7a. KH ABDUL HANNAN MA’SHUM
Kwagean Pare Kediri
(1/2)
PONDOK KWAGEAN
Menjelang akhir 1994 saya boyong dari Pondok Pesantren Nahjul Hidayah di Rembes Tegalgubug Cirebon. Alasan utama karena ingin 'mencicipi' pengajian kitab-kitab besar (tepatnya tebal). Pandangan saya tujukan ke daerah Kediri, karena sayup-sayup saya dengar di sana ada pondok yang menyelenggarakan itu. Saya melangkah pasti, meskipun arah yang dituju belum pasti, karena belum pernah menjamah daerah Kediri, apa nama pesantren tertuju, kiainya dan mana alamatnya. Merasa sudah berpengalaman mondok saya merasa cukup dengan kata kunci 'kitab besar'. Dan Allah memang Maha Penuntun. Sampai di terminal ‘kuno’ Jombang, saya shalat Asar di mushalla terminal. Usai saya shalat seorang laki-laki umur 30an tahun tiba-tiba menyapa lalu bertanya, “Mau ke mana, Mas?” “Mau mondok yang ngajinya kitab besar.” Dia langsung mencatatkan suatu alamat beserta routenya. “Saya mondok di situ. Asal saya Sumatra. Ini mau ke Yogya ketemu orang tua yang sedang nengok adik kuliah di sana. Mas nanti langsung saja ke kamar saya”. Sekitar satu setengah jam kemudian saya sampai di PP Fathul Ulum, beralamat di dukuh Kwagean desa Krenceng kecamatan Kepung kabuoaten Kediri, (lebih dikenal dengan sebutan Pondok Kwagean). Pondok ini diasuh oleh KH Abdul Hannan Ma’shum, dan para santri ngaturi dengan sebutan Romo Yai.
Saat pertama di Kwagean kondisi fisik pondok masih sederhana; belum dialiri listrikPLN, diesel dinyalakan hanya untuk tempat-tempat umum, sampai jam 21.00. Kamar santri dan keperluan pribadi menggunakan lampu uplik. Ada 4 kompleks kamar bangunan tembok sangat sederhana, sisanya berupa angkring (kamar gubug panggung). Angkring adalah milik pribadi penghuninya, baik patungan maupun tunggal. Jika hendak boyong kadang dijual-belikan atau dihibah kepada teman dekat.
Yang khas dari Pondok Kwagean saat itu antara lain adalah rata-rata santrinya sudah dewasa. Kwagean biasanya menjadi pondok urutan terakhir sebelum mereka betul-betul ‘kembali’ ke masyarakat. Sayang saya hanya melihat bekas kekhasan lain, yaitu Kwagean dikenal juga dengan santri-santrinya yang berambut gondrong (konon Romo Yai mulai ‘merapikan’ tampilan ‘angker’ santri-santri beliau). Sebagai Pondok yang dikenal dengan ilmu Hikmah, saya menyaksikan bentuk riyadlah yang bermacam-macam, termasuk yang aneh-aneh. Mulai puasa tahunan, puasa Dawud, puasa ngrowot (tidak mengkonsumsi nasi dan yang berasal dari beras), tidak mengkonsumsi makanan hewani, sampai puasa bisu (tidak berbicara). Ada juga yang riyadlah-nya malam berjaga dan baru tidur setelah matahari terbit. Malam hari suasana lebih ‘hidup’ dibanding siang hari.
