Saturday, August 12, 2017

Full Day School antara Maqam Shiddiqiyah dan Ahlil Ilham

Full Day School antara Maqam Shiddiqiyah dan Ahlil Ilham
===============================
FDS atau sekolah full selama lima hari ditolak berbagai pihak dengan mati-matian karena akan merusak eksistensi Madrasah Diniyah dan disisi lain pula ngototnya pihak kemendikbud untuk merealisasikanya dengan berbagai bentuk manuvernya. Ibarat tanaman padi yang hijau subur kemudian direncanakan akan diternakan hewan wereng didalamnya. Memang terkesan memberikan suasana keberagaman dan bisa menyatukan diantara keduanya. Tapi seiring berjalanya waktu tanaman padi tersebut akan semakin meranggas dan dimungkinkan gagal panen. Begitu juga madrasah semakin diminimkan eksistensinya maka dimungkinkan madrasah akan gagal panen, gagal menelurkan penerusnya.

Dibalik hal ini ada dua hikmah, yaitu akan semakin sedikit jumlah siswa madrasah yang masih utuh dalam meneruskan pendidikan dengan model full pelajaran agama, karena mereka lebih mengedepankan formalitasnya daripada religiusnya dan itu memang lumrah karena semakin dekat dengan akhir zaman. Yang kedua, siswa yang meneruskan di jenjang pendidikan madrasah ini adalah orang yang memang benar-benar terpilih dan mempunyai himmah yang tinggi di dalam meninggikan agama Allah, karena sudah menjadi konsekuensi jika mereka memilih pendidikan agamanya maka ia harus mengorbankan sekolah formalnya.

Itulah bentuk saringan dan ujian yang Allah berikan untuk menunjukan mana orang-orang yang benar-benar memilih dan mengangkat agama Allah setinggi-tingginya, walaupun harus mengorbankan semuanya.

Dulu Allah juga menguji para sahabat melalui perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian itu menghasilkan poin-poin yang menyudutkan sahabat di kala itu, diantaranya, tidak saling menyerang antara kaum muslimin dengan penduduk Makah selama sepuluh tahun, kaum muslimin menunda untuk Umroh dan diperbolehkan memasuki kota Makah pada tahun berikutnya dengan tidak membawa senjata kecuali pedang dalam sarungnya serta senjata pengembara, siapa saja yang datang ke Madinah dari kota Makah harus di kembalikan ke kota Makah, siapa saja dari penduduk Madinah yang datang ke Makah, maka tidak boleh dikembalikan ke Madinah, kesepakatan ini disetujui oleh kedua belah pihak dan tidak boleh ada pengkhianatan atau pelanggaran. Ditambah lagi naskah perjanjian tersebut tidak diperbolehkan menggunakan kata الرحمن الرحيم hanya menggunakan بسم الله اللهم, dan tidak diperbolehkan menggunakan kata محمد رسول الله, tapi menggunakan محمد بن عبد الله.

Perjanjian itu menimbulkan pro dan kontra diantara para sahabat, dan yang paling kontras adalah sahabat Umar. Berbeda dengan sahabat Abu Bakar, beliau selalu mengamini apapun yang menjadi keputusan Rasulullah. Tetapi dibalik perjanjian itu terdapat hikmah yang memberikan kejayaan terhadap kaum muslimin, karena perjanjian itu pada dasarnya malah melemahkan kekuatan kaum Quraisy. Bayangkan saja, mereka memohon genjatan senjata selama sepuluh tahun, tidak diperbolehkan masuk Makah menggunakan senjata dan harus dikembalikanya orang Makah yang beriman yang datang ke Madinah. Itu adalah hal yang remeh sekali, karena tidak menutup dakwah islam bahkan dakwah dialihkan lebih luas ke wilayah selain Makah dan memungkinkan orang mukmin Makah untuk hijrah ke selain Madinah. Dari sinilah muncul bahwa maqam Abu Bakar yaitu maqam Shiddiqiyah lebih tinggi daripada maqam Umar, yaitu maqam ahlil ilham.

Ada beberapa sisi persamaan antara poin FDS dan Perjanjian Hudaibiyah.

Pertama, mereka takut dakwah dan pendidikan islam meluas terhadap kelompok tertentu dan mengabaikan yang lain, seolah-olah mereka melambaikan tangan tapi pada hakikatnya mereka menggiring dan mendorong aktivis muslim untuk mendirikan sekolah sendiri yang berbasis islam, karena program sekolah terpadu memang dibuat padat dan diisi dengan pendidikan agama, eksistensi sekolah model ini akan semakin menguat jika dikuatkan dengan peraturan mendikbud.

Kedua, akan semakin terlihat perbedaan antara mereka yang mengiginkan pendidikan dunia/formal atau agama. Akhirnya akan terbentuk garis yang memisahkan antara kaum formalis dan agamis. Tidak ada lagi model kaum agamis yang pemikiranya kanan kiri pro sekuler liberalis. Yang jika orang model ini bertahan dalam bingkai aswaja maka akan terus menggerogoti sampai ke akar-akarnya, lebih baik mereka pergi saja.

Ketiga, lebih jauhnya madin akan berubah menjadi lembaga pendidikan dibawah organisasi besar yang menaunginya yang selalu siap untuk mempertahankan substansinya, walaupun mempunyai bentuk dan badan yang berbeda. Seperti yang dinaungi oleh LP. Ma'arif misalnya.

Keempat, pembahasan FDS ini akan menyedot perhatian semua kalangan. Walaupun diantara mereka ada pro dan kontra. Tetapi dibalik itu semua kini nama Madin atau Madrasah Diniyah menjadi naik daun. Dan hal itu secara tidak langsung akan menyedot pemerhati dari berbagai kalangan untuk memberikan solusi jalan tengah, bahkan menyikapi hal ini presiden sendiri juga memberikan pernyataan untuk menengah-nengahi problemnya. Setidaknya masyarakat awam mulai paham betapa pentingya pendidikan agama bagi mereka, yang secara tidak langsung informasinya mereka terima. selain itu, informasi  kini bukan lagi informasi tetapi doktrin. Masyarakat awam selalu memandang ketokohan dan kelembagaan secara parsial tanpa melihat substansinya. Dan sekarang yang menolak secara besar-besaran adalah mereka yang berada di posisi MUI, NU dan Kemenag. Otomatis mereka akan lebih memihak keputusan NU daripada keputusan Kemendikbud.

No comments:

Post a Comment