Thursday, August 31, 2017

DALIL UMUM DAN DALIL KHUSUS

DALIL UMUM DAN DALIL KHUSUS

Apabila ada dalil umum yang menunjukkan hukum suatu amalan, maka seluruh bagian amalan tersebut masuk ke dalam keumuman dalil tersebut dan tidak boleh dikeluarkan sebagiannya kecuali dengan dalil khusus.

Misalnya, hadits: "Barangsiapa mengucapkan 'La ilaha illalah' ia pasti masuk surga." Ini adalah dalil umum yang menyatakan bahwa setiap orang yang mengucapkan kalimat syahadat, ia pasti masuk surga, meskipun harus melewati neraka dulu karena dosa atau maksiatnya yang tidak sampai level kekufuran, tapi pada akhirnya ia pasti masuk surga selamanya. Tidak boleh ada yang dikeluarkan dari keumuman dalil itu kecuali dengan dalil khusus.

Apabila dalil umum menunjukkan anjuran, maka tidak boleh dilarang kecuali dengan dalil khusus yang melarangnya. Begitu juga sebaliknya, apabila dalil umum menunjukkan larangan, maka tidak boleh dianjurkan kecuali ada dalil khusus yang menganjurkannya.

Sekarang mari kita terapkan ke masalah-masalah lain.

1. Shalat malam (qiyamullail)

Dalil-dalil umum menunjukkan bahwa qiyamullail hukumnya dianjurkan setiap malam. Maka shalat pada malam apapun (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu dan Ahad) tetap dianjurkan sampai ada dalil yang melarangnya. Tidak boleh melarang qiyamullail pada malam tertentu kecuali dengan dalil khusus. Contoh dalil yang melarang adalah hadits, "Jangan kalian khususkan malam Jumat saja untuk shalat." Artinya, dilarang qiyamullail pada malam Jumat saja jika tanpa disertai malam sebelumnya atau setelahnya.

Tapi bagaimana dengan qiyamullail malam Rabu saja atau malam Senin saja misalnya, apakah juga terlarang? Jawabnya tidak, karena tidak ada dalil yang melarangnya. Yang dilarang hanya mengkhususkan qiyamullail malam Jumat saja berdasarkan dalil. Ini tidak bisa dikiaskan ke selain malam Jumat. Juga tidak bisa dikiaskan ke selain qiyamullail misalnya dzikir, membaca Al Quran dan sebagainya, dengan alasan yang sama.

Oleh karena itu, qiyamullail pada malam apapun tetap dibolehkan kecuali mengkhususkan malam Jumat saja, itu dilarang karena ada dalil yang melarangnya.

2. Membaca Al Quran

Dalil-dalil umum menunjukkan bahwa membaca Al Quran dianjurkan. Anjuran ini bersifat umum, artinya mencakup seluruh Al Quran dari awal surat sampai akhir surat. Surat apapun atau ayat apapun, sedikit maupun banyak dan berapapun jumlah ayat yang dibaca, semuanya danjurkan.

Lalu bagaimana kalau ada orang yang hanya membaca surat Al Ikhlas saja? Jawabnya boleh, karena tidak ada dalil khusus yang melarang. Bagaimana membaca Yasin saja? Juga boleh, karena tidak ada dalil khusus yang melarang. Membaca ayat Kursi saja? Sama juga boleh, karena tidak ada dalil khusus yang melarang. Begitu seterusnya. Selama tidak ada dalil khusus yang mengeluarkan keumuman anjuran itu, maka tidak bisa dilarang.

Kalau ada orang yang melarang bacaan tertentu, ia harus mendatangkan dalil larangannya.

3. Berpuasa sunnah

Dalil-dalil umum menunjukkan bahwa berpuasa sunnah dianjurkan pada hari-hari apapun sepanjang tahun. Berpuasa sunnah tidak dilarang pada hari apapun kecuali jika ada dalil khusus yang melarangnya, misalnya hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Hari-hari itu telah dikhususkan oleh syariat berdasarkan dalil khusus yang melarang sehingga tidak boleh seseorang berpuasa di dalamnya. Begitu juga berpuasa pada hari Jumat saja tanpa diiringi puasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya, ini juga dilarang karena ada dalil khusus yang melarangnya. Selebihnya, kembali kepada hukum asal yaitu dianjurkan berpuasa.

Oleh karena itu, berpuasa pada hari-hari apapun dianjurkan bagi yang mampu.

HADITS DHOIF BERISI KEUTAMAAN AMAL

Setelah memahami kaidah di atas, sekarang kita beralih kepada masalah hadits dhoif berisi keutamaan amal.

Apabila suatu amalan telah ditetapkan hukumnya berdasarkan dalil yang shahih, kemudian ada hadits dhoif yang menunjukkan keutamaan amalan tersebut, apakah hadits dhoif ini mempengaruhi hukum amalan tersebut?

Jawabnya tidak. Karena pada dasarnya, ada atau tidaknya hadits dhoif ini tidak berpengaruh pada hukum amalan tersebut setelah ia ditetapkan berdasarkan dalil shahih.

Adanya hadits dhoif tersebut hanya menjadi semacam motivator atau penyemangat saja, baik semangat untuk melakukannya atau meninggalkannya, tergantung konteksnya.

Semoga penjelasan ini semakin memperjelas pemahaman kita tentang perbedaan antara menentukan status hadits dengan menentukan hukum fikih. Wallahu a'lam bis showab.

No comments:

Post a Comment