Pengajian Kilatan juga menjadi ‘brand’ bagi Pondok Kwagean. Pengajian Kilatan adalah pengajian kitab kuning yang dibawakan oleh Qori (pembaca) dengan mendiktekan makna gandhul-nya saja, tanpa disertai penjelasan, sedangkan Mustami’ (pendengar) menuliskan makna tersebut pada kitab masing-masing. Sebetulnya Pengajian Kilatan tidak selalu dengan kitab besar. Namun hanya dengan cara kilatan-lah kitab besar bisa khatam maka citra tersebut terbentuk. Orientasi kilatan semacam itu adalah terpenuhinya kitab milik santri dengan makna gandhul. Bagi yang tekun, kekosongan makna, baik karena absen dari pengajian maupun kendala teknis saat ngaji, akan dia kejar dengan ‘menambal’ sendiri. Caranya dengan meminjam kitab atau dibacakan oleh teman. Bahkan ada yang sengaja lebih memilih ‘menambal’ daripada ikut ngaji secara ‘live’. Alasannya ‘menambal’ sendiri bisa ‘mengatur ritme' pemberian makna. Sebaliknya, ada pula yang melakukan ‘potong kompas’, yaitu mondok sebulan dua bulan saja, lalu meminjam kitab-kitab teman sana-sini yang tulisan makna gandhulnya penuh dan rapi. Kitab-kitab itu lalu dibawa ke foto copi. Tidak lama kemudian yang bersangkutan boyong dengan membawa pulang 1 mobil penuh kitab fotocopian.
(Terkait tertulisnya makna gandhul dalam kitab kuning milik santri memang ada 2 madzhab; Pertama, [sekedar memudahkan saya sebut] madzhab ‘Jawa Tengahan’ dan kedua madzhab ‘Jawa Timuran’. Saat mondok di Kajen dan Sarang penulisan makna gandhul tidak dipentingkan, karena yang lebih penting bukan penuhnya makna, namun pahamnya terhadap isi kitab. Bahkan seorang Qori’ dianggap kurang bonafide jika saat menyampaikan pengajian menggunakan kitab ‘bermakna’. Dalam madzhab ini Qori’ ‘profesional’ adalah yang pegangannya kitab ‘kosong’. Sedangkan madzhab ‘Jawa Timuran’ sebaliknya, yaitu pemahaman danpembacaan atas kitab jika tidak berdasarkan pada makna yang diajarkan guru adalah penyimpangan. Dalam madzhab ini seorang Qori’ yang kitab pegangannya ‘kosong’ dianggap tidak ‘jujur’. Untungnya antara kedua madzhab (yang sebenarnya antara dirayah dan riawayah) ini jarang terjadi ‘perseteruan runcing’. Hal itu saya kira bukan karena faktor menghormati ‘kubu’ lain, tapi lebih karena rasa kurang percaya diri yang menyertai masing-masing kubu).
Pengajian Kilatan ada 2 kategori; Kilatan Tahunan dan Kilatan Berkala. Kilatan Tahunan maksudnya kitab materi dibacakan setiap hari, sehari 1 kali jalsah (sessi, durasinya 1-2 jam) , sepanjang tahun hingga khatam. Kilatan Tahunan menjadwalkan beberapa kitab dalam sehari, dimulai bakda Subuh sampai menjelang Dzuhur, dilanjutkan bakda Asar hingga jam 22.00an. Sedangkan Kilatan Berkala adalah pengajian kilatan pada bulan Ramadan, Dzulhijjah dan Rabiul Awal, masing-masing selama kurang lebih 10-25 hari. Dalam kilatan ini, satu kitab dibacakan sepanjang waktu, mulai pagi sampai malam. Saat Kilatan Berkala sedang berlangsung, otomatis Kilatan Tahunan libur.
Ketika saya di Kwagean, dalam Kilatan Tahunan Romo Yai mengistiqamahkan kitab Ihya’Ulumiddin karya Imam Ghazali. Sepanjang tahun, sehari 2 jalsah (pagi dan sore), beliau mengajarkan kitab ini. Jika telah khatam akan dimulai lagi dari awal. Biasanya satu kali khatam ditempuh dalam masa sekitar 2-3 tahun. Sedangkan dalam Kilatan Berkala bulan Ramadan pola jadwal beliau adalah siklus Kutub Sittah (6 kitab utama bidang hadits). Jika tahun ini Sahih Bukhari, maka tahun berikutnya Sahih Muslim, dan berturut-turut Sunan Abu Dawud, Sunan at Turmudzi, An Nasa’i dan Ibnu Majah. Kadang kala kilatan Ramadan diselingi kitab-kitab ‘kecil’ (lebih tepatnya tipis), yaitu 1 kitab beliau bacakan khatam dalam beberapa hari, lalu ganti kitab berikutnya, dan seterusnya. Kilatan kitab-kitab kecil ini kadang bisa mengkhataman 10 atau lebih judul kitab. Kilatan Berkala bulan Dzulhijah Romo Yai membacakan kitab- kitab bidang Hikmah dan atau Thibb antara lain Syams al Ma’arif al Kubra , Manba’ Ushul al Hikmah, Ar Rahmah fi at Thibb wa al Hikmah, Mujarrabat ad Dairabi, Syumus al Anwar dan kitab-kitab sejenis atau selain yang diistiqamahkan untuk Ramadan.
