7b. KH ABDUL HANNAN MA’SHUM
Kwagean Pare Kediri
(2/2)
Dua minggu sejak dari kedatangan saya diminta Ketua Pondok untuk jadi wakil sekretaris. Hal ini karena saat registrasi santri baru, Ketua tahu saya dari Kajen. Dia sendiri alumni Tambakberas Jombang. Dan antara Kajen dengan Tambakberas terdapat ikatan emosional yang kuat (Bu Nyai Hj Nafisah Sahal Mahfudh adalah putri dari Tambakberas), disamping keduanya punya kesamaan model dalam pengembangan pesantren. Maka sejak awal awal nyantri hingga boyong saya 'hilir-mudik' di kantor Pondok.
Dalam hal pengembangan fisik dan sarana prasarana, Pondok Kwagean tidak pernah mengajukan bantuan ke pihak luar, termasuk negara. Kebutuhan dana operasional dicukupi dari iuran santri, sedangkan pengembangan fisik dan sarana prasarana dilakukan upaya-upaya yang ‘khas’, disamping dari pribadi Romo Yai. Upaya-upaya khas bermula dari permintaan ijin pengurus kepada Romo Yai, agar diperbolehkan “menjual apa saja yang laku dari Romo Yai” (redaksi matur-nya memang demikian). Dan Romo Yai mengijinkan. Akhirnya diselenggarakanlah 2 acara yang bersifat masal dan ‘kolosal’; Asma Arto dan Ijazah Kubro. Asma Arto adalah acara ritual meng-asma’ uang, yang kemudian uang asma-an tersebut disimpan sebagai semacam ‘jimat’ yang diharapkan bisa ‘mengundang teman-temannya’. Peserta yang meng-asma-kan uangnya membayar mahar sebesar uang yang di-asma’-kan. Misalnya meng-asma-kan Rp. 5.000,- membayar mahar Rp. 5.000,. dan seterusnya. Mahar untuk mata uang asing dihitung berdasarkan kurs dan diserahkan dalam bentuk rupiah. Asma’ Arto biasanya dilaksanakan pada malam 12 Rabiul Awal. Pada masa saya, dengan menggunakan media sosialisasi berupa selebaran, peserta (atau wakilnya, karena uangnya bisa dititipkan) berdatangan dari dalam dan luar kabupaten dan propinsi. Uang mahar yang terkumpulpun sangat besar. Sedangkan Ijazah Kubro adalah majlis pemberian ijazah amalan-amalan kitab-kitab Hikmah, terutama kitab susunan Romo Yai sendiri, Sullam al Futuhat fi al awrad wa al ad’iyah wa as shalawat. Kitab saku semacam ‘mujarrabat’ ini berisi amalan-amalan yang sudah diverifikasi melalui pengamalan langsung oleh Romo Yai. Kitab ini berjilid-jilid, setiap tahun --sejak 1995an—terbit 1 jilid. Acara Ijazah Kubro ini juga memberikan kontribusi besar bagi pengembangan fisik Pondok sebagaimana Asma Arto’. Peserta Ijazah datang dari dalam dan luar kabupaten dan propinsi, dan datang langsung karena tidak bisa diwakilkan.
(Pada awalnya event-event besar seperti itu, ditambah dengan Kilatan-kilatan Berkala memang banyak menyita energi dan pikiran. Sempat muncul kekhawatiran di benak para pengurus bahwa hal seperti itu bisa ‘mengganggu’ internalisasi pendidikan dan proses belajar-mengajar santri. Namun dengan berbagai usaha kekhawatiran yang seperti itu dapat dicarikan solusinya).
