KENAPA LAHIR KARYA-KARYA BESAR? SEPERTI INILAH ULAMA MENGATUR WAKTUNYA
Al-Imam Abu Yusuf Al-Qadhi mengatakan, “Salah seorang anakku meninggal dunia, tapi aku tidak bisa menghadiri pengurusan dan pemakamannya. Aku serahkan semua itu kepada kerabat dan tetanggaku. Karena aku khawatir ketinggalan pelajaran bersama Al-Imam Abu Hanifah. Kalau sampai ketinggalan, kesedihanku tidak akan pernah berakhir.”
Ubaid bin Ya’isy mengatakan, “Selama 30 tahun aku tidak pernah makan malam sendiri dengan tanganku. Selalu saja saudara perempuanku yang menyuapiku, sedangkan aku tetap menulis hadits-hadits Rasulullah saw.”
Ibnu Sahnun mempunyai seorang pembantu hamba sahaya. Setelah menyiapkan makan malam, pembantu mempersilahkan beliau makan. Karena tuannya tak kunjung makan, pembantu pun menyuapinya. Ibnu Sahnun terus saja membaca dan menulis hingga datang waktu subuh. Dia pun berkata, “Ayo mana makan malamnya?” Pembantu menjawab, “Loh, bukannya sudah aku suapi tadi?” Ibnu Sahnun menjawab, “Benarkah? Aku tidak merasa.”
Al-Imam Ath-Tabari pernah berkata kepada para pencatat buku, “Maukah kalian aku diktekan buku tafsir?” Mereka balik bertanya, “Memang berapa besar tafsirnya?” Ath-Thabari menjawab, “30 ribu lembar.” Mereka pun menolak, “Oh tidak. Ini adalah pekerjaan yang tidak akan pernah selesai walaupun sampai kami meninggal dunia.” Maka Ath-Thabari pun meringkasnya hingga bertebal 3 ribu lembar. Tafsir itu lalu didiktekan selama 7 tahun.
Seluruh tulisan Al-Imam Ath-Thabari berjumlah 358 ribu lembar. Beliau meninggal dunia dalam umur 86 tahun. Jika saja beliau sudah mulai menulis sejak umur 14 tahun, maka setiap harinya beliau menulis 14 lembar.
Al-Hafizh Al-Muhaddits Ibnu Syahin telah menulis 330 judul buku. Di antara yang besar adalah buku tafsir yang ditulisnya dalam seribu juz, buku hadits dalam seribu juz, buku sejarah dalam 150 juz, dan buku zuhud dalam seratus juz. Ibnu Syahin telah menulis ilmu yang belum pernah dicapai oleh siapapun manusia di atas bumi.
Imamul Haramain Al-Huwaini mengatakan, “Aku tidak membiasakan kapan tidur dan makan. Aku tidur hanya ketika ketiduran. Aku makan hanya ketika sedang ingin makan.” Kesenangan beliau adalah membaca dan berguru kepada siapa saja. Bahkan pada umur 50 tahun beliau masih mau belajar ilmu nahwu, sebuah ilmu yang sangat dasar dalam kaidah bahasa Arab.
Ibnu Aqil Al-Hanbali adalah ulama yang sangat membaca dan menulis. Waktu sangat beliau jaga. Sampai-sampai makanan pun beliau pilih yang lembut-lembut agar cepat menelannya. Kalau hanya ada roti yang didapatinya, maka beliau akan siram roti itu dengan air agar lembut dan langsung ditelan. Hal itu demi menghemat waktu untuk mempelajari ilmu agama.
Perjuangan para ulama dan santri demikian besar. Tak heran jika umat Islam adalah umat yang paling kaya dengan khazanah keilmuannya. Bagaimana dengan ulama dan santri saat ini, apakah bisa mengulangi kejayaan keilmuan masa lalu? (sof1/mukjizat.co)
No comments:
Post a Comment