SEJENAK BERSAMA IMAM SYATHIBI
Imam Syathibi menulis sebuah kitab berjudul “Al I’tishom” yang membahas tentang masalah bid'ah. Uniknya, masing-masing kelompok umat Islam mengklaim bahwa Imam Syathibi berada bersama mereka.
Lalu di mana posisi Imam Syathibi sebenarnya?
Dalam kitab tersebut, Imam Syathibi berpendapat bahwa kata "bid'ah" merupakan sebuah istilah syar'i yang dipakai untuk menunjukkan setiap perkara baru yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat, maka tidak dinamakan bid'ah, tapi diberi label sesuai hukumnya yang paling cocok, karena teks-teks syariat yang bersifat umum masih menaunginya.
Pengingkaran Imam Syathibi terhadap pembagian bid'ah yang dilakukan oleh sebagian ulama bukan karena pemahaman bahwa setiap perkara baru adalah bid’ah, tapi karena melihat kata bid'ah sebagai kata yang menurutnya bermakna negatif sehingga tidak layak dilabelkan kepada perkara-perkara baik meskipun baru.
Imam Syathibi mengatakan, "Hakikat bid'ah adalah sesuatu yang tidak didukung oleh teks-teks atau prinsip-prinsip syariat. Sebab kalau ada teks atau prinsip syariat yang menunjukkan bahwa perkara itu wajib, mandub atau mubah, maka tidak dikatakan bid'ah. Melakukan perkara baru itu termasuk dalam koridor keumuman amalan yang diperintahkan atau diperbolehkan. Jadi, menggabungkan antara pelabelan bid'ah dan adanya dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban, kemanduban atau kemubahan sama dengan menggabungkan antara dua hal yang saling bertentangan.” (Al I’tishom 1/191)
Kemudian Imam Syathibi memberikan penafsiran yang benar terhadap pembagian bid'ah bahwa sebenarnya pembagian tersebut bukanlah pembagian bid'ah secara syar'i, melainkan pelabelan “maslahat mursalah” dengan label bid'ah akibat tidak ada dalil spesifik yang menunjukkan legalitasnya.
Beliau mengatakan, "Apa yang disebutkan oleh Al Qarafi dari para ulama yaitu tentang adanya kesepakatan mereka untuk menolak bid'ah, ini benar. Tapi tentang pembagian bid'ah itu tidak benar. Sangat mengherankan klaim kesepakatan itu padahal masih ada perselisihan dan dia juga mengetahui apa konsekuensi menyelisihi ijma. Sepertinya, dia cuma mengikuti gurunya dalam pembagian ini tanpa ada kritik sama sekali. Sebab, jelas sekali bahwa Ibnu Abdissalam melabeli maslahat mursalah dengan label bid'ah berdasarkan kenyataan bahwa perbuatan itu tidak ternaungi oleh teks-teks apapun, meskipun tidak melanggar prinsip-prinsip syariat. Dari situ, ia menjadikan prinsip-prinsip tersebut seperti penentu untuk menunjukkan bahwa perkara tertentu adalah baik lalu dilabeli bid'ah yang baik. Labelisasi bid'ah itu dari sisi tidak adanya dalil spesifik atas masalah, sedangkan menganggap baik perkara baru tersebut dari sisi tidak melanggar prinsip syariat. Oleh karena itu, ia termasuk orang yang melabeli maslahat mursalah dengan label bid'ah, sebagaimana Umar melabeli shalat tarawih di masjid berjamaah dengan label bid'ah." (Al I’tishom 1/192)
Dari situ, dapat dipahami bahwa Imam Syathibi termasuk orang yang enggan melabeli perkara baik dan tidak melanggar syariat dengan label bid’ah, meskipun perkara itu benar-benar baru. Sebab menurut beliau, istilah bid’ah sudah berkonotasi negatif sehingga tidak boleh dilabelkan pada perkara-perkara baik, meskipun baru. Berbeda dengan Imam Ibnu Abdissalam yang melabeli setiap perkara baru dengan label bid’ah, meskipun perkara itu baik dan tidak melanggar syariat. Kemudian beliau menambahkan label tambahan yang sesuai dengan kondisi perkara tersebut, misalnya bid’ah wajib, bid’ah mandub, bid’ah mubah, bid’ah makruh dan bid’ah haram.
Jadi, kalau begitu sekarang anda sudah tahu di mana posisi Imam Syathibi sebenarnya.
Yang masih bingung silahkan bertanya.
No comments:
Post a Comment