Pada masa itu qori’ Kilatan Tahunan selain Romo Yai adalah para ustadz dan pengurus senior, sedangkan qari Kilatan Berkala hanya Romo Yai. Saat ini para putra dan menantu Romo Yai terutama yang sudah pulang mondok juga menjadi qari bahkan mulai menggantikan atau melanjutkan pengajian Romo Yai.
(Terkait dengan pengajian model Kilatan, dahulu saya suka menyampaikan kepada sesama pengurus pondok bahwa bisa jadi model tersebut bersifat ‘trend’ dan segala sesuatu yang bersifat ‘trend’ akan mengalami pasang surut, bahkan boleh jadi mengalami titik jenuh. Kebetulan masa itu trend-nya sedang pasang. Oleh karena itu sebaiknya segala sesuatunya harus diantisipasi jika masa surut tiba).
Romo Yai sendiri saat saya mulai di Kwagean sudah merintis dan mulai memperkuat pendidikan berjenjang dengan sistem klasikal. Pondok menyelenggarakan madrasah diniyah yang terpisah dari ‘kurikulum’ Pengajian Kilatan. Pada mulanya madrasah ini hanya menampung santri-santri pemula (dalam komunikasi sehari-hari mereka disebut sebagai Santri Tarbiyah). Komplek hunian mereka juga terpisah dari santri Kilatan. Akhirnya tahun demi tahun madrasah diniyah ini tidak lagi menjadi ‘second alternative’, semakin kokoh dan sejajar dengan madrasah pondok-pondok besar lainnya. Bahkan sebagian santri baru yang saat datang hendak ngaji kilatan berubah pikiran untuk menjadi santri Tarbiyah.
Selain Kilatan dan Tarbiyah, Kwagean juga menjadi semacam ‘pasar bebas’ bagi berbagai macam disiplin keilmuan syariat. Dengan berdatangannya santri-santri senior yang sebelumnya sudah mondok di berbagai pesantren, maka antar mereka saling terjadi pertukaran ilmu ‘bawaan’ yang menjadi spesialisasi masing-masing. Akhirnya di sana-sini muncul kelompok-kelompok kecil ngaji-ngaji, kursus-kursus, bahkan musyawarah-musyawarah kitab yang bersifat ‘privat’, dan dikelola sendiri oleh peserta bukan oleh pondok. Tidak jarang dalam kegiatan studi-studi club ini, seorang santri mengajari temannya ilmu atau kitab tertentu, dan di saat yang sama dia berguru kepada temannya itu ilmu atau kitab lainnya. Namun bersamaan dengan itu, Pengurus meminta agar masing-masing penyelenggara ngaji 'privat' untuk mengendalikan diri dengan tidak menampakkan ego almamater atau kiai terdahulu, karena yang demikian adalah tindakan yang tidak etis sama sekali. (bersambung ke2/2)
Pati, 24 Oktober 2017
Umar Farouq Marsuchin
(Catatan ini sekedar kenangan sekilas saya. Tidak saya maksudkan untuk menggambarkan para kiai saya, karena saat menulisnya saya sama sekali tidak melakukan semacam penelusuran, wawancara, bahkan klarifikasi apapun kepada pihak yang relevan, terutama keluarga. Saya hanya ingin mengenang orang-orang mulia nan tercinta. Semoga di balik catatan ini ada keteladanan yang menginspirasi, meskipun untuk menggiring ke sana, saya tidak pandai menggurui orang lain)
No comments:
Post a Comment