Monday, July 31, 2017

BANSER LUGU VS BANSER DISIPLIN

BANSER LUGU VS BANSER DISIPLIN

Menjadi tempat digelarnya Muktamar NU ke-28, 1989, seantero kawasan Pondok Pesantren Al Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, ditutup dan disterilkan dari segala jenis kendaraan. Bahkan jalan kampung didepan rumah Kyai Attabik Ali pun dipalang dan dijagai banser sepanjang waktu untuk mencegah kendaraan lewat, karena jalan itu membelah komplek pesantren.

Banser-banser penjaga palang jalan itu kaget ketika bakda isyak ada jip nyaris menabrak dan berhenti dengan rem berdecit-decit didepan palang. Hanya tampak orang dibelakang setir tanpa ada penumpang lainnya. Orang itu bertampang Arab dengan jubah dan sorban.

"Buka!" ia membentak dari jendela mobil.

Sesuai perintah komandan, banser menolak dan mempersilahkannya mencari tempat parkir.

"Kalian nggak ngerti adab ya?" Si Arab muntab, "Kalian nggak tahu? Aku ini..." dia menyebut nama, lengkap dengan "bin" dan "al" yang kedengaran seperti nama keturunan Nabi.

Banser-banser termangu. Dan segera saja mereka terbelah menjadi dua kubu: banser disiplin tetap tak mau memberi jalan jip itu masuk, sedangkan banser lugu takut kuwalat dan dengan ta'dhim hendak menyingkirkan palang dari jalan. Sejurus terjadi percekcokan diantara mereka. Hanya karena banser lugu lebih ngotot, jip itu pun lolos hingga ke depan kediaman Mbah Ali Maksum.

Si Arab turun dari mobil, dan spontan sejumlah orang berebut mencium tangannya. Setelah rebutan sungkem mereda, Si Arab bukannya mencari tuan rumah atau siapa pun tokoh NU yang mungkin sesuai dengan keperluannya. Dia malah langsung berpidato di tengah jalan sambil mengacung-ngacungkan tongkat dan dengan suara terus meninggi tapi tak seorang pun mampu memahami maksudnya.

Banser pun segera sadar bahwa orang itu bukanlah tokoh keramat melainkan tak lebih dari orang tidak genap. Mereka berusaha memintanya berhenti pidato dengan cara sesopan mungkin --masih dengan berjaga-jaga siapa tahu orang itu keramat betulan-- tapi malah membuatnya mengamuk tidak keruan dan baru berhasil diatasi dengan bantuan personil polisi dan tentara, yang lantas menyingkirkannya dengan paksa.

Keributan usai, tinggal banser ketawa-ketawa. Kubu banser lugu pun tak kalah ngakak ketawanya walaupun kubu banser disiplin meledek mereka habis-habisan.

Itu tandanya mereka semua masih sama-sama berakal. Kubu banser lugu tidak terus ngotot mengeramatkan si arab tidak genap tadi, karena mereka genap. Pasti kejadiannya berbeda seandainya banser-banser itu sama tidak genapnya.

Sunday, July 30, 2017

Pesanan Asy-Syibli رحمة الله تعالى ;

Pesanan Asy-Syibli رحمة الله تعالى ;
.
" Sesuatu yang Allah takdirkan untukmu, pasti akan dapat walaupun terpaksa melalui seribu halangan."
.
" Orang yang tidur satu jam pada waktu malam dengan melupakan Allah, adalah tertinggal seribu tahun ke belakang dalam perlumbaan kerohanian."
.
" Waktu sekarang yang sedang kamu lalui lebih berharga daripada seribu tahun lalu dan seribu tahun akan datang. Untuk itu jangan terpedaya dengan kebendaan."
.
Allahuma sholii 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim

Adab Mbah Dullah Kepada Gurunya

Adab Mbah Dullah Kepada Gurunya

Mbah Dullah (KH Abdullah Salam) Sewaktu akan memberi sambutan, tiba2 turun dari panggung, padahal didepan panggung sudah duduk para kiai, pejabat pusat maupun daerah dan ribuan santri maupun tamu undangan, Mbah Dullah turun dan ngeloyor pergi menemui penjual dawet dipinggir jalan. Mbah Dullah dg ta’dzim menyapa penjual dawet dan mencium tangannya.

Ribuan pasang mata menyaksikan peristiwa itu, mereka bertanya-tanya siapakah penjual dawet ini, sampai mbah Dullah seorang kiai sepuh dan kesohor waliyullah dari Kajen-Margoyoso, Pati, Jwa Tengah ini mencium tangannya. Setelah mencium tangan penjual dawet, mbah Dullah kembali lagi ke panggung dan berpidato dg singkat :

” Tawasul itu penting untuk nggandengkan taline gusti Allah,” sembari mensitir ayat .

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا ...

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai berai, dan ingatlah kalian semua akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu semua karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara... (QS. Ali-Imron 103) dan wa alaikum salam.

Kemudian beliau mandab (turun) dan duduk di kursi bawah panggung. Ketika Mbah Dullah ditanya siapa penjual dawet tersebut, Mbah Dullah mengatakan :

” beliau adalah guru ngajiku sewaktu kecil, beliau yg mengajarkan aku cara membaca fatihah, sehingga sebab beliau aku bisa membaca alquran, bisa beribadah kpd Allah & mendekat kepadanya,” . Mbah Dullah memberi tahu salah satu cara menggadengkan tali Allah (sesuai dawuh syekh abdul qodir al jilani) adalah dg tawasul.

Dan berbahagialah para pengajar alquran di TPQ maupun musholla, mbah kyai Djamal pernah dawuh "semulia-mulianya pengajar, adalah orang yg mengajar baca Al Quran "

-------------------
Sumber Rekaman Pengajian Seikh KH Djamal Jombang 

GUS DUR BELAJAR KEMANUSIAAN DARI SEHELAI KUTANG

GUS DUR BELAJAR KEMANUSIAAN DARI SEHELAI KUTANG

Dari KH Abdul Fattah Hasyim, Gus Dur belajar betapa kemanusiaan sama pentingnya dengan hukum.Menghukum peserta didik adalah jalan termudah, tapi hukuman harus selalu menjadi cara mendidik yang lain. Pelajaran sangat berharga didapatkan Gus Dur saat menjadi kepala keamanan sebuah pondok pesantren.

“Gus Dur seharusnya tidak melaksanakan cita-cita separatisme mereka. Hal ini bukanlah apa yang kita harapkan dari seorang presiden. Ia seharusnya mendorong persatuan dan pembangunan,” kata Akbar Tandjung dalam Biografi Gus Dur (2004: 447) saat mengomentari cara pandang Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terhadap krisis di Irian Jaya.

Tidak hanya Akbar Tandjung, sang Wakil Presiden, Megawati, juga mendukung kritik yang dilayangkan untuk Gus Dur. Hal tersebut terkait beberapa rencana Gus Dur untuk Irian Jaya. Seperti mengganti nama Irian Jaya yang sangat kental nuansa Orde Baru dengan nama Papua, sampai ucapan tentang simbol Bintang Kejora sebagai lambang kultural dan bukan ancaman.

“Bintang kejora itu bendera kultural. Kalau kita anggap sebagai bendera politik salah kita sendiri,” kata Gus Dur saat itu. “Sepakbola saja punya bendera sendiri,” lanjutnya.
Pandangan ini tentu memicu kontroversi. Setelah di periode Presiden BJ. Habibie, Timor Timur diberi referendum yang berakhir dengan kemerdekaan, pendekatan Gus Dur yang lebih lunak tergolong jadi hal baru pada era itu.

Bukannya menumpas habis para separatis, Gus Dur malah memberi napas, menganggapnya sebagai bagian dari budaya bangsa, bahkan malah mencoba merangkul bersahabat dengan sikap kemanusiaan. Sikap yang bagi banyak kalangan sangat bertentangan, karena justru menyemai benih-benih perpecahan bangsa.

Sepanjang sejarah, memang hanya Gus Dur Presiden Indonesia yang punya latar belakang santri. Akan tetapi, siapa sangka, justru dari pemikiran santri inilah lahir pengakuan agama Konghucu, tahun baru Imlek, sampai dengan yang paling kontroversialniatan mencabut TAP/MPRS 1966 soal ajaran marxisme-komunisme dan PKI serta berbagai implikasinya.

Semua karena alasan yang sederhana, rasa kemanusiaan. Dari siapa Gus Dur belajar punya pandangan seperti ini?
Setelah menempuh pendidikan pesantren di Tegalrejo, Magelang, dengan berguru pada Kiai Chudhori, Gus Dur diminta Kiai Haji Abdul Fattah Hasyim, pamannya, untuk membantu mengurus Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas di Jombang pada 1959. Usia Gus Dur saat itu sudah hampir 20 tahun. (Gus Dur, Siapa sih Sampeyan?, hal 20-21)
Setelah mendapat restu dari Kiai Chudhori, Gus Dur membantu Kiai Fattah mengurus pesantren sebagai kepala keamanan pondok. Cerita ini didengar dari hasil diskusi dengan kawan-kawan komunitas Gusdurian Jogja dan juga pernah diceritakan ulang oleh K.H. Anwar Zahid, penceramah terkenal dari Bojonegoro, Jawa Timur.

