PAK KELIK DAN PRINSIP MEMUDAHKAN
Oleh: Muhammad Hilmy
Setahun lalu, tepatnya tanggal 1 Dzul-Qa’dah 1437 H., paman saya, Agus H. Muhammad Rifqi Ali, atau “Pak Kelik”, wafat. Ribuan pelayat menghadiri prosesi pemakaman almarhum, sang perintis majlis “Diba`an ndalem” yg kemudian dikenal dg “Bil Musthofa”. Yg luar biasa di samping banyaknya pelayat yg hadir, keranda beliau ditandu dari Krapyak menuju Pemakaman nDongkelan tidak diiringi dg “la ilaha illallah...” seperti biasa, tapi diiringi dg bacaan shalawat kegemaran beliau: “ya nabi salam ‘alayka, ya rasul salam ‘alayka, ya habib salam ‘alayka, shalawatullah ‘alayka…”. Bacaan shalawat itu terus menerus berkumandang, disertai isak tangis para pelayat dan orang2 yg melihat keranda beliau di sepanjang jalan menuju nDongkelan… Subhanallah.
Apa sebenarnya kunci sukses Pak Kelik, yg berhasil menghimpun jama’ah dan memanejemeni majlis Diba`an yg semula kecil dan terbatas di kalangan santri ndalem Simbah KH. Ali Maksum rahimahullah, dan kemudian menjadi jama’ah kemisan yg dihadiri oleh 300-an orang?! Apa sih hebatnya beliau, sehingga kumpulan yg semula ada di kamar santri, dan kemudian menjadi majlis yg perhelatannya ada di halaman pondok, dg panggung dan alat2 perlengkapannya yg lumayan, dg menyewa sejumlah tenda dan menyediakan ratusan konsumsi?! Apa keutamaan beliau hingga setiap kali “show” undangan keluar, dan ziarah wali songo, jamaah yg berkenan ikut adalah sejumlah 5-6 bis besar?! Apa keistimewaan beliau, sehingga jama’ah beliau bisa berasal dari beragam profesi: mulai dari ibu rumah tangga, petani, pengacara, notaris, pegawai negeri, hingga pengusaha, utamanya para pedagang, penjual sayur, penjual gorengan, penjual bakso, penjual emas, penjual bensin…
Jawaban yg paling tepat tentu adalah “wallahu a’lam”. Tapi ada hal menarik yg barangkali menjadi salah satu kunci sukses beliau dalam memimpin dan mengorganisir jama’ah, yaitu prinsip memudahkan. Prinsip ini beliau jadikan pedoman dan dijalankan sedemikian rupa, serta dipertahankan dari anasir-anasir yg melawannya. Contoh yg gampang diingat bagi mereka yg mengenal beliau, pak Kelik biasa memanggil orang dg nama2 yg mudah diucapkan. Beliau memanggil nama Burhan dg “Burham”, nama Sutarjito dg “Sarjito”, nama Samito dg “Sarminto”, nama Mudhoffar dg “Gopar”… Lihatlah perubahannya, ada yg ditambah, ada yg dikurangi, ada yg diganti, ada yg diubah…, tapi semuanya menjadi “lebih familier dan lebih nyaman” diucapkan.
Beliau juga menggunakan prinsip ini dalam memimpin bacaan shalawatan. Bagi yg tahu bahasa Arab, tentu ada satu, dua, tiga, kata yg tidak pas pelafalannya, atau tatacara pemenggalan kata yg tidak sesuai pengucapannya…, seperti kata “ra`ufun rahim” dibaca “ra`ufun rahimun”, atau “madza yu’abbiru ‘an ‘ulaka maqali” dibaca “madza yu’ab, madza yu’ab, biru ‘an ‘ulaka maqali…”, tapi karena prinsip memudahkan, maka hal itu berlaku. Jama’ah pun maklum, tidak mempermasalahkan, dan malah senang mengikutinya… Hehehe.
