📖~
Dalam Sunan Dârimî disebutkan bahwa Abî Qilâbah berkata:
من شهد القرآن حين يفتحح فكأنما شهد فتحا في سبيل الله، و من شهد ختمه حين يختم فكأنما شهد الغنائم حين تقسم
"Barang siapa menghadiri awal pembacaan AlQur'an, dia seakan-akan menghadiri sebuah kemenangan peperangan di jalan Allah. Dan barangsiapa menghadiri khatmul qur'an, maka seakan-akan dia menghadiri pembagian harta rampasan ketika dibagikan."
🏷________________
Rasulullah SAW bersabda :
ما اجتمع قوم في بيت من بيوت الله يتلون كتاب الله و يتدارسونه بينهم إلا نزلت عليهم السكينة و غشيتهم الرحمة و حفتهم الملآئكة و ذكرهم الله فيمن عنده.
"Tidaklah berkumpul sekelompok orang di sebuah rumah Allah, untuk membaca AlQur'an dan mempelajarinya, melainkan ketenangan menghampiri mereka, rahmat meliputi mereka, para malaikat mengerumuni mereka dan Allah menyebut-nyebut mereka di hadapan para malaikat yang berada di sisiNya."
(HR Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah & Ahmad)
🗒~
Sehubungan dengan hadis diatas, Imam Nawawi ra menyatakan bahwa orang-orang yang berkumpul di madrasah dan pesantren serta tempat sejenisnya akan mendaptkan pula ketenangan, rahmat dan kerumunan malaikat tersebut[1]. Adapun salah satu hikmah mengapa Nabi Muhammad saw menyebutkan dalam hadits tersebut hanya masjid, adalah karena masjid adalah tempat yang paling mulia untuk membaca AlQur'an dan disanalah biasanya diselenggarakan tadarus AlQuran.
Wallahu A'lam Bisshowab.
_________________🌹
📝[1]. Lihat Muhyiddîn Abu Zakariyyâ Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarhun Nawawi 'Ala Shahih Muslim, jilid 17, cet.II, Dâru Ihyâit Turâtsil 'Arabî, Beirut, 1392 H, hal.21.
Wednesday, January 31, 2018
Pembukaan dan khataman al quran
Seekor semut yang menyelam
Suatu hari nabi Sulaiman sedang duduk di tepi laut, kemudian beliau melihat seokor semut menuju laut sambil membawa sebiji tepung.
Nabi Sulaiman terus memperhatikannya hingga sampai ke air.
Sesampainya di air, ada seeokor katak yang keluar dari dalam air sambil membuka mulutnya dan masuklah semut tersebut ke dalam mulut si katak.
Untuk beberapa saat si katak masuk ke dalam air, sementara nabi Sulaiman menunggu dalam ketakjuban.
Tak lama kemudian keluarlah si katak dari dalam air dan membuka mulutnya lalu si semutpun keluar dan tak tampak lagi biji tepung bersamanya.
Nabi Sulaiman as pun memanggil si semut dan menanyakan apa sebenarnya yang terjadi dan kemana ia pergi?
Si semut berkata:
"Wahai Nabi utusan ALLOH, Sesungguhnya di dasar lautan yang anda lihat ini terdapat batu berlubang, dan ditengah-tengahnya ada seekor ulat yang buta. Dan ALLOH menciptakannya di dalam batu itu, tetapi ia tak bisa keluar dari batu itu untuk mencari makan, dan ALLOH telah menentukan rizki-Nya melalui aku, karenanya akulah yang membawa rizki-Nya. Untuk itu ALLOH memberiku fasilitas berupa katak ini untuk membawaku ke dalam laut supaya airnya tak membahayakanku.
Sesampainya di dalam laut katak itu meletakkan mulutnya dibatas lubang batu dan aku pun segera memasukkan (biji tepung itu),
Lalu jika telah kusampaikan rizki itu kepada si ulat, dan aku keluar dari lubang batu untuk masuk kembali ke dalam mulut si katak dan setelah itu ia mengeluarkanku dari laut."
Nabi Sulaiman bertanya:
"Apakah engkau mendengar tasbihnya?"
Semut itu menjawab: Ya.
Ia mengucapkan;
"Wahai Dzat Yang tidak melupakanku untuk mengantarkan rizki-Nya di dalam lubang batu di dasar lautan, demi rahmat-Mu,
Janganlah Kau lupakan hamba-hamba-Mu yang beriman."
Poin dari pelajaran di atas:
Tuhan yang tak lupa kepada ulat yang buta di dalam lubang batu cadas, dan di dasar lautan,
Bagaimana mungkin lupa kepada manusia mukmin?
Sunday, January 28, 2018
WARNA API NERAKA
WARNA API NERAKA
Neraka dinyalakan selama seribu tahun hingga warnanya menjadi MERAH.
Setelah itu dinyalakan lagi selama seribu tahun hingga warnanya menjadi PUTIH.
Setelah itu dinyalakan lagi selama seribu tahun hingga warnanya menjadi HITAM legam bagaikan malam yang gelap gulita.
Jadi warna api neraka itu bukan merah atau kuning atau jingga atau biru atau kombinasi dari warna-warna ini sebagaimana yang kita lihat pada api dunia, tetapi api neraka itu berwarna HITAM!
Warna hitam adalah gambaran bahwa api neraka itu mencapai puncak suhu yang tertinggi yang tidak bisa dibayangkan oleh manusia.
Demikianlah gambaran warna api neraka sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam sunannya. At-Tirmidzi meriwayatkan,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُوقِدَ عَلَى النَّارِ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى احْمَرَّتْ ثُمَّ أُوقِدَ عَلَيْهَا أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى ابْيَضَّتْ ثُمَّ أُوقِدَ عَلَيْهَا أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى اسْوَدَّتْ فَهِيَ سَوْدَاءُ مُظْلِمَةٌ
Artinya :
“Dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ beliau bersabda, ‘Api neraka dibakar selama seribu tahun hingga warnanya merah. Lalu dinyalakan (lagi) seribu tahun hingga warnanya putih. Lalu dinyalakan (lagi) seribu tahun hingga warnanya hitam. Jadi, neraka itu hitam gelap gulita” (At-Tirmidzi, juz 9 hlm 165)
Hadis ini dihasankan oleh At-Tirmidzi.
Riwayat ini dikuatkan oleh hadis mauquf dari Abu Hurairah yang disebutkan Imam Malik dalam Al-Muwattho’ dengan sanad sahih sebagai berikut,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ أَتُرَوْنَهَا حَمْرَاءَ كَنَارِكُمْ هَذِهِ لَهِيَ أَسْوَدُ مِنْ الْقَارِ
Artinya : “Dari Abu Hurairah, bahwasanya ia berkata, ‘Apakah kalian menyangka bahwa api neraka itu berwarna merah seperti api kalian (di dunia) ini? Sungguh! Api neraka itu lebih hitam daripada aspal!” (Muwattho’, juz 6 hlm 147)
Adapun pendapat yang melemahkan riwayat At-Tirmidzi di atas dengan alasan perawi yang bernama Yahya bin Abi Bukair, maka alasan tersebut ditolak dengan alasan bahwa Yahya adalah perawi yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim.
Adapun pendapat yang melemahkan riwayat At-Tirmidzi di atas dengan alasan perawi yang bernama Syarik bin Abdullah An-Nakho’i, maka harus dicatat bahwa Syarik adalah perawi yang jujur. Hanya saja level kedhobitannya kurang kuat. Perawi semacam ini aman dari kemungkinan berdusta, hanya saja dikhawatirkan beliau silap dalam periwayatan yang terkait dengan hafalan seperti memauqufkan yang marfu’, memarfu’kan yang mauquf, membalik urutan, menukar urutan dan semisalnya.
Riwayat At-Tirmidzi di atas telah memiliki “syawahid” dari riwayat Anas dan Umar bin Al-Khotthob sebagaimana diisyaratkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya dan juga Al-Baihaqi dalam “Syu’abu Al-Iman”.
Lagipula, informasi yang disebutkan oleh riwayat At-Tirmidzi di atas menurut keterangan Ath-Thiby maknanya dekat dan senafas dengan isyarat yang disebutkan Allah dalam ayat ini,
{ يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ} [التوبة: 35]
Artinya : “(ingatlah) hari dimana api neraka itu dipanaskan (secara dahsyat) pada api Jahannam (At-Taubah; 35)
Lagipula, isi riwayat At-Tirmidzi di atas sejalan dengan penafsiran para mufassirin ketika menjelaskan ayat yang menerangkan bahwa “syaror” (bunga-bunga api) neraka itu seperti “jimalatun shufr” (unta-unta berwarna hitam). Telah diketahui dalam bahasa Arab bahwa warna “shufr” itu jika dikaitkan dengan unta maka secara majasi bisa bermakna hitam. Jadi berdasarkan ayat “jimalatun shufr” itu bisa dipahami bahwa warna api neraka memang berwarna hitam.
Lagipula, perubahan warna mengikuti tingkat panas adalah fakta yang bisa disaksikan dalam kehidupan. Orang yang bergelut dalam ilmu logam/metalurgi akan mengetahui bahwa jika sebuah besi dipanaskan, maka mula-mula pada suhu tertentu warnanya akan berubah menjadi merah. Jika panas itu ditambah lagi maka warnanya akan berubah menjadi putih. Jika panas itu terus ditambah lagi maka warna itu akan berubah menjadi biru dan semakin gelap semakin gelap. Dengan demikian bisa kita katakan, warna hitam adalah warna yang menunjukkan api telah mencapai puncak panas yang tak terbayangkan.
Dengan alasan-alasan ini maka penilaian At-Tirmidzi bahwa riwayat di atas adalah riwayat hasan lebih dekat dengan kebenaran daripada pendapat yang mendhoifkannya.
Sekarang mari kita bayangkan kira-kira seperti apa panasnya neraka itu.
Jika diukur dengan skala celsius, panas yang mencapai warna merah itu baru terwujud pada suhu kira-kira 1500 celcius.
Warna putih dicapai, jika suhu telah mencapai kira-kira 5500 celsius.
Warna biru dicapai, jika suhu telah mencapai kira-kira 9500 celsius.
Lalu kira-kira warna hitam tercapai dengan suhu berapa? Belum ada manusia yang tahu, karena suhu yang bisa diusahakan manusia baru sanggup mencapai warna biru yang dianggap panas paling final di dunia ini.
Bayangkan, untuk melelehkan sebuah besi, suhu yang diperlukan cukup sekitar 1500o celcius saja. Untuk mendidihkan besi, cukup diperlukan suhu 3000o celcius saja. Padahal ini adalah suhu yang membuat warna panas baru di level warna merah menjelang putih.
Lalu bayangkan bagaimana jika yang dibakar itu bukan besi tapi daging, kulit dan tulang manusia, pada api yang warnanya telah menjadi hitam legam. Seperti apa kira-kira jadinya?!
Dengan tingkat panas seperti ini, menjadi bisa dipahami jika ada informasi hadis Nabi ﷺ yang memberitahukan bahwa siksaan paling ringan di Neraka adalah seseorang yang diberi sandal yang terbuat dari api neraka, lalu sandal itu sudah cukup untuk membuat otaknya menjadi mendidih!
أعاذنا الله من نار جهنم
اللهم قنا عذاب النار
Versi Situs: irtaqi.net/2018/01/28/warna-api-neraka/
***
Muafa 12 Jumada Al-Ula 1439 H
Kriminalisasi Ulama di Masa Khilafah
Kriminalisasi Ulama di Masa Khilafah
Nadirsyah Hosen
(penulis buku Tafsir al-Qur’an di Medsos)
Belakangan ini para pendukung khilafah jaman now banyak menebar isu telah terjadi kriminalisasi ulama di masa Presiden Jokowi. Bahkan seorang mantan Presiden juga ikut-ikutan menganggap telah terjadi kriminalisasi ulama. Kriminalisasi itu artinya orang yang tidak bersalah namun dianggap melakukan perbuatan kriminal. Atau ada orang yang sejatinya bukan ulama namun seolah dia naik kelas menjadi ulama hanya gara-gara menjadi tersangka tindak pidana. Benar atau tidaknya, kita serahkan pada proses hukum dan peradilan yang berlaku.
Saya hanya hendak mengisahkan bahwa di masa Khilafah jaman old telah terjadi penyiksaan dan pembunuhan terhadap para ulama. Sehingga kalau pendukung eks HTI teriak-teriak hanya khilafah yang bisa menghentikan terjadinya kriminalisasi ulama, maka jelas mereka buta dengan apa yang terjadi pada khilafah masa lalu.
Ini sedikit cuplikannya yang diambil dari kitab Tarikh karya Imam Thabari dan juga Imam Suyuthi:
1. Khalifah al-Manshur memerintahkan untuk mencambuk Imam Abu Hanifah rahimahullah ketika menolak diangkat menjadi hakim, memenjarakannya hingga wafat di penjara. Dikatakan bahwa Imam Abu Hanifah wafat karena diracun akibat telah berfatwa membolehkan memberontak melawan Khalifah Abu Ja’far al-Manshur.
