء على حديث الأعمال بالنيات). As-Suyuthi dalam Al-Minhaj As-Sawiyy menyebut bahwa An-Nawawi belum menuntaskan kitab ini. Bisa jadi nama lain dari kitab ini adalah “Al-Amali” yang disebut sebagai salah satu kitab An-Nawawi juga sebagaimana disebut para penulis biografi An-Nawawi. Masih berupa manuskrip.

16. “Bustanu Al-‘Arifin” (بستان العارفين). Kata Asy-Suyuthi dalam “ Al-Minhaj As-Sawiyy” An-Nawawi tidak menuntaskan kitab ini. Versi cetak yang ditahqiq oleh Al-Hajjar menampilkan bab terakhirnya adalah tentang “hikayat mustathrofah”

رحم الله النووي رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين

Versi Situs: http://irtaqi.net/2018/10/17/kitab-kitab-nawawi-yang-tidak-tuntas-ditulis/

***
6 Shofar 1440 H

Monday, October 15, 2018

APA MAKNA “TABYIDH” KITAB?

APA MAKNA “TABYIDH” KITAB?

Oleh; Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)

***

Pada saat menelaah kitab-kitab ulama di masa lalu, kadang-kadang kita mendapati satu istilah dan ungkapan yang bisa jadi membuat kita mengerenyitkan dahi. Istilah tersebut adalah ungkapan “tabyidh” (التَّبْيِيْضُ) atau “bayyadho” (بَيَّضَ). Istilah semacam ini sering muncul pada tulisan-tulisan para ulama pada saat berbicara tentang karya-karya ulama, kitab tertentu, resensi terhadapnya dan kondisi manuskripnya. Kita ambil contoh pernyataan As-Suyuthi dalam kitab “Al-Minhaj As-Sawiyy” berikut ini,

“ومختصر الترمذي”مجلد، وقفتُ عليه بخطِّه، مُسَودة، وبيض منه أوراقاً”. (المنهاج السوي ص 64)

“dan (An-Nawawi juga mengarang kitab yang berjudul) Mukhtashor At-Tirmidzi. (jumlahnya) satu jilid. Saya mendapati (manuskrip)nya dengan tulisan tangan beliau dalam bentuk ‘musawwadah’ dan beliau (baru sempat) melakukan ‘tabyidh’ beberapa lembar saja” (Al-Minhaj As-Sawiyy, hlm 64)

Pertanyaannya, “Apa sebenarnya makna “tabyidh”/”bayyadho” itu? Apa pula makna musawwadah?”

Jawaban atas pertanyaan di atas adalah sebagai berikut.

Makna “tabyidh” secara mudah adalah “menulis ulang sebuah kitab sekaligus mengoreksinya”. “Tabyidh” diperlukan untuk membersihkan kitab dari kesalahan-kesalahan penulisan, kata yang hilang, kata yang tidak efektif, diksi yang kurang tepat, termasuk menambahi beberapa hal yang belum trecantumkan pada saat menulis kitab pertama kali. Ahmad Mukhtar Umar berkata,

بيَّض الرِّسالةَ ونحوها: نقّحها؛ أعاد كتابتها مصحّحَةً “. (معجم اللغة العربية المعاصرة (1/ 270)

“Melakukan “tabyidh” surat dan semisalnya bermakna mengoreksinya. Yakni menulis ulang sambil mengoreksinya.” (Mu’jam Al-Lughoh Al-‘Arobiyyah Al-Mu’ashiroh, juz 1 hlm 270)

Memang, secara ringkas proses menulis kitab oleh para ulama di masa dulu itu melewati tiga tahapan,

Pertama, “taswid” (التسويد)

Kedua , “tabyidh” (التبييض)

Ketiga, imla (الإملاء)

Maksud dari “taswid” adalah menulis kitab pertama kali. Yakni menulis kitab dalam bentuk naskah mula-mula (belum dikoreksi dan belum diedit sehingga memungkinkan banyak terjadi kesalahan) dan belum berbentuk naskah final. Ahmad Mukhtar Umar berkata,

سوَّد الرِّسالةَ أو الكتابَ: كتبهما للمرّة الأولى أي قبل وضعهما في صورتهما النِّهائيّة. (معجم اللغة العربية المعاصرة (2/ 1130)

“Melakukan “taswid” surat atau kitab bermakna menulisnya untuk pertama kali. Yakni sebelum disajikan dalam bentuk finalnya” (Mu’jam Al-Lughoh Al-‘Arobiyyah Al-Mu’ashiroh, juz 1 hlm 270)

Pada zaman dulu (ketika masih belum ada mesin ketik, komputer, printer dan mesin cetak) orang menulis kitab secara manual dengan tulisan tangan. Media tulisnya bisa berupa kertas papirus (waroq bardy/auroq bardiyyah), perkamen (riqq/ruquq), kertas biasa/paper/kaghod atau media yang lain yang memungkinkan. Produk tulisan mereka diistilahkan dengan nama manuskrip (المخطوطات).

