Tuesday, June 20, 2017

Makanan syubhat

Mbah KH. Maimoen Zubair, juga sangat berhati hati mengenai makanan. Kalau makanan buat keluarga, beliau memakan dari harta yang dihasilkan oleh tanah pertanian beliau. Kalau untuk kebutuhan pondok dari beberapa amplop dari orangtua santri. Kalau untuk aktivitas politik maka beliau menggunakan uang pemberian politisi/amplop sangu. Demikian juga saat beraktivitas di NU, beliau menggunakan dana pribadi. Bahkan, pernah ketika beliau diundang untuk hadir di acara politik di Jakarta, beliau memilih memproses makanan sendiri di kamar hotel, karena sejak awal sudah membawa ricecooker sendiri, beras, dan beberapa lauk yang diawetkan. Almaghfurlah KH. Abdullah Faqih, Langitan, juga mengatur keuangan untuk keluarga, pondok, dan aktivitas politik beliau dengan cara memilih dan memilah keuangan agar tidak bercampur antara hak keluarga, pondok dan umat.


Di masa yang agak lama, ada KH. Adlan Aly, Cukir, Jombang. Ketajaman mata batin beliau, antara lain, dikarenakan kehati-hatian beliau dalam mengelola harta dan menjaga asupan makanan. Di tahun 1970-an hingga satu dekade berikutnya, seusai rapat di Kantor PWNU Jatim di Darmo, Surabaya, beliau paling ogah mampir ke warung maupun restoran. Semata-mata kehati-hatian beliau mengenai asupan makanan. Benar-benar menerapkan prinsip halalan thayyibah. Ya halal, ya baik pula. Jangan heran jika di usia senjanya, beliau mampu menyimak hafalan al-Qur'an para santrinya secara bersamaan. Beliau duduk dikelilingi 5-7 orang santri yang masing-masing membacakan hafalannya, dan dalam kondisi suara bacaan yang saling bersahutan, beliau mampu mencermati bacaan santrinya yang salah sekaligus membenarkannya. Telinga yang cermat, pikiran yang segar ditunjang dengan ketajaman mata batin dan ketelitian rasa. Luar biasa.

Dalam "Secercah Tinta: Jalinan Cinta Seorang Hamba dengan Sang Pencipta", Habib Lutfi bin Yahya, Pekalongan, mengisahkan hikayat Kiai Su'bi, Taman, Pemalang, yang datang ke kediaman Habib Hasyim (kakek Habib Lutfi). Karena Habib Hasyim masih mengajar, maka Kiai Su'bi menunggu di ruang tamu ditemani Muhammad Bakusyer, abdi ndalem Habib Hasyim. Waktu dipersilahkan meminum minuman yang telah disuguhkan, tiba-tiba tangan Kiai Su'bi lumpuh. Tak bisa digerakkan. Hal ini terus berlangsung sampai Habib Hasyim yang melihat keganjilan ini menanyai Muhammad Bakusyer, "Beli gula di mana?"
"Di warungnya Mbah Yah,"
"Sudah ijab kabul belum?"
"Belum."
"Ayo kamu lekas kembali ke warung!" Habib Hasyim menyuruh.
Setelah sampai di toko, ditanya sama pemiliknya yang keturunan Tionghoa. "Ada apa Muh?"
"Tadi saya membeli gula di sini, belum akad serah terima. Sekarang saya katakan saya serahkan uangnya. Saya beli ya!"
"Ya, saya jual." kata pemilik toko.
Saat Muhammad pulang, minuman yang disuguhkan kepada Kiai Su'bi sudah habis. Tangannya sudah mau digunakan untuk mengangkat gelas. Sudah halal. Bagi sebagian orang, ini adalah peristiwa sepele, soal akad bertransaksi. Akad serah terima penjualan. Namun bagi mereka yang sudah derajatnya Kekasih-Nya, soal akad harus jelas, ada unsur kerelaan, yang merupakan kerelaan hati, bukan semata dzahirus syar'i. Para ulama wira'i yang asketis, karena kejernihan mata batinnya, punya semacam detektor apabila ada barang syubhat bahkan haram di hadapannya, tubuhnya akan bereaksi. Bahkan ada alergi barang-barang yang "nggak jelas statusnya". Semacam detektor logam di bandara yang berbunyi saat ada logam besi di hadapannya. Hehehe. Dan, kemampuan ilahiah semacam ini adalah karamah yang dianugerahkan oleh Allah kepada hamba-Nya yang secara konsisten (istiqamah) menjaga kedisiplinannya dalam bertaqarrub kepada-Nya.

No comments:

Post a Comment