2. Menurut Imam Suyuthi, Imam Malik mengeluarkan fatwa bahwa boleh keluar memberontak terhadap al-Manshur mengingat kekejaman yang dilakukannya. Gubernur Madinah kemudian menangkap dan mencambuk Imam Malik akibat fatwa itu. Sudah sebelumnya disebut di atas tindakan Khalifah al-Manshur kepada Imam Abu Hanifah.
3. Kekejaman terhadap ulama tidak berhenti pada dua nama besar Imam Mazhab ini tapi juga menimpa ulama lainnya yaitu Sufyan ats-Tsauri dan Abbad bin Katsir —yang pertama seorang ahli fiqh ternama, dan yang kedua seorang perawi Hadits. Hampir saja keduanya menemui ajal saat Abu Ja’far al-Manshur menunaikan ibadah haji. Namun Sufyan dan Abbad selamat meski sudah dimasukkan dalam penjara dan menunggu waktu eksekusi. Kata Imam Suyuthi, “namun Allah tidak memberi kesempatan khalifah sampai di Mekkah dengan selamat. Dalam perjalanan dia sakit dan wafat. Allah telah mencegah kekejamannya terhadap kedua ulama itu.”
4. Fitnah menerpa Imam Syafi’i, hingga ia diseret dengan tangan terantai menuju tempat Khalifah Harun ar-Rasyid di Baghdad dan terancam hukuman mati. Namun beliau berhasil menyampaikan peleidoi yang luar biasa, yang membuat Khalifah melepasnya. Pada saat itulah Imam Syafi’i bertemu dengan Syekh Muhammad bin Hasan al-Syaibani, seorang murid dari Imam Abu Hanifah. Maka mulailah Syafi’i belajar pada ulama hebat ini.
5. Khalifah al-Makmun memerintahkan dikumpulkannya para ulama dan diinterogasi apakah mereka berpendapat al-Qur’an itu qadim atau makhluk. Sesiapa yang menjawab makhluk, maka amanlah dia. Sementara sesiapa yang menjawab qadim, habislah dia disiksa. Surat lengkap Khalifah al-Makmun kepada Ishaq bin Ibrahim yang memulai mihnah ini bisa dibaca di Tarikh Thabari, juz 8/361-345.
6. Kebijakan Khalifah al-Makmun diteruskan oleh khalifah selanjutnya. Imam Ahmad bin Hanbal ditangkap dan perintahkan untuk dicambuk oleh Khalifah al-Mu’tashim karena bertahan bahwa al-Qur’an itu qadim.
7. Ibn Sikkit seorang ahli sastra Arab yang menjadi guru kedua putra Khalifah al-Mutawakkil, diinjak perutnya hingga wafat. Imam Suyuthi mencatat bahwa ada riwayat lain yang mengatakan al-Mutawakkil memerintahkan pengawalnya mencabut lidah Ibn Sikkit hingga wafat. Ibn Sikkit dituduh sebagai Rafidhah.
8. Imam Buwaythi (salah seorang murid terkemuka Imam Syafi’i) wafat di penjara dengan tangan terikat akibat tidak lolos ujian keyakinan (mihnah), di masa Khalifah al-Watsiq. Beliau bertahan bahwa al-Qur’an itu qadim.
9. Imam Suyuthi melaporkan dalam kitabnya Tarikh Al-Khulafa bagaimana kepala Ahmad bin Bashr al-Khuza’i dipenggal oleh Khalifah al-Watsiq dan kemudian dikirim ke Baghdad sementara tubuhnya diperintahkan untuk digantung di gerbang kota Samarra. Lantas, masih menurut catatan Imam Suyuthi, Khalifah tinggalkan tulisan yang tergantung di telinga Khuza’i: “Inilah Ahmad ibn Nashr al-Khuza’i yang membangkang mengenai kemakhlukan al-Qur’an dan menganggap Allah bisa dilihat kelak dengan mata kita. Dia dieksekusi oleh Khalifah Harun al-Watsiq. Inilah siksaan Allah yang lebih awal dari nerakaNya.”
10. Imam Thabari melaporkan bahwa sekitar 29 orang pengikut dan keluarga Ahmad ibn Nashr al-Khuza’i juga diburu dan dimasukkan ke penjara oleh Khalifah al-Watsiq, tidak boleh dikunjungi siapapun, dirantai dengan besi dan tidak diberi makanan. Tubuh Khuza’i yang tanpa kepala itu digantung selama 6 tahun dan baru diturunkan setelah Khalifah al-Watsiq wafat. Kekejaman yang tak terhingga.
Demikian catatan ringkas akan kriminalisasi terhadap para ulama yang dilakukan oleh para Khalifah masa lalu. Ini fakta sejarah yang tak terbantahkan dan dicatat dalam kitab klasik yg mu’tabar. Mayoritas dieksekusi tanpa melalui proses peradilan.
Ini tentu berbeda dengan kondisi sekarang di NKRI dimana setiap yang diduga melakukan tindak pidana akan menghadapi proses hukum dengan didampingi pengacara dan berlaku asas praduga tak bersalah. Saat pengadilan nanti didatangkan para saksi. Dan kalau tidak puas dengan keputusan hakim, masih bisa melakukan upaya banding dan kemudian kasasi.
Kalau sekarang kita kembali ke masa Khilafah, ngapain capek-capek pakai proses peradilan, tinggal penggal saja kepala mereka. Nah, yakin anda masih mau kembali ke jaman khilafah? Mikirrrrr!
Kisah kearifan Nabi Musa
Syaifullah, NU Online | Sabtu, 05 Maret 2011 19:44
Semarang, NU Online
Alkisah, Nabi Musa dalam perjalanan hendak munajat di bukit Sina, kemalaman di jalan. Beliau berniat menginap di desa terdekat. Terdapat rumah yang paling terang di desa itu, dan Nabi Musa mampir untuk minta ijin menginap. Ternyata si pemilik rumah adalah seorang mucikari. Ia pun mempersilakan Nabi Musa menginap.
Demikian dinyatakan KH Habib Umar Muthohar saat memberikan ceramahnya di hadapan ratusan mbak-mbak (sebutan populer warga Resosialisasi Argorejo) di kompleks lokalisasi Sunan Kuning menggelar Mauludan bersama mahasiswa, kamis (3/3).
/>
Kemudian Habib melanjutkan ceritanya: Mucikari itu berkata, “Wahai Nabi, saya ini merasa sangat banyak dosa. Sewaktu muda saya jual diri, sekarang menjua orang lain. Tolong tanyakan kepada Allah, saya akan dimasukkan ke neraka mana?”
Pamit dari rumah si germo, Nabi Musa bertemu wanita yang buntung tangan dan kakinya di pasar. Si wanita menjadi pengemis dan sabar atas cobaan itu. Dia titip pertanyaan kepada Nabi Musa, “Wahai Nabi. Aku ini dibero cobaan begini rupa dan sabar menerima takdir. Nanti akan masuk surga mana?”.
Dari pasar, di jalan bertemu seorang tua bangka yang berjalan sambil memegang tongkat. Si kakek juga bertanya pada Nabi Musa. “Wahai, Musa. Aku berasal dari desa yang jauh. Sudah 12 tahun tak ada hujan turun di desaku. Tolong tanyakan kepada Allah, kapan akan menurunkan hujan di desaku.
Nabi Musa pun menyampaikan semua pertanyaan mereka kepada Allah di bukit Sina. Ternyata Allah memberi jawaban yang mencengangkannya. Si germo dikabarkan akan masuk surga, dan si pengemis buntung akan masuk neraka Jahanam. Sedangkan si tua, diminta bersabar 12 tahun lagi.
Bergegas Nabi Musa kembali. Pertama kepada kakek tua. Mendengar penjelasan dari Nabi Musa, ia justru bersujud sambil menangis. Padahal jika melihat usianya, dia tak akan hidup pada saat hujan itu turun 12 tahun lagi.
“Terima kasih, ya Allah. Permohonanku Engkau kabulkan,” derai si kakek dalam tangisnya.
Mendadak langit jadi gelap, mendung menutupi wilayah Mesir. Hujan pun turun dengan derasnya. Si kakek pun bertanya: “Wahai, Musa. Tadi katanya hujan masih 12 tahun lagi. Ini kok turun sekarang?”. Dijawab Nabi Musa: “Karena Anda tak putus asa pada rahmat Allah, maka langsung diberi kontan. Tak jadi kredit,” ujar Habib Umar membuat kalimat sendiri dengan gaya bercanda.
Berikutnya, Nabi Musa menemui si pengemis. Dari jauh si pengemis sudah berbicara sombong: “Bagaimana Musa? Aku masuk surga yang mana?.
“Bu, mohon maaf. Waktu saya tanyankan soal Anda, Allah sedang sibuk memasukkan 60 ekor unta ke lubang jarum,” tutur Nabi Musa tak tega mengabarkan tentang neraka untuknya.
“Ah, tidak mungkin. Itu jelas mustahil. Ekor unta pun tak bisa masuk lubang jarum,” sergah si wanita buntung.
“Tapi Allah Maha Kuasa lho, Bu” sahut Nabi Musa.
“Meskipun Allah Maha segalanya, aku tetap tak percaya itu bisa terjadi,” tukasnya seraya menuding Nabi Musa telah membual.
Sementara itu, ketika Nabi Musa menyampaikan kabar kepada si germo, bahwa ia akan diberi surga, seketika itu langsung sujud sambil menangis sekeras-kerasnya. Dia memohon ampun kepada Allah, kok bisa-bisanya akan masuk surga. Belum lagi Nabi Musa berpamitan, si germo itu meninggal dunia.
Allah memberitahu Nabi Musa, si germo diampuni segala dosanya karena merasa bersalah dan memohon ampun. Dan selama hidup dia masih punya iman. Sedangkan si pengemis meski sabar, tak punya iman dan bersikap sombong. Itulah yang membuatnya masuk neraka.
“Subhanallah. Mari kita tetap memegang iman. Jangan pernah menganggap rahmat Allah menjauh meski saat ini kita mungkin belum berada lurus di jalannya,” pungkas Habib Umar dengan mata terpejam, saking harunya
Saturday, January 27, 2018
MBAH MOEN PUNYA CARA UNTUK MENYAYANGI, SANTRI PUNYA CARA UNTUK MENCINTAI
MBAH MOEN PUNYA CARA UNTUK MENYAYANGI, SANTRI PUNYA CARA UNTUK MENCINTAI
"Cung, kolahku diiseni banyu asin ae. Banyu sing soko sumur Gondan ben kanggo santri," dawuh Mbah Moen.
"Gih," jawab pengurus bidang pengairan.
Ini adalah salah satu cara Mbah Moen mencintai para santri.
Untuk membantah dawuh beliau jelas tidak mungkin. Tapi untuk begitu saja melaksanakan juga ada perasaan tidak rela. Masak Mbah Moen harus siram dengan air asin sedangkan santri mandi dengan air tawar. Itulah yang ada di benak pengurus pengairan yang menerima dawuh.
Akhirnya pompa dipasang. Paralon pun dipasang kedalam sumur ndalem yang airnya asin. Sudah? Tidak. Diam-diam penerima dawuh menyambung dasar paralon dan dihubungkan dengan paralon saluran air tawar. Kalau dilihat dari atas jelas paralon masuk kedalam sumur asin. Padahal ujung paralon yang ada didalam air dihubungkan paralon air tawar. Saat pompa dinyalakan seolah menyedot air asin padahal yang tersedot adalah air tawar. Itu semua dipasang tanpa sepengetahuan Mbah Moen.
Beres? Belum juga. Mbah Moen merasakan kejanggalan. Karena air yang beliau pakai tidak asin.
"Cung. Lha banyune kok gak asin," tanya beliau.
Bingung juga mau jawab apa. Saat "akal bulus" mau terbongkar akalnya cepat menemukan solusi.
"Ngapunten, Yai. Kadose sumur niku rembesane pun katah. Dados boten asin," jawab santri.
Untung Mbah Moen tidak tanya lebih detail.
Owalah kang. Nek koyo kui yo dudu rembes maneh. Kwi mono jenenge mili 😀😀😀.
Dari sini kita belajar, masing-masing mempunyai cara untuk mencintai dan menyayangi. Untuk berkhidmah dengan baik tidak hanya dibutuhkan kemahiran tapi harus memilikii kecerdasan. Mampu menjalankannya dengan pertimbangan kemanusiaan, kemaslahatan dan kepatutan. Tanpa melanggar hukum dan kepantasan.
Interaksi antara kyai dan santri memang unik. Posisi kyai dalam pesantren ibarat raja dalam sebuah kerajaan. Namun sikap kyai lebih sebagai orang tua bahkan pelayan bagi santri dan umat. Saya sendiri kenal seorang kyai tengah malam naik turun sungai sendiri hanya untuk mendapatkan air, biar saat besuk santri bangun sudah bisa mandi dan wudhu.
Sikap santri yang sangat menghormati dan mencintai kyai lahir dari proses panjang. Bagi orang luar pesantren yang tidak memahami dunia pesantren sering menyalahpahami sikap ini sebagai "kultus individu", padahal sebetulnya bukan itu. Sikap itu lebih pada ungkapan rasa terima kasih seorang santri kepada guru.
لم يشكر الله من يشكر الناس
Sikap inilah yang membawa santri dalam keberkahan. Bagi yang tidak paham pesantren frasa terakhir ini akan semakin membuat bingung.
Lalu bagaimana sikap kita kepada guru kita?