Oleh karena pada zaman dulu belum ditemukan teknologi komputer, tentu saja kesalahan tulis tidak bisa dikoreksi dengan “delete” saja. Seorang ulama yang menulis sebuah kitab akan memulai pekerjaannya dengan aktivitas menulis yang fokus pada materi dan konten kitab, tanpa memperdulikan kesalahan khoth, kelemahan diksi, kekuranglengkapan pembahasan dan sebagainya. Keputusan fokus pada isi kitab ini adalah jalan yang paling logis, karena jika seorang penulis memfokuskan perhatian pada kesalahan-kesalahn teknis (pada saat sedang menulis), bisa jadi ide-ide briliannya malah tidak keluar karena tersibukkan mengurus hal teknis tersebut. Hal ini malah akan mengurangi mutu kitab yang ditulis.

Nah, tahapan menulis kitab pertama kali tanpa peduli kesalahan yang mungkin muncul inilah yang disebut dengan tahapan “taswid”. Produk tulisannya dinamakan musawwadah (المسودة). Dengan demikian, “musawwadah” secara mudah boleh kita terjemahkan “draf/draft kitab”.

Setelah selesai tahap “taswid”, penulis masuk ke tahap “tabyidh”. Pada tahap “tabyidh” ini, penulis kitab menulis ulang draf kitabnya untuk mengoreksi sejumlah kesalahan pada draf kitab, mengganti unggapan, menambahi hal-hal yang luput ditulis, membuang hal-hal yang dianggap keliru, dan lain-lain. Istilah lain untuk “tabyidh” ini adalah “tahrir” atau “tanqih”. Produk tulisannya disebut “mubayyadhoh”. Dengan demikian, “tabyidh” secara mudah boleh kita terjemahkan “editing”. Biasanya sebuah kitab tidak akan dipublikasikan ke pada masyarakat sebelum masuk tahap “tabyidh” ini.

Setelah selesai “tabyidh”, barulah masuk tahap imla’. Makna imla’ adalah “mendiktekan”. Pada tahapan ini, seorang ulama yang menulis sebuah kitab mendektekan kitabnya di sebuah majelis di hadapan sejumlah murid. Tujuan dari dikte ini tentu saja untuk menyebarkan ilmu yang dikandung kitab sekaligus dipakai sebagai metode menyalin kitab secara manual. Maksudnya, setelah adanya imla’, murid-murid yang menulis kitab sang guru akhirnya mendapatkan salinan naskah kitab guru yang mereka tulis dengan tangan mereka sendiri. Jadi, metode imla’ adalah cara sederhana untuk “mengcopy” kitab di masa lalu. Melalui cara seperti ini pula mulai muncul sanad kitab sebagai media penting memvalidasi keotentikan isi sebuah kitab.

Setelah tahapan imla’ ini, barulah kitab bisa menyebar ke masyarakat secara lebih luas baik dengan cara diimla’-kan lagi, disalin (naskh) oleh para penyalin (nassakh/warroq), dihibahkan, diperjual belikan, dan lain-lain.

Oleh karena fakta penyalinan naskah kitab adalah sebuah manfaat yang mungkin dimintakan kompensasi, maka berlakulah hukum ekonomi sehingga muncul profesi “wiroqoh” (tukang salin). Orang yang punya ketrampilan menyalin disebut warroq atau nassakh. Tukang salin inilah yang berposisi seperti penerbit buku pada zaman sekarang. Melalui peran mereka banyak kitab bisa diproduksi dan menyebar ke berbagai negeri. Pada saat ditemukan mesin cetak di Jerman pada masa Bani Utsmaniyyah, orang-orang berprofesi ini merasa terancam pekerjaannya sehingga sempat memusuhi percetakan. Tetapi kemajuan teknologi memang tak terbendung. Lama-lama profesi tukang salin jadi hilang dan saat ini seluruh dunia Islam sudah mengadopsi percetakan untuk penyebaran ilmu-ilmu Islam.

