[Kajian Puasa Ramadlan Dalam Perspektif Historis]
AlhamdulilLah Berkah ramadlan, semoga menjadikan ramadlan yang berkah. Dalam riwayat Abu Dawud dengan isnadnya dari Sahabat Muadz bin Jabal dan Abu Layla ~radlialLahu ‘anhumaa wa ardlah~ , bahwa ia mengatakan;
كان رسول الله صل الله عليه وسلم، يصوم ثلاثة أيام من كل شهر ، ويصوم يوم عاشورآء
Bahwa, rasulullah shallalLahu ‘alaihi wa sallam itu berpuasa tiga hari dalam setiap bulan, dan beliau juga berpuasa ‘asyuraa’ (hari ke-10).
Ulama hadits memahami, bahwa 3 hari ini adalah tanggal 11,12 dan 13. Adapun ‘asyura seperti yang dijelaskan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Syarh Bukhari-nya, dengan menyitir perkataan az-Zaid bin Munir ~rahimahumalLah~ bahwa yawm ‘aasyura adalah malam tanggal 10 bulan muharam. Seperti riiwayat imam al-Hadits Bukhari (baca shahih bukhari) dari perkataan Umm al-mu’mini Aisyah ~radlialLahu ‘anhuma~ bahwa demikian adalah puasa umat islam sebelum turun ayat puasa ramadlan.
... عن عائشة رضي اللله عنها، قالت : كانوا يصومون عاشورآء قبل أن يفرض رمضان، وكان يوما تستر فيه الكعبة، فلما فرض الله تعالى رمضان، قال رسول الله صل الله عليه وسلم: من شآء أن يصومه فليصمه، ومن شآء أن يتركه فليتركه.
Dari perkataan Umm al-Mukminin Aisyah ~radlialLahu ‘anha~ “Umat Islam dulunya berpuasa Asyuraa’ sebelum diwajibkan puasa ramadlan, yaitu dihari ditutupnya ka’bah. Kemudian setelah Allah ‘Azza wa Jall mewajibkan puasa ramadlan, bersabda rasulullah: siapa yang menginginkan berpuasa maka berpuasalah dan yang menginginkan tidak berpuasa maka tidak-lah berpuasa”
Perhatikan sabda nabi diatas “siapa yang menginginkan berpuasa maka berpuasalah.. dstnya” Hal ini menunjukkan puasa ramadlan belum diwajibkan secara mutlak. Lebih spesifik dijelaskan dalam riwayat Abu Dawud dalam sunan-nya dan juga dinukil an-Nawawi dalam Majmuk-nya, bahwa setelah hadits ini dilanjutkan dengan sabda nabi:
... فمن شاء أن يصوم صام، ومن شآء أن يفطر ويطعم كل يوم مسكينا أجزأه ذالك.
Siapa yang menginginkan berpuasa maka berpuasalah, dan barangsiapa yang ifthar (baca: berbuka/tidak berpuasa) maka (bersedekah dengan) memberikan makan setiap hari (puasa ramadlan yang ditinggalkan) kepada orang miskin diperbolehkan.
Dalam riwayat lain disebutkan rukshah (kebolehan) memilih antara berpuasa dan bersedekah ini selama satu haul (tahun). al-Imam Nawawi dalam Majmuknya mengatakan, bahwa hadits diatas adalah penjelasan dari QS: al-Baqarah, ayat: 183-184. Beliau juga mengatakan riwayat hadits Abu Dawud adalah mursal, karena terdapat isnad hadits Mu’adz bin Jabal dan Ibnu Abu al-Layla, bahwa keduanya tidak pernah bertemu langsung.
Kejelasan kejadian ini juga diceritakan oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya, dengan menukil ucapan Abu Layl, ia mengatakan “telah menceritakan kepadaku ashhab nabi shalallallahu ‘alaihi wa sallam, ayat ramadlan telah turun,umat islam diperkenankan memilih antara berpuasa dan bersedekah dengan hitungan setiap hari-nya. Dengan menceritakan QS al-Baqarah 183, kemudian ayat ini di naskh (dihapus secara ketetapan hukum) dengan ayat setelahnya, “wa an tashumu khairuln lakum” (jika kalian berpuasa, maka lebih baik bagi kalian). Demikian, adalah perintah al-Qur’an untuk berpuasa.
al-Imam Nawawi dalam Majmuknya, berikut diikuti Ulama Syafi’iyah dan selainnya. Dari ayat al-Qur’an diatas berikut asbab an-Nuzul ayat, dan hadits nabi; baik riwayat yang shahih dari al-Bukhari ataupun hadits mursal Abu Dawud diatas. Mereka istidlal (mengambil dalil) wa al-Muhtajjin (berhujjah) bahwa Nabi berpuasa dan mendapati ramadlan selama sembilan tahun. Dengan alasan bahwa kewajiban puasa ramadlan pada bulan Sya’ban tahun ke-dua setelah hijrah ke-Madinat ar-Rasul (Yatsrib). Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam wafat pada bulan Rabi’ul Awal tahun ke-11 setelah hijrah beliau.
Sebelumnya, umat islam yang telah memenuhi sarat kewajiban puasa ramadlan, diwajibkan imsak (mencukupkan diri) dari makan, minum dan jimak, mulai dari tidur malamnya atau dalam waktu isya akhirah. Kemudian, ketentuan hukum ini di nasakh dengan diperbolehkannya semua (baca; makan, minum dan jimak) setelah fajar (waktu subuh) baik orang tersebut tidur malam ataupun tidak. seperti sekarang ini.
Demikian kajian puasa dalam historisnya, semoga bermanfaat dan menambah wawasan baru. Sedangkan bagi yang menginginkan merujuk keterangan Majmuk Lin Nawawi. Bisa dikaji Ulang dalam Juz ke-6. Hal: 251. Cet, Maktabah al-Irsyad. al-‘Arabiyah as-Su’udiyah. Dengan Pentahqiq Muhammad Najib.
Ulinuha Asnawi
WalLahu a’lam bish-Shawab
No comments:
Post a Comment