Saat saya datang jumlah santri masih sekitar 400an dan grafiknya semakin naik dari tahun ke tahun. Namun kemudian muncul suatu kondisi 'merepotkan' yang perlu dicarikan solusi, yaitu keragaman santri dan bidang-bidang pendalaman keilmuan. Kami (pengurus) Pondok Putra pada saat yang sama harus mengurus sekaligus pondok putra (ada kilatan dan ada tarbiyah), pondok putri, madrasah diniyah, madrasah al Quran, madrasah ibtidaiyah, taman kanak-kanak, majlis musyawarah kitab dan lain sebagainya. Bukannya untuk menghindari tanggung jawab, akan tetapi justru karena jika sentralisasi terus berlangsung maka lembaga-lembaga tersebut akan mengalami hambatan untuk bergerak lebih cepat dan leluasa menuju kemajuan. Akhirnya kami matur kepada Romo Yai untuk minta ijin melakukan penataan kelembagaan melalui penyusunan AD ART. Romo Yai memahami dan mengijinkan. Akan tetapi beliau memberi catatan 2 hal; Pertama, beliau menghendaki tidak dilibatkan dalam managerial pesantren, agar bisa fokus ngajar. Kedua, beliau mewanti-wanti jangan sampai melibatkan orang yang bukan santri beliau. Kedua hal ini kemudian menjadi panduan dalam penyusunan AD ART. Setahun terakhir saya sama sekali tidak mengaji kecuali kitab Ihya dan meng-qori kitab jadwal sendiri. Bersama 8 orang lainnya dalam tim, kami bersembilan menyelenggarakan pertemuan rutin, melakukan studi banding ke pesantren-pesantren besar lain, menemui para pengurus pendahulu, mengklarifikasi gambar lambang dan berkonsultasi dengan Romo Yai. Setelah penyusunan AD ART selesai dan disosialisasikan kepada pihak-pihak terkait, menyerahkan penerapannya pada teman di tim yang menjadi 'juru kunci' maka saya pamit boyong dari Pondok Kwagean. Pondok yang selama 4 tahun telah memberi saya kesempatan belajar banyak hal melalui berbagai macam bentuk khidmah. Kelak kadang pengurus mengundang saya untuk diajak ngobrol tentang pengembangan lembaga. Mereka bercerita bahwa konsep tatanan kelembagaan Pondok Kwagean mulai ‘dilirik’ dan beberapa kali didatangi pesantren-pesantren (termasuk pesantren besar) untuk melakukan studi banding.
Tradisi menulis juga dirintis oleh Pengurus pada masa saya. Setiap akhir Kilatan Berkala diterbitkan buletin yang kami beri nama AL FUTHAH (artinya lobang, celah). Nama ini mengacu pada tradisi Romo Yai yang selalu memberikan nama-nama lembaga beliau dengan akar kata (isytiqaq) 'Fataha-Futuh'. Buletin mungil ini berisi sanad kitab yang di-pengajiankilat-kan, nama-nama peserta pengajian, artikel, serial terjemah, jadwal perbintangan, dan pengumuman kilatan berkala berikutnya. Secara rutin saya berlatih menerjemah Kata Pengantar yang cukup bagus dalam kitab Ihya' yang ditulis oleh Syaikh Badawi Ahmad Thibanah.
ROMO YAI
Bagi banyak orang, Kwagean adalah sebuah legenda. Bermula dari sebuah dukuh yang tidak dikenal menjadi ‘jujugan’ mondok santri dan berbagai kepentingan umat dari dalam dan luar desa, kabupaten, propinsi dan pulau. Bermula dari seorang santri sederhana, dari keluarga biasa, yang gigih menuntut ilmu meskipun dalam segala keterbatasan, terutama ekonomi.
Romo Yai saat muda mondok di beberapa tempat, dan yang paling lama adalah di Kencong Pare, berguru pada KH Zamroji, yang juga seorang Mursyid Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah. Disamping tekun mempelajari ilmu-ilmu syariat, Romo Yai muda juga melakukan tirakat lahir dan batin. Tirakat lahir ditunjukkan dengan ketabahan menjalani berbagai kekurangan secara materi. Sangu dari rumah yang tidak seberapa beliau carikan tambahan dengan menjadi ‘buruh’ menulis, atau mencatatkan teman-teman santri. Sedangkan tirakat batin dilakukan dengan menjalani berbagai macam riyadlah terutama puasa ngrowot. Dalam suatu kesempatan beliau mendapat teguran dari sang Guru yang mendapati beliau dalam momentum lebaran ikut bersilaturrahim ke sana ke mari grudak-gruduk bersama teman-teman. Guru ngendika, “Kamu jangan ikut grudak-gruduk bersama teman-teman kamu, tapi menyendirilah dan mandirilah”.