Dengan demikian, ungkapan As-Suyuthi di atas berdasarkan penjelasan ini bisa kita terjemahkan sebagai berikut,

“ومختصر الترمذي”مجلد، وقفتُ عليه بخطِّه، مُسَودة، وبيض منه أوراقاً”. (المنهاج السوي ص 64)

“dan (An-Nawawi juga mengarang kitab yang berjudul) Mukhtashor At-Tirmidzi. (jumlahnya) satu jilid. Saya mendapati (manuskrip)nya dengan tulisan tangan beliau dalam bentuk draf kitab dan beliau (baru sempat) melakukan editing beberapa lembar saja” (Al-Minhaj As-Sawiyy, hlm 64)

رحم الله علماءنا رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين

Versi Situs: http://irtaqi.net/2018/10/15/apa-makna-tabyidh-kitab/
***
4 Shofar 1440 H

Sunday, October 7, 2018

Perempuan suci dari sevilla

Kawan, pernah kuceritakan padamu mengenai seorang perempuan suci dari Mesir, Sayyidah Nafisah, guru dari Imam Syafi’i. Kali ini, perkenankan aku, masih dalam keadaan berwudhu, untuk bercerita tentang seorang perempuan suci dari Sevilla (sebuah kota di Spanyol), yang merupakan guru dari al-Syekh al-Akbar Ibn Arabi (1165-1240). Ini kisah lebih dari 750 tahun yang lalu.

Namanya Nunah. Atau lengkapnya Syaikhah Nunah Fatimah binti Ibn al-Mutsanna. Lahir di Cordoba Spanyol, namun kemudian beliau pindah ke Sevilla, dan bertemu dengan Ibn Arabi yang masih remaja saat itu. Syaikhah Nunah sudah berusia 90-an tahun, namun saat Ibn Arabi menatap wajahnya, Ibn Arabi melihat pancaran sinarnya yang begitu menakjubkan. Begitulah dunia spiritual itu, yang tua sinarnya bisa menyilaukan seperti terlihat masih muda, dan yang muda aura-nya bisa terlihat seperti orang tua penuh wibawa.

Syaikhah Nunah selalu ceria meskipun ia hidup dalam kondisi serba papa. Dan ketika muridnya bertanya, gurunya menjelaskan, “Aku merasa sangat senang karena Allah swt selalu memperhatikanku. Terlebih karena Dia telah menjadikanku sebagai salah satu kekasihNya. Siapalah aku ini sampai Allah memilihku. Aku heran dengan mereka yang mengaku mencintai Allah tapi tak bisa merasa gembira dengan apapun yang Allah berikan padaNya [baik suka maupun duka].” Rasa bahagia berdekatan dengan Allah telah mengalahkan segala duka dan nestapanya.

Pada titik ini, saya teringat ungkapan sufi yang lain: “bahkan jika Allah menyodorkan racun pahit untuk aku minum, akan aku terima dengan bahagia bagaikan meminum anggur termahal”. Ah….jauhhh…masih jauhhh diri ini mengikuti para kekasihNya.

Syaikhah Nunah mengingatkan muridnya bahwa Sang Kekasih itu sangat pencemburu. “Sesaat saja aku berpaling dariNya dan tak menyadari kehadiranNya maka aku akan mendapat cobaan yang sebanding dengan kelengahanku.” Inilah makna dzikir yang sesungguhnya: selalu mengingat Allah dalam setiap langkah kita, dan sebagai ganjarannya Allah akan selalu menemani langkah kita. Jangan coba-coba berpaling apalagi berkhianat pada Sang Kekasih. Inilah “kontrak” mereka dengan Sang Kekasih.

Ibn Arabi menuturkan bahwa dalam munajatnya, Syaikhah Nunah mendapat penawaran dari Allah berupa kerajaanNya namun ia menjawab, “Aku hanya inginkan Engkau oh Gustiku. Hanya Engkau. Segala sesuatu selainMu hanyalah kehampaan.”

Sebagai gantinya, Allah memberinya hadiah berupa surat al-Fatihah yang senantiasa melayani kebutuhannya. Kata Ibn Arabi, guruku itu “orang yang sangat penyayang terhadap semesta”. Mereka yang sudah mampu mengikuti langkah Nabi Muhammad sebagai rahmat semesta alam tentu sangat layak mendapat ‘hadiah’ langsung dari Allah.