Diceritakan bahwa tugas Gus Dur sebagai kepala keamanan saat itu cukup sederhana. Yakni menindak santri yang melanggar peraturan, bahkan kalau perlu menghukum secara langsung. Dalam bahasa santri: "di-takzir”. Takzir dalam pondok pesantren ada level-levelnya. Digundul, disuruh membaca Alquran di halaman pesantren, menguras kamar mandi, sampai dengan level paling nakal adalah diusir dari pondok pesantren.

Saat Gus Dur menjadi bagian keamanan pesantren, ia punya satu santri yang luar biasa nakal. “Saya geregatan sama santri nakal itu,” kata Gus Dur. Hal itu bahkan sampai membuat Gus Dur “niteni” atau mengincar setiap kesalahan yang diperbuatnya karena begitu jengkel.
Bagaimana tidak jengkel jika kulit bedug di pesantren Tambakberas sering dipotong sedikit demi sedikit sampai membuatnya berlubang-lubang?
“Siapa ini ada orang berani-beraninya mencuri kulit bedug masjid?” kata Gus Dur.
Setelah diselidiki oleh bagian keamanan, akhirnya terjawab kenapa kulit bedug ini bisa hilang. Kulit bedug masjid yang terbuat dari kulit sapi asli ini dicuri salah satu santri. Setelah ketahuan siapa yang mencuri si santri dipanggil untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
“Kenapa kamu mencuri kulit bedug?” tanya Gus Dur, “Kamu jual ya? Biar dapat duit?”
Si santri menunduk diam saja.
Setelah didesak berulang kali akhirnya si santri menjawab, “Anu, Kang, digoreng buat lauk makan. Jadi krecek.”

Sontak saja Gus Dur malah tertawa mendengar alasan si santri mencuri kulit bedug masjid. Dengan alasan itu, Gus Dur tidak menindaklanjutinya dengan takzir berlevel keras. Si santri tetap dihukum, tapi masih pada level-level ringan.

Sayangnya, bukannya kapok, si santri ini tetap nakal. Salah satu bentuk kenakalannya adalah ia sering masuk ke kompleks pondok putri. Mengintip para santri putri. Masalahnya (baik Gus Dur maupun Kiai Anwar Zahid tidak menyebut nama si santri dalam ceramah), tidak pernah bisa ditemukan bukti-bukti yang bisa digunakan untuk melaporkan si santri kepada Kiai Fattah.

Kenapa harus dilaporkan ke Kiai Fattah dan tidak ditindak oleh Gus Dur sendiri?
Karena sudah jadi pandangan umum di pesantren, jika sebuah kasus pelanggaran sampai dibawa ke tingkat pengasuh, itu artinya pelanggaran yang dilakukan adalah pelanggaran tingkat tinggi. Dan hukuman yang menanti pun tingkatnya ada di level tertinggi pula, yaitu diusir dari pondok pesantren.
Karena selalu gagal dalam melakukan “operasi tangkap tangan”, Gus Dur akhirnya memilih cara alternatif untuk bisa menangkap santri nakal ini dengan bukti serta alasan yang cukup kuat. Dalam kesimpulan Gus Dur, jika suka mengintip perempuan, itu berarti pikiran bocah ini pasti mesum. Dan karenanya pasti ada sesuatu di dalam lemarinya yang menunjukkan kemesuman itu.

Akhirnya Gus Dur melakukan razia ke lemari-lemari santri putra. Benar saja, dalam lemari santri yang dimaksud, ditemukan sebuah kutang, yang setelah diselidiki memang salah satu kutang dari pondok putri. Gus Dur senang, karena dengan ini si santri akan mendapatkan hukuman tertinggi sesuai dengan hukum yang berlaku di pesantren.

Dengan bungah Gus Dur pun menghadap ke Kiai Fattah sambil membawa kutang sebagai alat bukti. Begitu sudah sampai ndalem (kediaman) Kiai Fattah, Gus Dur mengeluarkan kutang curian tersebut.
“Itu apa, Dur? Kenapa kamu bawa kutang kemari?” tanya Kiai Fattah heran.

“Pak Kiai, ini hasil curian salah satu santri putra. Namanya Fulan bin Fulan. Dia sering ngintip ke pondok putri. Di dalam lemarinya saya temukan bukti ini,” kata Gus Dur, “Saya sama teman-teman dari keamanan pondok sepakat, agar santri ini bisa segera dikeluarkan.”
“Oh, begitu,” kata Kiai Fattah.
“Santri ini nakal banget, Kiai,” kata Gus Dur kepada pamannya.
“Lho, santri nakal, kok, dilaporkan ke aku? Mau dikeluarkan lagi,” kata Kiai Fattah, “Kalau lapor ke aku, lapor santri yang sudah baik, sudah pintar, biar aku keluarkan dari pondok. Orang tua santri itu berharap anaknya pulang dari pondok biar jadi makin baik, bukan malah jadi tambah nakal,” tambah Kiai Fattah.
Mendengar jawaban itu, Gus Dur heran. “Lha, terus gimana ini Kiai?” tanya Gus Dur.
“Begini saja. Aku hargai musyawarah para pengurus keamanan. Karena kalian sudah sepakat untuk mengeluarkannya, ya sudah aku ya sepakat,” kata Kiai Fattah.
Gus Dur tersenyum senang mendengarnya.
“Keluar dari pondok, lalu masuk ke sini saja,” kata Kiai Fattah menunjuk kediamannya sendiri.
Gus Dur terkejut mendengarnya. “Maksudnya, Kiai?”
“Iya, dipindahkan ke sini. Ke ndalem. Rumahku. Kamu aturlah sama teman-temanmu. Pokoknya mulai hari ini santri itu dipindah ke sini,” kata Kiai Fattah menunjuk kediamannya sendiri.
Meski bingung dengan perintah pamannya, pada akhirnya Gus Dur tetap menurut. Mengeluarkan si santri dari pondok, tapi malah memasukkannya ke ndalem Kiai Fattah. “Bukannya dikeluarkan, malah naik pangkat ini santri,” komentar teman-teman si santri.

Pada akhirnya, karena kamarnya dekat dengan kamar Kiai Fattah, si santri jadi orang pertama yang selalu ditemui Kiai Fattah ketika bangun tidur, berangkat ngaji, sampai dengan salat tahajud.
Ketika Kiai Fattah mengajar ngaji, si santri disuruh membawakan kitab dan menandai halaman-halamannya. Hal itu tanpa sadar membuat si santri mau tidak mau ikut belajar mengaji tanpa bisa membolos satu kali pun. Karena sering harus menandai bagian yang akan dimulai dan yang diakhiri, ia jadi belajar membaca kitab kuning.

Selain itu, setiap Kiai Fattah akan salat, santri ini disuruh mempersiapkan tempat salat. Entah itu salat wajib atau pun sunah. Dengan pola seperti itu, akhirnya si santri terpaksa mengikuti laku hidup Kiai Fattah selama bertahun-tahun. Pada akhirnya, diawali dengan terpaksa, si santri jadi terbiasa dan benar-benar menjadi santri yang saleh.

“Baik secara syariat, akhlak, maupun aturan pondok pesantren, ngintip ke dalam pondok putri adalah pelanggaran yang tidak bisa dibiarkan,” kata Gus Dur.
Dari segala aspek hukum apapun si santri ini jelas salah. Dan keputusan Kiai Fattah benar-benar memberi pelajaran berharga bagi Gus Dur.

Jika Kiai Fattah hanya ikut apa kata hukum saat itu, si santri memang benar harus diusir, pesantren jelas tidak akan rugi, Kiai Fattah tidak akan repot. Hanya saja santri tersebut akan kehilangan peluang untuk bisa berubah menjadi orang yang lebih baik. Dengan langkah sederhana, Kiai Fattah menunjukkan bahwa ada yang lebih penting daripada sekadar mengikuti nalar hukum, yaitu mengikuti nalar kemanusiaan.

“Ternyata di atas hukum, masih perlu adanya rasa kemanusiaan,” kata Gus Dur.

Dari cerita versi K.H. Anwar Zahid, santri ini kemudian menjadi kiai yang punya santri cukup banyak. Dan suatu ketika, Gus Dur dan santri ini bertemu. Dengan akrab Gus Dur pun bertanya, “Yang kamu curi dulu warnanya apa, Nda?”
Keduanya pun tertawa terpingkal-pingkal. Tanpa menyadari, bahwa dari sanalah kemanusiaan untuk negeri ini lahir beberapa dekade tahun kemudian saat si kepala keamanan naik pangkat jadi kepala negara.

Like Fanpage ULAMA & KIAI Nusantara

Saturday, July 29, 2017

Warisan rambut rasulullah

Diceritakan oleh Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari bahwa ada seorang saudagar kaya yang mempunya dua anak, dan ketika ia meninggal, ia mewariskan harta dan tiga helai rambut Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam.

