Wednesday, December 5, 2018

Sholat dalam kereta api

Kereta api termasuk salah satu alat transportasi yang sering digunakan oleh masyarakat. Seringkali saat dalam perjalanan dengan menggunakan kereta, para penumpang merasa bingung bahkan tidak tahu tentang cara melaksanakan salat yang benar. Sering kita lihat dalam kereta terdapat orang yang salat dengan cara duduk dan menggerak-gerakkan tubuhnya sebagai pertanda perpindahan rukun salat yang dilakukan. Ada pula penumpang yang salat sambil berdiri dengan menutup jalan para penumpang karena dalam kereta tidak meyediakan fasilitas untuk salat, bahkan ada juga yang memilih untuk tidak melaksanakan salat di kereta dengan niatan mengqadha salat di rumah karena salat di kereta dianggap terlalu ribet.

Sebenarnya bagaimana cara salat yang benar ketika dalam keadaan di kereta? Sebelum menjawab pertanyaan, patut dipahami bahwa kewajiban salat tidak gugur bagi seseorang selama akalnya masih normal, sehingga ketika ia dihadapkan pada keadaan yang tidak dapat menyempurnakan rukun, maka ia tetap wajib melaksanakan salat semampunya dalam rangka li hurmatil waqti.
Salah satu ketentuan dalam pelaksanaan shalat li hurmatil waqti yaitu wajib bagi seseorang untuk melaksanakan rukun dan syarat-syarat salat yang mampu ia lakukan, sedangkan untuk syarat atau rukun yang tidak mampu ia lakukan, syara’ menolelir hal ini karena sudah bukan termasuk hal yang dapat ia jangkau dan shalatnya wajib untuk diulang kembali (i’adah) dalam keadaan sempurna ketika telah sampai di rumah.

Dalam praktik salat li hurmatil waqti di kereta api, ketika seseorang masih mungkin untuk melaksanakan salat dengan wudhu, berdiri dan menutup aurat namun ia tidak dapat menghadap kiblat maka wajib baginya untuk melaksanakan syarat dan rukun tersebut, sedangkan syarat berupa menghadap kiblat menjadi hal yang ditolelir, sehingga tidak perlu ia laksanakan.

Realita yang sering terjadi di kereta, syarat yang paling sulit untuk dilakukan adalah menghadap kiblat, sebab lintasan kereta seringkali berkelok-kelok hingga menyebabkan orang yang awalnya sholat dengan menghadap kiblat, saat perjalanan arahnya menjadi berubah hingga ia tidak lagi menghadap arah kiblat.

Untuk rukun-rukun lain yang masih dapat dilakukan, wajib bagi para penumpang yang shalat untuk melaksanakannya, seperti berdiri, ruku’, sujud dan rukun lainnya.

Berdasarkan ketentuan di atas, tidak layak bagi kita untuk mencela orang yang melaksanakan salat di kereta dengan cara berdiri, justru cara seperti itulah yang benar, meski berdiri di tempat yang berpeluang dilewati oleh orang lain adalah hal yang makruh. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab al-Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah:

يكره للمصّلي أن يصلي في مكان يكون فيه عرضة لمرور أحد بين يديه، سواء مر أحد بين يديه أو لم يمر
“Makruh melaksanakan salat di tempat yang berpeluang dilewati orang lain di depannya, baik kenyataannya ada orang yang lewat atau tidak.” (Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah, juz. 1, hal. 246).

Kemakruhan ini, bisa berubah menjadi haram ketika ada larangan langsung dari pihak KAI atau dugaan kuat pihak KAI akan melarang orang yang melakukan salat di tempat berjalannya para penumpang, sebab KAI memiliki kekuasaan dalam hal mengatur ruang gerak yang dilakukan oleh penumoang agar tidak bersinggungan dengan penumpang yang lain.

Dengan begitu, orang yang salat di kereta dengan duduk dan menggerak-gerakkan tubuhnya adalah hal yang tidak benar, sebab sejatinya ia masih bisa melaksanakan salat dengan berdiri. Kecuali ketika salat fardhu dengan cara duduk ini, ketika ruku’ dan sujud dilaksanakan dengan sempurna, maka cara demikian dianggap benar menurut mazhab hanafi, namun praktek demikian jarang sekali kita temukan.

Lalu bagaimana dengan orang yang memilih untuk tidak melaksanakan salat di kereta dan memilih untuk mangqadha’ salatnya di rumah karena dipandang sulit?
Langkah demikian tetap dibenarkan menurut salah satu pendapat dalam madzhab syafi’i. Seperti yang ditegaskan dalam Hasyiyah Ibnu Qasim ‘ala al-Ghurar al-Bahiyah:

وَنَقَلَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالْغَزَالِيُّ أَنَّ لِلشَّافِعِيِّ قَوْلًا أَنَّ كُلَّ صَلَاةٍ تَفْتَقِرُ إلَى الْقَضَاءِ لَا يَجِبُ فِعْلُهَا فِي الْوَقْتِ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ
“Imam Haramain dan Imam Ghazali menukil bahwa dalam madzhab syafi’i terdapat pendapat bahwa sesungguhnya setiap salat yang butuh (bisa) untuk diqadha’ tidak wajib melaksanakannya pada waktunya, pendapat ini juģa merupakan pendapat yang diutarakan Imam Abu Hanifah.” (Ibnu Qasim, Hasyiyah Ibnu Qasim ‘ala al-Ghurar al-Bahiyah Juz 1, Hal. 207).

Hal yang bijak bagi para penumpang, jika memang masih mungkin untuk menjamak salatnya baik berupa jamak taqdim dengan cara salat terlebih dahulu sebelum berangkat, atau jamak ta’khir yaitu ketika sampai di kota tujuan masih memungkinkan melaksanakan salat. Maka hal yang baik dilaksanakan adalah menjamak salatnya.

Sedangkan ketika shalat yang dilaksanakan tidak dapat dijamak, maka lebih baik bagi para penumpang untuk mengikuti pendapat yang dinukil dari imam Haramain dan al-Ghazali yaitu tidak melaksanakan salat li hurmatil waqti di kereta dan memilih mengqadha salatnya ketika sampai di tempat tujuan. Pemilihan langkah ini dikarenakan melaksanakan shalat di kereta sesuai dengan ketentuan salat li hurmatil waqti selain dipandang sulit, juga dianggap mengganggu aktifitas penumpang lain seperti terhambatnya jalan ketika ada orang lain hendak lewat dan berbagai hambatan-hambatan yang lainnya, sehingga sangat tidak elok untuk dilakukan. Wallahu a’lam. (Santrimengaji17/PP Lirboyo/alanu

No comments:

Post a Comment