Laporan selesai
#Santri_Gayeng
Setelah Wahyu Tak Turun Lagi, Apakah Tugas Jibril?
Hafiz, NU Online | Sabtu, 27 Januari 2018 15:01
Assalamu alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online, sebagaimana kita ketahui, Jibril adalah satu dari sepuluh malaikat (yang wajib diketahui) yang bertugas menyampaikan wahyu kepada para rasul. Di zaman sekarang, sudah tidak ada lagi nabi dan rasul (secara zhahir; alias meninggal) yang berhak menerima wahyu Allah. Lantas, bagaimana dengan nasib Malaikat Jibril dengan tugasnya tersebut? Apa iya malaikat Jibril sudah nganggur lantaran sudah tidak ada lagi nabi dan rasul penerima wahyu? Mohon jawabannya kiai, karena hamba benar-benar makhluk yang berstatus al-faqir. Wassalamu ‘alaikum wr.wb. (Rasyid)
Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Sebagaimana yang sudah maklum bersama bahwa Jibril merupakan malaikat yang diberi tugas untuk menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. Seiring dengan berakhirnya wahyu, maka tugasnya pun berakhir.
Dari sini kemudian muncul pertanyaan yang agak provokatif, apakah setelah tugas menyampaikan wahyu Jibril menjadi malaikat pengangguran? Tentu jawabanya adalah tidak, sebab tugas malaikat Jibril bukan hanya sebatas menyampaikan wahyu, tetapi ada tugas-tugas lain yang diembannya.
Dalam Kitab Al-Haba`ik fi Akhbaril Mala`ik yang ditulis oleh Jalaluddin As-Suyuthi terdapat pembahasan mengenai empat panglima malaikat yang mengelola urusan dunia. Dalam hal ini ia menghadirkan pelbagai macam riwayat, salah satunya adalah riwayat Ibnu Abi Hatim, Abus Syekh, dan Al-Baihaqi dari Ibnu Sabith.
Dalam riwayat tersebut dikatakan bahwa ada empat malaikat diberi tugas untuk mengelola dunia. Dari empat malaikat tersebut adalah Jibril yang salah satu tugasnya adalah mengurusi angin, Mikail mengurusi urusan hujan dan tumbuh-tumbuhan, dan Izrail diberi tugas mencabut nyawa. Sedang Israfil diberi tugas untuk menyampaikan perintah kepada mereka.
رُؤُوسُ الْمَلَائِكَةِ الْأَرْبَعةِ اَلَّذِينَ يُدَبِّرُونَ أَمْرَ الدُّنْيَا. (أَخْرَجَ) ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَأَبُو الشَّيْخِ فِى الْعُظْمَةِ وَالبَيْهَقِيُّ فِى الشُّعَبِ عَنِ ابْنِ سَابِطٍ قَالَ: يُدَبِّرُ أَمْرَ الدُّنْيَا أَرْبَعَةٌ : جِبْريلُ وَ مِيكَائِيلُ وَ مَلَكُ الْمَوْتِ وَ إِسْرَافِيلُ فَأَمَّا جِبْرِيلُ فَوُكِّلَ بِالرِّيَاحِ وَ الْجُنُودِ وَ أَمَّا مِيكَائِيلُ فَوُكِّلَ بِالْقَطْرِ وَ النَّبَاتِ وَ أَمَّا مَلَكُ الْمَوْتِ فَوُكِّلَ بِقَبْضِ الْأَرْوَاحِ وَ أَمَّا إِسْرَافِيلُ فَهُوَ يَنْزِلُ بِالْأَمْرِ عَلَيْهِمْ
Artinya, “Empat panglima malaikat yang mengurusi urusan dunia. Ibnu Abi Hatin dan Abus Syekh meriwayatkan dalam kitab Al-‘Uzhmah dan Al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman dari Ibnu Sabith ia berkata, ‘Empat Malaikat yang mengurusi urusan dunia yaitu Jibril, Mikail, Malaikat Maut, dan Israfil. Jibril diserahi untuk mengatur angin dan para tentara, Mikail diserahi untuk mengurus hujan dan tumbuh-tumbuhan, Malaikat Maut diserahi untuk mencabut nyawa, sedangkan Israfil diserahi tugas menyampaikan perintah kepada mereka,” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Haba`ik fi Akhbaril Mala`ik, Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, cetakan pertama, 1985 M/1405 H, halaman 16).
Tugas lain yang diemban Jibril adalah memenuhi hajat atau kebutuhan manusia. Dalam sebuah riwayat Al-Baihaqi dari Tsabit dikatakan bahwa Allah mendelegasikan Jibril untuk mengurusi hajat manusia.
Apabila orang mukmin berdoa, Allah menahan Jibril sejenak untuk mengabulkan doanya. Hal ini terjadi karenak Allah senang mendengarkan lantunan doa orang Mukmin. Lainnya halnya apabila yang berdoa adalah orang kafir, maka Allah langsung mengintruksikan kepada Jibril untuk segara memenuhinya. Hal ini karena Allah tidak menyukai mendengar lantunan doanya.
وَأَخْرَجَ الْبَيْهَقِيُّ عَنْ ثَابِتٍ قَالَ بَلَغَنَا أَنَّ اللهَ تَعَالَى وَكَّلَ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ بِحَوائِجِ النَّاسِ، فَإِذَا سَأَلَ الْمُؤْمِنُ ، قَالَ يَا جِبْرِيلُ: احْبِسَ حَاجَتَهُ فَإِنِّي اُحِبُّ لِدُعَائِهِ، وَإِذَا دَعَا الْكَافِر، قَالَ يَا جِبْرِيلُ أَقْضِ حَاجَتَهُ فَإِنِّي أُبْغِضُ دُعَائَهُ
Artinya, “Al-Baihaqi meriwayatkan dari Tsabit, dia berkata, ‘Telah sampai kepadaku riwayat yang menyatakan bahwa Allah SWT mendelegasikan Malaikat Jibril AS dalam urusan memenuhi hajat hidup manusia. Apabila seorang Mukmin berdoa, maka Allah pun berkata kepada Jibril AS, ‘Wahai Jibril! Tahan dulu untuk memenuhi hajatnya karena Aku sungguh sangat senang mendengar lantunan doanya.’ Apabila orang kafir berdoa, Allah pun berkata kepadanya, ‘Wahai Jibril! Penuhi apa yang menjadi hajatnya karena sesungguhnya Aku tidak suka mendengar lantunan doanya,’’” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Haba`ik fi Akhbaril Mala`ik, Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, cetakan pertama, 1985 M/1405 H, halaman 24).
Dua riwayat di atas dalam pandangan kami sudah cukup untuk menjawab pertanyan penanya. Simpulannya adalah bahwa setelah selesai menyampaikan wahyu kepada para nabi dan rasul, bukan berarti kemudian malaikat Jibril tidak melakukan apa-apa. Sebab, tugas yang diembannya bukan hanya sebatas itu tetapi masih ada tugas-tugas lainnya. Contohnya adalah seperti dikemukakan dalam dua riwayat di atas.
Demikian jawaban dari kami semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu alaikum wr. wb.
(Mahbub Ma’afi Ramdlan
Thursday, January 25, 2018
Tinggalkan Tiga Kali Jumat Jadi Kafir?
Hafiz, NU Online | Ahad, 23 April 2017 09:03
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Yang terhormat redaksi Bahtsul Masail NU Online. Lelaki yang tidak sholat Jumat tiga kali dihukumi kafir. Jika orang itu sholat apakah sah? Jika ia membaca syahadat, apakah Islam kembali. Mohon keterangannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Bagus Alvi).
Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan petunjuk-Nya untuk kita semua. Jumat merupakan hari ied mingguan bagi umat Islam. Sementara sembahyang Jumat merupakan sebuah kewajiban bagi mereka yang menjadi ahli Jumat seperti laki-laki, sehat, aqil, baligh, penduduk setempat, dan seterusnya sebagaimana diatur dalam kitab fikih.
Kewajiban sembahyang Jumat sangat kuat. Karena banyak sekali keutamaan di dalamnya. Bahkan sembahyang Jumat disinggung secara khusus dan diabadikan dalam Al-Quran pada surat Al-Jumuah.
Adapun status kufur-nifaq yang disematkan kepada mereka yang meninggalkan sembahyang Jumat tiga kali berturut-turut didasarkan pada sebuah hadits Rasulullah SAW bahwa mereka yang meninggalkan Jumat sebanyak tiga kali akan dicatat sebagai kalangan munafiq.
Tetapi apakah munafiq yang dimaksud ini adalah munafiq-kafir sebagaimana sebagian penduduk Madinah dan sekitarnya di zaman Rasulullah SAW atau sekadar munafiq-praktis? Ada baiknya kita melihat keterangan Al-Munawi perihal hadits tersebut.
من ترك ثلاث جمعات من غير عذر كتب من المنافقين) أراد النفاق العملي قال في فتح القدير : صرح أصحابنا بأن الجمعة فرض آكد من الظهر وبإكفار جاحدها.
Artinya, “(Siapa saja yang meninggalkan tiga Jumat tanpa udzur, maka ia akan dicatat sebagai kalangan orang-orang munafik) munafik yang dimaksud adalah kemunafikan dalam bentuk perbuatan, (bukan keyakinan). Penulis Fathul Qadir menyebutkan, sahabat-sahabat kami menyatakan bahwa shalat Jumat adalah kewajiban bahkan lebih wajib dari sembahyang Zuhur. Mereka juga menyatakan bahwa orang yang mengingkari kewajibannya menjadi kafir,” (Lihat Abdurrauf Al-Munawi, Faidhul Qadir, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, tahun 14-15 H/1994 M, juz 6, halaman 33).
Dari keterangan Al-Munawi, kita menyimpulkan bahwa sifat kemunafikan terbagi sedikitnya atas dua jenis, pertama munafik keyakinan (mereka yang memang tidak beriman kepada Allah dan rasul-Nya seperti banyak orang Madinah di masa Rasulullah SAW yang kerap disinggung Al-Quran); kedua munafik perbuatan (mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan rasul-Nya, hanya saja kerap melanggar agama seperti berbohong, berkhianat, melanggar janji). Mereka yang meninggalkan Jumat tiga kali itu termasuk dalam kategori kemunafikan jenis kedua.
Dengan demikian, mereka yang meninggalkan sembahyang Jumat tidak keluar dari Islam. Artinya ia tidak perlu membaca syahadat kembali sebagai pernyataan masuk Islamnya. Hanya saja ia harus bertobat kepada Allah dan beritikad kuat di dalam untuk tidak mengulangi kesalahannya. Meninggalkan sembahyang Jumat termasuk salah satu dosa besar. Karenanya agama Islam sangat mengecam keras orang-orang yang meninggalkan sembahyang Jumat tanpa ada uzur syar’i.
Merujuk pada pandangan Ahlussunnah wal Jamaah, orang beriman yang terjebak dalam dosa kecil maupun besar (misalnya meninggalkan sembahyang Jumat) tetap dihukumkan sebagai seorang yang beriman. Artinya, kalau orang seperti ini meninggal dunia, kita yang masih hidup tetap berkewajiban mengurus jenazahnya dari “a” sampai “z” seperti keterangan Syekh Al-Baijuri dalam Jauharatut Tauhidberikut ini.
لا نكفر مؤمنا بالوزر) مفرع على ما ذكر أي فلا نكفر بالنون أي معاشر أهل السنة أو بالتاء أي أيها المخاطب أحدا من المؤمنين بارتكاب الذنب صغيرة كان الذنب أو كبيرة عالما كان مرتكبه أو جاهلا بشرط أن لا يكون ذلك الذنب من المكفرات كإنكار علمه تعالى بالجزئيات والا كفر مرتكبه قطعا وبشرط أن لا يكون مستحلا له وهو معلوم من الدين بالضرورة كالزنا وإلا كفر باستحلاله لذلك وخالفت الخوارج فكفروا مرتكب الذنوب وجعلوا جميع الذنوب كبائر كما سيأتي (ومن يمت ولم يتب من ذنبه فأمره مفوض لربه)
Artinya, “(Kita tidak boleh mengafirkan orang lain yang seiman karena sebuah dosa), ini rincian atas penjelasan sebelumnya. Kalau dibaca dengan ‘nun’, maka artinya ‘Kita sebagai penganut Ahlussunah tidak mengafirkan orang lain.’ Kalau dibaca dengan ‘ta’, maka artinya, ‘Kamu tidak boleh mengafirkan orang lain yang seiman karena ia telah berdosa baik dosa kecil maupun dosa besar, baik ia menyadari maupun tidak menyadari bahwa itu adalah dosa.’ Tentu dengan catatan bahwa dosa itu bukan termasuk dosa yang menyebabkannya menjadi kufur seperti pengingkaran atas pengetahuan Allah terhadap hal-hal yang kecil. Kalau seseorang mengingkari itu, maka ia jatuh ke dalam kekufuran. Di samping itu ia juga tidak menghalalkan larangan Allah yang sangat maklum dalam agama seperti larangan zina. Kalau seseorang menganggap halal larangan seperti itu, maka ia telah kufur karena telah menganggap halal larangan yang hukumnya sudah terang. Ahlusunnah berbeda dengan kelompok Khawarij. Khawarij mengafirkan orang seiman yang berbuat dosa dan mereka menganggap semua dosa itu sebagai dosa besar. (Orang beriman yang meninggal dunia sementara ia belum sempat bertobat, maka [kita] serahkan saja kepada Allah),” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyah Tuhfatil Murid ala Jauharatit Tauhid, Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabaiyah, tanpa tahun, halaman 112).