Setelah semua harta dibagi, dan rambut Rasulullah dibagi masing-masing satu, sehingga tersisa satu lagi, anak pertama memberikan keputusan bahwa sisa rambut tersebut akan dipotong dibagi dua.

Namun adiknya merasa keberatan, ia beralasan bahwa tidak layak jika rambut Rasulullah harus dipotong.

Kakaknya yang memang memiliki rasa tamak kemudian memberi pilihan: "Maukah jika engkau mengambil ketiga helai rambut Rasulullah, namun semua harta warisan diberikan kepadaku?".

Dengan hati yang mantap, sang adikpun menerima keputusan tersebut.

Sang adik yang meskipun miskin karena tidak mendapat sedikitpun harta, kemudian hidup ala kadarnya. Setiap hari ia menciumi rambut Rasulullah sambil membaca Sholawat selayaknya. Hingga satu waktu ia memiliki sebuah bisnis, yang terus-menerus maju dalam waktu singkat, dan ia pun menjadi orang kaya. Bersamaan dengan itu pula, kakaknya yang tamak menjadi jatuh miskin.

Kitab Irsyadul Ibad bab Fadhail Sholawat hal. 399 karya Syeikh Zainuddin Al-Malibari

اللهم صل على سيدنا محمد صلاة عبد قلت حيلته ورسول الله وسيلته وأنت يا إلهي ولكل كرب عظيم ففرج عنا ما نحن فيه بسر أسرار بسم الله الرحمن الرحيم وعلى آله وصحبه وسلم.

Friday, July 28, 2017

DELAPAN JENIS REZEKI DARI ALLAH

DELAPAN JENIS REZEKI DARI ALLAH
.
1.Rezeki Yang Telah Dijamin.
‎وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
"Tidak ada satu makhluk melatapun yang bergerak di atas bumi ini yang tidak dijamin ALLAH rezekinya."
(Surah Hud : 6).
.
2. Rezeki Kerana Usaha.
‎وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
"Tidaklah manusia mendapatkan apa-apa kecuali apa yang dikerjakannya."
(Surah An-Najm : 39).

3. Rezeki Kerana Bersyukur.
‎لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu."
(Surah Ibrahim : 7).
.
4. Rezeki Tak Terduga.
‎وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا( ) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
"Barangsiapa yang bertakwa kepada ALLAH nescaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya."
(Surah At-Thalaq : 2-3).

5. Rezeki Kerana Istighfar.
‎فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا ( ) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُم مِّدْرَارًا
"Beristighfarlah kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, pasti Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan memperbanyak harta.”
(Surah Nuh : 10-11).
.
6. Rezeki Kerana Menikah.
‎وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ
"Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak dari hamba sahayamu baik laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, maka ALLAH akan memberikan kecukupan kepada mereka dengan kurnia-Nya."
(Surah An-Nur : 32).

7. Rezeki Kerana Anak.
‎وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ
"Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu kerana takut miskin. Kamilah yang akan menanggung rezeki mereka dan juga (rezeki) bagimu.”
(Surah Al-Israa' : 31).

8. Rezeki Kerana Sedekah.
‎مَّن ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً
"Siapakah yang mahu memberi pinjaman kepada ALLAH, pinjaman yang baik (infak & sedekah), maka ALLAH akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipatan yang banyak."
(Surah Al-Baqarah : 245).
.
Wallahu a'lam bishowab
.
Allahuma sholi 'ala sayidina Muhammad nabiyil umiyi wa 'alihi wa shohbihi wa salim
.
Silahkan Tag & share ~
=====================
Please like and follow :
=> Video Dakwah Islami
=> Dakwah Para Habaib dan Ulama Was Sholihin
=> Rumah-muslimin
Instagram : https://www.instagram.com/dakwah_ulamaku/ (dakwah_ulamaku )

Thursday, July 27, 2017

Beda menuntut ilmu dulu dan sekarang

Zaman dahulu, orang sulit mencari ilmu tapi mudah mengamalkannya.
Zaman sekarang, orang mudah mencari ilmu tapi sulit mengamalkannya.

Dahulu, ilmu dikejar, ditulis, dihafal, diamalkan dan diajarkan.
Sekarang, ilmu diunduh, disimpan dan dikoleksi, lalu diperdebatkan.

Dahulu, butuh peras keringat dan banting tulang untuk mendapatkan ilmu.
Sekarang, cukup peras kuota internet sambil duduk manis ditemani secangkir minuman dan snack.

Dahulu, ilmu disimpan di dalam hati, selama hati masih normal, ilmu tetap terjaga. Sekarang, ilmu disimpan di dalam memori gadget, kalau baterai habis, ilmu tertinggal.
Kalau gadget rusak, hilanglah ilmu.

Dahulu, harus duduk berjam-jam di hadapan guru penuh rasa hormat dan sopan, maka ilmu merasuk bersama keberkahan.
Sekarang, cukup tekan tombol atau layar sambil tidur-tiduran, maka ilmu merasuk bersama kemalasan.

Imam Malik Rahimahullah mengatakan,
"Tidak akan menjadi baik umat belakangan ini kecuali apabila diperbaiki dengan cara orang-orang terdahulu."
Wallahu 'alam bis shawab

GUS MUS: MUSLIM MODERAT HARUS TAMPIL KE PANGGUNG

GUS MUS: MUSLIM MODERAT HARUS TAMPIL KE PANGGUNG

Oleh Edi AH Iyubenu Edi Mulyono

Baru menjelang Subuh saya tiba di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang. Melihat tembok pondok itu sudah cukup membuat hati saya berdesir. Dengan perasaan gemetar, pikiran saya memusat pada satu sosok yang hendak saya sowani: Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri, akrab disapa Gus Mus; pengasuh pesantren ini, seorang budayawan, penyair, pelukis, dan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama 2014—2015.

Sebelum menemui kiai itu, saya ikut salat Subuh bersama para santri. Di hadapan keran-keran, tampak para santri cilik yang masih imut-imut terkantuk-kantuk membasuh muka. Kepada seorang santri yang agak besar, saya melayangkan tanya, “Apa Gus Mus ada di rumah?”

Ia mengangguk. Katanya, Gus Mus baru pulang pukul 3 pagi tadi.

“Sudah janjian?’

“Sudah.”

“Kalau sudah janjian, pasti ketemu. Beliau selalu menepati janjinya.”

Salat Subuh itu tidak diimami Gus Mus. Selepas salat, saya diantar ke lantai dua pondok, ke sebuah ruangan kecil berkarpet hijau. Si pengantar kemudian menyilakan saya menunggu di situ sampai panggilan dari Gus Mus datang.

Panggilan itu datang nyaris pukul 9 pagi, menyentakkan saya dari tidur yang tidak sengaja. Santri yang membawakan pesan mengatakan, Gus Mus akan siap setengah jam lagi. Buru-buru saya mencari tumpangan untuk mandi.

Pukul 10 saya dipanggil dan dibawa ke sebuah ruang tamu luas berwarna hijau. Lantainya beralas karpet tebal. Camilan untuk tamu berjejer-jejer. Selain sejumlah foto dan kaligrafi di dinding, ada rak panjang di ruangan itu yang memajang deretan buku dan kitab-kitab. Gus Mus belum berada di ruangan itu.

Tak berapa lama kemudian sosok bertubuh tinggi besar keluar dari pintu yang berada di tengah rak-rak panjang itu. Ia bersarung dan berpeci putih, senyum terkembang di wajahnya yang tenang. Sontak saya berdiri dan mencium tangan, lalu kembali duduk di hadapannya dalam jarak sekitar tiga meter.

“Saya semalam pulang pagi lalu nonton bola, jadi habis Subuh ya mengganti utang tidur itu. Tidak baik utang tak dibayar,” Gus Mus langsung membuka obrolan dengan candaan.

Saya tertawa. “Iya, Mbah Yai.”

“Ayo diminum kopinya, merokok saja ya ndak papa. Cuma saya sudah berhenti merokok.”

Suasana makin cair. Saya pun membakar rokok.

Tanpa perlu diminta, beliau mulai mengisahkan banyak hal yang memang sangat ingin saya dengar langsung darinya selama ini. Salah satunya tentang cerita masa remajanya ketika disuruh berhenti mondok di Pondok Pesantren Lirboyo oleh ayahnya, Kiai Haji Bisri Mutofa.

Bagaimana anak seorang kiai pemilik pondok disuruh berhenti mondok, beginilah duduk perkaranya.

Sewaktu saya nyantri di Lirboyo, kebetulan temanan dekat sama Gus Miek, Gus Miek itu ya gusnya sana, kisah Gus Mus membuka cerita.

Gus Miek itu memang unik kelakuannya dari dulu. Pas pelajaran, dia datang ke kelas lewat jendela, ngajak saya jalan-jalan. Naik ontel. Pernah saya naik ontel sama Gus Miek dari Lirboyo ke Kertosono, tanpa pakai baju.

Ia terbahak saat menceritakan bagian ini. Untuk ukuran perjalanan dengan sepeda sejauh 30 kilometer tanpa pakai baju, itu termasuk unik yang lumayan kebangetan.