Masih dengan segala keterbatasan, oleh Guru beliau didhawuhi untuk menikah. Maka pernikahanpun berlangsung. Namun rupanya keterbatasan materi dan orientasi hidup beliau kurang diterima dalam keluarga mertua, sehingga beliau memilih ‘hijrah’ dan tinggal menempati area tanah sekitar masjid Kwagean. Di tempat ini Romo Yai mendirikan sebuah rumah kecil sangat sederhana berdinding anyaman bambu. Meskipun demikian rumah kecil itu beliau sekat menjadi 2 bagian, untuk keluarga beliau dan untuk santri. Seiring waktu santri yang datang mengaji dan mukim bertambah, beliau mulai membangun rumah sendiri. Dan seiring waktu, usaha mata pencaharian yang semula hanya beternak ayam dalam jumlah kecil terus berganti dan berkembang. Kini beragam usaha ekonomi beliau buka dan dijalankan oleh santri, baik di sektor pertanian, peternakan, kuliner maupun investasi. Aset lahan demi lahan tanah di dalam dan di luar Kwagean juga semakin luas dan banyak. Secara bergurau orang memberi julukan kepada Romo Yai sebagai 'Tuan Tanah'.
Mengiringi pembangunan pondok dan pembebasan lahannya, berbagai jalan diberi kemudahan oleh Allah. Sebuah pohon durian milik beliau di belakang rumah (setelah dipasangi rajah) berbuah lebat dan melebihi kelaziman, sehingga memberi kontribusi besar dalam awal pembangunan pondok dan pembebasan lahan. Dan yang aneh, saat kedua hal tersebut selesai, produksi pohon itu menurun sangat drastis. Waktu demi waktu santri berdatangan. Kebanyakan mereka adalah santri yang telah mondok di pesantren-pesantren lain, dan datang ke Kwagean terutama untuk mengaji kitab-kitab besar dan atau mengaji Hikmah. Tidak jarang usia santri-santri itu lebih tua dibanding usia Romo Yai, dan apalagi ibu Nyai.
Romo Yai adalah sosok yang sangat santun dan rendah hati, dengan sangat terlihat. Padahal beliau berlatar belakang ilmu Hikmah yang mumpuni. Kepada santri-santri beliau sendiri, beliau mamanggi dengan sebutan Pak. Saat beliau berbicara pada mereka beliau menggunakan bahasa Jawa kromo. Setiap orang yang berhubungan pasti terkesan dengan keramahan dan kesantunan beliau. Termasuk para tamu yang datang membawa berbagai permasalahan untuk beliau bantu solusinya.
Ketekunan belajar Romo Yai terus berlanjut sekalipun sudah menjadi ‘kiai besar’. Beliau masih berkenan ngesahi (membubuhkan makna gandhul) pada kitab-kitab milik beliau, agar siap dibaca sewaktu-waktu. Oleh karena itu, koleksi kitab ‘bermakna’ beliau relatif lengkap. Hanya orang-orang tertentu saja yang berani pinjam.
Sedari awal Romo Yai memilih hanya mengasuh pesantren dan tidak kerso berkecimpung dalam organisasi masyarakat, organisas politik, apalagi ngurus ini-itu di kantor-kantor dinas. Meskipun demikian komitmen beliau pada organisasi Nahdlatul Ulama tidak mungkin diragukan. Beliau memberi kesempatan luas bagi jam’iyah ini menyelenggarakan acara dan kegiatan di Kwagean dan melibatkan santri-santri.