Saran kami, kita sebaiknya lebih bersemangat dalam sembahyang Jumat karena selain kewajiban, di dalamnya juga terdapat banyak keutamaan. Selagi tidak ada uzur yang memberatkan, sebaiknya kita menunaikan kewajiban sembahyang Jumat.
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
(Alhafiz Kurniawan
Wednesday, January 24, 2018
MENGUJI KEALIMAN ULAMA' TARIM
MENGUJI KEALIMAN ULAMA' TARIM
Oleh : Muhammad Rofiqul Firdaus (Mahasiswa tingkat dua, fakultas syariah wal qonun, Universitas al Ahgaff).
Tarim, salah satu kota kecil provinsi Hadhramaut yang semenjak dulu banyak dikenal di seluruh pelosok negri. Bukan karena kekayaan sumber daya alamnya, ataupun kemajuan ekonomi rakyatnya. Namun dikenal dengan intlektualitas dan kereligiusan penduduknya.
Tidak mengherankan jika dari kota kecil ini lahir para dai yang begitu berperan besar dalam mengislamkan dua pertiga penduduk dunia.
Kemasyhurannya itu membuat salah satu pembesar ulama Maroko penasaran dengan kulitas keilmuan ulama kota kecil ini. Karnanya beliau mengutus murid terbaiknya yang juga seorang ulama hebat untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit kepada ulama di sana, guna menguji sejauh mana ketajaman intelektual mereka.
Setelah memberikannya seekor kuda dan bekal yang cukup, murid itupun berangkat dari Maroko menuju Tarim. Kota yang terkenal itu.
Setelah menempuh perjalanan yang amat jauh murid itu pun akhirnya sampai di kota Tarim. Sambil memelankan kudanya murid itu melihat sekeliling kota. Lalu terlintas di benaknya,
"Sebenarnya apa sih maksud guruku mengutusku ke kota ini, di sini hanyalah kota kecil yang miskin dan mayoritas penduduknya adalah petani".
Tiba-tiba murid itu dikagetkan dengan sapaan seorang petani yang tiba-tiba menghentikan langkah kudanya,
"Assalamu'alaikum, tunggu".
Sapa seorang pemuda yang sebelumnya tengah bekerja di ladangnya.
Setelah menjawab salamnya murid itu menghentikan langkah kudanya.
Tiba-tiba pemuda itu berjalan ke belakang kuda murid itu lalu mengambil debu bekas pijakan kudanya dan menciumnya. Lalu berkata,
"Kamu Fulan bin Fulan ya? "
"Iya", jawab murid itu sambil melongo karena heran.
Lalu pemuda itu mengambil debu lagi dan kembali menciumnya.
"Kamu dari negeri Maroko, daerah ini, desa ini ya?".
Lagi-lagi murid itu mengangguk dan semakin heran. Dari mana pemuda ini tahu namanya dan daerah tempat tinggalnya.
Tidak berhenti di situ, pemuda itu mengambil debu lagi untuk yang ketiga kalinya dan menciumya lagi.
"Kamu diutus oleh gurumu, iya kan? Untuk menguji keilmuan ulama Tarim?".
Lagi-lagi murid itu tak bisa mengelak dan hanya menjawab,
"iya betul".
Bertambah heranlah murid itu dan semakin terbengong takjub. Karena penasaran murid itu langsung bertanya,
"Apakah yang barusan itu kasyf'?".
(Kasyf adalah karomah seorang wali yang bisa mengetahui segala rahasia-rahasia yang Allah SWT buka)
"Oh tidak, ini bukan kasyf. Ini ilmu debu namanya".
"Apa kamu di sana tidak diajarkan oleh gurumu tentang ilmu ini?" pemuda itu balik bertanya.
"Tidak, baru pertama kali saya dengar", kata murid itu sambil menunduk karena begitu malu. Ia tak lagi berani memandang wajah pemuda yang masih di samping kudanya.
Setelah mendengar jawaban murid itu, giliran pemuda itu yang tercengang karna heran.
"Loh masa, bagaimana bisa di sana tidak diajarkan ilmu ini?".
"Saya kira ilmu ini sudah begitu lumrah. Kalau ilmu syari'at, Alhamdulillah di sini sudah menjadi makanan sehari-hari kami".
"Silahkan ajukan pertanyaan anda barangkali saya bisa menjawabnya, sehingga anda tidak perlu lagi repot-repot mengajukannya kepada ulama kami", kata pemuda.
Karena begitu malu dan tidak tahu harus berkata apa lagi murid itu hanya berkata,
"Maaf, saya hanya melaksanakan perintah guru saya".
Dan akhirnya pamit undur diri.
Setelah sampai di daerahnya murid itu kembali menghadap gurunya dan berkata,
"Maafkan saya guru, saya belum sempat mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada ulama di sana."
Lalu menceritakan kronologis pertemuannya dengan pemuda itu. Gurunya memaklumi, dan akhirnya beliau paham apa rahasia dibalik kesuksesan ulama-ulama kota itu itu dalam berdakwah ke seantero dunia.
Bahwa dalam berdakwah tidak cukup sekedar pintar bercakap hanya bermodalkan ilmu syari'at, tapi harus juga matang dalam berbagai bidang keilmuan dan memiliki wawasan yang luas.
Pemuda dalam cerita ini adalah Al Habib Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqih.
Sampai-sampai guru beliau Qutbhul Ghauts Al Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad, berujar: "Demi Allah, tidak ada ulama yang lebih alim dari Alhabib Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqih di masanya".
Karena begitu dalamnya keilmuan beliau.
Cerita ini di dengar langsung dari Ustadz Abdullah Hadi Bakhuraisy, ustadz di Rubath Tarim di saat mengaji Muqaddimah Hadhramiyah Ba'da Maghrib.
اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه اجمعين
Monday, January 22, 2018
Manuskrip Tahlil Berusia 200 Tahun
Manuskrip Tahlil Berusia 200 Tahun
Biasanya para kiai NU kalau ditanya tahlilan dimulai dari kapan? Mereka akan menjawab "mulai wali songo" begitu juga ketika ditanya susunan kalimat tahlil itu dari siapa? Mereka menjawab "wali songo" jawaban tersebut ada benarnya.
Karena kami telah menemukan manuskrip tahlil dari kitab peninggalan mbah Kiai Haji Moch Ilyas (Penarip Mojokerto) yang berasal dari kesesi pekalongan dalam kitab tulisan tangan dari kertas kulit yang usianya lebih dari 200 tahun.
Tertulis "Ratib kang dilampahake kiai pondok Tegalsari (Ponorogo)" yang berdiri pada 1722 M. Kalimat-kalimatnya persis dengan yang ada sekarang termasuk sholawatnya yang tidak pernah kami temukan dari kitab-kitab Mu'tabaroh. Hanya saja ayat ayat al-Qur'an nya lebih banyak 2 kali lipat. Mungkin yang ada sekarang ini adalah ringkasan dan pada akhirnya ada do'a untuk arwah. Semoga ini bermanfaat fiddini waddunya wal akhiroh.
Tetep Istiqomah TAHLILAN, MANAQIBAN, SHOLAWATAN, ROTIBAN, ISTIGHOTSAHAN...
Copas sangking Kiai Muhammad Rofi'i Ismail Mojokerto Jawa Timur
SIAPAKAH AL BANI ITU?
SIAPAKAH AL BANI ITU?
Albani itu bukan Muhaddits, karena Muhaddits adlh orang yg mengumpulkan Hadits dan menerima Hadits dari para periwayat Hadits dan Albani tdk hidup di masa itu. Ia hanya menukil nukil dari sisa Buku- Buku Hadits yg ada pd zaman now
.
Ahmad bin Hanbal yg hafal 1.000.000 Hadits (1 juta hadits), berikut Sanad dan Hukum Matannya, hingga digelari Huffadhudduniya (Salah seorang yg paling bnyak hafalan Haditsnya di dunia), (Rujuk Tadzkiratul Huffadh dan siyar a\’lamunnubala) dan Beliau tak sempat menulis semua Hadits itu, beliau hnya sempat menulis sekitar 20.000 Hadits saja, maka 980.000 Hadits lainnya sirna ditelan zaman
.
Imam Bukhari hafal 600.000 Hadits berikut Sanad dan Hukum Matannya dimasa mudanya, namun beliau hnya sempat menulis sekitar 7.000 Hadits saja pada Shahih Bukhari dan bbrpa Kitab Hadits kecil lainnya, dan 593.000 Hadits lainnya sirna ditelan zaman
.
Demikian para Muhaddits besar lainnya, spt Imam Nasai, Imam Tirmidziy, Imam Abu Dawud, Imam Muslim, Imam Ibn Majah, Imam Syafii, Imam Malik dan Ratusan Muhaddits lainnya
.
Muhaddits adlh Orang yg berjumpa lngsung dgn Perawi Hadits, bukan jumpa dgn Buku Buku dan Albani hanya jumpa dengan SISA-SISA BUKU HADITS yg ada dimasa kini
.
Albani bukan pula Hujjatul Islam, yaitu gelar bagi yg telah hafal 300.000 Hadits berikut Sanad dan Hukum Matannya, bagaimana ia mau hafal 300.000 Hadits, sdgkan masa kini jika semua Buku Hadits yg tercetak itu dikumpulkan maka HANYA mencapai kurang dari 100.000 Hadits
.
Al Imam Nawawi itu adlh Hujjatul Islam, demikian pula Imam Ghazali, dan bnyak Imam-Imam lainnya
.
Albani bukan pula Alhafidh, ia tak hafal 100.000 Hadits dgn Sanad dan hukum Matannya, karena ia bnyak menusuk Fatwa para Muhadditsin, menunjukkkan ketidak fahamannya akan Hadits2 tsb
.
Albani bukan pula Almusnid, yaitu Pakar Hadits yg menyimpan bnyak Sanad Hadits yg sampai ada Sanadnya masa kini, yaitu dari dirinya, dari Gurunya, dari Gurunya, demikian hingga para Muhadditsin dan Rasulullah
Orang yg bnyak menyimpan Sanad spt ini digelari Al Musnid, sdgkan Albani tak punya satupun Sanad Hadits yg Muttashil
.
Berkata para Muhadditsin, \"Tiada Ilmu tanpa Sanad\" maksudnya semua Ilmu Hadits, Fiqih, Tauhid, Al Qur'an, mestilah ada jalur Gurunya kpd Rasulullah, atau kpd Sahabat, atau kpd Tabiin, atau kpd para Imam
.
Maka jika ada seorang mengaku Pakar Hadits dan berfatwa namun ia tak punya Sanad Guru, maka Fatwanya Mardud (tertolak), dan ucapannya Dhoif, dan tak bisa dijadikan Dalil utk diikuti, karena Sanadnya Maqtu\’
.
"Apa pendapat anda dgn seorang Manusia muncul di abad ini lalu menukil nukil sisa sisa Hadits yg tdk mencapai 10% dari Hadits yg ada dimasa itu, lalu berfatwa ini dhoif, itu dhoif"
.
"Saya sebenarnya tak suka bicara mengenai ini, namun saya memilih mengungkapnya ketimbang hancurnya Ummat karena tipuan seorang tong kosong"
#SantriLugu
Pertemuan Al Habib Umar bin Hafidz dengan Rosululloh SAW | Al Habib Alwi bin Abdullah Alaydrus
Pertemuan Al Habib Umar bin Hafidz dengan Rosululloh SAW | Al Habib Alwi bin Abdullah Alaydrus
SHOLAWAT NUR YANG LANGSUNG DARI ROSULULLOH SAW KE HABIB UMAR BIN HAFIZH BIN SYEIKH ABU BAKAR BIN SALIM
SHOLAWAT NUUR MUHAMMAD
ﺃَﻟﻠّٰﻬُﻢَّ ﺻَﻞِّ ﻋَﻠٰﻰ ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻧُﻮْﺭِﻙَ ﺍﻟﺴَّﺎﺭِﻱْ ﻭَﻣَﺪَﺩِﻙَ ﺍﻟْﺠَﺎﺭِﻱْ ﻭﺍﺟْﻤَﻌْﻨِﻲْ ﺑِﻪٖ ﻓِﻲ ﻛُﻞِّ ﺃَﻃْﻮَﺍﺭِﻱْ ﻭَﻋَﻠٰﻰ ﺁﻟِﻪٖ ﻭَﺻَﺤْﺒِﻪٖ ﻳَﺎﻧُﻮْﺭُ
ALLOHUMMA SHOLLI WA SALLIM ‘ALA SAYYIDINA MUHAMMAD NUURIKAS SAARI WA MADADIKAL JAARI WAJMA’NII BIHI FI KULLI ATHWAARI WA ‘ALA ALIHI WA SHOHBIHI YANNUUR.
Artinya :
“Ya Alloh, limpahkanlah sholawat dan salam kepada junjungan nabi besar Muhammad, sang cahaya-Mu yang selalu bersinar dan pemberian-Mu yang tak pernah putus dan kumpulkanlah aku dengan Rosululloh di setiap zaman serta sholawat untuk keluarganya dan sahabatnya, wahai sang cahaya.”