Gus Mus melanjutkan: benar-benar kayak orang gilalah kami ini. Suatu hari, saat liburan pondok, saya pulang ke sini, Rembang. Rambut panjang, pakai baju dan celana kombor ala pendekar Jawa begitu, dan bakiak yang dibuat sendiri dari kayu dengan dipasangi ban dalam.

Sampai di halaman rumah, abah saya melihat saya datang dengan gaya begituan, langsung memanggil Ibu. “Bu, Bu, sini to, anakmu muleh, sawangen (anakmu pulang, coba lihat).” Ibu saya muncul dari dalam dan kaget melihat penampilan saya. Kata abah saya, “Ini anakmu, wes dadi wali (sudah jadi wali).”

Saat liburan sudah habis, saya tak dibolehkan kembali ke Lirboyo sama Abah. Beberapa waktu kemudian, datanglah utusan dari Lirboyo menanyakan kenapa saya tak kembali ke pondok. Abah menjawab, “Iya, saya memang tak membolehkannya kembali ke Lirboyo.”

“La kenapa, Pak Yai?”

“Saya penginnya dia jadi kiai saja, meneruskan saya nantinya. ini malah jadi wali lo. Kan bisa kalah pamor saya, kalau anak sendiri jadi wali ….”

Gus Mus terkekeh lepas lama sekali di bagian ini.

Gus Miek yang dimaksud adalah Hamim Tohari Djazuli, lebih tua empat tahun dari Gus Mus. Putra Kiai Haji Ahmad Djazuli Utsman, pemimpin Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri, ini dititipkan ayahnya kepada Kiai Haji Mahrus Aly untuk belajar di Lirboyo. Dasarnya memang nyeleneh, ia hanya bertahan selama 16 hari di Lirboyo, lalu pulang lagi ke Ploso.

Setelah kejadian “menjadi wali” itu, Gus Mus dikirim ayahnya ke Yogya untuk mondok di Pondok Pesantren Ali Maksum, Krapyak, yang diasuh oleh Kiai Haji Ali Maksum.

Menurut Gus Mus, Kiai Ali dikenal santrinya sebagai kiai yang berada. Ia memiliki banyak sawah dan kebun yang luas.

Suatu malam, saya sama teman-teman santri kasak-kusuk membicarakan tentang tanaman tebu Mbah Ali yang sudah siap panen, Gus Mus bercerita lagi. Kami lalu bersepakat hendak mencuri beberapa batang untuk dijadikan cemilan. Disesepi-lah, pasti enak itu, begitu pikir kami malam itu.

Pelan-pelan kami beranjak dari pondok. Pintu keluar memang harus melewati rumah Mbah Ali. Tiba-tiba suara Mbah Ali terdengar memanggil saya dari dalam rumahnya. Spontan kami gemetar. Saya yang dipanggil ya sendika dawuh dengan menunduk-nunduk. Selain soal sungkan, terutama deg-degan luar biasa merasa bersalah hendak mencuri tebunya.

Saya dipersilakan duduk di ruang tamu rumahnya. Mbah Ali lalu bilang, “Mus, itu di belakang ada beberapa batang tebu yang baru diambil dari ladang. Sengaja saya pilih yang bagus-bagus ….”

Ucapan Mbah Ali ini semakin membuat saya gemetar tak keruan. Untung saja tidak sampai kencing di sarung.

“Sana kamu ambil, ya.”

“Injih, Mbah Yai ….”

Saya pun ke belakang mengambil tebu-tebu yang sudah diikat rapi. Pas di halaman rumah, terdengar suara Mbah Ali lagi. “Mus, itu teman-temannya dibagiin ya tebu-tebunya. Kasihan, mereka pada pengin tebu ….”

Gus Mus tertawa lagi dengan sangat keras.

Selain mengisahkan cerita-cerita konyol masa mudanya, Gus Muh juga mengomentari persoalan terkini umat Islam. Terutama perkara pengajaran Islam yang menjadi semakin dangkal.

“Itu ya, perhatikan,” tuturnya, “Ustadz-ustadz tivi itu ya dulu ngajinya di mana? Nyantrinya sama siapa? Sanad ilmunya bagaimana, kan ndak jelas. Tahu-tahu mereka tampil di TV-TV, berceramah, didengarkan ribuan orang awam lainnya, masyarakat umum. Mereka tampan, kelimis, pakaiannya memikat, cara bicaranya memukau, wajar kalau didengarkan.

“Tapi ya itu, isi ceramahnya cenderung dangkal-dangkal gitu,” sambungnya. “Semudahnya saja mereka mengartikan ayat, hadis, lalu menyimpulkan hukumnya begini dan begitu. Seolah cukup bermodal Quran terjemahan Kemenag, selesailah semua urusan tafsir Al-Quran. Hahaha.”

Kali ini saya angkat suara. “Apa bukannya makin bagus, Mbah Yai, bila makin banyak orang yang tampil jadi penceramah begitu?”

“Bagus, tapi ruwet. Bagus kalau materi ceramahnya memang bermutu. Buat saya, ukuran mutunya ya sederhana: mengajak umat kepada cinta, kasih sayang, persaudaraan, karena Islam ya intinya akhlak karimah, tujuannya rahmatan lil ‘alamin. Ayat dakwah kan jelas menyeru kita pada hasanah, kebaikan. Baik dalam isinya, baik dalam penyampaiannya.

“Kenyataanya kan terbalik. Makin banyak ustadz-ustadz seleb itu, kan ya makin ruwet malah kehidupan Islam kita. Salah-menyalahkan, sesat-menyesatkan, kafir-mengafirkan. Manusia kok mengafirkan orang yang berbeda, itu kan ya kacau to. Manusia ya manusia saja, jangan mengambil alih hak mutlak Gusti Allah to.”

Beliau menyilakan saya mengambil cemilan di kaleng Khong Guan yang isinya tumben bukan rengginang, tapi keripik singkong.

“Lalu bagaimana solusinya, Mbah Yai?”

“Orang-orang muslim moderat ini ya harus tampil ke panggung. Melalui tulisan atau ceramah. Jangan diam lagi. Diam tak lagi membantu apa-apa pada keadaan yang makin mencemaskan ini. Kamu sendiri, apa yang telah kamu lakukan?”

Mak tratap saya mendengar pertanyaan itu.

“Ini, Mbah Yai, saya nulis buku ini.” Saya serahkan kepada beliau sebuah buku.

“Nah, tanda tangani dululah.”

Byuh, saya keder. Tapi, saya lakukan juga titahnya.

“Baguslah. Sekecil apa pun, ya harus melakukan sesuatu. Kalau kamu penulis ya teruslah menulis, sebarkan itu Islam yang ramah, sejuk, dan berakhlak karimah.”

Saya mengangguk. Speechless. Habis tulisan saya masih gitu-gitu aja.

“Kata kuncinya menurut saya sederhana. Ini bisa kamu pegang atau siapa pun. Kalau ada seorang ustadz, kiai, guru, atau siapa pun yang mengumbar wajah Islam yang keras, pemarah, ngamukan, mengafirkan, itu tak usah diikuti. Islam itu sendiri kan artinya keselamatan, kedamaian, lha kok ngamuk, ngafirkan, itu tak masuk akal.”

Lepas itu, Gus Muh masih bercerita banyak, unik-unik dan menggelikan. Termasuk ceritanya soal kuliah ke Mesir tanpa ijazah dan masa kumpulnya bersama Gus Dur di sana.

Menjelang Zuhur saya pamit undur diri. Bukan tak ingin lebih lama bersama Gus Mus, tapi karena harus tahu diri. Lagian, saya sudah lapar banget. Dari pagi belum sarapan. Kalau terus berbincang, kapan saya makannya? Begitu gumam batin saya.

Tiba-tiba Gus Mus berkata, “Itu makan dulu, kamu kan sudah lapar banget. Itu di belakang, sudah disiapkan.”

Duh iyung! Jantung saya seketika berdentum. Mak tratap. Saya hanya kuasa menunduk-nunduk ketika melintasinya menuju meja panjang di balik rak buku yang telah dipenuhi jejeran nasi dan lauk pauk.

Saya pun makan dengan lahap. Sambil menekan hati dalam-dalam, jangan membatin apa pun, jangan ....

KUBURAN KERAMAT, DAN KEBOHONGAN WAHABI

KUBURAN KERAMAT, DAN KEBOHONGAN WAHABI

Beberapa waktu yang lalu, seorang tokoh Wahabi mempersoalkan kuburan keramat. Menurut tokoh yang bersangkutan, berziarah ke makam para nabi, para wali dan para ulama, hanya boleh dengan tujuan agar kita mengingat mati dan mendoakan mereka. Sedangkan ziarah ke makam mereka dengan tujuan tabaruk, atau ngalap barokah kata orang Jawa, adalah dilarang dan pasti tidak akan mereka (Wahabi) lakukan. Ziarah dengan tujuan tabaruk, diistilahkan dengan mengkeramatkan kuburan. Tulisan ini akan berusaha mengajak kaum Wahabi untuk berpikir dengan jernih, dan kembali ke ajaran kaum salaf, yang memang mengkeramatkan kuburan keramat, seperti makam para nabi, para wali, orang-orang shaleh dan para ulama.

