Monday, February 5, 2018

Kiai Mas Alwi Pencetus Nama “Nahdlatul Ulama”

Pustakamuhibbin.club ~ Kiai Mas Alwi bin Abdul Aziz adalah salah satu pendiri Nahdlatul Ulama yang jarang diketahui. Kiai Mas Alwi bersama Kiai Abdul Wahhab Hasbullah dan Kiai Ridlwan Abdullah, ketiganya bergerak secara aktif sejak NU belum didirikan. Menurut keluarga Kiai Ridlwan Abdullah, yang pertamakali mengusulkan nama “Nahdlatul Ulama” adalah Kiai Mas Alwi. Namun Kiai Mas Alwi hampir tak disebut dalam beberapa sejarah NU, mungkin karena beliau tidak dikarunia keturunan dan dikeluarkan dari silsilah keluarga, sebagaimana yang akan disampaikan nanti.

Tidak ada data yang pasti mengenai kelahiran Kiai Mas Alwi. Hanya ditemukan petunjuk dari kisah Kiai Mujib Ridlwan bahwa ketiga kiai sahabat tersebut di atas adalah orang-orang yang tidak terlalu jauh jaraknya dalam hal usia. Disebutkan bahwa di awal-awal berdirinya NU yakni tahun 1926, usia Kiai Ridlwan 40 tahun, Kiai Wahab 37 tahun dan Kiai Mas Alwi 35 tahun. Dengan demikian, Kiai Mas Alwi diperkirakan lahir pada sekitar tahun 1890-an. Kiai Mas Alwi merupakan putra kiai besar kala itu, yaitu KH. Abdul Aziz, keturunan dari Sunan Ampel Surabaya.

Ketiga kiai di atas bukan sosok yang baru bersahabat ketika mendirikan sekolah Nahdlatul Wathan, namun jauh sebelum itu, ketiganya telah bersahabat sejak berada di Pesantren Mbah Kholil Bangkalan Madura. Kiai Ridlwan mengisahkan kepada putranya, Kiai Mujib, bahwa Kiai Wahab dan Kiai Mas Alwi adalah dua kiai yang sudah terlihat hebat sejak berada di pesantren, baik kecerdasan  dan kepandaiannya. Dua kiai tersebut kemudian melanjutkan ke Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo, kemudian ke Makkah termasuk juga Kiai Ridlwan Abdullah.

Kiai Mas Alwi bersama Kiai Ridlwan Abdullah, Kiai Wahab Hasbullah dan saudara sepupunya, Kiai Mas Mansur, turut membidani berdirinya sekolah Nahdlatul Wathan. Kiai Mas Mansur yang kemudian menjadi kepala sekolah sebelum terpengaruh pemikiran pembaharuan Islam di Mesir yang akhirnya menjadi pengikut Muhammadiyah.

Namun, setelah tersiar kabar bahwa Kiai Mas Alwi ikut kerja dalam pelayaran, maka beliau dipecat dari sekolah tersebut. Akan tetapi sepulang dari Eropa beliau diterima kembali mengajar di Nahdlatul Wathan, dan justru Kiai Mas Mansur yang akhirnya dipecat oleh para kiai karena telah terpengaruh pemikiran Muhammad Abduh.

Saat merebaknya isu “Pembaharuan Islam” (Renaissance), Kiai Mas Mansur, adik sepupu Kiai Mas Alwi mempelajarinya ke Mesir, kepada Muhammad Abduh. Maklum, Mas Mansur adalah keluarga yang mampu secara finansial sehingga dapat mencari ilmu ke Mesir. Sementara Kiai Mas Alwi bukan dari keluarga yang kaya. Oleh karenanya Kiai Mas Alwi berkata,“Apa sih yang sebenarnya dicari oleh Adik Mansur ke Mesir? Renaissance atau pembaharuan itu tempatnya di Eropa.”