Sholawat tersebut di baca 10 x tiap selesai sholat fardhu dan ketika malam menjelang tidur.
Adapun faidahnya antara lain :
Untuk ketenangan batin, terang fikiran, cahaya hati dan fadhilah yg teragung adalah selalu mempunyai hubungan ikatan dan hubungan erat dengan Rosululloh SAW
Sunday, January 21, 2018
Fadilah sholat Sunnah antara Maqrib Dan isya'
Fadilah sholat Sunnah antara Maqrib Dan isya'
Jumlah yang paling banyak adalah 20 rakaat , sedangkan jumlah menengah nya adalah 6 Rakaat. Dalam hal ini , Baginda Nabi Saw bersabda :
من صلى بين العشائين عشرين ركعة بنى الله له بيتا فى الجنة .
Artinya : Barangsiapa yang sholat diantara Maqrib dan isya' sebanyak 20 rakaat , maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di syurga."
Dalam hadist lainnya, Baginda Nabi Saw juga bersabda :
من صلى بعد المغرب ست ركعات لا يتكلم فيما بينهن بشيئ عدلن له عبادة اثنتى عشر سنة
Artinya : " Barangsiapa yang sholat sunnah setelah maqrib sebanyak enam rakaat tanpa berbicara diantara rakaat-rakaat itu, maka keenam itu menyamai pahala beribadah selama dua belas tahun."
Dalam sebuah riwayat disebutkan , bahwa Al-Imam Ahmad bin abi al-Hawari Ra pernah meminta pendapat gurunya al- Imam Abu Sulaiman ra.
" Manakah yang lebih utama, berpuasa disiang hari atau menghidupkan antara maqrib dan isya" ??
Kemudian Al-Imam Abu Sulaiman ra Menjawab : " Gabungkanlah diantara keduanya ." Kemudian ia menjawab : " Aku tidak mampu karena jika aku sibuk dengan puasa , maka diwaktu itu aku akan sibuk berbuka." Lalu beliau berkata : " Jikalau engkau tidak mampu menggabungkan keduanya , maka tinggalkanlah puasa di siang hari dan hidupkanlah antara maqrib dan isya'."
Mengenai hal ini Sayyidah Aisyah berkata :
ماذخل رسول الله صلى الله عليه وسلم بيتى بعد العشاء الأخرة إلا صلى أربعا أو ستا.
Artinya :" Tidak pernah Rasulullah Saw masuk kerumahku Setelah Sholat Isya' yang ahir melainkan beliau sholat empat rakaat atau enam rakaat . "
Rasulullah Saw bersabda :
أربع ركعات بعد العشاء ، كمثلهن من ليلة القدر .
Artinya : " Empat Rakaat setelah sholat Isya" menyamai sholat empat rakaat di malam Lailatul Qadar.
(Risalatul Muawanah -
Imam Abdullah bin Alwi Al Haddad Ra)
Friday, January 19, 2018
ITUNGAN JOWO.~~~~ RAMALAN JEJODOHAN ~~~~
Monggo sedulur diwaos... 😌😌😌
ITUNGAN JOWO.~~~~ RAMALAN JEJODOHAN ~~~~
Miturut wong jowo jejodohan kui iso di ramal songko wetone ( dino lan pasarane di tambah ) sing lanang lan wadon temune piro.
Etungane.
1. PEGAT.
2. RATU.
3. JODOH.
4. TOPO.
5. TINARI.
6. PADU.
7. SUJANAN.
8. PESTHI.
Contoh :
~ LANANG lahir akad legi (akad 5 legi 5 jumlah 10)
~ WEDOK lahir seloso wage ( seloso 3 wage 4 jumlah 7 )
~ Berarti 10 + 7 = 17 ) utowo tibo PEGAT.
.
Lan iki penjelasane temone wong jejodohan.
1. PEGAT.
Yen tibo PEGAT bakal nemu masalah, mboh kui songko segi ekonomi, kekuasa'an, selingkuh sing akhir"e iso pegatan.
.
2. RATU.
Yen tibo RATU iki jodoh banget. Di ajeni karo tonggo teparo lan wongliyo. Akeh wong iri karo keharmonisane.
.
3. JODOH.
Yen tibo jodoh cocok siji karo sijine. Iso podo" nrimo keluwehan lan kekurangan. Omah" lancar teko tuwo.
.
4. TOPO.
Yen tibo TOPO iki awal"e susah nanging tembe mburi penak.
Awal"e kerep kenek masalah emboh kui songko segi ekonomi utowo liyone. Nanging yen wis nduwe anak lan wis suwe anggone omah" bakal mulyo uripe.
.
5. TINARI.
Yen tibo TINARI iki bakal nemu seneng.
Penak anggone golek rejeki lan ora sampek urip kekurangan. Penak'e tembung kerep nemu bejo anggone omah".
.
6. PADU.
Yen tibo PADU iki bakal sering tukaran. Nanging sejana saben ndino tukaran tapi ora sampek pegatan.
Mulo anggone omah" meh saben ndino tukaran emboh kui masalah opo ae.
.
7. SUJANAN.
Yen tibo SUJANAN iki kerep tukaran lan akeh" masalah selingkuh.
Emboh kui sing lanang po sing wadon opo malah loro"ne podo la nduwe selingkuhan.
.
8. PESTHI.
Yen tibo PESTHI iki omah"e bakal rukun, tentrem, adem ayem sampek tuwo.
Senajan eneng masalah opo ae ora bakal ngrusak keharmonisane.
.
Iki kabeh welinge simbah.
Mugo" sing gelem moco wawasane tambah.
»
1. PEGAT.
2. RATU.
3. JODOH.
4. TOPO.
5. TINARI.
6. PADU.
7. SUJANAN.
8. PESTHI.
9. PEGAT.
10. RATU.
11. JODOH.
12. TOPO.
13. TINARI.
14. PADU.
15. SUJANAN.
16. PESTHI.
17. PEGAT.
18. RATU.
19. JODOH.
20. TOPO.
21. TINARI.
22. PADU.
23. SUJANAN.
24. PESTHI.
25. PEGAT.
26. RATU.
27. JODOH.
28. TOPO.
29. TINARI.
30. PADU.
31. SUJANAN.
32. PESTHI.
33. PEGAT.
34. RATU.
35. JODOH.
36. TOPO
MENGAPA ASY-SYAFI’I MENGAMBIL RIWAYAT DARI IBROHIM BIN ABI YAHYA DALAM KITAB AL-UMM?
MENGAPA ASY-SYAFI’I MENGAMBIL RIWAYAT DARI IBROHIM BIN ABI YAHYA DALAM KITAB AL-UMM?
Kitab Al-Umm karya Asy-Syafi’i bukan hanya menjadi referensi induk fikih, tetapi juga menjadi sumber kitab hadis. Ada sekitar 4000 hadis dan atsar yang disebut lengkap dengan sanadnya oleh Asy-Syafi’i, sehingga Al-Umm layak dimasukkan ke dalam barisan “ummahat kutub haditsiyyah” (kitab-kitab hadis induk) yang menjadi sumber primer takhrij hadis. Resensi lebih detail tentang kitab al-Umm bisa dibaca pada tulisan saya yang berjudul “Mengenal Kitab Al-Umm Karya Asy-Syafi’i”.
Hanya saja, di antara hal yang diperbincangkan terkait Al-Umm adalah kenyataan bahwa Asy-Syafi’i mengambil riwayat dari syaikhnya yang dikenal sebagai perawi dhoif oleh kebanyakan ulama hadis, yakni Ibrohim bin Abi Yahya (إبراهيم بن أبي يحيى).
Nama lengkap tokoh yang kita perbincangkan di sini adalah Abu Ishaq Ibrohim bin Muhammad bin Abi Yahya Al-Madani. Abi Yahya adalah kakek Ibrohim. Nama aslinya Sam’an Al-Aslami. Sebagian ulama terkadang menisbatkan Ibrohim kepada kakeknya dari pihak ibu sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Juraij sehingga nasabnya disebut Ibrohim bin Muhammad bin Abi ‘Atho’. Beliau wafat pada tahun 184 H.
Adapun penilaian para kritikus hadis terhadap Ibrohim bin Abi Yahya secara ringkas adalah sebagai berikut.
Yahya bin Ma’in menyebutnya “kadzdzab rofidhi” (syiah pendusta). Ibnu Al-Madini dan Yahya Al-Qotthon menuduhnya berdusta. Ahmad menyebutnya berpaham qodariyyah, mu’tazilah dan Jahmiyyah. Ibnu Ma’in dan An-Nasai mengatakan “laisa bitsiqoh” (tidak tsiqoh). Bukhari mengatakan “beraliran Qodariyyah Jahmiyyah, dan ditinggalkan oleh Ibnu Al-Mubarok dan orang-orang”. Asy-Syafi’i sendiri menyebutnya “qodari” (berpaham qodariyyah). Ibnu Adi mengatakan “yuktabu haditsuhu” (hadisnya ditulis). Menurut Al-Husaini dalam “At-Tadzkiroh”, Asy-Syafi’i dan Al-Ashbahani mentsiqohkannya.
Apakah dengan penilaian para kritikus hadis terhadap Ibrohim bin Abi Yahya dan kenyataan bahwa Asy-Syafi’i mengambil riwayat darinya dalam Al-Umm membuat seluruh riwayat-riwayat dalam kitab Al-Umm menjadi cacat dan turun kualitasnya?
Jawabannya adalah tidak. Demikian penegasan Rif’at Fauzi saat mentahqiq “Al-Umm”. Hal tersebut tidak mengurangi kualitas dan mutu “Al-Umm” karena beberapa alasan. Di antaranya,
Pertama, mayoritas riwayat dalam kitab “Al-Umm” berasal dari dua imam besar dalam bidang hadis yaitu Imam Malik dan Imam Sufyan bin ‘Uyainah. Adapun riwayat Ibrohim bin Abi Yahya (dan perawi yang semisal dengannya yang dipandang perawi dhoif oleh kebanyakan para kritikus hadis), maka riwayat dari mereka jumlahnya sedikit. Jumlah yang sedikit inipun telah diperkuat Asy-Syafi’i dengan sejumlah riwayat “syawahid” dan “mutaba’at”
Kedua, jika diteliti dari jalur yang lain, maka akan didapati bahwa riwayat-riwayat Asy-Syafi’i dari Ibrohim bin Abi Yahya adalah sahih atau hasan. Jadi riwayat-riwayat Ibrohim bin Abi Yahya bisa digolongkan dalam riwayat “shahih lighoiriha” atau “hasan lighoiriha”
Ketiga, Asy-Syafi’i telah meneliti riwayat-riwayat Ibrohim bin Abi Yahya, dan beliau menyimpulkan bahwa perawi ini “tsiqoh”. Asy-Syafi’i adalah ulama yang luas ilmunya, cerdas, bertaqwa dan sangat berhati-hati dalam menerima riwayat. Jika beliau telah menyimpulkan status seorang perawi, maka itu berasal dari penelitian panjang beliau yang bertanggung jawab. Ketika murid Asy-Syafi’i yang bernama Ar-Robi’ ditanya mengapa Asy-Syafi’i meriwayatkan dari Ibrohim bin Abi Yahya, Ar-Robi’ menjawab (di antara alasannya adalah) karena Ibrohim bin Abi Yahya mengatakan “Jatuh dari langit lebih aku sukai daripada berdusta”. Oleh karena itu dalam meriwayatkan darinya terkadang Asy-Syafi’i mengatakan “haddatsani man la attahimu” (orang yang tidak kutuduh/kucurigai-berdusta- telah memberitahu aku)
Keempat, Ibrohim bin Abi Yahya terkesan ditsiqohkan oleh ulama di zaman Asy-Syafi’i juga. Buktinya saat Asy-Syafi’i berdebat, kemudian beliau membawakan riwayat yang diambil dari Ibrohim bin Abi Yahya untuk ditunjukkan sebagai hujjah kepada ulama yang berbeda pendapat dengan Asy-Syafi’i, ternyata para ulama yang berbeda pendapat itu tidak menolak hujjah Asy-Syafi’i dengan alasan bahwa Ibrohim bin Abi Yahya adalah perawi yang dhoif. Hal ini menunjukkan Ibrohim bin Abi Yahya ditsiqohkan oleh ulama yang sezaman dengan Asy-Syafi’i, karena jika perawi riwayat tersebut dhoif biasanya hujjah Asy-Syafi’i akan langsung ditolak dengan alasan perawi lemah tersebut.
Kasus yang mirip dengan Ibrohim bin Abi Yahya juga berlaku pada guru-guru Asy-Syafi’i yang diperbincangkan dari sisi ketsiqohannya meriwayatkan hadis seperti Muslim bin Kholid Az-Zanji, Ibrohim bin Abi Tau-amah, dan lain-lain.
Dari sini, bisa disimpulkan bahwa sebagian besar riwayat Asy-Syafi’i dalam Al-Umm adalah shahih dan menjadi sumber hadis sahih juga sebagaimana kitab-kitab hadis shahih. Riwayat-riwyat sisanya sekalipun (yang tidak ditegaskan dhoif oleh Asy-Syafi’i) juga bisa diterima bagi ulama yang menerima penilaian Asy-Syafi’i. Hanya saja, sebagian kecil riwayat yang dinukil dari perawi-perawi mukhtalaf tersebut dalam diskusi ilmiah tetap terbuka untuk dikritisi dan didikusikan. Tetapi yang mengkritisi haruslah pakar dan ahli di bidang tersebut agar manfaatnya luas bagi seluruh kaum muslimin.