Sebagaimana dimaklumi, bahwa di antara tujuan ziarah kubur, adalah tabaruk, atau ngalap barokah. Ziarah kubur dilakukan dengan tujuan tabaruk, adalah ketika makam yang diziarahi adalah makam para nabi, para wali, orang-orang shaleh dan para ulama. Dalil Ahlussunnah Wal-Jamaah dalam hal ini adalah firman Allah Subhanahu wata’ala:

وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيمًا (64)

“Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Nisa’ : 64).

Dalam ayat ini Allah menuntun kita apabila kita menganiaya diri dengan melakukan perbuatan dosa, dan kita hendak bertaubat dan memohon ampun kepada Allah, maka kita mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik ketika beliau masih hidup atau sudah meninggal, lalu kita memohon ampun kepada Allah serta ber-tawassul dan ber-istighatsah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar dimohonkan ampun kepada Allah. Al-Hafizh Ibn Katsir, ketika menafsirkan ayat tersebut berkata:

وَقَدْ ذَكَرَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ الشَّيْخُ أَبُوْ نَصْرٍ بْنِ الصَّبَّاغِ فِيْ كِتَابِهِ الشَّامِلِ الْحِكَايَةَ الْمَشْهُوْرَةَ عَنِ الْعُتْبِيِّ قَالَ : كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ: السَّلامُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ سَمِعْتُ اللهَ يَقُوْلُ (وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ جَاؤُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّاباً رَحِيْماً) وَقَدْ جِئْتُكَ مُسْتَغْفِرًا لِذَنْبِيْ مُسْتَشْفِعًا بِكَ إِلَى رَبِّيْ ثُمَّ أَنْشَأَ يَقُوْلُ:
يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ بِالْقَاعِ أَعْظُمُهُ   فَطَابَ مِنْ طِيْبِهِنَّ الْقَاعُ وَاْلأَكَمُ
نَفْسِي الْفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَـاكِنُهُ   فِيْهِ الْعَـفَافُ وَفِيْهِ الْجُوْدُ وَالْكَرَمُ
ثُمَّ انْصَرَفَ اْلأَعْرَابِيُّ فَغَلَبَتْنِيْ عَيْنِيْ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِي النَّوْمِ فَقَالَ يَا عُتْبِيُّ اِلْحَقِ اْلأَعْرَابِيَّ فَبَشِّرْهُ أَنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَ لَهُ انتهى،

“Banyak ulama menyebutkan seperti al-Imam Abu Manshur al-Shabbagh dalam al-Syamil, cerita yang populer dari al-‘Utbi. Beliau berkata: “Aku duduk di samping makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,kemudian datang seorang a’rabi dan berkata: “Salam sejahtera atasmu ya Rasulullah. Aku mendengar Allah berfirman: “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Nisa’: 64). Aku datang kepadamu dengan memohon ampun karena dosaku dan memohon pertolonganmu kepada Tuhanku”. Kemudian ia mengucapkan syair:

Wahai sebaik-baik orang yang jasadnya disemayamkan di tanah ini
Sehingga semerbaklah tanah dan bukit karena jasadmu
Jiwaku sebagai penebus bagi tanah tempat persemayamanmu
Di sana terdapat kesucian, kemurahan dan kemuliaan

Kemudian a’rabi itu pergi. Kemudian aku tertidur dan bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau berkata: “Wahai ‘Utbi, kejarlah si a’rabi tadi, sampaikan berita gembira kepadanya, bahwa Allah telah mengampuni dosanya”. (Al-Hafizh Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/492).

Kisah al-‘Utbi ini juga diriwayatkan oleh al-Imam al-Nawawi dalam al-Idhah fi Manasik al-Hajj (hal. 498), Ibn Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali dalam al-Mughni (3/556), Abu al-Faraj Ibn Qudamah dalam al-Syarh al-Kabir (3/495), al-Syaikh al-Buhuti dalam Kasysyaf al-Qina’ (5/30) dan lain-lain. Keterangan tersebut, memberikan kesimpulan bahwa ketika kita punya hajat, seperti ingin diampuni oleh Allah atau hajat lainnya, maka kita melakukan ziarah ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, para wali dan orang-orang shaleh, lalu kita berdoa di sana. Ziarah dengan tujuan tabaruk di atas, jelas dilarang dan dianggap syirik oleh kaum Wahabi, meskipun dalilnya dari al-Qur’an dan pengamalan ulama salaf yang shaleh.

FAKTA-FAKTA BAHWA UMAT ISLAM MENGKERAMATKAN MAKAM PARA KEKASIH ALLAH SEJAK GENERASI SALAF YANG SHALEH

1. Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha
Al-Imam al-Darimi  meriwayatkan:
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ ثَنَا سَعِيْدُ بْنِ زَيْدٍ ثَنَا عَمْرُو بْنِ مَالِكٍ النُّكْرِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو الْجَوْزَاءِ أَوْسُ بْنُ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَحَطَ أَهْلُ الْمَدِيْنَةِ قَحْطًا شَدِيْدًا فَشَكَوْا إِلىَ عَائِشَةَ فَقَالَتْ اُنْظُرُوْا قَبْرَ النَّبِيِّ صلى الله علسه وسلم فَاجْعَلُوْا مِنْهُ كُوًّا إِلىَ السَّمَاءِ حَتَّى لاَ يَكُوْنَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّمَاءِ سَقْفٌ قَالَ فَفَعَلُوْا فَمُطِرْنَا مَطَرًا حَتَّى نَبَتَ الْعُشْبُ وَسَمِنَتِ اْلإِبِلُ حَتَّى تَفَتَّقَتْ مِنَ الشَّحْمِ فَسُمِّيَ عَامَ الْفَتْقِ اهـ رِجَالُهُ ثِقَاتٌ وَهُوَ مَوْقُوْفٌ عَلىَ عَائِشَةَ.
“Abu al-Nu’man telah bercerita kepada kami: “Sa’id bin Zaid telah bercerita kepada kami: “Amr bin Malik al-Nukri telah bercerita kepada kami: “Abu al-Jauza’ Aus bin Abdullah telah bercerita kepada kami: seraya berkata: “Suatu ketika penduduk Madinah mengalami musim paceklik yang sangat parah. Lalu mereka mengadu kepada Aisyah. Lalu Aisyah berkata: “Kalian lihat makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, buatkan lubang dari makam itu ke langit, sehingga antara makam dan langit tidak ada atap yang menghalanginya.” Mereka melakukannya. Setelah itu, hujan pun turun dengan lebat sekali, sehingga rerumputan tumbuh dengan subur dan unta-unta menjadi sangat gemuk, sehingga tahun itu disebut dengan tahun subur.”
Dalam hadits di atas jelas sekali, bahwa Ummul Mu’minin Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha menyuruh umat Islam kota Madinah pada waktu itu agar bertabaruk dengan makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Salafi-Wahabi yang berpandangan bahwa bertabaruk dengan makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk syirik yang mengeluarkan dari Islam, melakukan kecurangan ilmiah dalam menolak hadits shahih di atas sebagaimana yang dilakukan oleh Syaikh al-Albani dalam sebagian bukunya.

2. Al-Imam al-Syafi’i
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150-204 H/767-819 M), mujtahid besar, pakar hadits dan pendiri madzhab Syafi’i yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin di dunia, juga mengakui bolehnya ber-tabaruk dengan para nabi dan wali sesudah meninggal. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan pernyataan beliau berikut ini:

عَنْ عَلِي بْنِ مَيْمُوْنٍ قَالَ: سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ رضي الله عنه يَقُوْلُ: إِنِّيْ َلأَتَبَرَّكُ بِأَبِيْ حَنِيْفَةَ وَأَجِيْءُ إِلَى قَبْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ يَعْنِيْ زَائِرًا، فَإِذَا عَرَضَتْ لِيْ حَاجَةٌ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَأَتَيْتُ إِلَى قَبْرِهِ وَسَأَلْتُ اللهَ الْحَاجَةَ عِنْدَهُ فَمَا تَبْعُدُ عَنِّيْ حَتَّى تُقْضَى. رواه الحافظ الخطيب البغدادي في تاريخ بغداد (1/123) بسند صحيح.

“Dari Ali bin Maimun, berkata: “Aku mendengar al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku selalu bertabarruk dengan Abu Hanifah dan mendatangi makamnya dengan berziarah setiap hari. Apabila aku mempunyai hajat, maka aku menunaikan shalat dua rekaat, lalu aku datangi makam beliau dan aku memohon hajat itu kepada Allah di sisi makamnya, sehingga tidak lama kemudian hajatku segera terkabul”.