Prinsip memudahkan (at-taysir) sebenarnya sangat dianjurkan oleh agama ini. Penerapannya yg kadang tidak mudah, karena mesti dimulai dari hati yg lapang, wawasan yg luas, berbaik sangka dan rendah hati. Sikap ini sesuai dg nama beliau “Rifqi” yg berarti halus, ramah dan bersahabat. Secara “gen”, sikap ini tentu adalah warisan dari Allahuyarham Simbah KH. Ali Maksum yg juga dikenal sebagai kiai yg egaliter, menyukai harmoni dan persatuan, serta suka menjadikan mudah urusan2 agama. Sedang antara pesan agama yg paling jelas dijadikan pijakan dalam hal ini adalah sabda Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alayh wasallam:
إن الدين يسر. ولن يشادّ الدينَ أحدٌ إلاّ غلبه. فسدِّدوا، وقاربوا، وأبشروا... - رواه البخاري عن أبي هريرة رضي الله عنه
(Sesungguhnya agama itu mudah. Orang yg mempersulit (berlebih2an) dalam melaksanakannya pasti malah akan kalah (artinya: justru tidak mampu melaksanakannya dg baik). Oleh karena itu, lakukanlah dg sederhana, mudah dan menyenangkan…) [Hadits riwayat Imam al-Bukhari dari Sahabat Abu Hurayrah radliyallahu ‘anh)
Pak Kelik jelas menerapkan hal2 tersebut dg baik. Beliau sungguh tidak mempersulit diri dg melakukan hal2 yg beliau sendiri tidak mampu. Umpamanya dalam hal ceramah maupun tahlil. Beliau justru mendelegasikan kepada para kiai Krapyak, alumni, atau dai2 kondang di seputar Jogja. Dalam hal menyenangkan jama’ah, antara lain beliau tempuh melalui silaturrahim dan anjangsana dalam berbagai kesempatan. Beliau juga berusaha senantiasa ramah dg jama’ah, dan bahkan kadang memberikan guyonan2, baik langsung maupun melalui sms atau pertelepon, yang menjadikan mereka semakin akrab dan merasa diperhatikan. Beliau juga tidak membeda2kan jama’ah, antara mereka yg kaya, maupun yg miskin; mereka yg jadi pejabat, pengusaha atau rakyat biasa.
Dampak dari yg beliau lakukan luar biasa. Jama’ah merasa senang karena diperhatikan. Masing2 mereka merasa dekat dan akrab justru karena sering disapa, digoda atau dijadikan obyek guyonan. Mereka tidak merasa takut atau sungkan karena beliau tidak mengambil jarak. Jama’ah justru merasa di-uwongke (dihormati) karena bacaan2 mereka yg “pating pletot” tidak pernah dipermasalahkan, sebab yg penting bagi Pak Kelik adalah mereka masih mau ngaji dan belajar. Mereka juga dilibatkan sebagai pengurus, maupun panitia dalam acara2 yg diadakan, sebagai upaya mendekatkan mereka ke pondok pesantren, yg bagi sebagian mereka masih terlihat “agung” dan “sakral”. Partisipasi dan keikutsertaan mereka inilah yg kemudian memunculkan gagasan2 kreatif, seperti membikin seragam bagi segenap anggota, mengundang grup kasidah tertentu atau mengajak satu dua pelawak untuk ikut mengisi “pengajian”. Dan jadilah majlis Diba`an ini menjadi semakin besar, populer dan bertambah banyak anggotanya...
Inilah antara hal yg berlaku di antara keistimewaan2 Pak Kelik, paman saya. Tentu ada banyak hal lain di samping prinsip memudahkan, seperti kesan yg saya tangkap dari beliau. Tapi apapun, semoga hal2 yg sudah beliau diupayakan dapat terus berlaku, lestari dan mbarokahi. Bukan sebab Pak Keliknya, tapi karena yg kita lakukan adalah bagian dari agama, yaitu memakmurkan shalawat dan membumikan ajaran Islam. Semoga.
Rabbi fanfa’na bibarkatihim, wahdinal-husna bihurmatihim,
wa amitna fi thariqatihim, wa mu’afatin minal-fitani, amin ya mujibas-sa`ilin.
No comments:
Post a Comment