رحم الله الشافعي رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
Versi Situs: http://irtaqi.net/2018/01/19/mengapa-asy-syafii-mengambil-riwayat-dari-ibrohim-bin-abi-yahya-dalam-kitab-al-umm/
****
Muafa
3 Jumada Al-Ula 1439 H
Kang Said
Kang Said
Sejak dulu, Kang Said atau Kiai Said (lengkapnya Prof. Dr. KH Said Aqiel Siradj), Ketua Umum PBNU, adalah salah satu tokoh dan sarjana Muslim Indonesia yang saya kagumi.
Sebutan "kang" ini sangat familiar di pesantren-pesantren tradisional khususnya yang berafiliasi ke NU. Tak perduli ia santri senior atau santri yunior, panggilannya tetap "kang". Panggilan "kang" juga sangat akrab di Cirebon (tempat Kang Said dilahirkan tahun 1953) atau Jawa Barat pada umumnya. Di kawasan ini, para ilmuwan, ulama atau kiai besar sudah biasa dipanggil "kang", bukan "ustad" seperti di jaman now.
Saya menangkap sebutan "kang" ini sebagai simbol kesahajaan, keakraban, dan kerendahatian komunitas santri khususnya, meskipun sudah mumpuni ilmunya dan berpuluh-puluh tahun mengaji dan tinggal di pesantren tapi tetap bersahaja, tawadlu, tidak sombong, dan tidak bisa menabung he he. Sangat kontras dengan generasi Muslim perkotaan jaman now yang meskipun baru mengenal Islam dan baru bisa mengaji tapi sudah rajin memberi fatwa, akhirnya jadilah "fatwamurgana" he he.
Saya mengetahui Kang Said sejak 1990an. Waktu itu saya sedang "gila-gilanya" menjadi aktivis mahasiswa di IAIN (kini UIN) Semarang, baik aktivis jurnalistik, aktivis diskusi, aktivis organisasi, maupun aktivis demo.
Tahun 1994, Kang Said juga baru saja menyelesaikan studi doktoralnya di Makah. Beliau belajar di Saudi selama 14 tahun (1980-1994): sejak S1 (di King Abdulaziz University, Jedah) sampai S2 dan S3 (di Universitas Ummul Qura, Makah). Sebelum kuliah di Saudi, Kang Said belajar di berbagai pondok pesantren di Crebon, Lirboyo dan Krapyak Yogyakarta. Jadi nyaris sejak balita, beliau sudah belajar studi keislaman.
Yang menarik adalah selama kuliah di Saudi, Kang Said bukan hanya belajar tentang khazanah keislaman (khususnya di bidang sejarah, teologi dan tasawuf) tetapi juga kekristenan. Beliau pernah menulis tesis master di Universitas Ummul Qura tentang Perjanjian Lama dan Surat-Surat Santo John.
Begitu selesai studi doktoral (disertasi beliau tentang pandangan kaum Sufi atas Tuhan dan alam), Kang Said langsung masuk jajaran elit PBNU, sebagai salah satu pengurus termuda. Gus Dur-lah, yang waktu itu sebagai Ketua Umum PBNU, yang memasukkan Kang Said ke jajaran elit PBNU. Sebetulnya bukan hanya memasukkan Kang Said ke PBNU, Gus Dur juga yang turut "mendidik" dan bahkan membela Kang Said ketika pemikiran-pemikiranya yang revolusioner itu diserang oleh sejumlah ulama dan kiai.
Sejak Kang Said kuliah di Saudi, Gus Dur sudah jatuh hati dengan dirinya bukan hanya lantaran Kang Said putra seorang ulama besar di Cirebon tapi juga karena beliau sangat mumpuni dalam hal kajian sejarah, teks, dan wacana keislaman klasik. Gus Dur juga sering mampir ke tempat Kang Said di Makah. Karena kekaguman Gus Dur kepada Kang Said, beliau pernah menyebut Kang Said "kamus berjalan".
***
Kang Said memang seperti "kamus berjalan". Beliau hafal diluar kepala tentang seluk-beluk dan pernik-pernik sejarah keislaman sampai nama-nama tokoh dalam sejarah awal perkembangan Islam dan penerusnya, baik tokoh protagonis maupun tokoh antagonis. Beliau juga hafal silsilah para ulama Islam, termasuk para perawi (yang meriwayatkan) Hadis. Beliau juga menguasai literatur-literatur keislaman klasik, pandai mendalil, hafal berbagai teks Islam, dan mahir berbahasa Arab dengan aksen Hijaz.
Kalau sedang ceramah dan mengisi seminar, Kang Said begitu lancar menguraikan tentang sejarah keislaman dengan dibumbui ayat, hadis, dan pendapat para ulama klasik. Tentu saja dengan humor juga sebagai ciri khas NU dan gaya santri tradisional. Gaya ceramahnya juga blak-blakan, ceplas-ceplos, tas-tes, to the point. Jadi enak dan semangat dengarnya.
Bukan hanya pandai ceramah, Kang Said juga pintar menulis. Beliau termasuk kiai-akademisi yang sangat produktif yang sudah melahirkan banyak karya akademik tentang keislaman sehingga sangat layak kalau mendapat gelar "guru besar". Tulisan-tulisan beliau juga sangat bernas dan mudah dicerna, tidak muter-muter alias mbulet seperti kecoa bunting kejebak macet di pasar Tanah Abang.
Itulah yang membuat saya dulu (sampai sekarang) kesengsem dan sangat ngefans dengan beliau. Dulu, berbagai karya dan pendapat beliau yang bernas dan "reformis" dijadikan sebagai rujukan di kalangan generasi muda NU/santri progresif untuk mereformasi kejumudan dan kebekuan berpikir di kalangan tradisional NU khususnya dan Muslim pada umumnya.
Dulu, tahun 1990an, saya melihat kehadiran Kang Said sebagai cendekiawan muda NU yahud bin hebring yang bisa meneruskan spirit intelektualisme dan aktivisme Gus Dur. Hingga kini pun saya masih menganggap Kang Said sebagai kiai NU top generasi 1950-an.
Melihat latar belakang pendidikan keislaman Kang Said yang sangat panjang sehingga mumpuni dalam kajian-kajian keislaman, maka sangat tidak "lepel" dan tidak pantas kalau beliau disandingkan atau dibandingkan dengan para "ustad karbitan", "dai seleb", "mubaligh mualaf", atau "penceramah abal-abal" yang hanya bermodal lawakan dan tampang lucu kayak badut pengkolan.
Tapi lucunya, sebagian umat Islam jaman now malah menghujat kiai beneran dan mumpuni kayak Kang Said dan memuja-muji barisan "ustad odong-odong" kayak Si Otong. Ya Mark Zuckerberg, apa salah bunda mengandung atau salah bapake yang menaruh burung.
Jabal Dhahran, Jazirah Arabia
Thursday, January 18, 2018
Muhkamat dan Mutasyabihat
Ringkasan Muhadloroh as Syaikh al Habib Muhammad Hassan Awkal di Mushola al Bayadir PP Mahir ar Riyadl Ringinagung :
*Muhkamat dan Mutasyabihat*
- Allah berfirman:
- (هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ)
[Surat Ali 'Imran 7]
- Ayat ini menjelaskan bahwa ayat-ayat al Qur'an terkelompokkan pada dua kelompok ayat; muhkamat dan mutasyabihat dan menegaskan bahwa ayat muhkamat adalah induk al Qur'an (umm al kitab) yg harus menjadi rujukan dalam memahami ayat mutasyabihat.
- Orang-orang Wahhabi selalu mendengung-dengungkan ayat mutasyabihat utk menyesatkan umat Islam.
- Agar kita selamat dr pengaruh paham Wahhabi maka kita harus mempunyai kaidah dalam beragama, kaidah itu adalah memahami dengan benar sifat-sifat wajib bagi Allah yang 20 (atau 13 menurut sebagian ulama Asy'ariyah)
- Ayat Muhkamat adalah ayat yg sudah jelas maknanya, karena dari segi bahasa arab hanya mengandung satu makna saja
- Ayat Mutasyabihat adalah ayat yg belum jelas maknanya, karena dalam bahasa arab mengandung lebih dari satu makna.
- Dalam memahami ayat mutasyabihat sebagian besar ulama salaf melakukan takwil ijmali; yaitu dg tidak memahami ayat tersebut dg makna dhohirnya dan menyerahkan maknanya kepada Allah, tanpa memberi makna tertentu
- Kebanyakan ulama kholaf melakukan takwil tafshili yaitu dg tidak memahami ayat mutasyabihat dg makna dhohirnya, disertai dengan menentukan makna tertentu pada ayat tersebut.
- Perbedaan pendapat ini dikarenakan perbedaan kebutuhan, pada masa salaf belum banyak menyebar akidah tasybih dan tajsim sehingga umat Islam telah mengetahui bahwa makna ayat tersebut bukan dhohirnya, sedangkan pada masa kholaf telah banyak menyebar paham tajsim dan tasybih yg menjadikan ayat mutasyabihat sebagai dalih pembenar akidah menyimpang mereka sehingga diperlukan pemberian makna tertentu terhadap ayat tersebut agar umat tidak bingung
- Namun bukan berarti tidak ada para ulama salaf yg mentakwil secara tafshili, imam al Bukhori (ulama salaf) dalam kitab Shohih, ketika menjelaskan firman Allah:
كل شيء الا وجهه
Beliau mengatakan:
أي إلا ملكه
Kecuali sifat kekuasaan Allah.
- Kelompok musyabbihah (yg menyerupakan Allah dg makhluk-Nya) sudah tertanam dalam hati mereka cinta tasybih (menyerupakan Allah dg makhluk-Nya) sebagaimana bani Israil yg telah terpatri dalam hati mereka cinta menyembah pedet. Allah berfirman :
( وَأُشْرِبُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْعِجْلَ بِكُفْرِهِمْ ۚ )
[Surat Al-Baqarah 93]
- Karena itu setiap mereka menemukan ayat-ayat mutasyabihat yg dhohirnya mengindikasikan bahwa Allah serupa dg makhluk maka mereka langsung mengambil makna tersebut. Misalnya ketika membaca ayat
الرحمن على العرش استوى
mereka langsung mengatakan bahwa maknanya Allah duduk di atas Arsy. Padahal dalam bahasa arab Istawa memiliki makna yg sangat banyak, lalu kenapa memilih duduk yg merupakan sifat makhluk?!, tdk ada lain karena telah tertanam dalam hati mereka aqidah tasybih. Padahal para ulama memaknai ayat tersebut dg Allah qoharo (menguasai) Arsy.
- Orang musyabihah wahhabi sering memprotes kita dg mengatakan: kenapa kalian (Aswaja) menggunakan istilah2 yg tdk ada dalam al Qur'an seperti Allah itu bukan jisim, Allah tidak disifati dg Aradl (sifat makhluk), Allah ada tanpa tempat dan seterusnya?! Kita jawab: kalian sampai surat al Ikhlash saja tidak memahaminya. Dalam surat itu Allah menjelaskan bahwa Allah tidak melahirkan (tidak punya anak) dan Allah tidak dilahirkan (tidak punya ibu bapak) dan ini adalah satu contoh bahwa Allah beda dengan makhluk-Nya, setelah itu Allah memberi kaidah kepada kita:
ولم يكن له كفوا أحد
"Tidak ada seorangpun yg menyerupai Allah"
dengan kaidah itu kita bisa menafikan penserupaan2 Allah yg lainya selain dua contoh yg disebutkan dalam surat itu.
Dengan demikian, al Qur'an telah memberi kaidah-kaidah kepada kita agar kita dapat mengambil kesimpulan dr kaidah-kaidah tersebut pada permasalahan2 yg lebih rinci
- Ketika orang-orang wahhabi dibantah mereka Mengatakan: "Allah duduk tidak seperti duduk kita", kita katakan: seakan-akan kalian membolehkan kita mengatakan: Allah sakit tidak seperti sakit kita, Allah tidur tidak seperti tidur kita, karena duduk itu sendiri adalah sifat makhluk dan tidak ada penetapannya dalam al Qur'an dan hadits.
- Untuk membantah syubhah wahhabi ketika berdalih ayat-ayat mutasyabihat utk menyerupakan Allah dg makhluk-Nya, cukup kita bacakan firman Allah:
ليس كمثله شيء
Karena ayat ini adalah ayat yg paling jelas dan tegas menyatakan bahwa Allah maha suci dr menyerupai makhluk-Nya.
Semoga bermanfaat
BAHAYA BERCEKCOK DENGAN ORANG SALIH
BAHAYA BERCEKCOK DENGAN ORANG SALIH
Suatu saat, ada seorang shahabat Nabi yang salih bernama Sa’id bin Zaid (سعيد بن زيد) yang ditengkari seorang wanita bernama Arwa binti Aus (أروى بنت أوس). Arwa menuduh Sa’id mengambil sebagian tanahnya secara curang. Arwa melaporkan Sa’id kepada penguasa waktu itu yang bernama Marwan bin Al-Hakam.