3. Al-Imam Ahmad bin Hanbal
Al-Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H/781-855 M), mujtahid besar, muhaddits terkemuka dan pendiri madzhab Hanbali –yang pura-pura diikuti oleh orang-orang Wahhabi di Saudi Arabia–, juga mengakui kebolehan dan bahkan kesunnatan ber-tabaruk dengan para nabi dan wali sesudah meninggal. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan perkataan beliau dalam kitab al-‘Ilal wa Ma’rifat al-Rijal (2/492), ketika menjawab pertanyaan tentang tabarruk berikut ini:

3242 – سَأَلْتُهُ عَنِ الرَّجُلِ يَمَسُّ مِنْبَرَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَيَتَبَرَّكُ بِمَسِّهِ وَيُقَبِّلُهُ وَيَفْعَلُ بِالْقَبْرِ مِثْلَ ذَلِكَ أَوْ نَحْوَ هَذَا يُرِيْدُ بِذَلِكَ التَّقَرُّبَ إِلىَ اللهِ جَلَّ وَعَزَّ فَقَالَ : لاَ بَأْسَ بِذَلِكَ. (الإمام أحمد في كتابه العلل ومعرفة الرجال، 2/492).

“3243. Aku bertanya kepada ayahanda, al-Imam Ahmad bin Hanbal, tentang seorang laki-laki mengusap mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bermaksud tabarruk dengan mengusapnya itu, ia mencium mimbar itu, dan melakukan hal yang sama terhadap makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau yang seperti itu dengan maksud ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah - jalla wa ‘azza. Beliau menjawab: “Boleh”.

4. Al-Imam Abu Ali al-Khallal
Abu Ali al-Hasan bin Ibrahim al-Khallal, pemuka madzhab Hanbali pada masanya, juga membolehkan ber-tawassul dan ber-istighatsah dengan orang yang sudah meninggal. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan perkataan beliau:

مَا هَمَّنِيْ أَمْرٌ فَقَصَدْتُ قَبْرَ مُوْسَى بْنِ جَعْفَرٍ يَعْنِيْ الْكَاظِمَ فَتَوَسَّلْتُ بِهِ إِلاَّ سَهَّلَ اللهُ لِيْ مَا أُحِبُّ. رواه الخطيب البغدادي في تاريخ بغداد (1/120).

“Setiap aku mengalami kesulitan, lalu aku mendatangi makam Musa al-Kazhim bin Ja’far al-Shadiq, dan aku bertawassul dengannya, pasti Allah memudahkan apa yang aku inginkan.”

Pernyataan ini diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi (392-463 H/1002-1072 M) dalam Tarikh Baghdad (1/120).

5. Al-Hafizh Ibn Khuzaimah
Al-Hafizh Abu Bakar bin Khuzaimah (223-311 H/838-924 M), yang dijuluki Imam al-Aimmah (pemimpin para imam) dan pengarang Shahih Ibn Khuzaimah melakukan tabaruk dengan Sayyid Ali al-Ridha bin Musa al-Kazhim. Abu Bakar bin al-Mu’ammal berkata:

خَرَجْنَا مَعَ إِمَامِ أَهْلِ الْحَدِيْثِ أَبِيْ بَكْرٍ بْنِ خُزَيْمَةَ وَعَدِيْلِهِ أَبِيْ عَلِي الثَّقَفِيِّ مَعَ جَمَاعَةٍ مِنْ مَشَايِخِنَا وَهُمْ إِذْ ذَاكَ مُتَوَافِرُوْنَ إِلَى زِيَارَةِ قَبْرِ عَلِي بْنِ مُوْسَى الرِّضَا بِطُوْس قَالَ: فَرَأَيْتُ مِنْ تَعْظِيْمِهِ يَعْنِي ابْنُ خُزَيْمَةَ لِتِلْكَ الْبُقْعَةِ وَتَوَاضُعِهِ لَهَا وَتَضَرُّعِهِ عِنْدَهَا مَا تَحَيَّرْنَا. رواه الحافظ في تهذيب التهذيب (7/339).

“Kami berangkat bersama pemuka ahli hadits, al-Imam Abu Bakar bin Khuzaimah dan rekannya al-Hafizh Abu Ali al-Tsaqafi beserta rombongan beberapa guru kami, yang begitu banyak, untuk berziarah ke makam Ali al-Ridha bin Musa al-Kazhim di Thus. Ia (Abu Bakar bin al-Mu’ammal) berkata: “Aku melihat ke-ta’zhim-an beliau (Ibn Khuzaimah) terhadap makam itu, serta sikap tawadhu’ terhadapnya dan doa beliau yang begitu khusyu’ di sisi makam itu, sampai membuat kami bingung”.
Pernyataan ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani dalam Tahdzib al-Tahdzib (7/339).

6. Tiga Orang Hafizh; al-Thabarani, Abu al-Syaikh dan Abu Bakar Ibn al-Muqri’
Tiga orang hafizh dan muhaddits terkemuka pada masanya yaitu al-Hafizh Abu al-Qasim al-Thabarani (260-360 H/874-971 M) pengarang al-Mu’jam al-Kabir, al-Mu’jam al-Ausath, al-Mu’jam al-Shaghir dan lain-lain, al-Hafizh Abu al-Syaikh al-Ashbihani (274-369 H/897-979 M) pengarang Kitab al-Tsawab dan al-Hafizh Abu Bakar bin al-Muqri’ al-Ashbihani (273-381 H/896-991 M) melakukan tawassul dan istighatsah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kisah berikut:

قَالَ اْلإِمَامُ أَبُوْ بَكْرٍ بْنِ الْمُقْرِئِ: كُنْتُ أَنَا وَالطَّبَرَانِيُّ وَأَبُو الشَّيْخِ فِيْ حَرَمِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَكُنَّا عَلَى حَالَةٍ وَأَثَّرَ فِيْنَا الْجُوْعُ وَوَاصَلْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ، فَلَمَّا كَانَ وَقْتُ الْعِشَاءِ حَضَرْتُ قَبْرَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ الْجُوْعَ الْجُوْعَ، وَانْصَرَفْتُ. فَقَالَ لِيْ أَبُو الْقَاسِمِ: اِجْلِسْ إِمَّا أَنْ يَكُوْنَ الرِّزْقُ أَوْ الْمَوْتُ، قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: فَنِمْتُ أَنَا وَأَبُو الشَّيْخِ وَالطَّبَرَانِيُّ جَالِسٌ يَنْظُرُ فِيْ شَيْءٍ فَحَضَرَ فِي الْبَابِ عَلَوِيٌّ فَدَقَّ فَفَتَحْنَا لَهُ فَإِذًا مَعَهُ غُلاَمَانِ مَعَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا زَنْبِيْلٌ فِيْ شَيْءٍ كَثِيْرٍ، فَجَلَسْنَا وَأَكَلْنَا، قَالَ الْعَلَوِيُّ: يَا قَوْمُ أَشَكَوْتُمْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَإِنِّيْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْمَنَامِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَحْمِلَ بِشَيْءٍ إِلَيْكُمْ. رواه الحافظ ابن الجوزي في الوفا بأحوال المصطفى (ص/818)، والحافظ الذهبي في تذكرة الحفاظ (3/973) وتاريخ الإسلام (ص/2808).

“Al-Imam Abu Bakar bin al-Muqri’ berkata: “Saya berada di Madinah bersama al-Hafizh al-Thabarani dan al-Hafizh Abu al-Syaikh. Kami dalam kondisi prihatin dan sangat lapar, selama satu hari satu malam belum makan. Setelah waktu isya’ tiba, saya mendatangi makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu saya berkata: “Ya Rasulullah, kami lapar, kami lapar”. Dan saya segera pulang. Lalu al-Hafizh Abu al-Qasim al-Thabarani bertaka: “Duduklah, kita tunggu datangnya rezeki atau kematian”. Abu Bakar berkata: “Lalu aku dan Abu al-Syaikh tidur. Sedangkan al-Thabarani duduk sambil melihat sesuatu. Tiba-tiba datanglah laki-laki ‘Alawi (keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) dan mengetuk pintu. Kami membukakan pintu untuknya. Ternyata ia bersama dua orang budaknya yang masing-masing membawa keranjang penuh dengan makanan. Lalu kami duduk dan makan bersama. Lalu laki-laki ‘Alawi itu berkata; “Hai kaum, apakah kalian mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ? Aku bermimpi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyuruhku membawakan makanan untuk kalian”.

Kisah ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibn al-Jauzi (508-597 H/1114-1201 M) dalam al-Wafa bi-Ahwal al-Mushthafa (hal. 818), al-Hafizh al-Dzahabi dalam Tadzkirat al-Huffazh (3/973), dalam Tarikh al-Islam (hal. 2808) dan disebutkan oleh Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani dalam Hujjatullah ‘ala al-‘Alamin (hal. 805).

7. Ibrahim al-Harbi
Abu Ishaq Ibrahim bin Ishaq al-Harbi (198-285 H/813-898 M), seorang hafizh, faqih dan mujtahid, oleh para ulama disejajarkan dengan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam ilmunya. Ia juga salah satu tokoh mazhab Hanbali pada masanya. Ia membolehkan ber-tabaruk dengan orang yang sudah meninggal. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan perkataan beliau:

قَالَ إِبْرَاهِيْمُ الْحَرْبِيُّ: قَبْرُ مَعْرُوْفٍ يَعْنِي الْكَرَخِيَّ التِّرْيَاقُ الْمُجَرَّبُ. رواه الخطيب البغدادي في تاريخ بغداد (1/122)، والحافظ الذهبي في تاريخ الإسلام (ص/1494).