Sebagai kiai yang memilih ‘jalan sunyi’, ada pengalaman yang takkan terlupakan, sebagai bentuk pembelajaran bagi saya dan pengurus. Saat itu Pondok hendak memasang sambungan telpon. Rapat Pengurus merencanakan akan memasang 2 pesawat, di kantor pondok dan di ndalem. Saya yang kebetulan menjadi PJ urusan itu matur kepada Romo Yai dengan sangat hati-hati. Meski sudah berhati-hati matur, saya masih kaget juga dengan respon beliau. Dalam bentuk Istifham Inkari dan nada agak tinggi beliau ngendika, ”Pak Umar, kula badhe tangklet rumiyin; ginanipun telpon niku napa”. Dengan agak grogi saya jelaskan alasan-alasannya. Yang paling utama adalah untuk berkomunikasi dengan penerbit-penerbit atau toko kitab di Surabaya di mana seringkali Pengurus kerepotan dihubungi atau menghubungi. Padahal kebutuhan akan kitab-kitab tersebut tinggi dan besar. Tidak saya maturkan kemungkinan keluarga santri yang di rumah bisa menghubungi anaknya, karena yang demikian menyalahi prinsip ‘jalan sunyi’. Akhirnya beliau menutup, ”Monggo, kantor saged dipun pasangi, tapi griyo mboten usah”.
Dalam hal penampilan, Romo Yai terbilang sangat sederhana. Orang yang hanya mendengar nama beliau tanpa pernah melihat langsung seringkali terkecoh. Seiring dengan ‘jalan sunyi’, beliau juga menjalankan perilaku khumul (menyamarkan diri supaya tidak terkenal). Beliau selalu menghindari berurusan dengan media masaa, dan seandainya ada urusan dengan media, beliau mendelegasikan wewenang kepada Pengurus. Baik saat masih mondok maupun ketika sudah boyong, saya tidak pernah menyaksikan beliau mengenakan asesori pakaian keulamaan yang lengkap. Dan tentu saja Romo Yai tidak pernah tampak mengenakan celana sebagai pengganti sarung.
Pada tahun 1999, ketika saya menikah, Romo Yai dan Bu Nyai saya aturi rawuh untuk memberikan doa dan restu. Berdasarkan informasi dari santri ndalem, Romo Yai akan hadir sekaligus akan ke Kajen untuk mempasrahkan Gus Muslim yang akan mondok di Mbah Sahal. (Informasi ini saya teruskan ke Kajen, karena saya tahu Mbah Sahal hari itu akan tindak ke Yogya untuk sebuah seminar. Agenda Mbah Sahal tersebut akan menyebabkan beliau tidak bisa rawuh ke Rembang, dan karenanya beliau saya aturi mengiring dan mengantar saya ke acara di keluarga mertua, 2 hari sebelumnya). Namun ternyata pada saat acara di Rembang Mbah Sahal rawuh. Dengan rawuh di Rembang ini beliau ingin memperlihatkan kepada Yai Hanan bahwa beliau sedang tidak tindakan jauh. Pemasrahan Gus Muslim ini menjadi semacam ‘pertukaran’ memondokkan putra, karena beberapa tahun sebelumnya Mbah Sahal juga memasrahkan Gus Rozin Sahal untuk mondok di Kwagean. Tidak sekedar itu, bahkan kemudian antara Mbah Sahal dan Yai Hannan terjadi silaturrahim keilmuan terutama yang terkait dengan sanad-sanad kitab.
Beberapa tahun terakhir Romo KH Abdul Hannan Ma’shum punya agenda baru di bulan Syawal, berupa safari Halal Bihalal ke berbagai kota dan kabupaten karena selalu dinanti kerawuhannya oleh ribuan alumni dan masyarakat sekitar. Disamping mengobati rasa kangen para alumni, masyarakat juga bisa sowan dan ikut mendapatkan ijazah-ijazah kitab dari beliau.
Adamahullahu majdah wa nafa’ana bi ulumihi wa afadla alaina min barakatih. Amin.
Pati, 24 Oktober 2017
Umar Farouq Marsuchin
(Catatan ini sekedar kenangan sekilas saya. Tidak saya maksudkan untuk menggambarkan para kiai saya, karena saat menulisnya saya sama sekali tidak melakukan semacam penelusuran, wawancara, bahkan klarifikasi apapun kepada pihak yang relevan, terutama keluarga. Saya hanya ingin mengenang orang-orang mulia nan tercinta. Semoga di balik catatan ini ada keteladanan yang menginspirasi, meskipun untuk menggiring ke sana, saya tidak pandai menggurui orang lain)
No comments:
Post a Comment