Belajar dari Haji Agus Salim.
Oleh : Muhammad Sobary
Coba kita sekarang perhatikan para Pejabat, pake baju necis dan berlagak alim, umroh dan naik haji berkali-kali tapi sayang tak paham menyejahterakan Rakyat. Begitu juga para Pemimpin agama, mereka bagaikan orang suci dan menggunakan simbol simbol keagamaan seraya teriak-teriak mengumandangkan kebencian.
Mari kita lihat kebelakang, ada sosok Haji Agus Salim. Haji Agus Salim, lahir dengan nama Mashudul Haq (berarti "pembela kebenaran") Meskipun begitu beliau pakaiannya sederhana bahkan robek, rumahnya di gang sempit yang becek, hidupnya tidak bermewah mewah, puasanya rajin, referensi bukunya ribuan, intelektualnya luar biasa. Beliau menguasai 30 bahasa asing, kecerdasannya banyak dikagumi, KeIslamannya amat zuhud. Kesederhanaan ini bukan karena malas kerja tapi pemahaman akan makna hidup bahwa kaya miskin harta itu tidak lah berpengaruh bagi jiwa berTuhan.
ketika seorang Belanda pernah bertanya kepada Haji Agus Salim :
“ZegSalim, bagaimana itu, adik Anda masuk agama Katolik?”
“God zij dank, Alhamdullilah, ia sekarang lebih dekat dengan saya,” jawabnya santai.
“Mengapa Anda malah berterima kasih kepada Tuhan?” tanya orang Belanda itu semakin keheranan.
“Dia dulu orang komunis, tidak percaya Tuhan, sekarang dia percaya Tuhan,” tukasnya kembali.
Adik Haji Agus Salim yang dimaksud orang Belanda itu adalah Chalid Salim. Selama lima belas tahun Chalid menjadi Digulis karena dituduh komunis. Dia dijatuhi hukuman pembuangan ke Digul karena tulisannya yang tajam di Pewarta Deli, atas sikap polisi kolonial dalam menumpas pemberontakan komunis tahun 1926. Sebelum di Pewarta Deli, Chalid memulai karir jurnalistiknya dari mingguan Halilintar Hindia di Pontianak, yang banyak mengadopsi asas PKI. Lalu pindah ke majalah Proletar di Surabaya yang juga "merah." Pada Juli 1928, vonis dijatuhkan kepada Chalid, “Sebagai orang yang ‘berbahaya bagi ketenteraman dan ketertiban negeri’ maka saya dibuang ke Digul sebagai nomor 925,” seperti ditulisnya dalam memoar Lima Belas Tahun Digul. Meski ayahnya, Sutan Mohammad Salim yang bekerja sebagai anggota Landraad (pengadilan negeri) Medan berupaya membebaskannya, Chalid tetap dibuang. Selama di Digul, dia mulai meninggalkan sikap ateisnya. Mulanya dia menggandrungi ajaran teosofi, dengan membaca karya Annie Besant, Krishnamurti dan W.C. Leadbeater. Namun kemudian tertarik pada Katolik, sebab kedekatannya dengan Soekardjo Prawirojoedo, Digulis yang terlibat peristiwa kapal Zeven Provincien, yang sudah lebih dulu dibaptis dalam Katolik Roma.
Langkah Chalid ini ternyata didukung oleh sanak keluarganya. Saat Haji Agus Salim menemuinya di Belanda, Agus Salim justru senang mendengar Chalid memeluk Katolik.
“Aku bersyukur bahwa Anda akhirnya percaya pula kepada Tuhan. Dan pilihanmu tentu sudah menjadi takdir Illahi,” ujar Agus Salim kepada Chalid.
Nah, bisakah keIslaman kita seperti Hadji Agus Salim, yang berguna untuk bangsa dan agama kita. Tanpa banyak tingkah, tidak mengomersialisasikan agama dan selalu menyebarkan kebaikan. Bagi beliau, agama bukanlah lapangan untuk mencari duit, bukan bisnis, bukan industri. Agama adalah ajaran disiplin hidup dan cinta kasih. Pada agama apapun dan keyakinan apapun. Tuhan itu akan menemui manusia yang mampu melatih disiplin kehidupan dengan berbuat baik dan penuh kasih sayang.
dikutip dari buku Seratus Tahun Haji Agus Salim, Waktu itu Jepang baru beberapa hari menduduki Indonesia. Seorang pejabat Kempetai datang ke rumah Haji Agus Salim memintanya datang ke kantor.
Pada hari yang ditentukan, Haji Agus Salim datang ke kantor Kempetai tetapi tidak menemukan pejabat yang datang ke rumahnya. Kata petugas, pejabat itu sedang ke Sukabumi. Petugas pun bertanya apa keperluan Haji Agus Salim datang ke kantor ? Haji Agus Salim menjawab tak tahu karena dia hanya dipanggil. Petugas bingung apa yang harus dilakukan kepada Haji Agus Salim . Setelah berunding, akhirnya mereka sepakat untuk menahan Haji Agus Salim sebagai tindakan jaga-jaga. Di dalam tahanan, Haji Agus Salim tetap mengumandangkan adzan di tempat yang semula banyak orang takut akan memancing kemarahan Jepang. Habib Ali (Sayid Ali Alhabsy) dari Kwitang nyeletuk :
"Tuh Pak Haji memanggil Tuhannya."
Pejabat yang memanggil Haji Agus Salim kemudian kembali dan terkejut mendengar tamunya ditahan. Buru-buru ia perintahkan Haji Agus Salim dikeluarkan dari sel. Pejabat itu lantas minta maaf dengan sangat kepada Haji Agus Salim . Dia lupa berpesan kepada anak buahnya agar meminta Haji Agus Salim pulang saja kalau dia sedang ke Sukabumi. Pejabat itu mengaku hanya ingin berbincang dengan Haji Agus Salim tentang berbagai persoalan. Akhirnya, setelah dua hari di tahanan Haji Agus Salim dipersilakan pulang. Sesampai di rumah, keluarga pun bahagia menyambut. Begitu juga para sahabat seperti M Hatta dan M Roem yang kebingungan Haji Agus Salim hilang selama dua hari. Intaha.
No comments:
Post a Comment