“Ibrahim al-Harbi berkata: “Makam Ma’ruf al-Karakhi adalah obat penawar yang mujarab (Maksudnya, datangilah makam Ma’ruf al-Karakhi, karena berdoa di sisinya banyak manfaatnya dan dikabulkan)”.

Perkataan Ibrahim al-Harbi ini diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad (1/122), al-Hafizh al-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam (hal. 1494) dan disebutkan di beberapa kitab fiqih Hanbali yang mu’tabar.

8. Al-Hafizh Abu Ali al-Naisaburi
Abu Ali al-Husain bin Ali bin Yazid al-Naisaburi (277-349 H/900-961 M), hafizh besar, pemimpin ahli hadits yang disepakati pada masanya. Beliau termasuk guru utama al-Imam al-Hakim pengarang al-Mustadrak. Beliau membolehkan ber-tabaruk dengan orang yang sudah meninggal. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan riwayat berikut ini:

قَالَ الْحَاكِمُ: سَمِعْتُ الْحَافِظَ أَبَا عَلِيٍّ النَّيْسَابُوْرِيَّ يَقُوْلُ: كُنْتُ فِيْ غَمٍّ شَدِيْدٍ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِي الْمَنَامَ كَأَنَّهُ يَقُوْلُ لِيْ: صِرْ إِلَى قَبْرِ يَحْيَى بْنِ يَحْيَى وَاسْتَغْفِرْ وَسَلْ تُقْضَ حَاجَتُكَ، فَأَصْبَحْتُ فَفَعَلْتُ ذَلكَ فَقُضِيَتْ حَاجَتِيْ. رواه الحافظ الذهبي في تاريخ الإسلام (ص/1756) والحافظ ابن حجر في تهذيب التهذيب (11/261).

“Al-Imam al-Hakim berkata: “Aku mendengar al-Hafizh Abu Ali al-Naisaburi berkata: “Suatu ketika aku dalam kesusahan yang mendalam. Lalu aku bermimpi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau berkata kepadaku: “Pergilah ke makam Yahya bin Yahya (142-226 H/759-840 M), bacalah istighfar dan berdoalah kepada Allah, nanti hajatmu akan dikabulkan”. Pagi harinya, aku lakukan hal itu, lalu hajatku segera terkabul.”

Pernyataan ini diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam (hal. 1756) dan al-Hafizh Ibn Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib (11/261).

Pernyataan ini menunjukkan bahwa ber-tabarruk dan ber-tawassul dengan orang yang sudah meninggal dibolehkan oleh al-Hafizh Abu Ali al-Naisaburi, al-Imam al-Hakim pengarang al-Mustadrak, al-Hafizh al-Dzahabi dan al-Hafizh Ibn Hajar.

9. Al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi
Al-Hafizh Abdul Ghani bin Abdul Wahid al-Maqdisi (541-600 H/1146-1204 M), seorang hafizh dan faqih dalam mazhab Hanbali. Karyanya yang berjudul ‘Umdat al-Ahkam menjadi kajian utama kalangan Wahhabi di Saudi Arabia. Ia membolehkan ber-tabarruk dengan orang yang sudah meninggal. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan perkataan beliau berikut ini:

قَالَ اْلإِمَامُ الْحُجَّةُ ضِيَاءُ الدِّيْنِ الْمَقْدِسِيُّ رَحِمَهُ اللهُ: سَمِعْتُ الشَّيْخَ اْلإِمَامَ أَبَا مُحَمَّدٍ عَبْدَ الْغَنِيِّ بْنَ عَبْدِ الْوَاحِدِ الْمَقْدِسِيَّ يَقُوْلُ: خَرَجَ فِيْ عَضُدِيْ شَيْءٌ يُشْبِهُ الدُّمَّلَ، وَكَانَ يَبْرَأُ ثُمَّ يَعُوْدُ، وَدَامَ ذَلِكَ زَمَنًا طَوِيْلاً، فَسَافَرْتُ إِلَى أَصْبِهَانَ، وَعُدْتُ إِلَى بَغْدَادَ وَهُوَ بِهَذِهِ الصِّفَةِ، فَمَضَيْتُ إِلَى قَبْرِ اْلإِمَامِ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ رضي الله عنه وَمَسَحْتُ بِهِ الْقَبْرَ فَبَرَأَ وَلَمْ يَعُدْ. (الإمام الحافظ الحجة ضياء الدين المقدسي في الحكايات المنثورة (3834).

“Al-Imam al-Hujjah Dhiyauddin al-Maqdisi berkata: “Aku mendengar al-Syaikh al-Imam Abu Muhammad Abdul Ghani bin Abdul Wahid al-Maqdisi berkata: “Lenganku terserang penyakit seperti bisul. Penyakit itu pernah sembuh tetapi kemudian kambuh lagi. Dan lama sekali tidak sembuh-sembuh. Kemudian aku pergi ke Ashbihan dan kembali ke Baghdad dalam keadaan belum sembuh. Lalu aku pergi ke makam al-Imam Ahmad bin Hanbal – radhiyallahu ‘anhu -, dan aku usapkan lenganku yang sakit itu ke makam beliau. Ternyata setelah itu sembuh dan tidak kambuh lagi”.

Pernyataan ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Dhiyauddin al-Maqdisi dalam kitabnya al-Hikayat al-Mantsurah (3834).

10. Abu al-Khair al-Aqtha’
Al-Imam Abu al-Khair al-Aqtha’ al-Tinati (229-349 H/769-961 M), seorang ulama shufi terkemuka dan murid al-Imam Abu Abdillah bin al-Jalla’, melakukan, tabaruk tawassul dan istighatsah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

قَالَ أَبُو الْخَيْر اْلأَقْطَعُ: دَخَلْتُ مَدِيْنَةَ الرَّسُوْلِ صلى الله عليه وسلم وَأَنَا بِفَاقَةٍ فَأَقَمْتُ خَمْسَةَ أَيَّامٍ مَا ذُقْتُ ذَوْقًا فَتَقَدَّمْتُ إِلَى الْقَبْرِ فَسَلَّمْتُ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَقُلْتُ أَنَا ضَيْفُكَ اللَّيْلَةَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَتَنَحَّيْتُ فَنِمْتُ خَلْفَ الْمِنْبَرِ فَرَأَيْتُ فِي النَّوْمِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم وَقَبَّلْتُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ فَدَفَعَ إِلَيَّ رَغِيْفًا فَأَكَلْتُ نِصْفَهُ وَانْتَبَهْتُ وَإِذًا فِي يَدِيْ نِصْفُ رَغِيْفٍ، رواه الإمام الحافظ السلمي في طبقات الصوفية (ص/382) والحافظ ابن الجوزي في صفة الصفوة (4/284) والحافظ ابن عساكر في تاريخ دمشق (66/161)، والحافظ الذهبي في تاريخ الإسلام (2632)، والحافظ السخاوي في القول البديع (ص/160) والعارف الشعراني في الطبقات الكبرى (1/109).

“Abu al-Khair al-Aqtha’ berkata: “Saya mendatangi makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan sangat lapar. Lalu saya berkata: “Aku bertamu kepadamu wahai Rasulullah”. Lalu aku agak menjauh dan tidur di belakang mimbar. Dalam tidur aku bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu aku cium antara kedua mata beliau dan beliau memberiku sepotong roti. Lalu aku makan roti itu separuh. Lalu aku terbangun, dan ternyata di tanganku tersisa separuh roti itu”.

Kisah ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Hafizh al-Sulami dalam Thabaqat al-Shufiyyah (hal. 382), al-Hafizh Ibn al-Jauzi dalam Shifat al-Shafawah (4/283), al-Hafizh Ibn ’Asakir dalam Tarikh Dimasyq (66/161), al-Hafizh al-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam (hal. 2632), al-Hafizh al-Sakhawi dalam al-Qaul al-Badi’ (hal. 160), al-Sya’rani dalam al-Thabaqat al-Kubra (1/109) dan lain-lain.

Berdasarkan riwayat-riwayat di atas, dapat disimpulkan bahwa mengkeramatkan makam para kekasih Allah dalam arti bertabaruk dengan makam tersebut, seperti makam para nabi, para wali, orang shaleh dan para ulama telah disepakati, diamalkan dan dianjurkan oleh seluruh ulama salaf yang saleh, yang di antaranya adalah para imam mazhab empat; al-Imam Abu Hanifah, al-Imam Malik, al-Imam al-Syafi’i dan al-Imam Ahmad dan diikuti oleh para ulama ahli hadits dari kalangan huffazh seperti Ibn Khuzaimah, al-Thabarani, Abu al-Syaikh, Ibn al-Muqri’, al-Maqdisi, Ibrahim al-Harbi dan lain-lain. Dan masih terdapat ratusan riwayat lagi tentang mengkeramatkan makam para kekasih Allah dan diriwayatkan oleh para pakar hadits dan sejarah.