Tentu saja Sa’id membantah keras. Bagaimana mungkin Sa’id, seorang shahabat Nabi yang salih berani menzalimi orang lain dalam hal batas tanah sementara beliau pernah mendengar Rasulullah bersabda bahwa orang yang mencurangi batas tanah orang lain maka nanti tanah yang dicurinya itu akan dipikulkan padanya pada hari kiamat dengan dilipatkan sebanyak tujuh kali.
Mendengar fitnah dan tuduhan keji itu, maka Sa’id pun berdoa dengan suara yang bisa didengarkan Arwa dan Marwan, “Ya Allah jika wanita ini berdusta, butakanlah matanya, dan buatlah ia mati di tanahnya itu!”
Akhirnya betul kejadiannya demikian. Wanita itu di akhir hayatnya menjadi buta meraba-raba dinding. Dia mengakui bahwa itu adalah akibat doa Sa’id. Sampai suatu saat, ketika ia berjalan-jalan di tengah tanahnya, secara tidak sengaja dia terjatuh pada sumur yang ada di sana dan akhirnya menjadi kuburannya. Kisah ini disebutkan dalam sahih Al-Bukhari dan Muslim.
Kisah yang mirip juga pernah terjadi pada shahabat mulia yang dijamin masuk surga, yaitu Sa’ad bin Abi Waqqosh.
Sa’ad bin Abi Waqqosh pernah difitnah oleh orang Kufah yang bernama Abu Sa’dah Usamah bin Qotadah bahwa Sa’ad adalah pemimpin zalim dan tidak adil dalam membagi.
Demikian keji fitnah ini sampai Sa’ad berdoa, “Ya Allah jika hambamu ini (Abu Sa’dah) berdusta, tampil karena riya’ (ingin dipuji orang) dan karena sum’ah (ingin terkenal), maka panjangkan umurnya, buatlah lama kemiskinannya, dan timpakanlah berbagai fitnah kepadanya”. Akhirnya betul kejadian demikian. Abu Sa’dah berumur panjang, tua renta, miskin, dan berperilaku seperti orang sinting dengan menggoda gadis-gadis di jalan.
Berselisih dengan siapapun itu berbahaya, tetapi yang paling berbahaya justru berselisih dengan orang salih. Alasannya, berselisih dengan orang yang tidak salih urusannya hanya dengan manusia. Paling jauh efeknya hanya rugi dunia. Tetapi berselisih dengan orang salih, urusannya adalah langsung dengan Allah, karena Allah tidak akan terima kekasih-Nya disakiti. Berselisih dengan orang salih bisa jadi rugi dunia-akhirat. Jika orang salih sampai mendoakan keburukan akhirat kita karena saking keterlaluannya kita, bisa jadi benar-benar binasalah kita. Hancur dunia dan hancur pula akhirat.
Lihatlah Rasulullah. Kurang sabar apa beliau. Tetapi ketika gangguan Abu Jahal, ‘Utbah bin Robi’ah, Syaibah bin Robi’ah, Al-Walid bin ‘Utbah, Umayyah bin Kholaf dan Uqbah bin Abi Mu’aith sudah keterlaluan, maka beliau berdoa dengan doa keras secara khusus untuk mereka dengan menyebut nama mereka secara spesifik agar dibinasakan. Dan betul, orang-orang inipun disaksikan shahabat Nabi semuanya tewas dalam keadaan kafir di perang Badar.
Doa orang-orang salih yang pasti dikabulkan oleh Allah adalah bentuk karomah yang diberikan Allah kepada wali-wali-Nya, karena mereka adalah para kekasih Allah.
Hanya saja, yang harus hati-hati dalam menerima berita karomah yang terjadi sesudah masa kenabian adalah dalam hal pengaitan. Jangan mudah mengaitkan suatu kejadian dengan kejadian yang lain lalu distempel bahwa itu karomah. Harus ada bukti yang kuat untuk mengaitkannya. Tetapi juga jangan terlalu paranoid dalam menolak sehingga menafikan hal-hal yang sebenarnya sudah layak menjadi hujjah.
Harus hati-hati juga mengaitkan musibah yang menimpa seseorang yang ditafsirkan sebagai akibat berseteru dengan orang salih tertentu. Ketidakhati-hatian terhadap masalah ini bisa membahayakan orang yang diopinikan “wali”/”orang salih”, menyesatkan orang awam, dan menciptakan penokohan yang salah serta tidak pada tempatnya.
Termasuk hal yang harus ekstra hati-hati karena berbahaya bagi akhirat seorang hamba adalah ketika merasa memiliki karomah dan merasa menjadi wali. Ini adalah di antara seburuk-buruk ujub. Tidak ada orang salih yang merasa dirinya salih. Para wali itu justru merasa menjadi hamba yang sangat buruk di hadapan Rabbnya, tetapi Allah tahu bahwa dia adalah hamba yang salih sehingga dimuliakan oleh-Nya dengan karomah agar dikenal oleh hamba-Nya yang lain dan menjadi hujjah dalam sejumlah perkara dien. Hamba Allah yang benar-benar wali sekalipun, malah heran dan tidak merasa memiliki karomah, sebagaimana herannya Abu Bakar terhadap makanannya yang terus bertambah padahal terus diambili.
اللهم إنا نسألك حبك وحب من يحبك والعمل الذي يبلغنا حبك
Versi Situs: http://irtaqi.net/2018/01/18/bahaya-bercekcok-dengan-orang-salih/
****
Muafa
2 Jumada Al-Ula 1439 H
Monday, January 15, 2018
UMAR BIN ABDUL AZIZ DARI GARIS IBU
UMAR BIN ABDUL AZIZ DARI GARIS IBU
Umar bin Abdul Aziz yang disebut-sebut oleh ulama sebagai Khulafaurrosyidin kelima itu punya ibu, ibunya punya ibu, nah ibu ini punya kisah menarik dengan Amirul Mukminin Umar bin Khottob RA.
Suatu malam aku (Sayyidina Aslam) berpatroli menemani Umar bin Khottob di Madinah, ketika lelah beliau istirahat menyandar ke sebuah pagar di satu desa, kemudian terdengar suara seorang ibu yang tak berpunya berkata pada anaknya: “anakku, ayo buatlah susu dan campuri dengan air agar lebih menguntungkan”
“Wahai ibu, apa ibu tidak tau peraturan yang dibuat Amirul Mukminin hari ini?”
“Memangnya apa ketetapannya, anakku?” Tanya ibunya
Lalu anaknya menjawab: “Dia memberi pengumuman bahwa tidak diperbolehkan menjual susu yang sudah tercampur dengan air, sebab tak murni dan ada unsur merugikan yang lain”
“Anakku, sudahlah bikin saja susu campurkan air, toh Amirul Mukminin tidak melihatnya” kata sang ibu.
“Ibu, demi Allah aku tidak ingin mentaati Amir dalam keramaian lalu aku membangkangnya dalam sepi”
Umarpun terkejut mendengarnya, beliau langsung berkata “Aslam, ingat ingat tempat ini”. Dan keesokan harinya beliau menyuruh “Aslam, cari tau siapa yang berbicara tadi malam, bersama siapa, dan apakah dia punya suami.” Lalu akupun mendatangi tempat tersebut dan kutemui bahwa perempuan itu belum bersuami, ada ibunya dan tak ada seorang lelakipun disitu. Maka kukabari hal tersebut pada Amirul Mukminin, lalu beliau mengumpulkan putra-putranya: “adakah dari kalian yang menginginkan perempuan untuk kunikahkan?”
Sayyis Ashim, salah satu putranya berkata: “wahai ayahku, aku belum menikah maka nikahkanlah aku”
Kemudian beliau mengirimnya pada perempuan tersebut dan menikahkan mereka berdua, lahirlah seorang anak perempuan, dari anak ini kelak lahirlah Umar bin Abdul Aziz sang mujaddid pertama di dunia Islam, pemimpin terbaik sepanjang sejarah.
Memang bibit yang baik sangat ditentukan dari ibunya karena نساءكم حرث لكم, maka generasi mendatang adalah sangat bergantung pada calon-calon ibu yang benar tingkahnya. Kalau calon ibunya saja sudah keleleran masa mudanya, akan sulit nanti untuk mencetak generasi yang bermutu.
PENDIRI JATMAN
PENDIRI JATMAN
Pendiri JATMAN (Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah) ada 5 orang. Dua diantaranya adalah KH. Masykur dan KH. Idham Chalid. Tiga lainnya adalah KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri dan KH. Muslih Mranggen.
Al-Quthb Syaikh Muhammad Amin Kutbi berpesan kepada Muassis dan Mudir ‘Aam Jatman KH. Idham Chalid, “Idham, thariqah di Indonesia akan maju dan berkembang bila nanti dipimpin oleh seorang Habib yang bernama Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim Bin Yahya.”
Maka sepulangnya dari Mekkah, KH. Idham bertemu dengan Habib Luthfi Bin Yahya dan bersalaman dengan durasi yang lama tanpa berkata-kata, tapi Habib Luthfi bersuara berulang-ulang, “InsyaAllah, Pak Kiai, saya laksanakan.”
Hal ini membuat hadirin yang melihat pemandangan itu terheran-heran. Selidik punya selidik ternyata keduanya berkomunikasi batin. Kiai Idham bilang, “Habib, nanti kamu yang melanjutkan thariqah.”
Habib Luthfi Bin Yahya pun menjawab, “InsyaAllah, Pak Kiai, saya laksanakan.”
Saat Muktamar Thariqah, KH. Idham berucap kepada ulama yang hadir bahwa dirinya dalam JATMAN diibaratkan seperti orang yang membangun rumah sakit, namun dokter spesialisnya adalah Habib Luthfi Bin Yahya.
Tuan Guru Sekumpul Syaikh KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani berucap kepada KH. Syafriansyah, “KH. Idham Chalid itu penanggak kita. Beliau lebih dahulu menjadi wali quthub daripada aku. Kalau menyandingkan fotoku dengan beliau, letakkan posisi beliau di kananku.” (Nur Hidayatullah Yuzarsif).
Sunday, January 14, 2018
SILSILAH KEILMUAN PROF. KH. SAID AQIL SIRAJ, MA. (Ketua umum PBNU), jam'iyahnya para wali
*SILSILAH KEILMUAN PROF. KH. SAID AQIL SIRAJ, MA. (Ketua umum PBNU), jam'iyahnya para wali
Tak kenal maka tak sayang. Barangkali peribahasa itu tepat untuk menggambarkan keadaan Indonesia akhir-akhir ini, dimana orang tak hanya tak kenal dan tak sayang, tetapi bahkan justru memfitnah, membenci dan memaki, dengan orang yang belum dikenalnya di media. Tak terkecuali, berbagai fitnah, berita palsu (hoax) dan makian yang dialamatkan kepada Prof Dr KH Said Aqil Siradj, MA, Ketua Umum Ormas Islam terbesar di dunia: Nahdlatul Ulama (NU).
Untuk itu, tulisan ini sedikit mengupas profil beliau, sosok santri yang dulu pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia (MWA UI) itu dinobatkan oleh Republika sebagai Tokoh Perubahan Tahun 2012 karena kontribusinya dan komitmennya dalam mengawal keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan berperan aktif dalam perdamaian dunia, khususnya di kawasan Timur Tengah.
Ketika usia negara ini masih belia – delapan tahun – dan para pendiri bangsa baru beberapa tahun menyelesaikan “status kemerdekaan” Indonesia di Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, di sebuah desa bernama Kempek, Palimanan, Cirebon, Jawa Barat, senyum bahagia KH Aqil Siroj mengembang. Tepat pada 3 Juli 1953, Pengasuh Pesantren Kempek itu dianugerahi seorang bayi laki-laki, yang kemudian diberi nama Said.
Said kecil kemudian tumbuh dalam tradisi dan kultur pesantren. Dengan ayahandanya sendiri, ia mempelajari ilmu-ilmu dasar keislaman. Kiai Aqil sendiri – Ayah Said – merupakan putra Kiai Siroj, yang masih keturunan dari Kiai Muhammad Said Gedongan. Kiai Said Gedongan merupakan ulama yang menyebarkan Islam dengan mengajar santri di pesantren dan turut berjuang melawan penjajah Belanda.
“Ayah saya hanya memiliki sepeda ontel, beli rokok pun kadang tak mampu. Dulu setelah ayah memanen kacang hijau, pergilah ia ke pasar Cirebon. Zaman dulu yang namanya mobil transportasi itu sangat jarang dan hanya ada pada jam-jam tertentu,” kenang Kiai Said dalam buku Meneguhkan Islam Nusantara; Biografi Pemikiran dan Kiprah Kebangsaan (Khalista: 2015).
Setelah merampungkan mengaji dengan ayahanda maupun ulama di sekitar Cirebon, dan umur dirasa sudah cukup, Said remaja kemudian belajar di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur yang didirikan oleh KH Abdul Karim (Mbah Manaf). Di Lirboyo, ia belajar dengan para ustadz dan kiai yang merawat santri, seperti KH Mahrus Ali, KH Marzuki Dahlan, dan juga Kiai Muzajjad Nganjuk.
