Monday, October 9, 2017

Kata kotor, tempat dan keadannnya

قال أبو بكر الصديق : اِمْصَصْ بَظْرَ اللَّاتَ. رواه البخاري
(Artinya :.......*sensor*..........)
=============
Etika yang luhur adalah prioritas utama yang menjadi landasan setiap muslim dalam berinteraksi sosial.

Kata kotor dan bullyan adalah hal yang kontras dengan makna kode etik di dalam kamus sosial.

Bahkan keduanya saling dikotomi jika dihadapkan dengan kemajemukan dan pluralnya tsaqafah (kebudayaan) yang berada di seluruh dunia ini.

Secara umum kata kotor (seperti judul diatas) mempunyai asumsi buruk jika sampai dilontarkan oleh orang yang berakal dan berperangai.

Ketika kita dihadapkan dengan perkataan Abu Bakar kepada Urwah bin Mas'ud (kafir) yang diriwayatkan oleh Bukhari dan perkataan tersebut tidak mendapatkan respon penolakan dan pencegahan dari Rasulullah, maka berarti perkataan tersebut dilegalkan oleh syari'at. Sebagaimana telah dikonsepkan dalam ushulul fiqh bahwa kejadian yang terjadi di zaman Rasulullah dan beliau tahu akan kejadian tersebut, tetapi tidak melarangnya berarti hal tersebut dilegalkan oleh syari'at. Dan hal tersebut disebut dengan "taqrirur rasul". Sebagaimana telah dipaparkan oleh as Syaukani di dalam kitab Irsyadul Fuhul hal 117 juz 1 :

اﻟﺘﻘﺮﻳﺮ
ﺻﻮﺭﺗﻪ ﺃﻥ ﻳﺴﻜﺖ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻦ ﺇﻧﻜﺎﺭ ﻗﻮﻝ ﻗﻴﻞ ﺑﻴﻦ ﻳﺪﻳﻪ ﺃﻭ ﻓﻲ ﻋﺼﺮﻩ ﻭﻋﻠﻢ ﺑﻪ ﺃﻭ ﻳﺴﻜﺖ ﻋﻦ ﺇﻧﻜﺎﺭ ﻓﻌﻞ ﻓﻌﻞ ﺑﻴﻦ ﻳﺪﻳﻪ ﺃﻭ ﻓﻲ ﻋﺼﺮﻩ ﻭﻋﻠﻢ ﺑﻪ، ﻓﺈﻥ ﺫﻟﻚ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ اﻟﺠﻮاﺯ

Tetapi yang menjadi persoalan, apakah kata-kata yang serupa dan masuk di dalam kategori badzaatul kalam (perkataan kotor), dilegalkan secara umum ataukah terdapat batasan khusus dalam sebuah keadaan..???

Mengacu terhadap keterangan dari Ibnu Hajar al Asqalani beliau berpendapat bahwa perkataan tersebut boleh diucapkan ketika berhadapan dengan orang yang memang berhak untuk dilontarkan dengan kata kotor. Beliau juga menambahkan bahwa kata itu adalah merupakan kata yang sudah biasa diucapkan oleh orang arab ketika mencaci maki. Hanya saja menggunakan kata :

اِمْصَصْ بَظْرَ أُمِكَ
"Hisaplah clitoris ibumu"

Ketika orang arab menyembah dan mengagungkan patung "latta" (perempuan), bahkan sampai mengkultuskan atas latta adalah putri Allah, maka Abu Bakar membalas perlakuan mereka dengan ucapan tersebut, sebagaimana telah dikemukakan oleh Ibnul Munir. Selain itu keadaan waktu itu di dalam kesempitan karena desakan orang Quraisy untuk melakukan perjanjian (Baiatur Ridwan) dan mengusir Rasulullah dari Makah.

Ibnu Qayyim al Jauzi juga memberikan kejelasan tentang perkataan ini, beliau melegalkan penyebutan aurat secara shorih, dengan syarat terdapat maslahah yang menuntut untuk melontarkan perkataan tersebut. perkataan tersebut hanya bisa digunakan dalam keadaan tertentu, berikut keterangan beliau berdua :

🌴 فتح الباري ابن حجر العسقلاني (5 / 340) :
[ و" البَظْر " : بفتح الموحدة ، وسكون المعجمة : قطعة تبقى بعد الختان في فرج المرأة .
و" اللات " : اسم أحد الأصنام التي كانت قريش وثقيف يعبدونها ، وكانت عادة العرب الشتم بذلك ، لكن بلفظ الأم ، فأراد أبو بكر المبالغة في سب عروة بإقامة من كان يعبد مقام أمه ، وحمَله على ذلك ما أغضبه به من نسبة المسلمين إلى الفرار .
وفيه : جواز النطق بما يستبشع من الألفاظ لإرادة زجر من بدا منه ما يستحق به ذلك ، وقال ابن المنيِّر : في قول أبي بكر تخسيس للعدو ، وتكذيبهم ، وتعريض بإلزامهم من قولهم " إن اللات بنت الله " تعالى الله عن ذلك علوّاً كبيراً ، بأنها لو كانت بنتاً : لكان لها ما يكون للإناث. ] اهـ.

🌴 زاد المعاد ابن القيم الجوزي (3 / 305) :
[ وفى قول الصِّدِّيق لعروة : " امصُصْ بَظْرَ اللاَّتِ " : دليلٌ على جواز التصريح باسم العَوْرة ، إذا كان فيه مصلحة تقتضيها تلك الحال ، كما أذن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أن يُصرَّح لمن ادَّعى دعوى الجاهلية بِهَنِ أبيه ، ويقال له : " اعضُضْ أيْرَ أبيك " ، ولا يُكْنَى له ، فلكل مقام مقال.] اهـ.

No comments:

Post a Comment