Bahkan al-Imam al-Lalaka’iy menegaskan, bahwa tanda-tanda ulama Ahlussunnah Wal-Jamaah, makam mereka keramat, senantiasa diziarahi orang. Al-Lalaka’iy berkata:

وَقُبُورُهُمْ مُزَارَةٌ،... يُزَارُونَ فِي قُبُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ أَحْيَاءٌ فِي بُيُوتِهِمْ، لِيَنْشُرَ اللهُ لَهُمْ بَعْدَ مَوْتِهِمُ الأَعْلَامَ حَتَّى لا تَنْدَرِسَ أَذْكَارُهُمْ عَلَى الأَعْوَامِ، وَلا تَبْلَى أَسَامِيهِمْ عَلَى مَرِّ الأَيَّامِ. فَرَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِمْ وَرِضْوَانُهُ، وَجَمَعَنَا وَإِيَّاهُمْ فِي دَارِ السَّلامِ.

“Makam mereka selalu diziarahi. ... Mereka selalu diziarahi di makam mereka, seakan-akan mereka masih hidup, agar supaya Allah menyebarkan reputasi mereka setelah meninggal dunia, sehingga kenangan mereka tidak hilang dalam perjalanan tahun, nama mereka tidak rusak dalam perjalanan hari. Semoga Allah mengasihi dan meridhai mereka. Semoga Allah mengumpulkan kita bersama mereka di surga Darussalam.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, juz 1 hlm 26).

Semoga Allah memberikan hidayah kepada kami dan Anda sekalian, amin. Wallahu a’lam.

Wednesday, July 26, 2017

KEAJAIBAN DAN KEANEHAN MAKHLUK

KEAJAIBAN DAN KEANEHAN MAKHLUK

( الهـدهـد)
لما قصد الهدهد إلى بلقيس كان لها أربعة آلاف رامي وقيل: اثنان وعشرون رامي يرمون الطيور في الهواء فلا يخطئون فمر الهدهد ومعه الكتاب فلم يقدروا على إصابته ببركة (بسم الله الرحمن الرحيم).

- Burung Hud-hud.
ketika ia menuju ke Ratu Bilqis, sang ratu memiliki 40.000 pemanah. waqila ada 22 pemanah yg memanah burung-burung di angkasa dan semuanya tepat tidak ada yg meleset.
Burung hud-hud melewati para pemanah dan saat itu ia membawa suratnya Nabi Sulaiman, maka para pemanah tidak ada yg mampu membidiknya secara tepat sebab barokahnya kalimat Bismillaahirrohmaanirrohiim.

(ليس للجمل مرارة )
من عجيب أمر الجمل أن كل الحيوانات لها مرارة إلا الإبل ولذلك كثر صبرها ، وكني الجمل بأبي أيوب.

- Onta tidak memiliki kantung empedu.
termasuk keajaiban onta adalah semua hewan mempunyai empedu kecuali onta, oleh karena itulah onta banyak sabarnya . nama kuniyah onta adalah abi ayyub.

( الأرنـــب)
الأرنب تنام مفتوحة العين فربما جاءها القناص فوجدها كذلك فيظنها مستيقظة

- Kelinci.
kelinci tidur dengan mata terbuka, terkadang datang hewan pemburu dan menemukan kelinci dalam keadaan spt itu, maka dikiranya kelinci tsb belum tidur.

( تعليم الببغـــاء)
قال أرسطا طاليس: إذا أردت تعليم الببغاء فخذ مرآة وأجعلها أمامها فترى صورتها أي صورة نفسها، ثم تكلم من ظاهر المرآة وتعاودها، فإنها تعيد الكلام. وقال ابن الفقيه: رأيت بجزيرة دانج حيوانات غريبة الأشكال، ورأيت فيها صنفاً من الببغاء أحمر وأبيض وأصفر يعيد الكلام بأي لغة كانت.

- Mengajari burung beo
Aristoteles berkata : jika engkau ingin mengajari burung beo maka ambillah cermin dan tempatkan di depannya, maka nantinya si beo meilhat dirinya sendiri, kemudian berbicaralah dari belakang cermin dan ulangi berkali kali, maka si beo akan mengulangi ucapan itu.
Ibnu al faqih berkata : di jazirah Danj terdapat hewan yg berntuknya aneh, disana aku melihat satu jenis dari burung beo berwarna merah, putih dan kuning yg mengulangi ucapan dari bahasa manapun.

( البعوض والفــيل )
البعوض على خلقه الفيل إلا أنه أكثر أعضاء من الفيل فإن للفيل أربع أرجل وخرطوماً وذنباً، وله مع هذه الأعضاء رجلان زائدتان وأربعة أجنحة وخرطوم الفيل مصمت وخرطومه مجوف نافذ للجوف.
والبعوض يبيض بيض كثير ويعيش 15 يوماً ومن عجيب أمره أنه ربما قتل البعير.

- Nyamuk dan Gajah
Nyamuk bentuknya seperti gajah, hanya saja nyamuk lebih banyak anggota tubuhnya daripada gajah. gajah mempunyai 4 kaki, belalai dan ekor sedangkan nyamuk mempunyai semua itu, ada dua kaki tambahan dan empat sayap. belalai gajah tidak tembus ke perut sedangkan belalai nyamuk tembus ke perut.
nyamuk bertelur banyak sekali, bisa hidup sampai 15 hari dan yg ajaib dari nyamuk adalah terkadang ia bisa membunuh onta.

( ثعـبان كهربـائي)
في مجاري المياه العذبة في البرازيل، وفي حوض نهر الأمازون تعيش وحوش مائية غريبة تسمى ثعابين الماء الكهربائية، وهي مشحونة بكهرباء قوية جداً، إذ يكفي أن يلمسها الإنسان مرة واحدة ليصاب بصدمة كهربائية لا يناسها طوال حياته.

- Belut listrik
di perairan air tawar daerah Brazil dan di sungai Amazon terdapat hewan air yg aneh, namanya belut listrik, ia penuh dengan energi listrik yg sangat kuat, karena cukup bagi seseorang utk meyentuhnya sekali saja agar bisa terkena listriknya maka ia tidak akan bisa melupakan seumur hidupnya.

(قوة بصر الطيور)
بعض الطيور يرى الجيفة على ارتفاع ألفي متر، يراها واضحةً، وبعضها يرى البيضة على الأشجار تحت الأوراق، وبعضها الآخر يرى السمكة في الماء، وهو في أعالي الجو فيهوي في الماء وينقض عليها ليأكلها.

- Tajamnya pandangan burung.
Sebagian burung ada yg bisa melihat bangkai dari ketinggian 2.000 M, dengan penglihatan yg jelas.
sebagian yg lain bisa melihat telur di atas pohon di bawah dedaunan dan sebagian lainnya bisa melihat ikan di dalam air sedangkan ia terbang di atas udara kemudian meluncur turun ke air dan berhenti di atasnya utk memakan ikan.

( شجرة تأكل الناس)
هناك في جزيرة مدغشقر شجرة تأكل الناس وهي تشبه أشجار الصنوبر الضخمة جذورها بالغة التعقيد وأوراقها هائلة الحجم تنتهي بأطراف حادة كأسنان الوحوش المفترسة وأزهارها تشبه الأكواب تتصاعد منها رائحة تشبه (البنج) تصيب كل من يقترب منها بالإغماء وتطبق الأوراق عليه في الحال وتلتمه.

- Pohon pemakan manusia.
di daerah Madagaskar terdapat pohon yg memakan manusia, pohon itu mirip dengan pohon nanas yg sangat besar, akar-akarnya sangat kuat, daun-daunya luar biasa besarnya dengan tepian daun yg sangat tajam seperti gigi hewan pemangsa dan bunganya menyerupai gelas yg keluar darinya aroma menyerupai obat bius. aroma itu mengenai orang yg mendekatinya sampai pingsan kemudian daun2nya menutupinya saat itu juga dan menelannya.

( ما فوق الباعوض)
من مكتشفات العلم الحديث أن فوق ظهر الباعوضة تعيش حشرة صغيرة جداً لا ترى إلا بالمجهر وهذا مصداق قوله تعالى: إن الله لا يستحي أن يضرب مثلاً ما بعوضة فما فوقها

- Yang adi atas nyamuk
termasuk penemuan ilmu modern bahwa di atas punggung nyamuk hidup seekor serangga yg sangat kecil sekali, tdk bisa terlihat kecuali dengan alat pembesar, ini adalah pembenar dari firman Allah ta'ala :
" Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang di atasnya "
(al baqoroh ayat 26)

( حيلة الثعابين )
يقال أن بعض أنواع الثعابين في الصحراء إذا جاعت ولم تجد أكلاً نصبت نفسها على هيئة العود القائم، فيظنها العصفور خشبة فيقع عليها فتأكله.

- Tipuan ular
di katakan bahwa sebagian jenis ular di padang pasir ketika ia lapar dan tidak menemukan makanan sama sekali, maka ia menegakkan dirinya seperti kayu yg berdiri, kemudian burung pipit mengira bahwa itu kayu, ia hinggap diatasnya kemudian ular memakannya.

wallohu a'lam.

~'Ajaibul makhluqot wa goroibul kaainat~