Pustakamuhibin.club ~ Saat di Pondok Pesantren Kedung Madura Sidoarjo asuhan Kiai Nidlomuddin, murid Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhrami pengarang kitab Safinatun Najah, KH. M. Shalih Tsani dengan KH. M. Kholil Bangkalan terjalin hubungan persahabatan yang sangat akrab. Keduanya dikenal sebagai santri yang cerdas, tekun dan alim, meskipun memiliki fokus belajar yang berbeda. KH. Shalih Tsani lebih menekuni ilmu fiqih sedangkan KH. Kholil Bangkalan lebih banyak menekuni ilmu alat (nahwu-sharaf).
Terkait dengan fokus belajar kedua calon kiai besar tersebut ada sebuah anekdot yang mereka ciptakan. Disebutkan bahwa Kiai Kholil pernah bercanda kepada Kiai Shalih saat sedang muthalaah kitab fiqih. Kata Mbah Kholil, “Buat apa Sampeyan mempelajari kitab-kitab fiqih, toh di Indonesia tidak akan pernah ada orang zakat onta?”
Maka kelakar bernada sindiran itu pun dijawab oleh Kiai Shalih, “Buat apa Sampeyan mempelajari ilmu nahwu-sharaf sampai bertahun-tahun, toh kelak kitab-kitab kuning akan banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa kita?”
Jika kita saksikan perkembangan dewasa ini tampaknya apa yang diucapkan KH. Shalih Tsani satu abad yang lalu, kini telah menjadi kenyataan. Sekarang sudah banyak dijumpai kitab-kitab kuning yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa (pemutihan kitab kuning).
Meskipun demikian, bukan berarti ilmu nahwu-sharaf sudah tidak diperlukan lagi, karena ilmu tersebut merupakan salah satu alat utama untuk menghantarkan kita dapat memahami kitab kuning dan menerjemahkanya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Jawa.
Pernyatan kedua calon kiai tersebut rupanya berhikmah. Anekdot menunjukkkan keintiman persahabatan mereka dan sekaligus menunjukkan betapa jeli penglihatan mereka terhadap kehidupan mendatang. Selain itu mungkin juga keduanya berharap agar kedua ilmu tersebut terus dipelihara dan bahkan dijadikan ciri khas mata pelajaran di pondok pesantren
No comments:
Post a Comment