Setelah selesai di tingkatan Aliyah, ia melanjutkan kuliah di Universitas Tribakti yang lokasinya masih dekat dengan Pesantren Lirboyo. Namun kemudian ia pindah menuju Kota Mataram, menuju Ngayogyokarta Hadiningrat. Di Yogya, Said belajar di Pesantren Al-Munawwir, Krapyak dibawah bimbingan KH Ali Maksum (Rais Aam PBNU 1981-1984). Selain mengaji di pesantren Krapyak, ia juga belajar di IAIN Sunan Kalijaga, yang ketika itu KH Ali Maksum menjadi Guru Besar di kampus yang saat ini sudah bertransformasi menjadi UIN itu.
Ia merasa belum puas belajar di dalam negeri. Ditemani istrinya, Nurhayati, pada tahun 1980, ia pergi ke negeri kelahiran Nabi Muhammad SAW: Makkah Al-Mukarramah. Di sana ia belajar di Universitas King Abdul Aziz dan Ummul Qurra, dari sarjana hingga doktoral. Di Makkah, setelah putra-putranya lahir, Kang Said – panggilan akrabnya – harus mendapatkan tambahan dana untuk menopang keluarga. Beasiswa dari Pemerintah Saudi, meski besar, dirasa kurang untuk kebutuhan tersebut. Ia kemudian bekerja sampingan di toko karpet besar milik orang Saudi di sekitar tempat tinggalnya. Di toko ini, Kang Said bekerja membantu jual beli serta memikul karpet untuk dikirim kepada pembeli yang memesan.
Keluarga kecilnya di Tanah Hijaz juga sering berpindah-pindah untuk mencari kontrakan yang murah. “Pada waktu itu, bapak kuliah dan sambil bekerja. Kami mencari rumah yang murah untuk menghemat pengeluaran dan mencukupkan beasiswa yang diterima Bapak,” ungkap Muhammad Said, putra sulung Kang Said.
Dengan keteguhannya hidup ditengah panasnya cuaca Makkah di siang hari dan dinginnya malam hari, serta kerasnya hidup di mantan “tanah Jahiliyyah” ini, ia menyelesaikan karya tesisnya di bidang perbandingan agama: mengupas tentang kitab Perjanjian Lama dan Surat-Surat Sri Paus Paulus. Kemudian, setelah 14 tahun hidup di Makkah, ia berhasil menyelesaikan studi S-3 pada tahun 1994, dengan judul: Shilatullah bil-Kauni fit-Tashawwuf al-Falsafi (Relasi Allah SWT dan Alam: Perspektif Tasawuf). Pria yang terlahir di pelosok Jawa Barat itu mempertahankan disertasinya – diantara para intelektual dari berbagai dunia – dengan predikat Cumlaude.
Ketika bermukim di Makkah, ia juga menjalin persahabatan dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). “Gus Dur sering berkunjung ke kediaman kami. Meski pada waktu itu rumah kami sangat sempit, akan tetapi Gus Dur menyempatkan untuk menginap di rumah kami. Ketika datang, Gus Dur berdiskusi sampai malam hingga pagi dengan Bapak,” ungkap Muhammad Said bin Said Aqil. Selain itu, Kang Said juga sering diajak Gus Dur untuk sowan ke kediaman ulama terkemuka di Arab, salah satunya Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki.
Setelah Kang Said mendapatkan gelar doktor pada 1994, ia kembali ke tanah airnya: Indonesia. Kemudian Gus Dur mengajaknya aktif di NU dengan memasukkannya sebagai Wakil Katib ‘Aam PBNU dari Muktamar ke-29 di Cipasung. Ketika itu, Gus Dur “mempromosikan” Kang Said dengan kekaguman: “Dia doktor muda NU yang berfungsi sebagai kamus berjalan dengan disertasi lebih dari 1000 referensi,” puji Gus Dur. Belakangan, Kang Said juga banyak memuji Gus Dur. “Kelebihan Gus Dur selain cakap dan cerdas adalah berani,” ujarnya, dalam Simposium Nasional Kristalisasi Pemikiran Gus Dur, 21 November 2011 silam.
Setelah lama akrab dengan Gus Dur, banyak kiai yang menganggap Kang Said mewarisi pemikiran Gus Dur. Salah satunya disampaikan oleh KH Nawawi Abdul Jalil, Pengasuh Pesantren Sidogiri, Pasuruan, ketika kunjungannya di kantor PBNU pada 25 Juli 2011. Kunjungan waktu itu, merupakan hal yang spesial karena pertama kalinya kiai khos itu berkunjung ke PBNU – di dampingi KH An’im Falahuddin Mahrus Lirboyo. Kiai Nawawi menganggap bahwa Kang Said mirip dengan Gus Dur, bahkan dalam bidang ke-nyelenehan-nya.
“Nyelenehnya pun juga sama,” ungkap Kiai Nawawi, seperti dikutip NU Online. “Terus berjuang di NU tidak ada ruginya. Teruslah berjuang memimpin, Allah akan selalu meridloi,” tegas Kiai Nawawi kepada orang yang diramalkan Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU di usia lebih dari 55 tahun itu.
Menjaga NKRI dan mengawal perdamaian dunia.
Pada masa menjelang kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1936, para ulama NU berkumpul di Banjarmasin untuk mencari format ideal negara Indonesia ketika sudah merdeka nantinya. Pertemuan ulama itu menghasilkan keputusan yang revolusioner: (1) negara Darus Salam (negeri damai), bukan Darul Islam(Negara Islam); (2) Indonesia sebagai Negara Bangsa, bukan Negara Islam. Inilah yang kemudian menginspirasi Pancasila dan UUD 1945 yang dibahas dalam Sidang Konstituante – beberapa tahun kemudian. Jadi, jauh sebelum perdebatan sengit di PPKI atau BPUPKI tentang dasar negara dan hal lain sebagainya, ulama NU sudah terlabih dulu memikirkannya.
Pemikiran, pandangan dan manhaj ulama pendahulu tentang relasi negara dan agama (ad-dien wa daulah) itu, terus dijaga dan dikembangkan oleh NU dibawah kepemimpinan Kang Said. Dalam pidatonya ketika mendapat penganugerahan Tokoh Perubahan 2012 pada April 2013, Kiai Said menegaskan sikap NU yang tetap berkomitmen pada Pancasila dan UUD 1945. “Muktamar (ke-27 di Situbondo-pen) ini kan dilaksanakan di Pesantren Asembagus pimpinan Kiai As’ad Syamsul Arifin. Jadi, pesantren memang luar biasa pengaruhnya bagi bangsa ini. Meski saya waktu itu belum menjadi pengurus PBNU,” kata Kiai Said, mengomentari Munas Alim Ulama NU 1983 dan Muktamar NU di Situbondo 1984 yang menurutnya paling fenomenal dan berdampak dalam pandangan kebangsaan.
Sampai kini, peran serta NU dalam hal kebangsaan begitu kentara kontribusinya, baik di level anak ranting sampai pengurus besar, di tengah berbagai rongrongan ideologi yang ingin menggerogoti Pancasila sebagai dasar negara. Hal ini tercermin dalam berbagai kegiatan dan program NU yang selalu mengarusutamakan persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam konteks ini, Kiai Said sangat berpengaruh karena kebijakan PBNU selalu diikuti kepengurusan dibawahnya – termasuk organisasi sayapnya.
Salah satu peran yang cukup solutif, misalnya, ketika beliau menaklukkan Ahmad Mushadeq – orang yang mengaku sebagai Nabi di Jakarta dan menimbulkan kegaduhan nasional – lewat perdebatan panjang tentang hakikat kenabian (2007). “Alhamdulillah, doa saya diterima untuk bertemu ulama, tempat saya bermudzakarah (diskusi). Sekarang saya sadar kalau langkah saya selama ini salah,” aku Mushadeq. Disisi lain, Kang Said juga mengakui kehebatan Mushadeq. “Dia memang hebat. Paham dengan asbabun nuzul Al-Qur’an dan asbabul wurud Hadits. Hanya sedikit saja yang kurang pas, dia mengaku Nabi, itu saja,” jelas Kiai Said seperti yang terekam dalam Antologi NU: Sejarah, Istilah, Amaliah dan Uswah (Khalista & LTN NU Jatim, Cet II 2014).
Kiai yang mendapat gelar Profesor bidang Ilmu Tasawuf dari UIN Sunan Ampel Surabaya ini bersama pengurus NU juga membuka dialog melalui forum-forum Internasional, khususnya yang terkait isu-isu terorisme, konflik bersenjata dan rehabilitasi citra Islam di Barat yang buruk pasca serangan gedung WTC pada 11 September 2001. Ia juga kerapkali membuat acara dengan mengundang ulama-ulama dunia untuk bersama-sama membahas problematika Islam kontemporer dan masalah keumatan.
Pada Jumat, 7 Maret 2014, Duta Besar Amerika untuk Indonesia Robert O. Blake berkunjung ke kantor PBNU. Ia menginginkan NU terlibat dalam penyelesaian konflik di beberapa negara. “Kami berharap NU bisa membantu penyelesaian konflik di negara-negara dunia, khususnya di Syria dan Mesir. NU Kami nilai memiliki pengalaman membantu penyelesaian konflik, baik dalam maupun luar negeri,” kata Robert, seperti dilansir NU Online. “Sejak saya bertugas di Mesir dan India, saya sudah mendengar bagaimana peran NU untuk ikut menciptakan perdamaian dunia,” imbuhnya.
Raja Yordania Abdullah bin Al-Husain (Abdullah II) juga berkunjung ke PBNU. Ia ditemui Kiai Said, meminta dukungan NU dalam upaya penyelesaian konflik di Suriah. “Di Timur Tengah, tidak ada organisasi masyarakat yang bisa menjadi penengah, seperti di Indonesia. Jika ada konflik, bedil yang bicara,” ungkap Kiai Said.
Selain itu, menguapnya kasus SARA di Indonesia belakangan juga kembali marak muncul ke permukaan. “Munculnya kerusuhan bernuansa agama memang sangat sering kita temukan. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia harus terus belajar pentingnya toleransi dan kesadaran pluralitas. Sikap toleransi tersebut dibuktikan oleh Kaisar Ethiopia, Najashi (Negus) ketika para sahabat ditindas oleh orang-orang Quraisy di Mekkah dan memutuskan untuk hijrah ke Ethiopia demi meminta suaka politik kepadanya. Kaisar Negus yang dikenal sebagai penguasa beragama Nasrani itu berhasil melindungi para sahabat Nabi Muhammad SAW dari ancaman pembunuhan kafir Quraisy,” tulis Kiai Said dalam Dialog Tasawuf Kiai Said: Akidah, Tasawuf dan Relasi Antarumat Beragama (Khalista, LTN PBNU & SAS Foundation, Cet II, 2014).
Menghadapi potensi konflik horisontal itu, NU juga tetap mempertahankan gagasan Darus Salam, bukan Darul Islam, yang terinspirasi dari teladan Nabi Muhammad dalam Piagam Madinah. Dalam naskah tersebut, nabi membuat kesepakatan perdamaian, bahwa muslim pendatang (Muhajirin) dan muslim pribumi (Anshar) dan Yahudi kota Yastrib (Madinah) sesungguhnya memiliki misi yang sama, sesungguhnya satu umat. Yang menarik, menurut Kiai Said, Piagam Madinah – dokumen sepanjang 2,5 halaman itu – tidak menyebutkan kata Islam. Kalimat penutup Piagam Madinah juga menyebutkan: tidak ada permusuhan kecuali terhadap yang dzalim dan melanggar hukum. “Ini berarti, Nabi Muhammad tidak memproklamirkan berdirinya negara Islam dan Arab, akan tetapi Negara Madinah,” terang Kiai Said.
Selain itu, menurutnya, faktor politis juga kerapkali mempengaruhi, bukan akidah atau keyakinan. “Seperti di masa Perang Salib, faktor politis dan ekonomis lebih banyak menyelimuti renggangnya keharmonisan kedua umat bersaudara tersebut di Indonesia. Dengan demikian, kekeruhan hubungan Islam-Kristen tidak jarang dilatarbelakangi nuansa politis yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama itu sendiri,” ungkapnya, dalam buku Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi.
***
Ditengah agenda Ketua Umum PBNU yang sedemikian padat, Kiai Said dewasa ini diterpa berbagai fitnah, hujatan dan bahkan makian dari urusan yang remeh-temeh sampai yang menyangkut urusan negara. Ia dituduh agen Syiah, Liberal, antek Yahudi, pro Kristen, dan fitnah-fitnah lain oleh orang yang sempit dalam melihat agama dan konsep kemanusiaan dan kebangsaan.
Meski demikian, ia toh manusia biasa – yang tak luput dari salah, dosa dan kekurangan – bukan seorang Nabi. Artinya, kritik dalam sikap memang wajar dialamatkan, tetapi tidak dengan hujatan, fitnah, dan berita palsu, melainkan dengan kata yang santun. Terkait hal ini, dalam suatu kesempatan ia memberi tanggapan kepada para haters-nya. Bukannya marah, Kiai Said justru menganggap para pembenci dan pemfitnah itu yang kasihan. Dan sebagai orang yang tahu seluk beluk dunia tasawuf, tentu dia sudah memaafkan, jauh sebelum mereka meminta maaf atas segenap kesalahan. Wallahu a’lam.