Ibn Arabi menyaksikan sendiri manakala seorang perempuan mengadu kepada Syaikhah Nunah bahwa ia telah ditinggalkan suaminya yang pergi ke kota lain, maka untuk menolong perempuan yang menderita itu, Syaikhah Nunah membaca surat al-Fatihah. Lalu datanglah surat al-Fatihah menjelma dan berjasad dalam bentuk seperti awan. Maka Sang Syaikhah meminta Surat al-Fatihah untuk membawa suami perempuan itu kembali ke Sevilla. Setelah peristiwa itu terdengar kabar bahwa suami perempuan itu sudah berkumpul kembali bersama keluarganya dalam waktu tiga hari. Sewaktu ditanya, suami itu kebingungan dan tidak mengerti bagaimana hatinya berubah dan kemudian memutuskan kembali ke rumahnya. Inilah salah satu karamah Syaikhah Nunah.

Pernah pula Sang Guru kehabisan minyak untuk pelita tendanya. Lalu Syaikhah Nunah menyuruh Ibn Arabi mengambil bejana berisi air. Dicelupkanlah tangan Syaikhah Nunah ke dalamnya, dan dengan ijin Allah, air pun berubah menjadi minyak.

Kawan, dari kisah ini kita bisa belajar bahwa baik lelaki maupun perempuan punya hak yang sama untuk mendekati Allah swt.

Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridaan Allah adalah lebih besar: itu adalah keberuntungan yang besar. (QS al- Taubah:72)

Para perempuan pun ada yang derajatnya begitu dekat dengan Allah. Dan para lelaki yang paham tidak akan segan-segan belajar dari para perempuan. Ibn Arabi mendapat ilmu, pelajaran dan barakah dengan berguru dan berkhidmat pada Syaikah Nunah, seperti yang diceritakan sendiri oleh Ibn Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyyah dan Ruh al-Quds.

Untuk para perempuan suci yang menjadi kekasih Allah di Timur dan di Barat…al-fatihah….

Tabik,

 

Nadirsyah Hosen

Thursday, October 4, 2018

Kegagalan gus dur

[MOJOK.CO] “Mengenang sewindu wafatnya Gus Dur.”

Jika kita menelusuri riwayat hidup Gus Dur, akan terlihat bahwa ia adalah sosok manusia yang boleh dikata “sering gagal”. Kok bisa? Ya, memang begitulah kenyataannya.

Kita bisa mulai dari yang sangat umum diketahui: Gus Dur tak pernah berhasil menyelesaikan pendidikan S-1.

Tahun 1962 Gus Dur pergi ke Mesir untuk kuliah di Universitas Al-Azhar atas beasiswa dari pemerintah yang merupakan kelanjutan kerja sama negara-negara yang ikut dalam Konferensi Asia-Afrika. Di Kairo ini ia lebih banyak baca buku, nonton film, dan keluyuran. Ia bosan kuliah karena pelajarannya, menurutnya, banyak mengulang yang sudah ia dapatkan di pesantren di tanah air.

Apa pun alasannya, Gus Dur gagal menyelesaikan kuliah di Al-Azhar. Hanya dua tahun di kota ini, ia kemudian hengkang ke Irak dan mengambil kuliah lagi di Universitas Baghdad. Jadi, dia mau nyoba jadi sarjana lagi nih, tapi lagi-lagi gagal dan hanya sanggup bertahan dua tahun di bangku kuliah.

Dua kali kuliah dan dua-duanya gagal diselesaikan. Untuk yang kedua ini, alasannya Gus Dur, ia tidak suka sistem hafalan. Apa pun alasannya, Gus Dur gagal. Anda yang bisa selesai S-1, lebih-lebih di Kairo atau Baghdad, tentu pada tingkatan ini lebih hebat dari seorang Gus Dur.

Setelah kegagalan ini, ia mencoba peruntungannya kuliah ke Belanda. Ia sangat tertarik dengan tradisi ilmiah di universitas-universitas di Barat. Ia pun mendaftarkan diri ke Universitas Leiden. Setelah beberapa bulan menunggu dan mukim di kota ini, ia kemudian menerima kenyataan pahit: tidak diterima. Alasannya, kuliah-kuliahnya di Mesir dan Irak tidak diakui kesetaraannya. Gus Dur pulang dengan perasaan sedih.

Nah, Anda yang bisa kuliah di Eropa, apalagi di Leiden, layak berbangga karena dalam hal ini Anda jauh di atas Gus Dur.