Maka Kiai Mas Alwi pun berusaha untuk mengetahui apa sebanarnya renaissance ke Eropa. Saat itu beliau pergi ke Belanda dan Prancis dengan mengikuti pelayaran. Di masa itu, orang yang bekerja sebagai pelayaran mendapat stigma yang sangat buruk dan memalukan bagi keluarga. Sebab pada umumnya pekerja pelayaran selalu melakukan perjudian, zina, mabuk dan perbuatan buruk lainnya. Sejak saat itulah keluarga Kiai Mas Alwi mengeluarkannya dari silsilah keluarga dan ‘diusir’ dari rumah.

Setiba di tanah air, Kiai Mas Alwi dikucilkan oleh para sahabat dan tetangganya. Akhirnya Kiai Mas Alwi membuka warung kecil di daerah Jl. Sasak, dekat wilayah Ampel untuk berjualan memenuhi hajat hidupnya. Mengetahui beliau datang, Kiai Ridlwan mendatanginya, lalu Kiai Mas Alwi berkata, “Kenapa Kang, sampean datang ke sini, nanti sampean akan dicuci pakai debu sama kiai-kiai lainnya, sebab warung saya ini sudah dianggap mughaladzah.”

Kiai Ridlwan menjawab, “Dik Mas Alwi, sebenarnya apa yang sampean lakukan sampai pergi pelayaran ke Eropa?”

Kiai Mas Alwi menjawab, “Begini Kang Ridlwan. Saya ini ingin mencari renaissance, apa sih sebenarnya renaissance itu. Lah, Adik Mansur mendatangi Mesir untuk mempelajari renaissance itu salah, sebab tempatnya renaissance itu ada di Eropa. Coba sampean lihat nanti kalau Dik Mansur datang, dia pasti akan berkata begini, begini dan begini…” (maksudnya adalah kembali ke al-Quran dan hadits, tidak bermadzhab, tuduhan bid’ah dan sebagainya).

Beliau melanjutkan, “Renaissance yang ada di Mesir itu sudah tidak murni lagi Kang Ridlwan, sudah dibawa makelar. Lha orang-orang itu mau melakukan pembaharuan dalam Islam, apanya yang mau diperbaharui, Islam itu sudah sempurna, sudah tidak ada lagi yang diperbaharui. Al-Quran sudah jelas menyatakan: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. al-Maidah ayat 3).

Dari perjalanan beliau ke Eropa menemukan hakikat renaissance yang ada dalam dunia Islam, adalah upaya pecah belah yang dihembuskan oleh dunia Barat, khususnya Belanda dan Prancis. Lalu Kyai Ridlwan bertanya, “Dari mana sampean tahu?”

Kiai Mas Alwi menjawab, “Karena saya berhasil masuk ke tempat-tempat perpustakaan di Belanda.”

Kiai Ridlwan bertanya lebih jauh, “Bagaimana caranya sampean bisa masuk?”

Kiai Mas Alwi menjawab, “Dengan menikahi wanita Belanda yang sudah saya Islamkan. Dialah yang mengantar saya ke banyak perpustakaan. Untungnya saya tidak punya anak dengannya.”

Setelah Kiai Mas Alwi menceritakan perjalanan panjangnya ke Eropa, maka Kiai Ridlwan berkata, “Begini Dik Alwi, saya ingin menjadi pembeli terakhir di warung ini.”

Kiai Mas Alwi menjawab, “Ya jelas terakhir, Kang Ridlwan, karena ini sudah malam.”

Kyai Ridlwan berkata, “Bukan begitu. Sampean harus kembali lagi ke sekolah Nahdlatul Wathan. Sebab saya sekarang sudah tidak ada yang membantu. Kiai Wahab sekarang lebih aktif di Tashwirul Afkar. Sampean harus membantu saya.”

Di pagi harinya, sebelum Kiai Ridlwan sampai di sekolah, ternyata Kiai Alwi sudah ada di sekolah Nahdlatul Wathan. “Kok sudah ada di sini?” tanya Kiai Ridlwan.

