Thursday, October 4, 2018

Kegagalan gus dur

[MOJOK.CO] “Mengenang sewindu wafatnya Gus Dur.”

Jika kita menelusuri riwayat hidup Gus Dur, akan terlihat bahwa ia adalah sosok manusia yang boleh dikata “sering gagal”. Kok bisa? Ya, memang begitulah kenyataannya.

Kita bisa mulai dari yang sangat umum diketahui: Gus Dur tak pernah berhasil menyelesaikan pendidikan S-1.

Tahun 1962 Gus Dur pergi ke Mesir untuk kuliah di Universitas Al-Azhar atas beasiswa dari pemerintah yang merupakan kelanjutan kerja sama negara-negara yang ikut dalam Konferensi Asia-Afrika. Di Kairo ini ia lebih banyak baca buku, nonton film, dan keluyuran. Ia bosan kuliah karena pelajarannya, menurutnya, banyak mengulang yang sudah ia dapatkan di pesantren di tanah air.

Apa pun alasannya, Gus Dur gagal menyelesaikan kuliah di Al-Azhar. Hanya dua tahun di kota ini, ia kemudian hengkang ke Irak dan mengambil kuliah lagi di Universitas Baghdad. Jadi, dia mau nyoba jadi sarjana lagi nih, tapi lagi-lagi gagal dan hanya sanggup bertahan dua tahun di bangku kuliah.

Dua kali kuliah dan dua-duanya gagal diselesaikan. Untuk yang kedua ini, alasannya Gus Dur, ia tidak suka sistem hafalan. Apa pun alasannya, Gus Dur gagal. Anda yang bisa selesai S-1, lebih-lebih di Kairo atau Baghdad, tentu pada tingkatan ini lebih hebat dari seorang Gus Dur.

Setelah kegagalan ini, ia mencoba peruntungannya kuliah ke Belanda. Ia sangat tertarik dengan tradisi ilmiah di universitas-universitas di Barat. Ia pun mendaftarkan diri ke Universitas Leiden. Setelah beberapa bulan menunggu dan mukim di kota ini, ia kemudian menerima kenyataan pahit: tidak diterima. Alasannya, kuliah-kuliahnya di Mesir dan Irak tidak diakui kesetaraannya. Gus Dur pulang dengan perasaan sedih.

Nah, Anda yang bisa kuliah di Eropa, apalagi di Leiden, layak berbangga karena dalam hal ini Anda jauh di atas Gus Dur.

Ia pulang ke tanah air dan kembali ke Tebuireng, Jombang. Sambil mengajar di pesantren, konon ia berjualan kacang goreng hasil olahan sang istri untuk menunjang ekonomi keluarga. Ia kemudian mencoba peruntungan baru: melamar jadi dosen di IAIN Sunan Ampel. Hasilnya: tidak diterima. Duh Gus! Kurang apa pinternya, plus anak mantan menteri agama dan cucu pendiri NU lagi. Saya terus terang nggak bisa membayangkan perasaan Gus Dur saat itu.

Anda yang jadi dosen, lebih-lebih di IAIN Sunan Ampel, dalam hal ini jelas lebih hebat dari Gus Dur. Kipas-kipaslah!

Suatu kali ketika sedang aktif-aktifnya mengkritik pemerintahan Orde Baru, Gus Dur ditanya wartawan: sebenarnya apa sih cita-cita dan obsesinya? Gus Dur menjawab ringkas dan enteng: menulis novel. Kita tahu, Gus Dur tak pernah berhasil mewujudkan impiannya ini. Anda, yang telah berhasil menulis novel, tentu jauh lebih keren daripada Gus Dur.

Baca juga:  Ode untuk Pak Bondan Winarno yang Maknyuss
Demikianlah. Gus Dur ternyata cukup sering gagal dalam perjalanan hidupnya. Mungkin ada banyak kegagalan lainnya. Tapi, hidup harus bergulir dan kegagalan itu bagian dari rute dan halte yang harus dilewati untuk perjalanan yang lebih besar lagi. Andai dulu ia bisa menyelesaikan kuliahnya di Mesir atau Irak, para santri Tebuireng dan orang-orang sekitar Jombang akan mengenal seorang Gus Dur dengan gelar “Lc” yang amat mentereng saat itu, yang mengabdi di pondok hingga menjadi pimpinan pondok sembari sesekali main politik tingkat daerah. Mungkin. Tapi, dengan itu, mungkin juga takkan ada Gus Dur yang kita kenal.

Demikian juga kalau dulu dia diterima di Universitas Leiden, lingkungan akademis Indonesia mungkin akan mengenal seorang ilmuwan sosial bergelar M.A. atau bahkan Ph.D. yang mengajar di sebuah perguruan tinggi ternama sembari jadi konsultan pembangunan di sana-sini. Mungkin ia akan jadi guru besar yang masyhur. Setidaknya yang mengenal dan mengingatnya adalah para mahasiswa dan bimbingannya.

Gus Dur juga tidak diterima ketika mendaftar jadi dosen, jika tidak, kampus IAIN Sunan Ampel tentu akan mencatat nama Abdurrahman Ad-dakhil sebagai dosen PNS yang rajin meneliti, menulis, dan berpikir keras siang

No comments:

Post a Comment