Ia pulang ke tanah air dan kembali ke Tebuireng, Jombang. Sambil mengajar di pesantren, konon ia berjualan kacang goreng hasil olahan sang istri untuk menunjang ekonomi keluarga. Ia kemudian mencoba peruntungan baru: melamar jadi dosen di IAIN Sunan Ampel. Hasilnya: tidak diterima. Duh Gus! Kurang apa pinternya, plus anak mantan menteri agama dan cucu pendiri NU lagi. Saya terus terang nggak bisa membayangkan perasaan Gus Dur saat itu.

Anda yang jadi dosen, lebih-lebih di IAIN Sunan Ampel, dalam hal ini jelas lebih hebat dari Gus Dur. Kipas-kipaslah!

Suatu kali ketika sedang aktif-aktifnya mengkritik pemerintahan Orde Baru, Gus Dur ditanya wartawan: sebenarnya apa sih cita-cita dan obsesinya? Gus Dur menjawab ringkas dan enteng: menulis novel. Kita tahu, Gus Dur tak pernah berhasil mewujudkan impiannya ini. Anda, yang telah berhasil menulis novel, tentu jauh lebih keren daripada Gus Dur.

Baca juga:  Ode untuk Pak Bondan Winarno yang Maknyuss
Demikianlah. Gus Dur ternyata cukup sering gagal dalam perjalanan hidupnya. Mungkin ada banyak kegagalan lainnya. Tapi, hidup harus bergulir dan kegagalan itu bagian dari rute dan halte yang harus dilewati untuk perjalanan yang lebih besar lagi. Andai dulu ia bisa menyelesaikan kuliahnya di Mesir atau Irak, para santri Tebuireng dan orang-orang sekitar Jombang akan mengenal seorang Gus Dur dengan gelar “Lc” yang amat mentereng saat itu, yang mengabdi di pondok hingga menjadi pimpinan pondok sembari sesekali main politik tingkat daerah. Mungkin. Tapi, dengan itu, mungkin juga takkan ada Gus Dur yang kita kenal.

Demikian juga kalau dulu dia diterima di Universitas Leiden, lingkungan akademis Indonesia mungkin akan mengenal seorang ilmuwan sosial bergelar M.A. atau bahkan Ph.D. yang mengajar di sebuah perguruan tinggi ternama sembari jadi konsultan pembangunan di sana-sini. Mungkin ia akan jadi guru besar yang masyhur. Setidaknya yang mengenal dan mengingatnya adalah para mahasiswa dan bimbingannya.

Gus Dur juga tidak diterima ketika mendaftar jadi dosen, jika tidak, kampus IAIN Sunan Ampel tentu akan mencatat nama Abdurrahman Ad-dakhil sebagai dosen PNS yang rajin meneliti, menulis, dan berpikir keras siang

Monday, October 1, 2018

TAKOK SANTRENA GILE DUNNYA

" TAKOK SANTRENA GILE DUNNYA" (takut santrinya gila dunia)

Suatu saat KHR. SYAMSUL ARIFIN  pulang ke Madura, saat di Madura Putra Mahkotanya KHR. AS'AD SYAMSUL ARIFIN (Kyai As'ad) mengganti atap rumah ayahandanya yg terbuat dari rumput ilalang dengan genteng, tentu maksudnya agar ayahandanya merasa lebih nyaman dan tenang, selain itu perwujudan amal bakti yg baik kepada orang tua.
Lalu apa yang terjadi....?
Begitu Kyai Syamsul arifin pulang ke Madura beliau tidak mau masuk ke rumahnya, sehingga harus singgah ke rumah KH. ABD.FATTAH Nyamplong, Beliau bilang tidak mau masuk rumahnya selama genteng rumahnya tidak diganti dengan atap dari rumput ilalang seperti semula, kemudian beliau ditanya mengapa? Jawab beliau : " Takok tang santre gile dunnya (takut santrinya gila dunia)"
Inilah sosok ulama pewarisnya para nabi, maka teringat pada sejarah Rosulullah yg pipinya selalu ada bekas ketika habis istirahat, lalu sayyidina Umar memeriksanya, ternyata bantal yg beliau pakai adalah potongan pelepah kurma.
Lalu siapakah diantara santri Kyai Syamsul Arifin saat ini yg mampu mengikuti jejak beliau, untuk ikut jejak rosul terlalu jauh, sedangkan mengikuti kezuhudan Kyai Syamsul Arifin sangat sulit dan langka menemukan di jaman akhir ini....
Subhaanallah.....