Kiai Mas Alwi menjawab, “Ya, Kang Ridlwan, tadi malam saya tawarkan warung saya ternyata laku dibeli orang. Makanya uangnya ini kita gunakan untuk sekolah ini.”

Kedua kiai tersebut kemudian kembali membesarkan sekolah Nahdlatul Wathan.

Nama “Nahdlatul Ulama”

Sebagaimana disebutkan dalam kisah berdirinya NU oleh KH.R. As’ad Syamsul Arifin, sebelum 1926 Kiai Hasyim Asy’ari telah berencana membuat organisasi “Jam’iyyah Ulama”, atau perkumpulan ulama. Saat didirikan dan mau diberi nama, para kiai berpendapat dan mengusulkan nama-nama yang berbeda. Namun Kiai Mas Alwi mengusulkan nama “Nahdlatul Ulama”.

Mulanya, Kiai Hasyim Asy’ari yang memimpin rapat para ulama waktu itu menyerahkan kepada peserta yang hadir apa nama jam’iyyah ulama yang akan didirikan? Yang pertama mengusulkan nama adalah KH. Abdul Hamid Maskumambang Gresik dengan memberi nama Nuhudlul Ulama.

Dengan sangat apik, usulan ini diapresiasi dan dipertegas oleh Kiai Mas Alwi bahwa kebangkitan para ulama sudah terjadi jauh hari sebelum Komite Hijaz digelorakan. Hanya saja sifatnya belum terorganisir, belum masif dan belum serentak, juga masih banyak ulama yang sekadar berkecimpung dalam pondok pesantrennya saja atau mengurusi permasalahan lokal saja. Belum berfikir secara menyeluruh bersatu padu dalam satu gerakan.

Karena itu, jam’iyyah ulama yang akan dibentuk sebaiknya dinamai “Nahdlatul Ulama”.

Kiai Hasyim bertanya, “Kenapa ada Nahdlah, kok tidak Jam’iyah Ulama saja?”

Kiai Mas Alwi menjawab, “Karena tidak semua kiai memiliki jiwa Nahdlah (bangkit). Ada kiai yang sekadar mengurusi pondoknya saja, tidak mau peduli terhadap jam’iyyah.”

Dengan demikian Nahdlatul Ulama mengandung makna tersirat sebagai sebuah gerakan serentak ulama yang terkoordinasi dan gerakan bersama-sama yang terorganisasi dengan rapi dan teratur. Dan mewadahi semua ulama dan mengajak bangkit, mengajak bersatu kepada ulama yang belum bergabung dengan gerakan ini.

Semua kiai yang hadir pada masa itu langsung secara aklamasi menyetujui cetusan ini. Maka dengan demikian, dengan direstui oleh Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari berdirilah jam’iyyah Muslimin dengan nama Nahdlatul Ulama.

Kiprah Kiai Mas Alwi tidak kalah besar dengan para pendiri NU yang lain. Beliaulah yang menemukan akar masalah utama mengapa Nahdlatul Ulama harus didirikan. Yaitu karena adanya isu pembaharuan yang sebenarnya dihembuskan dari dunia Barat. Pengorbanan beliau dalam masalah ini tidak main-main, harus menanggung resiko besar dikeluarkan dari daftar keluarga sekaligus hak warisnya. Namun beliau tetap melanjutkan tekadnya tersebut.

Belum ada data yang pasti kapan Kiai Mas Alwi wafat. Namun beliau dimakamkan di pemakaman umum di Rangkah, yang sudah lama tak terawat bahkan pernah berada dalam dapur pemukiman liar yang ada di tanah kuburan umum. Saat itu KH. Asep Saefuddin, Ketua PCNU Kota Surabaya 1995-2000, mengerahkan Banser untuk menertibkan rumah-rumah yang merambah ke makam Kiai Mas Alwi. Maka sejak saat itu makam beliau mulai dibangun dan diberi pagar.(Dimoderasi dari tulisan KH. Ma’ruf Khozin oleh Syaroni As-Samfuriy

No comments:

Post a Comment