Salah satu cerita yang saya ingat dari terong gosong adalah saat NU dipaksa masuk politik. Menjelang Pemilu 1977, setelah NU (terpaksa) berfusi kedalam PPP, sejumlah Kyai NU justru menyeberang ke Golkar. Diantaranya lantaran iming-iming bantuan dana dari Pemerintah. Pada hari-hari itu, Kyai Bisri memborong banyak mobil. Ada tujuh buah mobil di rumah. Padahal garasi hanya cukup untuk satu. Mobil-mobil itupun dijajarkan di jalanan depan rumah.
Meskipun ada tujuh, hanya satu saja yang dipergunakan, yaitu sebuah sedan Datsun keluaran tahun ’60-an. Bagaimana dengan enam lainnya? Tak banyak yang tahu rahasianya: ternyata, selain sedan Datsun, mobil-mobil itu mustahil bisa hidup mesinnya kecuali didorong. Artinya: cuma body yang mulus, sedangkan mesinnya bodhol!
Apa tujuannya memborong “kereta-kereta tak berguna” macam itu?
“Untuk dipamerkan!” kata Kyai Bisri.
Pameran dalam rangka apa?
“Supaya orang mengira aku ini sudah kaya raya”.
Apa untungnya dianggap kaya?
“Supaya tak ada yang berani menawariku uang”.
Kalau nggak mau uang, ya ditolak saja toh?
“Kalau ada yang nawari, kuatirnya justru aku yang nggak tahan…”
Lain pula dengan Gus Dur.
“Gus Dur itu nggak pernah punya dompet”, kata Gus Mus. Konon, sepanjang hidupnya, berkoper-koper uang sempat lalu-lalang di bawah hidungnya tanpa Gus Dur pernah menyentuhnya walau selembar pun. Dan kita tahu, saat hidup, saya kira Gus Dur tak punya mobil mewah, rumah mewah, atau harta melimpah.
Zuhud haqiqi dalam definisi Imam Ghozali adalah “buruudatud dun-yaa ‘alal qolbi”, yakni ketika dunia seisinya terasa hambar dalam hati, sehingga tak ada lagi yang layak diinginkan sebagaimana tak ada lagi yang layak dihindari.
Kembali ke Yusuf Mansur. Jadi apakah kita tak boleh percaya dengan kyai atau ustad dalam bersedekah dan mengelola harta? Jelas boleh. Kalau kyai dan ustad itu adalah orang yang paling miskin di tempatmu tinggal dan tetap miskin setelah kamu percayai sedekah. Seperti para sahabat dan kalifah zaman dulu.
No comments:
Post a Comment